Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN KRITIS

PADA Ny. M DENGAN STROKE HEMORAGIK

DI RUANG ICU RS ROEMANI SEMARANG

DISUSUN OLEH:

Sofia Nur Fitriana

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS ANGKATAN XXV

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2015
STROKE HEMORAGIK

A. Definisi
Penyakit yang timbul akibat lesi vaskular di susunan saraf
merupakan penyebab kematian nomor tiga dalam urutan daftar kematian di
Amerika Serikat. Sebagai masalah kesehatan masyarakat, penyakit itu
merupakan juga penyebab utama cacat menahun dan kematian nomor dua
dunia. Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan mendunia dan semakin
penting terutama di negara-negara berkembang.  Secara global, pada saat
tertentu sekitar 80 juta orang menderita stroke. Terdapat sekitar 13 juta
korban stroke baru setiap tahunnya, dimana sekitar 4,4 juta meninggal
dalam 12 bulan.(1)
Stroke merupakan gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh
gangguan aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak
(dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) dengan
gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah yang terganggu sebagai hasil
dari infark cerebri (stroke iskemik), perdarahan intraserebral atau
perdarahan subarachnoid.
Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah otak yang menyebabkan pengeluaran darah ke parenkim
otak, ruang cairan cerebrospinal di otak, atau keduanya. Adanya perdarahan
ini pada jaringan otak menyebabkan terganggunya sirkulasi di otak yang
mengakibatkan terjadinya iskemik pada jaringan otak yang tidak mendapat
darah lagi, serta terbentuknya hematom di otak yang mengakibatkan
penekanan. Proses ini memacu peningkatan tekanan intrakranial sehingga
terjadi shift dan herniasi jaringan otak yang dapat mengakibatkan kompresi
pada batang otak.(12)
Stroke dahulu dianggap sebagai penyakit yang tidak dapat diduga
yang dapat terjadi pada siapa saja, dan sekali terjadi tidak ada lagi tindakan
efektif yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Namun, data-data ilmiah
terakhir secara meyakinkan telah membuktikan hal yang sebaliknya. Selama
dekade terakhir telah terjadi kemajuan besar dalam pemahaman mengenai
faktor resiko, pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi stroke.(1,2)

B. Epidemiologi
Di Eropa, stroke adalah penyebab kematian nomor tiga di negara-
negara industri di Eropa. Insidens global stroke diperkirakan akan semakin
meningkat sejak populasi manula berusia lebih dari 65 tahun meningkat dari
390 juta jiwa menjadi 800 juta jiwa yang diperkirakan pada tahun 2025.
Stroke iskemik adalah tipe yang paling sering ditemukan, kira-kira 85% dari
seluruh kasus stroke. Sedangkan stroke hemoragik mencakup 15% dari
seluruh kasus stroke. Di USA, sebanyak 705.000 kasus stroke terjadi setiap
tahun, termasuk kasus baru dan kasus rekuren. Dari semua kasus tersebut,
hanya 80.000 kasus adalah stroke hemoragik.
Perdarahan intraserebral adalah penyebab utama kecacatan dan
kematian dan mencakup 10-15% dari kasus stroke pada orang kulit putih
dan sekitar 30% pada orang kulit hitam dan Asia. Insidens Perdarahan
Intraserebral (PIS) dari keseluruhan kasus stroke adalah lebih tinggi di Asia
dan lebih rendah di Amerika Serikat. Estimasi insidens perdarahan
intraserebral per 100.000 per tahun bervariasi dari 6 kasus di Kuwait hingga
411 di China.(12,14)
Kehamilan dapat meningkatkan factor resiko terkena stroke
hemoragik, terutama pada eklampsia yaitu sekitar 40% dari kasus
perdarahan intraserebral pada kehamilan. Lokasi dari perdarahan
intraserebral adalah putamen (40%), lobar(22%), thalamus (15%), pons
(8%), cerebellum (8%) dan caudate (7%). (12)
Perdarahan Subarachnoid memiliki kasus yang signifikan di seluruh
dunia, menyebabkan kecacatan dan kematian. Perdarahan Subarachnoid
biasanya didapatkan pada usia dewasa muda baik pada laki-laki maupun
perempuan. Insidens perdarahan subarachnoid meningkat seiring umur dan
lebih tinggi pada wanita daripada laki-laki. Populasi yang terkena kasus
perdarahan subarachnoid bervariasi dari 6 ke 16 kasus per 100.000, dengan
jumlah kasus tertinggi di laporkan di Finlandia dan Jepang. Selama
kehamilan, resiko untuk terjadinya rupture malformasi arteriovenous
meningkat, terutama pada trimester ketiga kehamilan.(12)

