Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

Luka gigit dapat disebabkan oleh hewan liar maupun hewan


peliharaan, atau manusia. Hewan liar yang biasanya menggigit adalah
hewan yang memang ganas dan pemakan daging, misalnya harimau,
singa, hiu, atau bila hewan itu terganggu atau terkejut, yaitu dalam usaha
membela diri. Bila hewan menggigit tanpa alasan jelas, harus dicurigai
kemungkinan hewan tersebut menderita penyakit yang mungkin menular
melalui gigitannya, misalnya rabies. Luka gigit dapat berupa luka tusuk
kecil atau luka compang camping luas yang berat (De Jong,2004).

Permasalahan yang ditimbulkan oleh luka gigitan atau sengatan


serangga adalah lukanya sendiri, kontaminasi bakteri atau virus, dan
reaksi alergi. Dalam penanggulangannya, perlu lebih dahulu diidentifikasi
hewan yang mengigit atau menyengat untuk perencanaan langkah
pertolongan (De Jong,2004).

Kasus gigitan ular merupakan masalah kesehatan masyarakat


yang sangat penting di berbagi negara, terutama di area pedesaan. Kasus
gigitan ular terbesar terjadi Asia Selatan dan Afrika, kurang lebih terjadi
25.000-30.000 kematian tiap tahunnya akibat gigitan ular (WHO,2005)
Jutaan kasus gigitan ular terabaikan tiap tahunnya karena kurangnya
antivenom (Winkel KD,2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi hal
tersebut diantaranya kurangnya manajemen komplikasi, transportasi,
peralatan rumah sakit dan pengetahuan masyarakat umum mengenai
pertolongan pertama. Hal ini menyebabkan tingginya angka kematian
akibat gigitan ular terutama di negara berkembang (McGain F,2004).
Korban gigitan ular terutama adalah populasi pedesaan, yang biasanya
tergigit saat mereka bekerja atau beraktivitas sehari-hari (A.K
Ansari,2000). Pemberian dini anti venom polivalen telah mengurangi

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 1


angka kesakitan dan kematian, meskipun pada beberapa pasien
menimbulkan reaksi anafilaksis. Pada masyarakat umum terutama pada
area pedesaan perlu mendapatkan edukasi mengenai bahaya dan
penatalaksanaan gigitan ular ( Hyatt,Atiff 2008).

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 2


BAB II

ILUSTRASI KASUS

II.1 Identitas Pasien


Nama : Tn A.N
No.MR : 989605
Usia : 50 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Alamat : Cikeas
Agama : Islam
Suku bangsa : Sunda

II.2 Anamnesis
Diambil secara : Autoanamnesa
Tgl : 2 Mei 2010
Jam : 23.00 WIB

a. Keluhan Utama
Gusi berdarah terus menerus sejak 9 jam sebelum masuk rumah
sakit.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien, laki-laki 50 tahun dibawa ke IGD RSUP Fatmawati
dengan keluhan gusi berdarah terus menerus sejak 9 jam sebelum
masuk rumah sakit. Sebelumnya, 1 hari sebelum masuk rumah
sakit (pukul 14.00 WIB) pasien digigit ular pada mata kaki kiri, saat
itu pasien sedang bekerja di kebun. Selain itu, pasien juga
mengeluh luka bekas gigitan ular yang berdarah terus menerus
sejak 14 jam sebelum masuk rumah sakit. Kaki kiri pasien juga
bengkak sampai lutut disertai nyeri terutama daerah sekitar luka.

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 3


Pasien baru menyadari kaki kiri bengkak sejak tadi pagi, sebelum
darah pada bekas luka gigitan ular mengalir terus menerus.
Pasien juga mengeluh demam, demam terus menerus
disertai keringat dingin, menggigil, kepala pusing, suhu tidak
diukur. Pasien menyangkal adanya mual ataupun muntah.
Menurut pasien, pasien digigit ular tanah berukuran 40 cm,
lebar 5 cm berwarna coklat kekuningan dan hitam belang-belang,
kepala gepeng menyerupai segitiga. Setelah digigit ular, kaki
pasien diikat kain pada bagian atas luka gigitan. Pasien kemudian
dibawa ke RSUD Depok, saat itu pasien mengeluh nyeri pada
daerah luka gigitan, kaki tidak bengkak, dan tidak berdarah terus
menerus. Pasien mendapatkan suntikan saat di RSUD Depok , dan
berencana dirujuk ke RSUP Fatmawati, namun pasien pulang
paksa setelah pasien tidak merasakan nyeri lagi pada daerah luka
gigitan. Di rumah, pasien memakai ramuan tradisional yang
ditempelkan pada daerah luka.
Pasien menyangkal adanya mimisan, muntah darah, sesak,
kelemahan kaki, kejang, BAB dan BAK normal seperti biasa,
berwarna kuning.
(Keterangan surat rujukan dari RSUD Depok : telah dilakukan cross
incision pada luka gigitan. Injeksi ATS , skin test (-), injeksi SABU
1,5 cc pada sekitar luka subkutan, drip SABU 1,5 cc dalam 500 cc
D5% 20 tpm, injeksi ketorolac 1 amp)
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat gigitan ular sebelumnya (-), Alergi (-), asma (-), hipertensi
(-). Diabetes Mellitus (-)
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Alergi (-), asma (-), hipertensi (-), Diabetes Mellitus (-)

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 4


II.3 Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Gizi : Kesan gizi baik
Tanda vital
Tekanan darah : 100 / 60 mmhg
Nadi : 88 kali / menit
Pernapasan : 20 kali /menit
Suhu tubuh : 37,3 oC
Kulit : warna sawo matang
Kepala : normochepali
Rambut : warna hitam diselingi uban distribusi merata
Wajah : simetris
Kulit : warna sawo matang, turgor baik,petekiae (-),
ekimosis (-)
Mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -/-
RCL / RCTL : +/+, ptosis (-)
Telinga : normotia
Hidung : sekret -/-, hiperemis -/-, darah (-)
Mulut : perdarahan gusi (+), mukosa lembab, pucat
Leher : trakea lurus di tengah, KGB tidak membesar

Paru :
Inspeksi : pergerakan dada simetris saat statis dan
dinamis
Palpasi : vokal fremitus teraba sama di kedua lapang
paru
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : suara napas vesikuler di kedua lapang paru,
rhonkii -/-, wheezing -/-

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 5


Jantung :
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V linea
midklavikula sinistra
Perkusi :
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas kiri : ICS V linea midklavikularis sinistra
Pinggang : ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I dan II regular, murmur
(-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : datar
Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defans
muscular (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+)
Ekstremitas : akral hangat (+), edema (+) non pitting pada
kaki kiri, perdarahan (+) pada kaki kiri, CRT <
2”, petekiae (-), Nyeri tekan (+) pada kaki kiri

b. Status Neurologis
Tanda Rangsang Meningeal (-)
Nervus cranial : parese (-)
Refleks fisiologis : +2/+2
Refleks patologis : -/-
Sensorik : baik
Motorik : motorik kaki kiri sulit dinilai karena nyeri
Otonom : baik

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 6


c. Status Lokalis
Regio malleolus lateral sinistra :
Look : tampak luka gigitan pada malleolus lateral sinistra
(fang marks),cross incision, edema (+), perdarahan
aktif (+),
Feel : Perabaan hangat, nyeri tekan (+), a.radialis (+),
a.dorsalis pedis (+),
Movement : Range of Movement terbatas karena nyeri

II.4 Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium 2 Mei 2010; 22:33
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai
Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 8 gr/dl 13 ,2 – 17,3
Hematokrit 23 % 33,0 – 45,0
Leukosit 11,1 ribu/ul 5,0 - 10,0
Trombosit 10 ribu/ul 150 – 440
Eritrosit 2,55 juta/ul 4,40 – 5,90
VER/HER/KHER/RDW
VER 90,2 Fl 80,0 -100,0
HER 31,4 Pg 26,0 – 34,0
KHER 34,8 gr/dl 32,0 – 36,0

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 7


RDW 12,8 % 11,5 – 14,5
Hitung jenis
Netrofil 91 % 50 – 70
Limfosit 8 % 20 – 40
Monosit 1 % 2–8
Fungsi Hati
SGOT 39 0-34
SGPT 30 0-40
Fungsi GInjal
Ureum 59 20-40
Kreatinin 1,1 0,6-1,5
Gula Sewaktu
Gula Darah Sewaktu 127 70,0 – 140,0
Elektrolit
Natrium 130 135 -147
Kalium 3,54 3,10 – 5,10
Klorida 104 95 - 108
Keterangan : PT, APTT sudah diulang 3 kali tidak terukur

b. Elektrokardiografi 2 Mei 2010


Sinus rhytm, HR 75 x/menit, normo axis, Gelombang P normal, P-R
interval 0,12, Kompleks QRS 0,08 s, ST depresi (-), ST elevasi (-), T
inverted (-) ,LVH (-), RVH (-), RBBB (-). LBBB (-)

Kesan EKG : normal

II.5 Resume
Pasien, laki-laki 50 tahun datang dengan keluhan gusi berdarah
terus menerus sejak 9 jam sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya,
1 hari sebelum masuk rumah sakit pasien digigit ular pada mata kaki
kiri. Nyeri dan perdarahan pada luka bekas gigitan (+), sejak 14 jam
SMRS, edema non pitting pada kaki kiri (+) sampai lutut, demam (+),
pusing (+)
Menurut pasien, pasien digigit ular tanah berukuran 40 cm,
lebar 5 cm berwarna coklat dan hitam belang-belang, kepala gepeng
menyerupai segitiga. Setelah digigit ular, kaki pasien diikat kain pada

