Anggota Kelompok 3:
I. Pendahuluan
Kasus kebakaran hutan telah menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan
dan ekonomi. Kebakaran hutan dan lahan berdampak pada kerusakan ekosistem hutan beserta
flora dan fauna, kemampuan tanah menyerap air akan berkurang drastis sehingga dapat
menyebabkan, asap hasil kebakaran dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan
penglihatan, asap tebal dan meluas juga akan mengurangi jarak pandang, baik untuk
transportasi darat, laut maupun udara, meningkatkan risiko kekeringan akibat sumber mata air
yang hilang, dan potensi terjadinya pemanasan global akibat gas karbondioksida yang tersebar
ke udara dalam jumlah besar. Kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial bagi
pembangunan berkelanjutan karena dampaknya secara langsung pada ekosistem, kontribusi
emisi karbon serta bagi keanekaragaman hayati. Permasalahan kabut asap ini menjadi masalah
internasional karena kasus ini menimbulkan pencemaran di negara-negara tetangga
(transboundary pollution) sehingga Negara-negara tetangga tersebut mengajukan protes
terhadap Indonesia atas terjadinya masalah tersebut. Perusahaan yang terlibat dalam kebakaran
hutan lahan tersebut pada umumnya merupakan perusahaan transnasional yang beroperasi di
Indonesia1.
Estimasi World Resources Institute bahwa dari tahun 1960 sampai 1990 sebesar 1/5
hutan tropis telah berkurang. Dari 1980 sampai 1995 hutan di negara-negara berkembang telah
kehilangan 200 juta ha.2. Laporan terbaru Greenpeace Asia Tenggara ‘Karhutla Dalam Lima
Tahun Terakhir’ mengungkap kegagalan total pemerintah Indonesia dalam melindungi hutan
dan lahan gambut dari pembakaran. Terungkap sekitar 4,4 juta hektar lahan atau setara 8 kali
luas pulau Bali terbakar antara tahun 2015-2019. Laporan tersebut menyoroti sejumlah
perusahaan perkebunan paling merusak yang beroperasi di negara ini, kemudian Undang-
Undang Cipta Kerja yang baru disahkan demi kepentingan bisnis yang mengancam aturan
perlindungan lingkungan dan memperburuk risiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla).3
berawal dari kegiatan atau permasalahan sistem perladangan tradisional dari penduduk
setempat yang berpindah-pindah, pembukaan hutan oleh para pemegang HPH (Hak
Pengusahaan Hutan) untuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit, regulasi
pemerintah terkait pembakaran hutan yang lemah dan penyebab struktural, yaitu kombinasi
antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan
konflik antar hukum adat dan hukum positif negara.
mengawasi titik-titik rawan, membangun infrastruktur terkait pemadaman api di sekitar area
hutan, memperketat ijin pembukaan lahan dengan cara tebang bakar, memperketat regulasi
terkait usaha yang sekiranya membutuhkan pembukaan lahan di dalam hutan.
III. Kesimpulan