Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

SISTEM HUKUM DI INDONESIA DAN HUBUNGAN DENGAN ADAT


ISTIADAT LOKAL

OLEH:

Muhammad Anugerah Muallim


20.023.63.201.003

DOSEN PENGAMPUH:
Drs. H. Muin Kasman,M.Si

UNIVERSITAS ANDI DJEMMA


FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK
ILMU ADMINISTRASI NEGARA
TAHUN 2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB 1................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................................2
C. Tujuan Masalah........................................................................................................................2
BAB 2................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN..................................................................................................................................2
A. Norma hukum adat kebiasaan masyarakat lokal (BTN. Nyiur II, Kota Palopo)..........................2
B. Bahasa yang digunakan masyarakat.........................................................................................3
C. Adat-adat (Perayaan acara pernikahan)...................................................................................3
BAB III...............................................................................................................................................4
PENUTUP..........................................................................................................................................4
A. Kesimpulan...............................................................................................................................4

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang menganut pluralitas dalam bidang hukumnya,
dimana ada tiga hukum yang keberadaannya diakui dan berlaku yaitu hukum barat,
hukum agama dan hukum adat. Pada prakteknya masih banyak masyarakat yang
menggunakan hukum adat dalam mengatur kegiatan sehari-harinya serta dalam
menyelesaikan suatu permasalahan yang ada. Setiap wilayah di Indonesia
mempunyai tata hukum adatnya masing-masing untuk mengatur kehidupan
bermasyarakat yang beraneka ragam yang sebagian besar hukum adat tersebut
tidak dalam bentuk aturan yang tertulis.
Hukum adat merupakan endapan kesusilaan dalam masyarakat yang
kebenarannya mendapatkan pengakuan dalam masyarakat tersebut. Dalam
perkembangannya, praktek yang terjadi dalam masyarakat hukum adat keberadaan
hukum adat sering menimbulkan pertanyaan-pertanyaan apakah aturan hukum adat
ini tetap dapat digunakan untuk mengatur kegiatan sehari-hari masyarakat dan
menyelesaikan suatu permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat
hukum adat. Sementara itu negara kita juga mempunyai aturan hukum yang dibuat
oleh badan atau lembaga pembuat undang-undang dan peraturan perundang-
undangan lainnya. Antara hukum adat dengan hukum negara mempunyai daya
pengikat yang berbeda secara konstitusional bersifat sama tetapi terdapat
perbedaan pada bentuk dan aspeknya. Keberadaan hukum adat ini secara resmi
telah diakui oleh negara keberadaannya tetapi penggunaannyapun terbatas.
Merujuk pada pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dimana menyebutkan”Negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang” yang berarti bahwa negara mengakui keberadaan hukum adat
serta konstitusional haknya dalam system hukum Indonesia. Disamping itu juga
diatur dalam Pasal 3 UUPA “Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu
dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Untuk konsep kedepannya diharapkan untuk adanya jaminan kepastian
hukum tentang pengelolaan hak ulayat masyarakat hukum adat. Dimana haruslah
dibuat secara lebih mendalam atau rinci peraturan perundang-undangannya baik itu
bisa dalam Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah dimana yang jelas
dibawah undang-undang, apakah bisa dibuat dalam bentuk tertulis dalam hal hak
atas tanah atau untuk pelaksanaannya. Supaya ada kejelasan hak milik dari pada
masyarakat hukum adat itu kedepannya karena selama ini hukum adat memang
dikenal dalam UUPA dan juga diatur dalam UUD 1945 tapi sejauh mana keberadaan
hukum adat itu bisa menganulir hukum positif tidak ada kejelasannya.

1
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang ingin di capai yaitu:
Menjelaskan norma dan hukum adat kebiasaan masyarakat lokal (bahasa
yang berlaku di daerah masing-masing)

C. Tujuan Masalah
Tujuan yang ingin di capai dari makalah ini adalah:
Untuk mengetahui norma dan hokum adat kebiasaan masyarakat lokal dalam
berbahasa di lingkungan sekitar.