C. Etiologi
Penyebab stroke antara lain aterosklerosis( trombosis), embolisme,
hipertensi yang menimbulkan perdarahan intraserebral dan rupture
aneurisma. Stroke biasanya disertai satu atau beberapa penyakit lainnya
yang menjadi faktor resiko seperti hipertensi, penyakit jantung, peningkatan
lemak dalam darah,  diabetes mellitus, atau penyakit vaskuler perifer.(3)
Adapun penyebab perdarahan  pada stroke hemoragik:(4)
1. Intrakranial
a. Perdarahan intraserebral primer (hipertensiva)
b. Ruptur/ pecahnya aneurisma
c. Ruptur/ pecahnya malformasio arterio-venosa
d. Penyakit moya-moya
e. Perdarahan dari tumor otak (primer/ metastasis)
f. Infeksi (meningoensefalitis), acute necroting haemorhagic
encephalitis
2. Ekstrakranial
a. Kelainan darah antara lain Leukemia, Hemofilia, Anemia, ITP,
hipofibrinogenemia.
b. Diseksi arteri vertebral
c. Obat-obat antikoagulan, obat trombolitik
d. Penyakit inflamasi pada arteri dan vena
e. Amiloidosis arteri

D. Faktor Resiko
Berbagai faktor resiko berperan bagi terjadinya stroke antara lain:
1. Faktor resiko yang tak dapat dimodifikasi, yaitu:
a. Kelainan pembuluh darah otak, biasanya merupakan kelainan
bawaan. Pembuluh darah yang tidak normal tersebut dapat pecah
atau robek sehingga menimbulkan perdarahan otak. Adapula yang
dapat mengganggu kelancaran aliran darah otak sehingga
menimbulkan iskemik.
b. Jenis kelamin dan penuaan, pria berusia 65 tahun memiliki resiko
terkena stroke iskemik ataupun perdarahan intraserebrum lebih
tinggi sekitar 20 % daripada wanita. Resiko terkena stroke
meningkat sejak usia 45 tahun. Setelah mencapai 50 tahun, setiap
penambahan usia 3 tahun meningkatkan risiko stroke sebesar 11-
20%, dengan peningkatan bertambah seiring usia terutama pada
pasien yang berusia lebih dari 64 tahun dimana pada usia ini 75%
stroke ditemukan.
c. Riwayat keluarga dan genetika, kelainan turunan sangat jarang
menjadi penyebab langsung stroke. namun gen berperan besar
dalam beberapa faktor risiko stroke misalnya hipertensi, penyakit
jantung, diabetes, dan kelainan pembuluh darah.(2,4,5,6)  
d. Ras
Di Amerika Serikat, insidens stroke lebih tinggi pada populasi kulit
hitam daripada populasi kulit putih. Lelaki negro memiliki insidens
93 per 100.000 jiwa dengan tingkat kematian mencapai 51% sedang
pada wanita negro memiliki insidens 79 per 100.000 jiwa dengan
tingkat kematian 39,2%. Lelaki kulit putih memiliki insidens 62,8
per 100.000 jiwa dengan tingkat kematian mencapai 26,3% sedang
pada wanita kulit putih memiliki insidens 59 per 100.000 jiwa
dengan tingkat kematian 39,2%.
2. Faktor resiko yang dapat di modifikasi yaitu:
a. Hipertensi, merupakan faktor resiko utama bagi terjadinya
trombosis infark cerebral dan perdarahan intrakranial. Hipertensi
mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh darah
otak.  Pecahnya pembuluh darah otak menimbulkan perdarahan
otak, dan apabila pembuluh darah otak menyempit maka aliran
darah ke otak terganggu mengakibatkan sel-sel otak mengalami
kematian. Usia 30 tahun merupakan kewaspadaan terhadap
munculnya hipertensi, makin lanjut usia seseorang makin tinggi
kemungkinan terjadinya hipertensi.
b. Penyakit jantung, beberapa penyakit jantung berpotensi
menyebabkan stroke di kemudian hari antara lain: penyakit jantung
rematik, penyakit jantung koroner, dan gangguan irama jantung.
Faktor resiko ini umumnya menimbulkan sumbatan/ hambatan
darah ke otak karena jantung melepas gumpalan darah atau sel-sel/
jaringan yang mati ke dalam aliran darah. Munculnya penyakit
jantung dapat disebabkan oleh hipertensi, diabetes mellitus, obesitas
ataupun hiperkolesterolemia.
1) Penyakit Arteri koroner: Indikator kuat kedua dari keberadaan
penyakit difus vaskular aterosklerotik dan potensi sumber
emboli dari thrombi mural karena miocard infarction.
2) Gagal Jantung kongestif, penyakit jantung hipertensi:
Berhubungan dengan meningkatnya kejadian stroke
3) Fibrilasi atrial: Sangat terkait dengan stroke emboli dan fibrilasi
atrial karena penyakit jantung rematik; meningkatkan risiko
stroke sebesar 17 kali.
4) Lainnya: Berbagai lesi jantung lainnya telah dikaitkan dengan
stroke, seperti prolaps katup mitral, patent foramen ovale, defek
septum atrium, aneurisma septum atrium, dan lesi aterosklerotik
dan trombotik dari ascending aorta.
c. Diabetes mellitus, diabetes meningkatkan risiko stroke
tromboemboli sekitar dua kali lipat hingga tiga kali lipat berbanding
orang-orang tanpa diabetes. Diabetes dapat mempengaruhi individu
untuk mendapat iskemia serebral melalui percepatan aterosklerosis
pembuluh darah yang besar, seperti arteri koronari, arteri karotid
atau dengan, efek lokal pada mikrosirkulasi serebral.
d. Hiperkolesterolemia, meningginya kadar kolesterol dalam darah,
terutama LDL merupakan faktor resiko penting bagi terjadinya
aterosklerosis sehingga harus segera dikoreksi.
e. Serangan iskemik sesaat, sekitar 1 dari 100 orang dewasa akan
mengalami paling sedikit satu kali serangan iskemik sesaat
(transient ischemic attack atau TIA) seumur hidup mereka. Jika
tidak diobati dengan benar, sekitar sepersepuluh dari pasien ini akan
mengalami stroke dalam 3 bulan serangan pertama, dan sekitar
sepertiga akn terkena stroke dalam lima tahun setelah serangan
pertama.
f. Obesitas, berat badan berlebih, masih menjadi perdebatan apakah
suatu faktor resiko stroke atau bukan. Obesitas  merupakan faktor
resiko terjadinya penyakit jantung sehingga obesitas mungkin
menjadi faktor resiko sekunder bagi terjadinya stroke.
g. Merokok, merokok dapat meningkatkan konsentrasi fibrinogen;
peningkatan ini akan mempermudah terjadinya penebalan dinding
pembuluh darah dan peningkatan viskositas darah sehingga
memudahkan terjadinya aterosklerosis.
h. Peningkatan hematokrit. Peningkatan viskositas menyebabkan
gejala stroke ketika hematokrit melebihi 55%. Penentu utama
viskositas darah keseluruhan adalah dari isi sel darah merah;
plasma protein, terutamanya fibrinogen, memainkan peranan
penting. Ketika meningkat viskositas hasil dari polisitemia,
hyperfibrinogenemia, atau paraproteinemia, biasanya menyebabkan
gejala umum, seperti sakit kepala, kelesuan, tinnitus, dan
penglihatan kabur. Infark otak fokal dan oklusi vena retina jauh
kurang umum, dan dapat mengikuti disfungsi trombosit akibat
trombositosis. Perdarahan Intraserebral dan subarachnoid kadang-
kadang dapat terjadi.
i. Peningkatan tingkat fibrinogen dan kelainan system pembekuan.
Tingkat fibrinogen tinggi merupakan faktor risiko untuk stroke
trombotik. Kelainan sistem pembekuan darah juga telah dicatat,
seperti antitrombin III dan kekurangan protein C serta protein S dan
berhubungan dengan vena thrombotic.