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 8


bagian atas luka gigitan. Pasien kemudian dibawa ke RSUD Depok,
dan telah mendapatkan pertolongan pertama, namun pulang paksa.
Di rumah, pasien memakai ramuan tradisional yang ditempelkan pada
daerah luka.
Pemeriksaan Fisik
Tanda vital : dalam batas normal
Status Generalis : konjungtiva anemi (+), perdarahan gusi (+), edema
pada tungkai kiri (+), fang marks (+) dan perdarahan (+) pada kaki kiri.
Status lokalis :
Regio malleolus lateral sinistra :
Look : tampak luka gigitan pada malleolus lateral sinistra
(fang marks),cross incision, edema (+), perdarahan
aktif (+)
Feel : Perabaan hangat, nyeri tekan (+), a.radialis (+),
a.dorsalis pedis (+),
Movement : Range of Movement terbatas karena nyeri
Status neurologis : dalam batas normal
Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan laboratorium darah : anemia, trombositopeni, leukositois,
peningkatan ureum dan enzim transaminase hati
Pemeriksaan EKG : dalam batas normal
II.6 Diagnosis Kerja
Snake Bite Grade III

II.7 Penatalaksanaan
- Bed Rest : Rawat ICU
- Observasi tanda vital, perdarahan, tanda compartment syndrome
- Perawatan luka
- UMU BC seimbang
- IVFD NaCl 0,9% 500 cc + SABU 5 vial/ 8 jam
- O2 nasal kanul 2 liter / menit

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 9


- Metronidazole 3 x 500 mg
- Ceftriaxon 2 x 1 gram

II.8. Pemeriksaan Penunjang


- Pemeriksaan Hemostasis / 8jam
- Analisa gas darah
- Urinalisa

II.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : bonam

II.10 Follow Up

1. 3 Mei 2010, pukul 19:00 WIB (ICU-hari rawat :I)


S : Nyeri pada luka gigitan (+), perdarahan gusi (+), sesak (-),
kesemutan (-), kelemahan kaki (-), BAB dan BAK normal seperti
biasa, warna kuning.

O : Tanda Vital :

TD : 100/70 mmHg; N : 88 x/menit; S: 36,7 C; P :20 x/menit

Status Generalis

Mata : CA +/+, SI -/-, RCL+/+, RCTL +/+

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 10


Hidung : sekret -/-

Mulut : perdarahan gusi (+), pucat, sianosis(-), mukosa lembab

Leher : KGB tidak teraba membesar

Thorak : Cor : SI-II reg, m(-),gallop(-)

Pulmo : Sn Vesi, Rh-/-,wh-/-

Abdomen : datar, supel, NT (-),BU (+)normal

Ekstremitas : akral hangat (+),petekiae (-) , edema (-/+)

Status neurologis

Tanda rangsang meningeal (-)

N.kranial : parese (-)

Refleks fisiologis : +2/+2

Refleks patologis : -/-

Sensorik ; baik

Motorik : kaki kiri tidak bisa diperiksa karena nyeri

Otonom : BAK : terpasang kateter, keringat minimal

Status Lokalis : Regio malleolus lateral sinistra

L : Luka terbalut perban, rembesan darah (+), perdarahan aktif (+),


edema (+) sampai cruris sinistra

F : Perabaan hangat, permukaan kulit tegang, nyeri tekan (+),


a.radialis (+), a.dorsalis pedis (+)
M: ROM terbatas karena nyeri
Balance Cairan : input : 3160
Output : 2409
BC : +751

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 11


Laboratorium 3 Mei 2010

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai


Rujukan
Hemostasis
INR memanjang
Fibrinogen memanjang
Kontrol 296,0
Thrombotest memanjang
D-dimer memanjang
Keterangan : hemostasis tidak terukur
Analisa Gas Darah
pH 7,449 7,37 – 7,440
pCO2 30,6 35,0 – 45,0
pO2 127,2 83 – 108
BP 748,0 -
HCO3 20,7 21,0 – 28,0
Saturasi O2 98,7 95,0 – 99.0
BE -2,1 -2,5 -2,5
Total CO2 21,7 19,0 – 24,0

A : Snake Bite Grade III


P:
- O2 nasal kanul 2 liter /menit
- IVFD Triofusin 500;20 cc/jam
- SABU 5 amp dalam 100 cc D5%
- Picyn 2x 1,5 gram (hari I)
- Metronidazole 3 x 500 mg (hari I)
- Kalmethason 3 x 1 amp

- Ranitidin 2 x1 amp
- Vitamin C 2 x 200 mg
- N 5000 1 x 1 mg
- Transfusi PRC 500 cc
- Transfusi TC 10U
- Cek hemostasis dan darah perifer lengkap ulang

2. 4 Mei 2010 (ICU, hari rawat : II)


S : Nyeri pada luka gigitan (+), perdarahan gusi (-),kaki bengkak (+),
muncul lenting pada kaki kiri, sesak (-), kesemutan (-), kelemahan
kaki (-), BAB dan BAK normal seperti biasa, warna kuning

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 12


O : Tanda Vital :

TD : 114/60 mmHg; N : 80 x/menit; S: 37,5 C; P :20 x/menit

Status Generalis

Mata : CA +/+, SI -/-, RCL+/+, RCTL +/+

Hidung : sekret -/-

Mulut : perdarahan gusi (-), pucat, sianosis(-), mukosa lembab

Leher : KGB tidak teraba membesar

Thorak : Cor : SI-II reg, m(-),gallop(-)

Pulmo : Sn Vesi, Rh-/-,wh-/-

Abdomen : datar, supel, NT (-),BU (+)normal

Ekstremitas : akral hangat (+),petekiae (-) , edema (-/+)

Status neurologis

Tanda rangsang meningeal (-)

n.kranial : parese (-)

Refleks fisiologis : +2/+2

Refleks patologis : -/-

Sensorik ; baik

Motorik : kaki kiri tidak diperiksa karena nyeri

Otonom : BAK : terpasang kateter,keringat minimal

Status Lokalis : malleolus lateral sinistra

L : Luka terbalut perban, rembesan darah (-), perdarahan aktif (-),


edema (+) sampai cruris sinistra, bullae (+)

F : Perabaan hangat, permukaan kulit tegang, nyeri tekan (+),


a.radialis (+), a.dorsalis pedis (+), edema (+)
M: ROM terbatas karena nyeri

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 13


Balance Cairan : input : 3330

Output : 3050
BC : +280

Laboratorium 4 Mei 2010

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai


Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 4,4 gr/dl 13 ,2 – 17,3
Hematokrit 13 % 33,0 – 45,0
Leukosit 6,6 ribu/ul 5,0 - 10,0
Trombosit 5 ribu/ul 150 – 440
Eritrosit 1,40 juta/ul 4,40 – 5,90
VER/HER/KHER/RDW
VER 91,4 Fl 80,0 -100,0
HER 31,4 Pg 26,0 – 34,0
KHER 34,4 gr/dl 32,0 – 36,0
RDW 13,6 % 11,5 – 14,5
Hitung jenis
Netrofil 82 % 50 – 70
Limfosit 16 % 20 – 40
Monosit 2 % 2–8
Fungsi GInjal
Ureum 44 20-40
Kreatinin 1,0 0,6-1,5
Gula Sewaktu
Gula Darah Sewaktu 114 70,0 – 140,0
Elektrolit
Natrium 130 135 -147
Kalium 3,54 3,10 – 5,10
Klorida 104 95 - 108
Analisa Gas Darah
pH 7,549 7,37 – 7,440
pCO2 37,2 35,0 – 45,0
pO2 160,4 83 – 108
BP 750 -
HCO3 31,7 21,0 – 28,0
Saturasi O2 99,3 95,0 – 99.0
BE -8,9 -2,5 -2,5
Total CO2 21,7 19,0 – 24,0
Fungsi Hati
SGOT 38 0-34

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 14


SGPT 27 0-40
Protein total 5,10 6,0-8,0
Albumin 2,90 3,4 – 4,8
Globulin 2,20 2,5 – 3,0
Bilirubin total 0,30 0-1,0
Bilirubin direk 0,10 <0.2
Bilirubin indirek 0,20 ,<0,60
Fosfatase alkali 55 30-140
Hemostasis
D-dimer 3,90 (memanjang)

A : Snake Bites Grade III


P:
- O2 nasal kanul 2liter /menit
- IVFD Tiofusin 500;20 cc/jam
- SABU 5 amp dalam 100 cc NaCl
- Picyn 2x 1,5 gram (hari II)
- Metronidazole 3 x 500 mg (hari II)
- Dexametason 3 x 1 amp
- Ranitidin 2 x1 amp
- Vitamin C 2 x 200
- N 5000 1 x 1 mg
- Transfusi PRC 250 cc
- Transfusi TC 7U
- Transfusi FFP 500 cc
- Cek hemostasis dan darah perifer lengkap ulang

3. 5 Mei 2010 (ICU; hari rawat : III)


S : Nyeri pada luka gigitan (+) berkurang , kaki bengkak berkurang (+),
perdarahan gusi (-), sesak (-), kesemutan (-), kelemahan kaki (-),
BAB dan BAK normal seperti biasa, warna kuning

O : Tanda Vital :

TD : 108/60 mmHg; N : 84 x/menit; S: 36,9 C; P :18 x/menit

Status Generalis

Mata : CA +/+, SI -/-, RCL+/+, RCTL +/+

Hidung : sekret -/-

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 15


Mulut : perdarahan gusi (-), pucat, sianosis(-), mukosa lembab

Leher : KGB tidak teraba membesar

Thorak : Cor : SI-II reg, m(-),gallop(-)