BAB 2
PEMBAHASAN

A. Norma hukum adat kebiasaan masyarakat lokal (BTN. Nyiur II, Kota Palopo)
Setiap suku bangsa memiliki adat tersendiri yang merupakan pencerminan
kepribadian dan penjelmaan dari jiwa bangsa itu sendiri. Adat merupakan
pencerminan kepribadian suatu bangsa yang berlangsung turun temurun dari abad
ke abad. Setiap bangsa di dunia tentu memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri, yang
berbeda satu dengan yang lainnya sehingga ketidaksamaan inilah yang memberikan
identitas antara bangsa yang satu dengan yang lainnya. Demikian pula bangsa
Bugis yang juga memiliki tatanan hukum adat dalam menjalani kehidupannya.
Di kota Palopo, khususnya daerah BTN. Nyiur II, kebanyakan masyarakat nya
merupakan suku Bugis atau orang Bugis-Makassar. Masyarakat suku Bugis,
sebagaimana masyarakat lainnya di Provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya,
merupakan pemeluk Islam yang taat, kehidupan mereka selalu diwarnai oleh
keadaan yang serba religius. Kondisi ini ditunjukkan oleh banyaknya tempat-tempat
ibadah dan Pendidikan Agama Islam. Sekalipun masyarakat suku Bugis mayoritas
memeluk agama Islam, namun di kota Palopo juga ada gereja dan beberapa tempat
ibadah pemeluk agama lainnya. Hal ini berarti, pemeluk agama lain cukup leluasa
2
untuk menunaikan ibadahnya. Keadaan ini memberikan dampak yang positif
terhadap kehidupan keagamaan, karena mereka saling menghormati dan
menghargai satu dengan yang lainnya. Di samping itu, peran pemuka agama
terutama para alim ulama sangat dominan dalam kehidupan keagamaan. Bahkan
bagi masyarakat suku Bugis, alim ulama merupakan figur kharismatik yang menjadi
panutan masyarakat.

B. Bahasa yang digunakan masyarakat


Dalam kehidupan sehari-hari dalam berbagai lingkup kehidupan di
wilayah Kota Palopo khusus nya di sekitar BTN. Nyiur II, bahasa yang
dominan digunakan yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Tae’. Bahasa Tae' ini
digunakan empat kabupaten dan kota, masing-masing kabupaten Luwu, Luwu
Utara, Luwu Timur dan kota Palopo. Bahasa Tae’ paling banyak digunakan di
Kabupaten Luwu meliputi Kecamatan Larompong, Suli, Belopa (Ibukota Kabupaten
Luwu), Bajo, Bupon (Bua Ponrang), Bastem (Basse Sangtempe’), Walenrang, dan
Kota Palopo. Tae' adalah bahasa lawas yang di pakai oleh kitab Lontara Sureq I La
Galigo. Bahasa ini adalah ibu dari bahasa Bugis, Makassar, Toraja,
Massenrengpulu' dan Mandar. Sejak Agama Islam resmi sebagai Agama resmi di
Kerajaan Luwu, Kerajaan Luwu pun membentuk sebagai bahasa bugis sebagai
bahasa Pengantar dan membentuk sebagai bahasa Tae' adalah bahasa sehari hari.

C. Adat-adat (Perayaan acara pernikahan)


Adat pernikahan masyarakat suku Bugis di Sulawesi Selatan terdiri dari
serangkaian upacara dan prosesi. Deretan acara memiliki filosofi tersendiri agar
pernikahan menjadi lebih sakral dan istimewa. Di Sulawesi Selatan, upacara
pernikahan disebut dengan Mappabotting yang artinya melaksanakan upacara
perkawinan. Banyak ritual-ritual sakral yang dilakukan dalam prosesi pernikahan
adat Bugis. Selain memiliki makna yang mendalam, rangkaian ritual ini bertujuan
agar perkawinan berjalan dengan lancar dan mendapat restu dari Tuhan. Berikut
adalah beberapa rangkaian prosesi pernikahan suku Bugis:
1. Mammanu’-Manu’
Prosesi ini dilakukan sebelum upacara pernikahan. Calon mempelai laki-laki
akan mendatangi orangtua mempelai perempuan dan meminta izin untuk
mempersunting gadis pujaannya. Momen ini juga dimanfaatkan untuk
membahas besaran nilai uang panai dan mahar, jika memang keluarga
mempelai perempuan menerima pinangan sang laki-laki.
2. Mappetuada
Setelah tahap mammanu'-manu' selesai, prosesi pernikahan adat Bugis
selanjutnya adalah tahap mappetuada. Acara mappetuada ini bertujuan untuk
mengumumkan apa yang telah disepakati sebelumnya mengenai tanggal
pernikahan, mahar dan lain-lain. Biasanya di mappetuada, pinangan