E. Klasifikasi Stroke Hemoragik


Menurut WHO dalam International Statistical Classification of
Disease and Related Health Problems 10th   Revision, stroke hemoragik dibagi
atas:
1. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral biasanya disebabkan suatu aneurisma yang pecah
ataupun karena suatu penyakit yang menyebabkan dinding arteri menipis
dan rapuh seperti pada hipertensi dan angiopati amiloid. (7,8) Pada
perdarahan intraserebral, perdarahan terjadi pada parenkim otak itu sendiri.
2. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid merupakan perdarahan yang terjadi di rongga
subarachnoid. Perdarahan ini kebanyakan berasal dari perdarahan arterial
akibat pecahnya suatu aneurisma pembuluh darah serebral atau AVM yang
ruptur di samping juga sebab-sebab yang lain. Perdarahan subarachnoid
terdiri dari 5% dari semua kejadian stroke. Pada perdarahan subarachnoid,
perdarahan terjadi di sekeliling otak hingga ke ruang subarachnoid dan
ruang cairan serebrospinal.

F. Patofisiologi
Perdarahan intraserebral sebagian besar terjadi akibat hipertensi
dimana tekanan darah diastoliknya melebihi 100 mmHg. Hipertensi kronik
dapat menyebabkan pecah/ruptur arteri serebri. Ekstravasasi darah terjadi di
daerah otak dan/atau subarakhnoid, sehingga jaringan yang terletak di
dekatnya akan tergeser dan tertekan. Daerah distal dari tempat dinding arteri
pecah tidak lagi kebagian darah sehingga daerah tersebut menjadi iskemik
dan kemudian menjadi infark yang tersiram darah ekstravasal hasil
perdarahan. Daerah infark itu tidak berfungsi lagi sehingga menimbulkan
deficit neurologik, yang biasanya menimbulkan hemiparalisis. Dan darah
ekstravasal yang tertimbun intraserebral merupakan hematom yang cepat
menimbulkan kompresi terhadap seluruh isi tengkorak berikut bagian rostral
batang otak. Keadaan demikian menimbulkan koma dengan tanda-tanda
neurologik yang sesuai dengan kompresi akut terhadap batang otak secara
rostrokaudal yang terdiri dari gangguan pupil, pernapasan, tekanan darah
sistemik dan nadi. Apa yang dilukis diatas adalah gambaran hemoragia
intraserebral yang di dalam klinik dikenal sebagai apopleksia serebri atau
hemorrhagic stroke.(4,10)
Arteri yang sering pecah adalah arteria lentikulostriata di wilayah
kapsula interna. Dinding arteri yang pecah selalu menunjukkan tanda-tanda
bahwa disitu terdapat aneurisme kecil-keci yang dikenal sebagai aneurisme
Charcot Bouchard. Aneurisma tersebut timbul pada orang-orang dengan
hipertensi kronik, sebagai hasil proses degeneratif pada otot dan unsure
elastic dari dinding arteri. Karena perubahan degeneratif itu dan ditambah
dengan beban tekanan darah tinggi, maka timbullah beberapa pengembungan
kecil setempat yang dinamakan aneurismata Charcot Bouchard. Karena
sebab-sebab yang belum jelas, aneurismata tersebut berkembang terutama
pada rami perforantes arteria serebri media yaitu arteria lentikolustriata. Pada
lonjakan tekanan darah sistemik seperti sewaktu orang marah, mengeluarkan
tenaga banyak dan sebagainya, aneurima kecil itu bisa pecah. Pada saat itu
juga, orangnya jatuh pingsan, nafas mendengkur dalam sekali dan
memperlihatkan tanda-tanda hemiplegia. Oleh karena stress yang menjadi
factor presipitasi, maka stroke hemorrhagic ini juga dikenal sebagai “stress
stroke”.(10)
Pada orang-orang muda dapat juga terjadi perdarahan akibat pecahnya
aneurisme ekstraserebral. Aneurisme tersebut biasanya congenital dan 90%
terletak di bagian depan sirkulus Willisi. Tiga tempat yang paling sering
beraneurisme adalah pangkal arteria serebri anterior, pangkal arteria
komunikans anterior dan tempat percabangan arteria serebri media di bagian
depan dari sulkus lateralis serebri. Aneurisme yang terletak di system
vertebrobasiler paling sering dijumpai pada pangkal arteria serebeli posterior
inferior, dan pada percabangan arteria basilaris terdepan, yang merupakan
pangkal arteria serebri posterior.
Fakta bahwa hampir selalu aneurisme terletak di daerah percabangan
arteri menyokong anggapan bahwa aneurisme itu suatu manifestasi akibat
gangguan perkembangan embrional, sehingga dinamakan juga aneurisme
sakular (berbentuk seperti saku) congenital. Aneurisme berkembang dari