Pulmo : Sn Vesi, Rh-/-,wh-/-

Abdomen : datar, supel, NT (-),BU (+)normal

Ekstremitas : akral hangat (+),petekiae (-) , edema (-/+)

Status neurologis

Tanda rangsang meningeal (-)

n.kranial : parese (-)

Refleks fisiologis : +2/+2

Refleks patologis : -/-

Sensorik ; baik

Motorik : kaki kiri sulit diperiksa karena nyeri

Otonom : BAK: terpasang kateter

Status Lokalis : malleolus lateral sinistra

L : Luka terbalut perban, rembesan darah (-), perdarahan aktif (-)


,bullae (+)

F : Perabaan hangat, permukaan kulit tegang, nyeri tekan (+),


a.radialis (+), a.dorsalis pedis (+), edema (+)
M: ROM terbatas karena nyeri
Balance Cairan : input : 2710
Output : 3170
BC : - 460

Laboratorium 5 Mei 2010

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai


Rujukan
Hematologi

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 16


Hemoglobin 6,2 gr/dl 13 ,2 – 17,3
Hematokrit 18 % 33,0 – 45,0
Leukosit 6,9 ribu/ul 5,0 - 10,0
Trombosit 55 ribu/ul 150 – 440
Eritrosit 2,10 juta/ul 4,40 – 5,90
VER/HER/KHER/RDW
VER 86,7 Fl 80,0 -100,0
HER 29,8 Pg 26,0 – 34,0
KHER 34,1 gr/dl 32,0 – 36,0
RDW 15,7 % 11,5 – 14,5
Hitung jenis
Netrofil 86 % 50 – 70
Limfosit 13 % 20 – 40
Monosit 1 % 2–8
Fungsi GInjal
Ureum 39 20-40
Kreatinin 1,0 0,6-1,5
Gula Sewaktu
Gula Darah Sewaktu 164 70,0 – 140,0
Elektrolit
Natrium 140 135 -147
Kalium 4,27 3,10 – 5,10
Klorida 93 95 - 108
Analisa Gas Darah
pH 7,437 7,37 – 7,440
pCO2 44,3 35,0 – 45,0
pO2 110,9 83 – 108
BP 751 -
HCO3 29,2 21,0 – 28,0
Saturasi O2 98,2 95,0 – 99.0
BE 4,3 -2,5 -2,5
Total CO2 30,6 19,0 – 24,0
Hemostasis
APTT 36,4 29 – 40,2
Kontrol 39,2
PT 13,8 10,4 – 12,6
Kontrol 12,5
INR 1,17
Fibrinogen 54 200-400
Kontrol 284
D-dimer 900

A : Snake Bites Grade III

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 17


P:

- O2 nasal kanul 2liter /menit


- IVFD Tiofusin 500;20 cc/jam
- SABU 5 amp dalam NaCl 500 cc
- Picyn 2x 1,5 gram (hari III)
- Metronidazole 3 x 500 mg (hari III)
- Dexametason 3 x 1 amp
- Ranitidin 2 x1 amp
- Vitamin C 2 x 200
- N 5000 1 x 1 mg
- Transfusi PRC 500 cc
- Transfusi Cryopresipitat 5 kantong
- Cek hemostasis, analisa gas darah dan darah perifer lengkap
ulang

4. 6 Mei 2010 (ICU : hari rawat : IV)


S : Nyeri pada luka gigitan (+) berkurang , kaki bengkak berkurang (+),
lenting pada kaki berkurang, perdarahan gusi (-), sesak (-),
kesemutan (-), kelemahan kaki (-), BAB dan BAK normal seperti
biasa, warna kuning

O : Tanda Vital :

TD : 125/75 mmHg; N : 60 x/menit; S: 36,3 C; P :20 x/menit

Status Generalis

Mata : CA +/+, SI -/-, RCL+/+, RCTL +/+

Hidung : sekret -/-

Mulut : perdarahan gusi (-), pucat, sianosis(-), mukosa lembab

Leher : KGB tidak teraba membesar

Thorak : Cor : SI-II reg, m(-),gallop(-)

Pulmo : Sn Vesi, Rh-/-,wh-/-

Abdomen : datar, supel, NT (-),BU (+)normal

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 18


Ekstremitas : akral hangat (+),petekiae (-) , edema (-/+)

Status neurologis

Tanda rangsang meningeal (-)

n.kranial : parese (-)

Refleks fisiologis : +2/+2

Refleks patologis : -/-

Sensorik ; baik

Motorik : kaki kiri sulit diperiksa karena nyeri

Otonom : BAK : terpasang kateter

Status Lokalis : malleolus lateral sinistra

L : Luka terbalut perban, rembesan darah (-), perdarahan aktif (-),


bullae (-)

F : Perabaan hangat, NT (+), perabaan kulit tegang,a.radialis (+),


a.dorsalis pedis (+), edema (+) minimal
M: ROM terbatas karena nyeri
Balance Cairan : input : 2030
Output : 1800
BC : - 230

Laboratorium 6 Mei 2010

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai


Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 7,8 gr/dl 13 ,2 – 17,3
Hematokrit 22 % 33,0 – 45,0
Leukosit 10,7 ribu/ul 5,0 - 10,0
Trombosit 84 ribu/ul 150 – 440
Eritrosit 2,62 juta/ul 4,40 – 5,90
VER/HER/KHER/RDW
VER 84,0 Fl 80,0 -100,0
HER 29,8 Pg 26,0 – 34,0

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 19


KHER 35,5 gr/dl 32,0 – 36,0
RDW 12,8 % 11,5 – 14,5
Hitung jenis
Netrofil 90 % 50 – 70
Limfosit 8 % 20 – 40
Monosit 2 % 2–8
Fungsi GInjal
Ureum 59 20-40
Kreatinin 0,9 0,6-1,5
Gula Sewaktu
Gula Darah Sewaktu 122 70,0 – 140,0
Analisa Gas Darah
pH 7,486 7,37 – 7,440
pCO2 40,3 35,0 – 45,0
pO2 118,5 83 – 108
BP 750 -
HCO3 29,5 21,0 – 28,0
Saturasi O2 98,6 95,0 – 99.0
BE 5,7 -2,5 -2,5
Total CO2 30,8 19,0 – 24,0
Hemostasis
APTT 40,1 29 – 40,2
Kontrol 36,3
PT 13,7 10,4 – 12,6
Kontrol 12,7
INR 1,16
Fibrinogen 56 200-400
Kontrol 296
D-dimer 800

A : Snakes Bites Grade III

P:

- O2 nasal kanul 2liter /menit


- IVFD Tiofusin 500;20 cc/jam
- SABU 5 amp dalam 250 cc NaCl
- Picyn 2x 1,5 gram (hari IV)
- Metronidazole 3 x 500 mg (hari IV)
- Ranitidin 2 x1 amp
- Vitamin C 2 x 200

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 20


- Dexametason 3 x 1 amp
- N 5000 1 x 1 mg
- Transfusi PRC 500 cc
- Cek hemostasis, analisa gas darah dan darah perifer lengkap
ulang

5. 7 Mei 2010 ( Ruang Rawat IPD ; hari rawat :V)


S : Nyeri pada luka gigitan (+) berkurang , kaki bengkak berkurang (+),
perdarahan gusi (-), sesak (-), kesemutan (-), kelemahan kaki (-),
BAB dan BAK normal seperti biasa, warna kuning

O : Tanda Vital :

TD : 125/70 mmHg; N : 64 x/menit; S: 36,5 C; P :20 x/menit

Status Generalis

Mata : CA +/+, SI -/-, RCL+/+, RCTL +/+

Hidung : sekret -/-

Mulut : perdarahan gusi (-), pucat, sianosis(-), mukosa lembab

Leher : KGB tidak teraba membesar

Thorak : Cor : SI-II reg, m(-),gallop(-)

Pulmo : Sn Vesi, Rh-/-,wh-/-

Abdomen : datar, supel, NT (-),BU (+)normal

Ekstremitas : akral hangat (+),petekiae (-) , edema (-/+)

Status neurologis

Tanda rangsang meningeal (-)

n.kranial : parese (-)

Refleks fisiologis : +2/+2

Refleks patologis : -/-

Sensorik ; baik

Motorik : baik

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 21


Otonom : BAK : terpasang kateter, keringat (+)

Status Lokalis : malleolus lateral sinistra

L : Luka terbalut perban, rembesan darah (-), perdarahan aktif (-),


bulla(-). Edema minimal

F : nyeri tekan (+), a.radialis (+), a.dorsalis pedis (+), edema (+)
minimal
M: ROM terbatas karena nyeri

Laboratorium 7 Mei 2010

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai


Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 9,7 gr/dl 13 ,2 – 17,3
Hematokrit 28 % 33,0 – 45,0
Leukosit 8,1 ribu/ul 5,0 - 10,0
Trombosit 98 ribu/ul 150 – 440
Eritrosit 3,28 juta/ul 4,40 – 5,90
VER/HER/KHER/RDW
VER 84,8 Fl 80,0 -100,0
HER 29,6 Pg 26,0 – 34,0
KHER 34,9 gr/dl 32,0 – 36,0
RDW 14,9 % 11,5 – 14,5
Hitung jenis
Netrofil 88 % 50 – 70
Limfosit 10 % 20 – 40
Monosit 1 % 2–8
Fungsi GInjal
Ureum 57 20-40
Kreatinin 1,0 0,6-1,5
Gula Sewaktu
Gula Darah Sewaktu 142 70,0 – 140,0
Analisa Gas Darah
pH 7,455 7,37 – 7,440
pCO2 45,2 35,0 – 45,0
pO2 85,3 83 – 108
BP 749 -
HCO3 31,1 21,0 – 28,0
Saturasi O2 96,8 95,0 – 99.0
BE 6,2 -2,5 -2,5
Total CO2 32,5 19,0 – 24,0