3
diresmikan dengan diberikan hantaran berupa perhiasan kepada pihak
perempuan.
3. Mappasau Botting
Setelah menyebarkan undangan pernikahan, mappasau botting, yang berarti
merawat pengantin, adalah ritual awal dalam upacara pernikahan. Acara ini
berlangsung selama tiga hari berturut-turut sebelum hari H. Selama tiga hari
tersebut pengantin menjalani perawatan tradisional seperti mandi uap dan
menggunakan bedak hitam dari campuran beras ketan, asam Jawa dan jeruk
nipis. Cemme passih sendiri merupakan mandi tolak balak yang dilakukan
untuk meminta perlindungan Tuhan dari bahaya. Upacara ini umumnya
dilakukan pada pagi hari, sehari sebelum hari H.
4. Mappenre Temme
Karena mayoritas suku Bugis memeluk agama Islam, pada sore hari sehari
sebelum hari pernikahan, diadakan acara mappanre temme atau khatam al-
Quran dan pembacaan barzanji yang dipimpin oleh seorang imam.
5. Mappacci
Mappasili sendiri merupakan prosesi siraman. Prosesi siraman ini bertujuan
untuk tolak bala dan membersihkan calon mempelai lahir dan batin. Biasanya
air siraman atau mappasili diambil dari tujuh mata air dan juga berisi tujuh
macam bunga. Selain itu terdapat juga koin di dalam air mappasili.
6. Mappenre Botting
Mappenre botting berarti mengantar mempelai laki-laki ke rumah mempelai
perempuan. Mempelai laki-laki diantar oleh iring-iringan tanpa kehadiran
orangtuanya. Iring-iringan tersebut biasanya terdiri dari indo botting (inang
pengantin) dan passepi (pendamping mempelai).
7. Marola
Pada tahapan ini, mempelai perempuan melakukan kunjungan balasan ke
rumah mempelai lelaki. Bersama dengan iring-iringannya, pengantin
perempuan membawa sarung tenun sebagai hadiah pernikahan untuk
keluarga suami.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Di kota Palopo, khususnya daerah BTN. Nyiur II, kebanyakan masyarakat nya
merupakan suku Bugis atau orang Bugis-Makassar. Masyarakat suku Bugis,
sebagaimana masyarakat lainnya di Provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya,
merupakan pemeluk Islam yang taat, kehidupan mereka selalu diwarnai oleh
keadaan yang serba religius. Kondisi ini ditunjukkan oleh banyaknya tempat-tempat
ibadah dan Pendidikan Agama Islam. Sekalipun masyarakat suku Bugis mayoritas
4
memeluk agama Islam, namun di kota Palopo juga ada gereja dan beberapa tempat
ibadah pemeluk agama lainnya. Hal ini berarti, pemeluk agama lain cukup leluasa
untuk menunaikan ibadahnya.
Dalam kehidupan sehari-hari dalam berbagai lingkup kehidupan di wilayah
Kota Palopo khusus nya di sekitar BTN. Nyiur II, bahasa yang dominan digunakan
yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Tae’. Bahasa Tae' ini digunakan empat
kabupaten dan kota, masing-masing kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur dan
kota Palopo. Bahasa Tae’ paling banyak digunakan di Kabupaten Luwu meliputi
Kecamatan Larompong, Suli, Belopa (Ibukota Kabupaten Luwu), Bajo, Bupon (Bua
Ponrang), Bastem (Basse Sangtempe’), Walenrang, dan Kota Palopo.
Di Sulawesi Selatan, upacara pernikahan disebut dengan Mappabotting yang
artinya melaksanakan upacara perkawinan. Banyak ritual-ritual sakral yang
dilakukan dalam prosesi pernikahan adat Bugis. Selain memiliki makna yang
mendalam, rangkaian ritual ini bertujuan agar perkawinan berjalan dengan lancar
dan mendapat restu dari Tuhan. Berikut adalah beberapa rangkaian prosesi
pernikahan suku Bugis:
1. Mammanu’-Manu
2. Mappetuada
3. Mappasau Botting
4. Mappanre Temme
5. Mappacci
6. Mappenre Bottng
7. Marola

Anda mungkin juga menyukai