dinding arteri yang mempunyai kelemahan pada tunika medianya. Tempat ini
merupakan tempat dengan daya ketahanan yang lemah (lokus minoris
resistensiae), yang karena beban tekanan darah tinggi dapat menggembung,
sehingga dengan demikian terbentuklah suatu aneurisme. Aneurisme juga
dapat berkembang akibat trauma, yang biasanya langsung bersambung
dengan vena, sehingga membentuk “shunt” arteriovenosus.
Apabila oleh lonjakan tekanan darah atau karena lonjakan tekanan
intraandominal, aneurisma ekstraserebral itu pecah, maka terjadilah
perdarahan yang menimbulkan gambaran penyakit yang menyerupai
perdarahan intraserebral akibat pecahnya aneurisma Charcor Bouchard. Pada
umumnya factor presipitasi tidak jelas. Maka perdarahan akibat pecahnya
aneurisme ekstraserebral yang berimplikasi juga bahwa aneurisme itu terletak
subarakhnoidal, dinamakan hemoragia subduralis spontanea atau hemoragia
subdural primer.(4,10)

G. Tanda Gejala Stroke Hemoragik


Gejala klinis stroke ada berbagai macam, diantaranya adalah
ditemukan perdarahan intraserebral (ICH) yang dapat dibedakan secara klinis
dari stroke iskemik, hipertensi biasanya ditemukan, peningkatan tekanan intra
kranial, tingkat kesadaran yang berubah atau koma lebih umum pada stroke
hemoragik dibandingkan dengan stroke iskemik. Seringkali, hal ini
disebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Meningismus dapat terjadi
akibat adanya darah dalam ventrikel.(2)
Defisit neurologis fokal, jenis defisit tergantung pada area otak yang
terlibat. Jika belahan dominan (biasanya kiri) terlibat, suatu sindrom yang
terdiri dari hemiparesis kanan, kerugian hemisensory kanan, meninggalkan
tatapan preferensi, bidang visual kanan terpotong, dan aphasia mungkin
terjadi. Jika belahan nondominant (biasanya kanan) terlibat, sebuah sindrom
hemiparesis kiri, kerugian hemisensory kiri, preferensi tatapan ke kanan, dan
memotong bidang visual kiri. Sindrom belahan nondominant juga dapat
mengakibatkan pengabaian dan kekurangan perhatian pada sisi kiri.(2)
Jika cerebellum yang terlibat, pasien beresiko tinggi untuk herniasi
dan kompresi batang otak. Herniasi bisa menyebabkan penurunan cepat
dalam tingkat kesadaran, apnea, dan kematian. Tanda-tanda lain dari
keterlibatan cerebellar atau batang otak antara lain: ekstremitas ataksia,
vertigo atau tinnitus, mual dan muntah, hemiparesis atau quadriparesis,
hemisensori atau kehilangan sensori dari semua empat anggota, gerakan mata
yang mengakibatkan kelainan diplopia atau nistagmus, kelemahan
orofaringeal atau disfagia, wajah ipsilateral dan kontralateral tubuh.[2]
Aneurisma yang pecah biasanya menyebabkan sakit kepala, tiba-tiba
parah dan mencapai puncak dalam beberapa detik. Hal ini sering diikuti
dengan kehilangan kesadaran singkat. Hampir setengah dari orang yang
terkena meninggal sebelum mencapai rumah sakit. Beberapa orang tetap
berada dalam koma atau tidak sadar dan sebagian lainnya bangun, merasa
bingung, dan mengantuk. Dalam beberapa jam atau bahkan menit, penderita
mungkin menjadi tidak responsif dan sulit untuk dibangunkan. [8]
Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak
mengiritasi lapisan jaringan yang menutupi otak (meningens), menyebabkan
leher kaku serta sakit kepala terus, sering dengan muntah.[2]
Gangguan berat dapat berkembang dan menjadi permanen dalam
beberapa menit atau jam. Demam adalah gejala umum selama 5 sampai 10
hari pertama. Sebuah perdarahan subaraknoid dapat menyebabkan beberapa
masalah serius lainnya, seperti: [2,8]
 Hydrocephalus: Hydrocephalus mungkin akan menyebabkan gejala seperti
sakit kepala, mengantuk, kebingungan, mual, dan muntah-muntah dan
dapat meningkatkan risiko koma dan kematian.
 Vasospasme: Sekitar 3 sampai 10 hari setelah pendarahan itu, arteri di otak
dapat kontrak (kejang), membatasi aliran darah ke otak.
Kemudian, jaringan otak tidak mendapatkan oksigen yang cukup dan
dapat mati, seperti pada stroke iskemik. Vasospasme dapat
menyebabkan gejala mirip dengan stroke iskemik, seperti kelemahan
atau hilangnya sensasi pada satu sisi tubuh, kesulitan menggunakan
atau memahami bahasa, vertigo, dan koordinasi terganggu.
 Pecah kedua: Kadang-kadang pecah kedua terjadi, biasanya dalam
seminggu.

H. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis


Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung diagnosis stroke
dan menyingkirkan diagnosis bandingnya. Laboratorium yang dapat
dilakukan pada penderita stroke diantaranya adalah hitung darah lengkap,
profil pembekuan darah, kadar elektrolit, dan kadar serum glukosa. (2)
Pemeriksaan pencitraan juga diperlukan dalam diagnosis. Pencitraan
otak adalah langkah penting dalam evaluasi pasien dan harus didapatkan
dalam basis kedaruratan. Pencitraan otak membantu dalam diagnosis adanya
perdarahan, serta dapat menidentifikasi komplikasi seperti perdarahan
intraventrikular, edem otak, dan hidrosefalus. Baik CT non kontras ataupun
MRI otak merupakan pilihan yang dapat digunakan.(2)
CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke
hemoragik dari stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk membedakan
stroke dari patologi intrakranial lainnya. CT non kontras dapat
mengidentifikasi secara virtual hematoma yang berdiameter lebih dari 1 cm.2
MRI telah terbukti dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat dan lebih
bisa diandalkan daripada CT scan, terutama stroke iskemik. MRI dapat
mengidentifikasi malformasi vaskular yang mendasari atau lesi yang
menyebabkan perdarahan. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah
elektrokardiogram (EKG) untuk memulai memonitor aktivitas hantung.
Disritmia jantung dan iskemia miokard memiliki kejadian signifikan dengan
stroke.(2)
Diagnosis stroke dapat ditegakkan berdasarkan riwayat dan keluhan
utama pasien. Beberapa gejala/tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke
antara lain: hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau
buta mendadak, diplopia. Vertigo, afasia, disfagia, disartria, ataksia, kejang
atau penurunan kesadaran yang keseluruhannya terjadi secara mendadak. (1)
Pada manifestasi perdarahan intraserebral, terdapat pembagian
berdasarkan Luessenhop et al. Pembagian ini juga berguna dalam
menentukan prognosis pada pasien stroke dengan perdarahan intraserebral.(9)

Khusus untuk manifestasi perdarahan subaraknoid, pada banyak studi


mengenai perdarahan subaraknoid ini dipakai sistem skoring untuk
menentukan berat tidaknya keadaan perdarahan subaraknoid ini dan
(10)
dihubungkan dengan keluaran pasien. Sistem grading yang dipakai antara
lain:
 Hunt & Hess Grading of Sub-Arachnoid Hemorrhage
Grade Kriteria
I Asimptomatik atau minimal sakit keoala atau leher kaku
II Sakit kepala sedang hingga berat, kaku kuduk, tidak ada defisit
neurologis
III Mengantuk, kebingungan, atau gejala fokal ringan
IV Stupor, hemiparese sedang hingga berat, kadang ada gejala
deserebrasi awal
V Koma

 WFNS SAH grade


WFNS grade GCS Score Major facal deficit
0
1 15 -
2 13-14 -
3 13-14 +
4 7-12 + or -
5 3-6 + or -

Sistem skoring pada no 1 dan 2 dipakai pada kasus SAH primer


akibat rupturnya aneurisma. (10)