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 22


Elektrolit
Natrium 137 135 -147
Kalium 3,57 3,10 – 5,10
Klorida 98 95 - 108

A : Riwayat Snakes Bites Grade III

P:

- pindah ruangan rawat IPD


- O2 nasal kanul 2liter /menit
- IVFD Tiofusin 500;20 cc/jam
- Picyn 2x 1,5 gram (hari V)
- Metronidazole 3 x 500 mg ( hari V)
- Dexametason 3 x 1 amp
- Ranitidin 2 x1 amp
- Vitamin C 2 x 200
- N 5000 1 x 1 mg
- Cek hemostasis, analisa gas darah dan darah perifer lengkap
ulang

6. 8 Mei 2010 (Ruang Rawat IPD; hari rawat :VI)


S : Nyeri pada luka gigitan (+) berkurang , kaki bengkak berkurang (+),
perdarahan gusi (-), sesak (-), kesemutan (-), kelemahan kaki (-),
BAB dan BAK normal seperti biasa, warna kuning

O : Tanda Vital :

TD : 110/80 mmHg; N : 72 x/menit; S: 36,5 C; P :20 x/menit

Status Generalis

Mata : CA +/+, SI -/-, RCL+/+, RCTL +/+

Hidung : sekret -/-

Mulut : perdarahan gusi (-), pucat, sianosis(-), mukosa lembab

Leher : KGB tidak teraba membesar

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 23


Thorak : Cor : SI-II reg, m(-),gallop(-)

Pulmo : Sn Vesi, Rh-/-,wh-/-

Abdomen : datar, supel, NT (-),BU (+)normal

Ekstremitas : akral hangat (+),petekiae (-) , edema (-/+)

Status neurologis

Tanda rangsang meningeal (-)

n.kranial : parese (-)

Refleks fisiologis : +2/+2

Refleks patologis : -/-

Sensorik ; baik

Motorik : baik

Otonom : baik

Status Lokalis : malleolus lateral sinistra

L : Luka terbalut perban, rembesan darah (-), perdarahan aktif (-),


bullae (-), edema minimal

F : nyeri tekan (+), a.radialis (+), a.dorsalis pedis (+), edema (+)
minimal
M: ROM terbatas karena nyeri

Balance Cairan : input : 1800


Output : 1300
BC : +500

A : Riwayat Snakes Bites grade III

P:
- IVFD Nacl 500 cc/ 8jam
- Picyn 2x 1,5 gram (hari VI)
- Metronidazole 3 x 500 mg (hari VI)
- Transfusi PRC 500 cc

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 24


- Cek hemostasis, analisa gas darah dan darah perifer lengkap
ulang
- UMU BC Seimbang

7. 10 Mei 2010 (ruang Rawat IPD; hari rawat : VII)


S : Keluhan (-)

O : Tanda Vital :

TD : 110/80 mmHg; N : 80 x/menit; S: 36,9 C; P :20 x/menit

Status Generalis

Mata : CA +/+, SI -/-, RCL+/+, RCTL +/+

Hidung : sekret -/-

Mulut : perdarahan gusi (-), pucat, sianosis(-), mukosa lembab

Leher : KGB tidak teraba membesar

Thorak : Cor : SI-II reg, m(-),gallop(-)

Pulmo : Sn Vesi, Rh-/-,wh-/-

Abdomen : datar, supel, NT (-),BU (+)normal

Ekstremitas : akral hangat (+),petekiae (-) , edema (-/+)

Status neurologis

Tanda rangsang meningeal (-)

n.kranial : parese (-)

Refleks fisiologis : +2/+2

Refleks patologis : -/-

Sensorik ; baik

Motorik : baik

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 25


Otonom : baik

Status Lokalis : malleolus lateral sinistra

L : Luka terbalut perban, rembesan darah (-), perdarahan aktif (-)

F : Perabaan hangat, nyeri tekan (+), a.radialis (+), a.dorsalis pedis


(+), edema (-)
M: ROM terbatas karena nyeri
Balance Cairan : input : 1800
Output : 1800
BC : 0

Laboratorium 10 Mei 2010

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai


Rujukan
Hemostasis
APTT 31,7 29 – 40,2
Kontrol 29,0
PT 13,0 10,4 – 13,0
Kontrol 13,8
INR 1,10
Fibrinogen 251 200-400
Kontrol 273
D-dimer 2300 <300
Fungsi Ginjal
Ureum Darah 54 20-40
Kreatinin Darah 0,9 0,6-1,5
Elektrolit
Natrium 140 135 -147
kalium 3,50 3,10 – 5,10
Klorida 99 95 - 108

A : Riwayat snakes bites grade III


P : -IVFD Nacl 500 cc/ 8jam
- Picyn 2x 1,5 gram (hari VII)
- Metronidazole 3 x 500 mg (hari VII)
- UMU BC Seimbang

8. 12 Mei 2010 (Ruang Rawat IPD; hari rawat :VIII)

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 26


S : keluhan (-)

O : Tanda Vital :

TD : 120/80 mmHg; N : 72 x/menit; S: 36,5 C; P :18 x/menit

Status Generalis

Mata : CA +/+, SI -/-, RCL+/+, RCTL +/+

Hidung : sekret -/-

Mulut : perdarahan gusi (-), pucat, sianosis(-), mukosa lembab

Leher : KGB tidak teraba membesar

Thorak : Cor : SI-II reg, m(-),gallop(-)

Pulmo : Sn Vesi, Rh-/-,wh-/-

Abdomen : datar, supel, NT (-),BU (+)normal

Ekstremitas : akral hangat (+),petekiae (-) , edema (-/-)

Status Lokalis : malleolus lateral sinistra

L : Luka terbalut perban, rembesan darah (-), perdarahan aktif (-),


bullae (-)

F : nyeri tekan (+) berkurang, a.radialis (+), a.dorsalis pedis (+),


edema (-)
M: ROM terbatas karena nyeri

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai


Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 11,0 gr/dl 13 ,2 – 17,3
Hematokrit 32 % 33,0 – 45,0
Leukosit 9,4 ribu/ul 5,0 - 10,0
Trombosit 316 ribu/ul 150 – 440
Eritrosit 3,71 juta/ul 4,40 – 5,90
VER/HER/KHER/RDW
VER 85,4 Fl 80,0 -100,0
HER 29,6 Pg 26,0 – 34,0
KHER 34,7 gr/dl 32,0 – 36,0

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 27


RDW 15,1 % 11,5 – 14,5
Hitung jenis
Netrofil 75 % 50 – 70
Limfosit 21 % 20 – 40
Monosit 4 % 2–8

A:
Anemia ec perdarahan
Riwayat Snakes Bites grade III perbaikan

P:
- IVFD Nacl 500 cc/ 8jam
- Picyn 2x 1,5 gram (hari VIII)
- Metronidazole 3 x 500 mg (hari VIII)
- Cek hemostasis, analisa gas darah dan darah perifer lengkap
ulang
- UMU BC Seimbang

9. 14 Mei 2010 (Ruang Rawat IPD; hari rawat :X)


S : keluhan (-)

O : Tanda Vital :

TD : 130/80 mmHg; N : 80 x/menit; S: 36,8 C; P :20 x/menit

Status Generalis

Mata : CA +/+, SI -/-, RCL+/+, RCTL +/+

Hidung : sekret -/-

Mulut : perdarahan gusi (-), pucat, sianosis(-), mukosa lembab

Leher : KGB tidak teraba membesar

Thorak : Cor : SI-II reg, m(-),gallop(-)

Pulmo : Sn Vesi, Rh-/-,wh-/-

Abdomen : datar, supel, NT (-),BU (+)normal

Ekstremitas : akral hangat (+),petekiae (-) , edema (-/-)

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 28


Status Lokalis : malleolus lateral sinistra

L : Luka terbalut perban, rembesan darah (-), perdarahan aktif (-),


bullae (-)

F : Perabaan hangat, nyeri tekan (+), a.radialis (+), a.dorsalis pedis


(+), edema (-)
M: ROM terbatas karena nyeri
A:
Anemia ec perdarahan
Riwayat Snakes Bites grade III perbaikan

P:
- Picyn 2x 1,5 gram
- Metronidazole 3 x 500 mg
- Ranitidin 2 x1 amp
- Rencana pulang – kontrol poliklinik IPD

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Gigitan Ular

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 29


Terdapat lebih dari 3000 spesies ular di seluruh dunia dan 375
diantaranya merupakan ular berbisa (Jurkovich,2006). Ular merupakan
jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies ular dapat
dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Sebenarnya dari kira-
kira ratusan jenis ular yang diketahui, hanya sedikit sekali yang berbisa,
ular berbahaya bila ularnya tergolong jenis berbisa dan dari golongan ini
hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia (De Jong,2004).

Ular berbisa sebagian besar termasuk dalam famili Colubridae,


tetapi pada umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular
yang termasuk famili ini adalah ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali
(Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan ular
serasah (Sibynophis geminatus). Ular berbisa kuat yang terdapat di
Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae, Hydropiidae, atau
Viperidae. Famili Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen.
Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora
intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja
sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus hannah). Famili Viperidae
memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian rahang
atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada
dua subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Famili
Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit
organ), yang terletak di antara lubang hidung dan mata. Beberapa contoh
Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma
rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris)(WHO,2005).

Ular berbisa memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas.


Pada taring tersebut terdapat saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke
dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau intramuskular.

Tanda umum ular berbisa adalah kepalanya berbentuk segitiga.


Tanda lain dari penampakan langsung, misalnya corakan kulitnya. Dari

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 30


bekas gigitan dapat dilihat adanya lubang yang jelas akibat dua gigi taring
atas bila ularnya berbisa, dan deretan bekas gigi kecil-kecil berbentuk U
bila ularnya tidak berbisa (De Jong,2004).

Tabel 1. Perbedaan ular berbisa dan tidak berbisa

No Ular tak berbisa Ular berbisa


1. Bentuk kepala Segiempat panjang Segitiga
2. Gigi taring Gigi kecil Dua gigi taring besar di
rahang atas
3. Bekas gigitan Luka halus di sepanjang Dua luka gigitan utama
lengkungan bekas akibat gigi taring yang
gigitan berbisa.

III.2 Epidemiologi

Tiap tahunnya dilaporkan 300.000 kasus gigitan ular berbisa yang


bertanggung jawab terhadap 30.000 kematian di seluruh dunia. Di
Amerika Serikat, kurang lebih terjadi 45.000 kasus gigitan ular dengan
7000 kasus disebabkan oleh ular berbisa dan menyebabkan 14-20 tahun
kematian tiap tahunnya.. Namun, masih banyak kasus gigitan ular yang
tidak dilaporkan, karena beberapa korban tidak datang ke pusat
kesehatan untuk mendapatkan terapi. Gigitan ular lebih umum terjadi di

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 31


wilayah tropis dan di daerah dimana pekerjaan utamanya adalah
agrikultural. Di daerah – daerah ini sejumlah besar orang hidup
berdampingan bersama sejumlah besar ular. Orang-orang yang digigit
oleh ular dikarenakan memegang atau bahkan menyerang ular
merupakan penyebab yang signifikan di Amerika Serikat. Diperkirakan
ada 45.000 gigitan ular per tahun di Amerika Serikat, terbanyak pada
musim panas, sekitar 8000 digigit oleh ular berbisa (Jurkovich, 2006).

III.3 Patogenesis dan Patofisiologi

Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk


melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem
pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang
dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa
merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap
bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri
atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks,
terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.

Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga


pengaruhnya tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis
toksin saja. Venom yang sebagian besar (90%) adalah protein, terdiri dari
berbagai macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein non-toksik.
Berbagai logam seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti
ecarin (suatu enzim prokoagulan dari E.carinatus, venom yang
mengaktivasi protombin). Karbohidrat dalam bentuk glikoprotein seperti
serine protease ancord merupakan prokoagulan dari C.rhodostoma
venom (menekan fibrinopeptida-A dari fibrinogen dan dipakai untuk
mengobati kelainan trombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5-
hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam jumlah dan variasi yang besar
pada Viperidae bertanggungjawab terhadap timbulnya rasa nyeri pada

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 32


gigitan ular. Sebagian besar bisa ular mengandung fosfolipase A yang
bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis,
kerusakan endotel vaskular pada hemolisis sekunder dari efek esterolitik
pada membran eritrosit dan menyebabkan nekrosis otot. Hyaluronidase
akan merusak mukopolisakarida sehingga memungkinkan bisa ular dapat
menyebar dengan cepat melalui jaringan subkutan. Enzim venom lain
seperti fosfoesterase, ATP-ase, 5-nuklotidase, kolinesterase, protease,
RNA-ase, dan DNA-ase yang menyebabkan destruksi jaringan lokal,
bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau pelepasan
histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis (De Jong, 2004).

Berdasarkan sifatnya pada tubuh manusia, bisa ular dapat dibedakan


menjadi :
a. Bisa hemotoksik,
Bisa hemotoksik bermanifestasi berupa perdarahan spontan yang
terus menerus dari tempat gigitan atau dari akses intravena, bisa
berupa ekimosis terutama daerah yang mendapat tekanan dan
perdarahan pada mukosa seperti perdarahan gusi, ekimosis
konjungtiva, epitaksis, hemoptisis, hematemesis dan hematuria
(Djunaedi,2006). Apabila tidak terlihat manifestasi apapun pada
saat awal pemeriksaan fisik, lakukan “twenty minute whole blood
clotting test” yaitu dengan mengambil 5 cc darah dan didiamkan
selam 20 menit, kemudian amati apakah terdapat pembentukan
bekuan darah. Apabila bukti hematoksik terlihat nyata, evaluasi
kemungkinan adanya perdarahan intrakranial, perdarahan
intraperitoneal, perdarahan gastrointestinal, perdarahahan
menstruasi yang berlebihan dan perdarahan intramuskular yang
mungkin muncul sebagai sindrom kompartemen karena penekanan
beberapa syaraf dan pembuluh darah. Pengukuran urine per jam
dan hemoglobin pada urin diperlukan untuk mempertimbangkan

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 33


manajemen cairan dan elektrolit misalnya : overload cairan dan
hiperkalemia (Rana, 2003).

b. Bisa Neurotoksik
Bisa neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf pusat
maupun perifer. bisa ular merusak dan melumpuhkan jaringan-
jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-
jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar
luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrosis) serta
menyebabkan paralisis transmisi saraf ke otot dan pada kasus
terburuk paralisis melibatkan otot-otot menelan dan pernafasan.
Penyebaran bisa selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat
dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf
pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh,
ialah melalui pembuluh limfe. Untuk mengetahui manifestasi
neurotoksik dapat dilakukan pemeriksaan kekuatan otot dan sistem
pernapasan pasien. (Rana, 2003). Manifestasi neurotoksik
diantaranya Hiperonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan,
ptosis, oftalmoplegi, paralisis otot laring, refelek abnormal, kejang
dan koma (Djunaedi, 2006).

c. Bisa Kardiotoksik
Untuk mengetahui efek kardiotoksik dapat dilakukan pemeriksaan
denyut jantung, tekanan darah, hipotensi postural, disritmia dan
elektrokardiogram. Penilaian akan sulit dilakukan apabila pasien
ketakutan, panik, dehidrasi, kehilangan volume intravaskular dan
hipovolemi karena perdarahan akibat hematotoksik, semua hal
tersebut akan mempengaruhi sistem kardiovaskular. Manifestasi
koardiotoksik berupa takikardi, disritmia, hipotensi dan miokarditis.

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 34


Manifestasi kardiotoksik sendiri sangat jarang, biasanya disertai
hematotoksik dan nekrosis lokal. (Rana, 2003 dan Djunaedi, 2006).

d. Nekrosis lokal
Manifestasi nekrosis lokal berupa pembengkakan dan nyeri yang
semakin memburuk serta darah yang terus mengalir dari tempat
gigitan ular. Lakukan penilaian terhadap adanya sindrom
kompartemen akibat gangguan suplai vaskular dan persarafan.
(Rana, 2003 dan Djunaedi, 2006).

Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung


pada spesies, ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik
gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring menusuk kulit), serta
banyaknya serangan yang terjadi.

III.4 Tanda dan Gejala


Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan
bisa pada korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa
yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat,
tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan
tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang
menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan
tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks),
nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah
bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan (terutama
akibat gigitan ular dari famili Viperidae).

III.5 Diagnosis
a. Anamnesis

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 35


Anamnesis sebaiknya mendapatkan informasi mengenai
pada bagian tubuh mana pasien mendapatkan gigitan ular, kapan
pasien mendapatkan gigitan, dimana pasien mendapatkan gigitan
ular. Perlu dilakukan anamnesis mengenai deskripsi ular,
pertolongan pertama yang didapat, mengetahui alergi dan
komorbiditasnya, riwayat digigit ular, dan antibisa. Beberapa hal
yang bisa dijadikan petunjuk apakah pasien mengalami keracunan
berat diantaranya : Diketahui jenis ular yang menggigit adalah ular
berbisa, perluasan yang cepat dari pembengkakan lokal pada
tempat gigitan, pembesaran kelenjar getah bening yang makin
meluas dan nyeri (mengindikasikan penyebaran bisa ular ke sistem
limfe), gejala sistemik awal : hipotensi, syok, nausea, muntah,
diare, nyeri kepala hebat, penurunan kesadaran, ptosis atau
oftalmoplegi; perdarahan sistemik spontan dan urine yang
berwarna coklat gelap.(WHO, 2005).
Pasien yang mengalami defibrinogenasi atau trombositopeni
akan mengalami perdarahan terus menerus pada luka gigitan.
Pasien seharusnya ditanyakan berapa banyak dan warna urin yang
dikeluarkan sejak pasien digigit ular. Pada gigitan ular laut, pasien
biasanya mengalami nyeri secara menyeluruh dan kekakuan otot
dan trismus (WHO,2005).

b. Pemeriksaan Fisik
1. Penilaian pada luka gigitan
Lakukan palpasi pada area yang membengkak dan meluas,
serta kelenjar getah bening yang menuju area luka gigitan,
perhatikan apakah terdapat limfangitis ataupun ekimosis. Tungkai
yang mengalami gigitan akan menegang dan membengkak, dingin,
immobile dan denyut arteri bisa tidak teraba. Hal ini menunjukkan
adanya thrombosis intravaskular atau sindrom kompartemen yang

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 36


jarang terjadi. Apabila memungkinkan, dapat dilakukan
pengukuran tekanan intrakompartemen dan aliran darah serta
patensi dari arteri dan vena (misalnya dengan menggunakan USG
Doppler). Tanda awal dari nekrosis meliputi luka lepuh, kulit yang
hitam dan berbatas tegas atau kulit yang pucat, kehilangan sensasi
nyeri dan bau pembusukan (WHO,2005).