I. Penatalaksanaan
Penanganan tepat dan segera pada pasien dengan infark hemoragik
merupakan penanganan kegawatdaruratan. Pasien dengan stroke hemoragik
harus dirawat dalam ruangan khusus.(11) Penatalaksaan pasien dengan infark
hemoragik terdiri atas dua yaitu:
1. Konservatif
a. Amankan jalan napas dan pernapasan. Jika perlu pemberian intubasi
dan hiperventilasi mekanik. Intubasi endotrakeal dilakukan pada
pasien dengan koma yang tidak dapat mempertahankan jalan napas
dan pasien dengan gagal pernapasan. Analisa gas darah harus diukur
pada pasien dengan gangguan kesadaran.
b. Keseimbangan cairan. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
mudah ditemui pada pasien-pasien di ruangan perawatan kritis. Hal
ini disebabkan oleh respon simpatis terhadap adanya injuri neuron
akibat iskemik ataupun hemoragik, subsitusi cairan/elektrolit yang
tidak seimbang, regimen nutrisi yang tidak adekuat, dan pemberian
diuretik ataupun obat-obat lainnya. Pilihan  terapi enteral/ cairan
isotonik intravena. Monitoring keseimbangan cairan dan elektrolit
perlu dilakukan.
c. Nutrisi. Menurut penelitian Davaks dan kawan-kawan, malnutrisi
merupakan faktor independen bagi prognosis buruk pada pasien
stroke. Hasil penelitian yang sama oleh Gariballa dan kawan-kawan
bahwa status nutrisi mempengaruhi perburukan pasien secara
signifikan selama periode tertentu. Mereka menemukan bahwa
konsentrasi serum albumin mempunyai hubungan signifikan dengan
komplikasi infeksi dan merupakan prediktor independen kematian
dalam waktu 3 bulan. Penelitian ini menunjukkan pentingnya suplai
kalori dan protein adekuat pada pasien stroke akut.
2. Follow up ketat
a. Manitol berguna untuk menurunkan tekanan intrakranial lebih cepat. 
b. Jika demam, berikan antipiretik dan kompres mekanik. Demam
merupakan prediktor bagi prognosis buruk sehingga harus ditemukan
penyebabnya.
c. Keadaan hiperglikemia menunjukkan adanya cedera sel-sel saraf
ataupun pemberian tissue plasminogen activator (rt-PA) pada
iskemik akut yang memicu peninggian serum glukosa.
d. Kontrol hipertensi melalui pemberian antihipertensi
Manajemen pasien stroke hemoragik disertai hipertensi masih
kontroversi. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat
mencegah terjadinya perdarahan ulangan, namun dilain pihak hal ini
dapat mencetuskan iskemik perihematomal. Beberapa peneliti
menyarankan penurunan tekanan darah menuju tekanan darah rata-
rata harus dilakukan perlahan, penurunan tekanan darah lebih darah
20% harus dicegah dan tekanan darah tidak boleh turun lebih dari 84
mmHg.
3. Operasi
a. Drainase hematoma – drainase stereotaktik atau evakuasi
operasi.
b. Drainase ventrikular atau shunt.
c. Evakuasi perdarahan malformasi arterivenous atau tumor.
d. Memperbaiki aneurisma.(12)
Penatalaksaan operatif pada pasien dengan perdarahan
intraserebral masih kontroversi. Walaupun terdapat indikasi-indikasi
jelas bahwa pasien memerlukan suatu tindakan operatif ataupun
tidak, masih terdapat daerah ”abu-abu” diantaranya. Sebagai contoh
pasien usia muda dengan perdarahan intraserebral pada hemisfer
nondominan yang awalnya sadar dan berbicara kemudian
keadaannya memburuk secara progresif dengan perdarahan
intraserebral area lobus memerlukan penanganan operatif.
Sebaliknya, pasien usia lanjut dengan perdarahan intraserebral luas
pada hemisfer dominan disertai perluasan ke area talamus dan berada
dalam kondisi koma tergambar memiliki prognosis jelek sehingga
tindakan operatif tidak perlu dipertimbangkan.(14)
Tindakan pembedahan untuk evakuasi atau aspirasi bekuan
darah pada stadium akut kurang begitu menguntungkan. Intervensi
bedah pada kasus-kasus demikian antara lain:
a. Pasien yang masih dapat tetap bertahan setelah iktus awal
setelah beberapa hari, di mana pada saat itu bekuan sudah mulai
mencair dan memungkinkan untuk diaspirasi sehingga massa
desakan atau defisit dapat dikurangi.
b. Hematom intraserebelar, mudah segera dikeluarkan dan kecil
kemungkinan menimbulkan defisit neurologis. Dalam hal ini
biasanya dapat segera dilakukan operasi pada hari-hari pertama.
c. Hematom intraserebral yang letaknya superficial, seringkali