2. Pemeriksaan Umum
Pengukuran tekanan darah (baik saat duduk ataupun berbaring
untuk mengetahui adanya hipotensi postural yang mengindikasikan
hipovolemi) dan denyut jantung. Pemeriksaan kulit dan membran
mukosa untuk membuktikan adanya petekiae, purpura, ekimosis
dan perdarahan konjungtiva. Abdominal tenderness
mengindikasikan adanya perdarahan gastrointestinal atau
retroperitoneal. Nyeri pada punggung bawah mengindikasikan
adanya iskemia renal (misalnya pada gigitan Russel`s viper).
Perdarahan intrakranial ditandai dengan adanya tanda neurologis
berupa lateralisasi, pupil yang asimetris, kejang, atau gangguan
kesadaran. Tanda toksisitas sistemik yang dapat dicari termasuk
petekie, memar, bula, atau blister. Pengukuran pada tempat yang
sama sebaiknya diulang setiap 15 menit sampai progresifitas
edema dan eritema berkurang. Pemeriksaan klinis yang sering
sebaiknya fokus terhadap profil neurologik, hematologik dan
hemodinamik (WHO,2005).

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium awal sebaiknya termasuk


elektrolit, darah lengkap, jumlah platelet, PT, PTT, jumlah
fibrinogen, nitrogen urea darah, dan kreatinin serum ditambah
urinalisis. Tergantung usia dan komorbiditas pasien, EKG dan
radiografi dada dapat disertakan. Umumnya perubahan EKG non

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 37


spesifik dan mencakup perubahan pada irama (terutama
bradikardia) dan atrioventrikuler blok dengan elevasi segmen ST
atau depresi gelombang T inversi dan QT memanjang, gelombang
T tinggi pada V2 dan menandakan infark miokard anterior
(WHO,2005 dan Djunaedi, 2006).

Kecocokan golongan darah sebaiknya diperiksa pada pasien


dengan cedera yang parah. Imunisasi tetanus dapat diberikan.
Enzyme-linked immunosorbent Assays (ELISA) telah berkembang
agar secara langsung mengukur antigen bisa pada pasien dan
membantu identifikasi spesies ular. ELISA sensitive sampai 5 mg/L
bisa dan dapat menilai serum, urin, cairan blister, atau cairan
aspirasi. Tes ini membantu menentukan ular spesifik untuk terapi
antibisa langsung. Radioimmunoassay sangat sensitif dalam
mendeteksi bisa sampai level 0.4 mg/L (WHO,2005).

Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan


atau luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai
berikut (Djuanedi, 2006 ):

 Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis


(dalam 30 menit – 24 jam)
 Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil,
mual, hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur

 Gejala khusus gigitan ular berbisa :

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 38


o Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung,
ginjal, peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena,
perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri,
koagulasi intravaskular diseminata (KID)

o Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis


pernapasan, ptosis oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek
abdominal, kejang dan koma

o Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma

o Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda –


tanda 5P (pain, pallor, paresthesia, paralysis, pulselesness)

Menurut Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan


sebagai berikut:

Derajat Venerasi Luka Nyeri Udem/ Eritem Tanda sistemik


gigit

0 0 + +/- <3cm/12> 0

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 39


I +/- + + 3-12 cm/12 jam 0

II + + +++ >12-25 cm/12 +


jam
Neurotoksik,
Mual, pusing,
syok

III ++ + +++ >25 cm/12 jam ++

Syok, petekia,
ekimosis

IV +++ + +++ >ekstrimitas ++

Gangguan faal
ginjal,
Koma,
perdarahan

III.6 Penatalaksanaan
Langkah-langkah penatalaksanaan gigitan ular meliputi (WHO,2005) :
a. Pertolongan pertama
b. Transportasi ke rumah sakit
c. Penilaian klinik dan resusitasi segera
d. Penilaian klinik lengkap dan diagnosis
e. Pemeriksaan laboratorium
f. Observasi respon terhadap antivenom ( menentukan apakah
diperlukan penambahan dosis antivenom)
g. Terapi suportif

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 40


h. Penatalaksanaan pada bagian luka gigitan
i. Rehabilitasi

a. Pertolongan Pertama
Pertolongan pertama segera diberikan sesegera mungkin setelah
pasien mendapatkan gigitan ular berbisa, sebelum pasien dibawa ke
rumah sakit. Pertolongan pertama ini bisa dilakukan oleh siapa saja
termasuk korban gigitan ular berbisa itu sendiri (WHO,2005).

Tujuan pertolongan pertama :


1. Mengurangi absorbsi bisa ular secara sistemik
2. Menyelamatkan kehidupan dan mencegah komplikasi sebelum
pasien menerima pengobatan secara medis ( di rumah sakit atau
klinik)
3. Mengawasi gejala dini yang mambahayakan

Beberapa hal yang sering masyarakat lakukan ternyata tidak


memberikan manfaat yang signifikan dalam mengatasi efek bisa ular.
Hal- hal tersebut seharusnya dihindari, diantaranya : Membuat insisi
lokal atau pungsi pada tempat gigitan, berusaha menyedot bisa ular
dari luka, mengikat dengan erat (tourniquets) pada area sekitar luka,
memberikan kejutan listrik, mengoleskan bahan-bahan kimia, bahan
tradisional atau es (WHO,2005).
Hal-hal yang seharusnya dilakukan pada pertolongan pertama
diantaranya adalah menenagkan korban yang cemas, imobilisasi
tungkai pada area yang tergigit dengan menggunakan bidai atau tali
(pergerakan atau kontraksi otot meningkatkan absorbsi dari bisa ular
ke dalam aliran darah dan pembuluh limpa), pertimbangkan metode
pressure immobilisation, hindari berbagai tindakan intervensi pada luka
gigitan karena akan meningkatkan infeksi, meningkatkan absorbsi bisa

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 41


ular dan perdarahan lokal. Alangkah lebih baik apabila ular dibawa ke
rumah sakit bersama penderita agar bisa diidentifikasi (WHO,2005).

Metode pressure immobilization menggunakan perban elastis dan


halus, dengan lebar kurang lebih 10 cm dan panjang 4,5 meter.
Apabila tidak tersedia, dapat digunakan potongan kain yang panjang.
Perban diikat dengan kuat pada area sekitar luka gigitan, dimulai dari
bagian distal jari dan bergerak ke proksimal. Balutan didikat sekuat
pada pembalutan untuk pergelangan kaki yang keseleo, namun tidak
terlalu kuat sehingga menyebabkan oklusi arteri perifer (misalnya
:radialis, tibialis posterior, dorsalis pedis). Metode pressure
immobilization direkomendasikan untuk efek neurotoksik gigitan ular
akibat ular family elapides (misalnya : ular laut), akan tetapi tidak
seharusnya digunakan pada gigitan ular akibat famili viperidae karena
akan meningkatkan efek nekrosis lokal . Idealnya perban seharusnya
tidak dibuka sampai pasien mendapatkan perawatan medis.
Pemakaian tourniquet tradisional tidak direkomendasikan untuk
penatalaksanaan pertama, kareana akan menyebabkan oklusi arteri
perifer dan apabila lebih dari 40 menit akan menyebabkan iskemia
jaringan (WHO,2005).

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 42


b. Transportasi ke Rumah Sakit
Pasien seharusnya dibawa ke tempat dimana penderita bisa
mendapatkan perawatan medik sesegera mungkin dan seaman
mungkin. Pergerakan apapun terutama pergerakan pada tungkai yang
terdapat luka gigitan harus dikurangi sebisa mungkin untuk mencegah
peningkatan absorbsi sistemik dari bisa ular. Pergerakan otot apapun
akan meningkatkan penyebaran bisa ular dari tempat gigitan
(WHO,2005).

c. Penatalaksanaan di Rumah Sakit atau Klinik

1. Penilaian Klinik dan Resusitasi Segera

Perlu dilakukan resusitasi kardiopulmonar, meliputi pemberian


oksigen dan pastikan adanya akses intravena. Sesegera mungkin nilai
jalan napas, pernapasan dan sirkulasi serta tingkat kesadaran.
Hipotensi dan syok bisa terjadi karena efek kardiovaskular dari bisa
ular ataupun efek sekunder dari syok hipovolemik ataupun hemoragik.
Gagal napas bisa disebabkan oleh efek bisa neurotoksik yang
menyebabkan paralisis otot-otot pernapasan. Kemunduran yang
progressif dan perkembangan cepat dari keracunan bisa sistemik
akibat dilepasnya tourniquet dan perban kompresi. Rhabdomyolisis
dapat menyebabkan hyperkalemia yang bisa berlanjut menjadi henti
jantung. Akibat akhir dari keracunan berat seperti gagal ginjal dan
septicemia yang berlanjut menjadi nekrosis lokal (WHO,2005 dan
Djunaedi,2006).

2. Penilaian Klinik menyeluruh dan Diagnosis


Mengenai penilaian klinik menyeluruh dan diagnosis telah
dijalaskan sebelumnya (lihat Diagnosis)

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 43


d.Pemeriksaan Penunjang

Pada penderita gigitan ular dapat ditemukan waktu pembekuan


darah yang memanjang, peningkatan hematokrit akibat adanya
peningkatan permeabilitas kapiler, trombositopeni, leukositosis ,
peningkatan aminotransferase, bilirubin, kreatinin kinase, ureum dan
kreatinin, hperkalemia dan asidosis metabolik. Hasil analisa gas darah
menunjukkan adanya gagal napas ( efek bisa neurotoksik) dan
asidemia (asidosis metabolik dan respiratorik). Untuk mengetahui
waktu pembekuan darah, tes yang dapat dilakukan adalah Tes
Penggumpalan Darah 20 menit (20 Minute Whole Blood Clotting Test).
Tes ini mudah, namun membutuhkan tabung kering (dry test tube)
yang baru dan benar-benar bersih untuk menghindarkan kesalahan
interpretasi (positive palsu). Dari hasil pemeriksaan urin didapatkan
hemoglobinuria, adanya silinder menunjukkan perdarahan glomerulus,
proteinuria masif merupakan tanda peningkatan permeabilitas kapiler
( misalnya pada Russell`s viper) (WHO,2005).

e. Pemberian Serum Anti Bisa Ular

Serum anti bisa ular merupakan immunoglobulin yang dimurnikan


dari serum atau plasma kuda atau kambing yang telah diimunisasi
dengan bisa ular satu atau lebih spesies ular. Serum anti bisa ular
spesifik merupakan serum anti bisa ular yang dikembangkan untuk
melawan bisa ular yang menggigit pasien dan diharapkan
mengandung antibodi khusus yang menetralisir bisa ular tersebut.
Serum anti bisa ular Monovalen atau monospesifik menetralisasikan
bisa ular dari satu spesies ular. Serum anti bisa ular polivalen atau
polispesifik menetralkan bisa ular dari spesies ular yang berbeda-
beda. Dalam keadaan darurat tidak perlu dilakukan uji sensitivitas.

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 44


SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan), polivalen
1 ml berisi (Djunaedi,2006) :

 10-50 LD50 bisa Ankystrodon


 25-50 LD50 bisa Bungarus

 25-50 LD50 bisa Naya Sputarix

 Fenol 0.25% v/v

Indikasi serum anti bisa ular adalah apabila seorang pasien


menunjukkan tanda-tanda berikut :

Gejala sistemik
a. Abnormalitas hemostasis : perdarahan sistemik spontan,
koagulopati,atau trombositopeni
b. Tanda neurotoksik : ptosis, oftalmoplegia, paralisis
c. Abnormalitas kardiovaskular : hipotensi, syok, aritmia, EKG
abnormal
d. Gagal ginjal akut : Oliguria, anuria, peningkatan ureum atau
kreatinin
e. Hemoglobinuria atau mioglobinuria, warna urin yang coklat
gelap,

Gejala Lokal

a. Pembengkakan lokal
b. Pembengkakan yang meluas dengan cepat (misalnya :
pembengkakan pada pergelangan tangan yang dalam beberapa
jam telah meluas sampai seluruh tangan
c. Pembesaran yang meluas dari kelenjar limpe yang menuju area
luka gigitan.

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 45


Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema
hebat pada bagian luka. Pedoman terapi SABU (Serum Anti Bisa Ular,
serum kuda yang dilemahkan) polivalen, mengacu pada Schwartz dan
Way (Depkes, 2001):

 Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12


jam, jika derajat meningkat maka diberikan SABU
 Derajat II: 15-20 ml SABU

 Derajat III: 25-75 ml SABU

 Derajat IV: berikan penambahan 30-40 vial SABU

Pedoman terapi SABU menurut Luck (Djunaedi,2006) :

 Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit


 Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberian
antivenom

- Jika koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak meningkat,


waktu pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian
SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam
berikutnya, dst.

- Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu


pembekuan menurun) maka monitor ketat kerusakan dan
ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikannya.
Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan
koagulopati berulang.

Serum anti bisa ular harus diberikan sesegera mungkin, meskipun


baru muncul gejala lokal tanpa disertai gejala sistemik. Tidak ada

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 46


kontraindikasi absolut untuk pemberian serum anti bisa ular, akan tetapi
pada penderita yang menunjukkan reaksi alergi terhadap anti-tetanus
serum, anti-rabies serum atau pada penderita yang memiliki riwayat
penyakit atopi (misalnya : asma berat) hanya diberikan serum anti bisa
ular apabila menunjukkan manifestasi sistemik. Pada penderita dengan
resiko tersebut, dapat diberikan epinefrin subkutan, histamine intravena
atau β2 adrenergik sebagai profilaksis (WHO,2005). Pemberian injeksi
SABU langsung pada tempat gigitan tidak dianjurkan karena akan
menyebabkan nyeri yang sangat hebat, peningkatan tekanan
intrakompartemen dan tidak efektif.

Respon yang terjadi setelah pemberian SABU dengan dosis


adekuat diantaranya keadaan umum pasien membaik, mual, nyeri kepala
dan nyeri berkurang, perdarahan spontan ataupun perdarahan pada luka
biasanya akan berhenti dalam 15-30 menit, pada pasien yang syok,
tekanan darah akan meningkat dalam 30-60 menit, aritmia dan bradikardi
akan kembali pulih, gejala-gejala neurotoksik dari jenis post sinaps akan
membaik dalam 30 menit setelah pemberian SABU, akan tetapi untuk
jenis toksin presinaps tidak akan berespon terhadap SABU, hemolisis aktif
dan rhabdomiolisis akan berhenti dalam beberapa jam dan warna urin
akan kembali ke warna semula(WHO.2005).

Dosis SABU ditingkatkan apabila terjadi inkoagubilitas darah


persisten atau rekuren setelah 6 jam, atau terjadi deteriorasi
kardiovaskular dan neurotoksik setelah 1-2 jam. Pada pasien yang masih
berdarah dengan cepat, SABU dapat diulang dalam 1-2 jam. Pada
keadaan dimana terjadi deteriorasi tanda neurotoksik dan kardiovaskular,
pemberian SABU dosis awal dapat diulang dalam 1-2 jam.

Pada keadaan dimana tidak tersedia serum anti bisa ular, dapat dilakukan
hal-hal berikut (WHO,2005) :

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 47


a. Manifestasi neurotoksik dengan paralisis otot pernapasan :
assisted ventilation, telah menunjukkan hasil efektif dengan pemulihan
sempurna setelah dipertahankan selama satu bulan atau lebih.
b. Abnormalitas hemostasis : Tirah baring ketat untuk mencegah
trauma sekecil apapun, transfusi faktor pembekuan dan trombosit ,
idealnya diberikan fresh frozen plasma dengan trombocite
concentration atau apabila tidak tersedia dapat diberikan whole blood.
c. Syok : koreksi hipovolemi dengan koloid atau kristaloid, dapat
dilakukan pemasangan CVP apabila diperlukan. Dapat diberikan obat-
obatan vasopressor seperti dopamine atau epinefrin. Pasien dengan
hipotensi dengan bradikardia dapat diberikan atropine
d. Gagal ginjal : lakukan terapi konservatif atau dialisis
e. Mioglobinuria atau hemoglobinuria : Koreksi hipovolemia dan
asidosis dan pertimbangkan penggunaan diuretik (manitol)
f. Keracunan lokal berat : nekrosis lokal, sindrom kompartemen dan
bahkan thrombosis dari pembuluh darah besar sering ditemukan pada
pasien yang tidak mendapatkan terapi serum anti bisa ular. Terapi
operatif dapat dilakukan tetapi risikonya akan lebih berat pada pasien
dengan koagulopati konsumtif, trombositopeni dan fibrinolisis.
Antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai profilaksis.

g. Penatalaksanaan supportif

Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah


dan pemberian vasopresor untuk menanggulangi syok
(Djunaedi,2006). Mungkin perlu diberikan fibrinogen untuk
memperbaiki kerusakan sistem pembekuan. Dianjurkan juga
pemberian kortikosteroid.

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 48


Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi,
dilanjutkan dengan memasang respirator untuk ventilasi. Diberikan
juga antibiotik spektrum luas dan vaksinasi tetanus. Bila terjadi
pembengkakan hebat, biasanya perlu dilakukan fasiotomi untuk
mencegah sindrom kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk
mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan bila telah tampak jelas
batas kematian jaringan, kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit
(WHO,2005).

h. Penatalaksanaan pada luka gigitan


1. Infeksi bakteri
Infeksi pada saat gigitan ular dapat berasal dari bisa ular
atau rongga ular tersebut. Antibiotik yang dapat diberikan
sebagai profilaksis diantaranya penisilin (eritromisin pada
pasien yang alergi penisilin) dan dosis tunggal gentamisin
atau kloramfenikol bersamaan dengan dosis ulangan tetanus
toksoid. Intervensi pada luka seperti membuat insisi pada
luka meningkatkan risiko infeksi bakteri sekunder dan
pertimbangkan penggunaan antibiotik spektrum luas
(misalnya amoxicillin atau cephalosporin dengan dosis
tunggal gentamisin serta metronidazol).

2. Sindrom kompartemen dan fasiotomi


Manifestasi dari sindrom kompartemen diantaranya nyeri
yang sangat berat tidak sesuai besarnya luka, kelemahan
otot intrakompartemen, nyeri pada saat pergerakan otot
pasif, hipoesthesi pada kulit yang dipersarafi oleh nervus
yang melewati kompartemen, pada palpasi area
kompartemen teraba tegang. Fasiotomi tidak dilakukan

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 49


sampai abnormalitas hemostasis telah terkoreksi. Indikasi
fasiotomi pada pasien gigitan ular adalah apabila terdapat
bukti klinis adanya sindrom kompartemen, peningkatan
tekanan intrakompartemen >40 mHg (pada dewasa)
(WHO,2005).