mudah diangkat dan tidak memperburuk defisit neurologis.(4)
Kontraindikasi tindakan operasi terhadap kasus-kasus
perdarahan intraserebral adalah hematom yang terletak jauh  di
dalam otak (dekat kapsula interna) mengingat biasanya walaupun
hematomnya bisa dievakuasi, tindakan ini malahan menambah
kerusakan otak.(4)
Operasi juga tidak dipertimbangkan pada pasien dengan
volume hematoma sedikit dan defisit fokal minimal tanpa gangguan
kesadaran.  Hal tersebut diatas menunjukkan indikasi jelas mengapa
seseorang memerlukan tindakan operatif atau tidak. Hal inilah yang
menjadi ketidakmenentuan mengenai indikasi apakah operasi
diperlukan atau tidak. Jenis-jenis operasi pada stroke hemoragik
antara lain: (14)
a. Kraniotomi
Mayoritas ahli bedah saraf masih memilih kraniotomi untuk
evakuasi hematoma. Secara umum, ahli bedah lebih memilih
melakukan operasi jika perdarahan intraserebral terletak pada
hemisfer nondominan, keadaan pasien memburuk, dan jika
bekuan terletak pada lobus dan superfisial karena lebih mudah
dan kompresi yang lebih besar mungkin dilakukan dengan
resiko yang lebih kecil. Beberapa ahli bedah memilih kraniotomi
luas untuk mempermudah dekompresi eksternal jika terdapat
edema serebri yang luas.
b. Endoskopi
Melalui penelitian Ayer dan kawan-kawan dikatakan bahwa
evakuasi hematoma melalui bantuan endoskopi memberikan
hasil lebih baik. pada laporan observasi lainnya penggunaan
endoskopi dengan tuntunan stereotaktik dan ultrasonografi
memberikan hasil memuaskan dengan evakuasi hematoma lebih
sedikit (volume < 30 ml) namun teknik ini belum banyak
diaplikasikan dan validitasnya belum dibuktikan.
c. Aspirasi dengan bantuan USG
Hondo dan Lenan melaporkan keberhasilan penggunaan
aspirator USG pada aspirasi stereotaktik perdarahan
intracerebral supratentorium, namun prosedur ini masih
diobservasi.
d. Trombolisis intracavitas
Blaauw dan kawan-kawan melalui penelitian prospektif kecil
meneliti pasien perdarahan intraserebral supratentorial dengan
memasukkan urokinase pada kavitas serebri (perdarahan
intraserebri) dan setelah menunggu periode waktu tertentu
kemudian melakukan aspirasi. Namun penelitian ini dinyatakan
tidak berpengaruh pada angka mortalitas, walaupun pada
beberapa pasien menunjukkan keberhasilan. Pasien perdarahan
intraserebral dengan ruptur menuju ke ventrikel drainase
ventrikular eksternal mungkin berguna. Namun cara ini belum
melalui penelitian prospektif luas dan patut dicatat bahwa
melalui penelitian observasi menunjukkan prognosis buruk. (13)
Perdarahan intraserebral dan subarahnoid biasanya dikaitkan
dengan adanya malformasi arterivenous (AVM). Jika lesi dapat
terlihat maka evakuasi perdarahan harus dilakukan sehingga
perdarahan tidak terkontrol dari AVM dapat diatasi. Apabila
perdarahan intraserebral di terapi secara konservatif biasanya ahli
bedah saraf memilih menunggu 6-8 minggu dahulu karena operasi
dapat mencetuskan AVM yang terletak pada dinding perdarahan
intraserebral. Pilihan penanganan operatif pada AVM antara
lain:  pengangkatan endovaskular, eksisi, stereotaxic radiosurgery,
dan kombinasi diantaranya.(11,13)
a. Eksisi langsung AVM semakin berkembang dengan adanya
mikroskop operasi sehingga menurunkan resiko kecacatan dan
kematian. Komplikasi mayor eksisi langsung seperti kehilangan
jaringan otak normal beserta fungsi neurologisnya yang dikenal
dengan breakthrough phenomenon.
b. Pengangkatan endovaskular menggunakan teknik
embolisasi  dapat dilakukan sebelum ataupun  saat
berlangsungnya operasi. Penanganan ini berguna untuk lesi yang
tidak dapat terjangkau melalui operasi ataupun tambahan
pengangkatan pada operasi. Komplikasi yang dapat berkembang
yaitu perdarahan,iskemik, dan angionekrosis karena toksisitas
materi emboli.
c. Radioterapi, teknik ini menggunakan energi tinggi x-ray,
gamma, dan proton menginduksi deposisi kolagen subendotelial
dan substansi hialin yang menyempitkan lumen pembuluh darah
kecil dan mengerutkan AVM dalam beberapa bulan setelah
terapi. komplikasi cara ini berupa radionekrosis jaringan otak
normal, perdarahan, hidrosefalus, kejang post terapi, kehilangan
regulasi temperatur, defisit fungsi kongnitif.(12,13)