III.7 Prognosis

Meskipun kebanyakan korban gigitan ular berbisa dapat tertolong dengan


baik, memprediksi prognosis pada tiap kasus individu dapat menjadi sulit.
Disamping fakta bahwa mungkin terdapat sebanyak 8000 kasus gigitan
ular berbisa, terdapat kurang dari 10 kematian, dan kebanyakan dari
kasus fatal ini tidak mencari pertolongan karena suatu alasan dan lain hal.
Jarang terjadi untuk seseorang meninggal sebelum mencapai perawatan
medis di AS. Kebanyakan ular tidak berbisa jika menggigit. Jika tergigit
oleh ular tidak berbisa, korban akan pulih. Komplikasi yang mungkin dari
gigitan ular tidak berbisa meliputi gigi yang tertahan pada luka gigitan atau
infeksi luka (termasuk tetanus). Tidak semua gigitan oleh ular berbisa
menghasilkan racun berbisa Pada lebih dari 20% gigitan oleh rattlesnake
dan moccasin, sebagai contoh, tidak ada bisa yang disuntikan. Hal ini
disebut gigitan kering yang bahkan lebih umum pada gigitan yang
diakibatkan oleh elapid. Gigitan  kering memiliki komplikasi yang sama
dengan gigitan ular tidak berbisa. Seorang korban yang masih sangat
muda, tua, atau memiliki penyakit lain tidak akan mentolerir jumlah yang
sama dengan orang dewasa yang sehat. Ketersediaan perawatan medis
darurat dan, yang paling penting, antivenom dapat mempengaruhi
bagaimana keadaan korban. Efek bisa yang serius dapat tertunda untuk
beberapa jam. Seorang korban yang sesaat terlihat baik kondisinya dapat
menjadi sangat kesakitan. Seluruh korban yang tergigit oleh ular

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 50


berbisa harus segera mendapat perawatan medis tanpa harus ditunda-
tunda.

BAB IV

ANALISA KASUS

Berdasarkan ilustrasi kasus diatas, ditegakkan diagnosis kerja yaitu


Snake Bite grade III. Diagnosis Snake bite grade III ditegakkan
berdasarkan :

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 51


1. Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan utama perdarahan terus menerus


pada gusi sejak 9 jam SMRS, selain perdarahan pada gusi, pasien
juga mengeluh perdarahan pada luka di mata kaki kiri. Luka
tersebut merupakan luka gigitan ular yang dialami pasien 1 hari
SMRS dan luka akibat cross incision. Selain perdarahan yang terus
menerus pasien juga mengeluhkan demam, pusing, nyeri hebat
pada kaki kiri, terutama daerah gigitan dan kaki kiri mengalami
pembengkakan yang makin meluas sampai lutut.

Menurut pasien, pasien digigit ular tanah saat bekerja di kebun


dengan ciri-ciri ular berwarna coklat kekuningan dan hitam belang-
belang, berukuran 40 cm, lebar 5 cm dengan kepala gepeng
menyerupai segitiga.

Berdasarkan anamnesis tersebut didapatkan keterangan bahwa


pasien telah digigit oleh ular, yang berdasarkan tinjauan pustaka
ular tersebut memiliki ciri-ciri ular berbisa. Pada pasien ini
manifestasi keracunan bisa ular yang muncul sesuai dengan
tinjauan pustaka yaitu manifestasi lokal berupa edema, nyeri tekan
pada luka gigitan yang muncul dalam 3 menit-24 jam paska gigitan
ular berbisa, manifestasi sistemik berupa kepala pusing dan
menggigil, serta gejala khusus gigitan ular berbisa. Pada pasien ini
didapatkan manifestasi hematotoksik berupa perdarahan terus
menerus pada luka gigitan dan luka cross incision serta pada gusi.
Selama 10 hari perawatan tidak ditemukan manifestasi lain selain
manifestasi hemotoksik.

2. Pemeriksaan Fisik

Dari anamnesis dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan fisik.


Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital dalam keadaan
normal, gusi berdarah, edema non pitting pada tungkai kiri sampai

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 52


ke lutut, dengan perabaan hangat, nyeri tekan (+), adanya fang
marks dan perdarahan aktif pada luka gigitan ular dan cross
incision serta bullae dan kulit berwarna kehitaman yang muncul
pada hari ketiga perawatan. Perdarahan aktif berhenti setelah hari
kedua perawatan. Dan selama 10 hari perawatan edema pada kaki
makin berkurang. Tidak ditemukan kelemahan pada ekstremitas,
parestesia, pucat dan nadi pada a.dorsalis pedis dan tibialis
posterior teraba. Pemeriksaan neurologis dalam batas normal.

3. Pemeriksaan Penunjang

Telah dilakukan pemeriksaan laboratorium darah dan didapatkan


kesan anemia, trombsitopeni dan leukositosis hal ini terjadi karena
adanya perdarahan akut yang terus menerus yang merupakan
manifestasi hemotoksik dari bisa ular. Telah dilakukan pemeriksaan
hemostasis dan dicoba 3 kali dengan hasil tidak terukur. Berikutnya
didapatkan INR, Fibrinogen, trombotest, D-dimer memanjang. Hal
ini menunjukkan adanya gangguan koagulasi. Pemeriksaan
elektrokardiografi dalam batas normal.

Snakes Bites grade III ditegakkan berdasarkan klasifikasi menurut


Schwartz yaitu adanya nyeri yang hebat pada bekas luka gigitan dan
edema > 25 cm dalam 12 jam disertai dengan gejala sistemik berupa
perdarahan terus menerus dengan hasil pemeriksaan hemostasis yang
abnormal menunjukkan adanya koagulasi intravaskular diseminata.

Penatalaksanaan pada pasien ini adalah perawatan di ICU, karena


pada pasien ini telah terjadi gangguan koagulasi sehingga memerlukan
observasi ketat dari perdarahan yang dialami pasien tersebut, observasi
yang dilakukan berupa observasi klinis dan observasi laboratorium yaitu
pemeriksaan darah perifer lengkap dan hemostasis.

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 53


Pada pasien segera dilakukan resusitasi berupa pemberian oksigen
nasal dan cairan intravena. Hipotensi dan syok pada pasien ini sangat
mungkin terjadi, mengingat adanya perdarahan nyata yang terjadi terus
menerus.
Pemberian serum anti bisa ular diberikan sesegera mungkin karena
pada pasien telah ditemukan tanda-tanda sistemik berupa perdarahan
spontan yaitu dari gusi dan dari bekas luka gigitan serta bekas cross
incision, trombositopeni dan tanda lokal berupa pemebengkakan lokal
yang meluas dengan cepat pada tungkai kiri bawah sampai ke lutut. Hal
tersebut merupakan indikasi pemberian serum anti bisa ular. Pada pasien
ini diberikan 5 vial (1 vial = 5 cc) SABU dalam NaCl per 8 jam hal ini
sesuai pedoman pemberian SABU menurut Luck untuk gigitan ular derajat
III yaitu sebanyak 25-75 cc. Dosis SABU dapat ditingkatkan apabila terjadi
deteriorisasi neurotoksik dan kardiovaskular. Pemeberian SABU
dihentikan apabila status koagulasi membaik.

Pemberian metronidazole pada pasien ini merupakan terapi


profilaksis pada luka gigitan ular. Dalam penanganan berikutnya
ditambahkan antibiotik picyn (Ampisilin dan Sulbaktam). Hal ini sesuai
dengan pedoman WHO mengenai penggunaan kombinasi antibiotik pada
luka gigitan ular.

Menurut tinjauan pustaka, pasien mendapatkan pertolongan


pertama yang seharusnya tidak dianjurkan yaitu pemasangan turniket dan
telah dilakukan cross incision pada luka gigitan. Tindakan tersebut dapat
meningkatkan infeksi, meningkatkan absorbsi bisa ular dan perdarahan
lokal.

Prognosis ad vitam pada pasien ini saat pertama kali datang adalah
dubia ad bonam, karena pada pasien ini telah mendapatkan terapi
sebelumnya di RSUD Depok namun pasien masih mengalami perdarahan

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 54


terus menerus dan masih perlu dilakukan observasi gejala klinis lainnya
terhadapa manifestasi bisa ular. Prognosis ad functionamnya adalah
dubia ada bonam, karena telah terjadi edema yang hebat pada tungkai
kiri, perlu dilakukan observasi apakah edema ini berkembang menjadi
sindrom kompartemen. Prognosis ad sanactionam pada pasien ini adalah
bonam, karena manifestasi bisa ular tidak bersifat berulang apabila
penderita tidak tergigit ulang oleh ular berbisa.

DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidajat R, De Jong Wim; Buku-Ajar Ilmu Bedah. Ed.


2Jakarta : EGC.2004
WHO. Guidelines for the Clinical Managementof Snake bite in the
South-East Asia Region .2005

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 55


Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer,
Dirjen POM Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan
untuk rumah sakit.
Djunaedi, Djoni. Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbida dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.edisi :4.2006.hal 207-9
Jurkovich,Gregory J, Gentilello,Larry M. Envenomation and
Enviromental Injuries in Greenfield's Surgery: Scientific
Principles and Practice.ed :Mulholland et all.4 th edition.
Lippincott Williams & Wilkins.chapter 33.2006
WHO. “Animal Sera”. Retrieved December 30, 2005. In Hyat, Atif et
all. Study of snake bites cases at liaquat unibersity hospital
Hyderabad /jamshoro2008. J Ayub Med Coll Abbottabad
2008;20(3)
Cheng AC,Winkel KD. Antivenom efficacy, safety and availability:
measuring smoke. Med J Aust 2003;180:5–6. In Hyat, Atif et
all. Study of snake bites cases at liaquat unibersity hospital
Hyderabad /jamshoro2008. J Ayub Med Coll Abbottabad
2008;20(3)
McGain F, Limbo A, Williams D, Didei G, Winkel KD. Snake bite
mortality at Port Moresby General Hospital, Papua New
Guinea 1992–2001. Med J Aust 2004;181:687–91.).
A.K Ansari, SA Sheikh. Management of viperidae snake bite. Pak
Armed Forces Med J 2000;50(1): 26–8.
Rana, Mohsin. Clinical Manifestations of Poisonous Snake Bite and
its Management in a Referral Hospital. Int. J. Agri. Biol., Vol.
5, No. 4, 2003

Presentasi Kasus : Gigitan Ular 56

Anda mungkin juga menyukai