J. Komplikasi
Komplikasi stroke dapat di bagi menjadi komplikasi akut, biasanya
dalam 72 jam, dan komplikasi yang muncul di kemudian hari.
1. Komplikasi akut berupa edema serebri, peningkatan TIK dan
kemungkinan herniasi, pneumonia aspirasi dan kejang.
2. Komplikasi postfibrinolitik di sekeliling pusat perdarahan. Pada
perdarahan intraserebral yang luas biasanya muncul dalam 12 jam setelah
penanganan. Perdarahan potensial yang lain juga dapat muncul di traktus
gastrointestinal, traktus genitourinarius dan kulit terutama di sekitar
pemasangan intravenous line.
3. Komplikasi subakut, yaitu pneumonia, trombosis vena dalam dan emboli
pulmonal, infeksi traktus urinarius, luka dekubitus, kontraktur, spasme,
masalah sendi dan malnutrisi.
4. Beberapa orang yang selamat dari stroke juga mengalami depresi. Hal ini
dapat diatasi dengan identifikasi dan penanganan dini depresi pada pasien
untuk meningkatkan kualitas hidup penderita.

K. Prognosis
Angka kesembuhan pada perdarahan intraserebral bergantung pada
lokasi, ukuran, dan kecepatan perkembangan hematoma. Pasien dengan
hematoma kecil, berlokasi jauh ke dalam dan dekat dengan midline sering
diikuti dengan herniasi sekunder dan massa sehingga mortalitasnya tinggi.
Penyembuhan pasien dengan perdarahan intraserebral biasanya disertai defisit
neurologis.
Pasien dengan perdarahan subarahnoid masif sejak awal dapat berakhir
dengan kematian ataupun kerusakan otak. Namun jika perdarahan terbatas,
pasien dapat bertahan dengan resiko perdarahan ulangan pada beberapa
hari/minggu berikut setelah perdarahan subarahnoid pertama. Jika tidak di
terapi segera, perdarahan subarahnoid yang disebabkan oleh ruptur AVM
beresiko terhadap perdarahan ulangan pada 24 jam sesudahnya, 1-2 % 1
bulan sesudahnya, dan sebesar 3 % terjadi 3 bulan setelah serangan awal.
Evaluasi dan penanganan pasien dengan perdarahan subarahnoid harus segera
diberikan untuk mencegah prognosis buruk pasien.(12)

DAFTAR PUSTAKA
1. Feigin V. Pendahuluan. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan
Pemulihan Stroke. Jakarta: Penerbit PT Bhuana Ilmu Populer; 2006. p. xx-ii
2. Alfa AY, Soedomo A, Toyo AR, Aliah A, Limoa A, et al. Gangguan
Peredaran Darah Otak (GPDO) Dalam Harsono ed. Buku Ajar Neurologi
Klinis. Edisi 1. Yogyakarta: Gadjah Madya University Press; 1999. hal. 59-
107
3. Lombardo MC. Penyakit Serebrovaskular dan Nyeri Kepala Dalam: Price SA
eds. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 4th ed. Jakarta:
EGC; 1995. p. 961-79
4. Listiono, Djoko. L. Stroke Hemorhagik. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta : Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama ; 1998. pg 180-204.
5. Jauch CE. Acute Stroke Management [Online]. 2007 Apr 9 [cited 2007 June
8]; Available from: URL:hhtp://emedicine.com/neuro-vascular/topic334.htm
6. Lindsay KW, Bone I. Localised Neurological Disease and Its Management.
Neurology and Neurosurgery illustrated. London: Churchill Livingstone;
2004. p. 238-44
7. Feigin V. Memahami Faktor Resiko Stroke. Stroke Panduan Bergambar
Tentang Pencegahan dan Pemulihan Stroke. Jakarta: Penerbit PT Bhuana
Ilmu Populer; 2006. p. 22-43
8. Sacco RL, Toni D, Brainin M, Mohr JP. Classification Of Ischemic Stroke In:
Clinical Manifestation In: Mohr JP, Choi DW, Grotta JC, Weir B, Wolf PA
eds. Stroke Pathophysiology, Diagnosis, and Management.  4th ed.
Philadelphia: Churchill Livingstone; 2004. p 61-74
9. Feigin V. Memahami Stroke. Stroke Panduan Bergambar Tentang
Pencegahan dan Pemulihan Stroke. Jakarta: Penerbit PT Bhuana Ilmu
Populer; 2006. p. 8-17
10. Mardjono M, Sidharta P. Mekanisme Gangguan Vaskular Susunan Saraf
Pusat Dalam Mardjono M, Sidharta P eds. Neurologi Klinis Dasar. Edisi 9.
Jakarta: PT Dian Rakyat; 2003. hal. 269-92
11. Morgenstern LB. Medical Therapy of Intracerebral and Intraventricular
Hemorrhage In: Therapy In: Mohr JP, Choi DW, Grotta JC, Weir B, Wolf PA
eds. Stroke Pathophysiology, Diagnosis, and Management.  4th ed.
Philadelphia: Churchill Livingstone; 2004. p 1079-88
12. Caplan LR, Chung C-S. Neurovascular Disorders In: Goetz CG
eds. Textbook Of Clinical Neurology. 2nd ed. Chicago: Saunders; 1996. p.
991-1016
13. Georgiadis D, Schwab S, Werner H. Critical Care of The Patient with Acute
Stroke In: Therapy In: Mohr JP, Choi DW, Grotta JC, Weir B, Wolf PA eds.
Stroke Pathophysiology, Diagnosis, and Management.  4th ed. Philadelphia:
Churchill Livingstone; 2004. p. 987-1024
14. Mendelow AD. Intracerebral Hemorrage In: Therapy In: Mohr JP, Choi DW,
Grotta JC, Weir B, Wolf PA eds. Stroke Pathophysiology, Diagnosis, and
Management.  4th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2004. p. 1217-30
15. Hongo K, Nitta J, Kobayashi S.Cerebellar Infraction and Hemorrage In:
Therapy In: Mohr JP, Choi DW, Grotta JC, Weir B, Wolf PA eds. Stroke
Pathophysiology, Diagnosis, and Management.  4th ed. Philadelphia:
Churchill Livingstone; 2004. p 1459-66
16. Breneman J, Warnick R. Stereotactic Radiosurgery & Radiotherapy of the
Head [Online]. 2003 Sept [cited 2007 Agt 28]; Available from: URL:hhtp://
www.abta.org

Anda mungkin juga menyukai