Anda di halaman 1dari 3

1

Ancaman dan Penanganan Kebakaran Hutan di Indonesia dalam Perspektif Hukum


Internasional yang Melibatkan Perusahaan Transnasional

Anggota Kelompok 3:

1. Andi Mohammad AM 201901P015


2. Rudy Gunawan B 201901P016
3. Zubry ramadhan 2019010050
4. Dina Wahyu P 2019010041
5. Riska Rahmawati P I 201901P008
6. Haifa Khoirunnisa T 2019010051
7. Azis Sydney Nur Pradana 2019010056

I. Pendahuluan
Kasus kebakaran hutan telah menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan
dan ekonomi. Kebakaran hutan dan lahan berdampak pada kerusakan ekosistem hutan beserta
flora dan fauna, kemampuan tanah menyerap air akan berkurang drastis sehingga dapat
menyebabkan, asap hasil kebakaran dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan
penglihatan, asap tebal dan meluas juga akan mengurangi jarak pandang, baik untuk
transportasi darat, laut maupun udara, meningkatkan risiko kekeringan akibat sumber mata air
yang hilang, dan potensi terjadinya pemanasan global akibat gas karbondioksida yang tersebar
ke udara dalam jumlah besar. Kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial bagi
pembangunan berkelanjutan karena dampaknya secara langsung pada ekosistem, kontribusi
emisi karbon serta bagi keanekaragaman hayati. Permasalahan kabut asap ini menjadi masalah
internasional karena kasus ini menimbulkan pencemaran di negara-negara tetangga
(transboundary pollution) sehingga Negara-negara tetangga tersebut mengajukan protes
terhadap Indonesia atas terjadinya masalah tersebut. Perusahaan yang terlibat dalam kebakaran
hutan lahan tersebut pada umumnya merupakan perusahaan transnasional yang beroperasi di
Indonesia1.

Estimasi World Resources Institute bahwa dari tahun 1960 sampai 1990 sebesar 1/5
hutan tropis telah berkurang. Dari 1980 sampai 1995 hutan di negara-negara berkembang telah
kehilangan 200 juta ha.2. Laporan terbaru Greenpeace Asia Tenggara ‘Karhutla Dalam Lima
Tahun Terakhir’ mengungkap kegagalan total pemerintah Indonesia dalam melindungi hutan
dan lahan gambut dari pembakaran. Terungkap sekitar 4,4 juta hektar lahan atau setara 8 kali
luas pulau Bali terbakar antara tahun 2015-2019. Laporan tersebut menyoroti sejumlah
perusahaan perkebunan paling merusak yang beroperasi di negara ini, kemudian Undang-
Undang Cipta Kerja yang baru disahkan demi kepentingan bisnis yang mengancam aturan 
perlindungan lingkungan dan memperburuk risiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla).3

II. Tubuh Argumen

Kebakaran hutan yang terus-menerus terjadi di indonesia telah menjadikan Indonesia


sebagai salah satu negara penyumbang pencemaran udara terbesar di Asia Tenggara. Beberapa
faktor yang menyebabkan kebakaran hutan alami, antara lain; akibat terkena sambaran petir,
letusan gunung berapi, dan musim kemarau yang berkepanjangan sedangkan faktor manusia
1
BBC, 2019, Kebakaran hutan: Empat perusahaan asing berstatus tersangka dan 'ganti rugi yang baru dibayarkan tak sampai
satu persen', https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49894699
2
https://fa.itb.ac.id/wp-content/uploads/sites/56/2016/06/TOPIK-5-Isu-Lingkungan-Global.pdf
3
https://www.greenpeace.org/indonesia/publikasi/44219/karhutla-dalam-lima-tahun-terakhir/
2

berawal dari kegiatan atau permasalahan sistem perladangan tradisional dari penduduk
setempat yang berpindah-pindah, pembukaan hutan oleh para pemegang HPH (Hak
Pengusahaan Hutan) untuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit, regulasi
pemerintah terkait pembakaran hutan yang lemah dan penyebab struktural, yaitu kombinasi
antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan
konflik antar hukum adat dan hukum positif negara.

Hukum internasional biasanya bersifat softlaw, tidak mengatur bagaimana menegakkan


hukum atas perusahaan transnasional, namun hanya berupa prinsip dan kewajiban perusahaan
transnasional untuk menjaga integritas lingkungan. Namun dalam hukum internasional
dikatakan apabila perusahaan transnasional melanggar kewajiban tersebut saat beraktivitas di
negara penerima, maka harus tunduk pada pengaturan Negara penerima tersebut. Bentuk-
bentuk pertanggunjawaban Negara diatur dalam pasal-pasal draf ILC. Ganti rugi atau
reparation diatur dalam Pasal 31. Bentukbentuk ganti rugi dapat berupa: (a) Restitution (Pasal
35): Kewajiban mengembalikan keadaan yang dirugikan seperti semula, (b) Compensation
(Pasal 36): Kewajiban ganti rugi berupa materi atau uang, (c) Satisfaction (Pasal 37) :
Kenyesalan, permintaan maaf resmi. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal, perusahaan transnasional yang akan melakukan kegiatan di
Indonesia wajib membentuk badan hukum Indonesia, khususnya dalam bentuk perseroan
terbatas. Dengan demikian, keberadaan perusahaan transnasional di Indonesia harus tunduk
pada hukum Nasional Indonesia4.

Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup telah diatur mengenai bentuk sanksi yang dapat diberikan kepada para
oknum yang melakukan pengerusakan yang lingkungan hidup. Sanksi tersebut dapat
diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu penegakan hukum lingkungan dalam kaitannya
dengan hukum administrasi/tata usaha negara; penegakan hukum lingkungan dalam kaitannya
dengan hukum perdata; penegakan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan hukum pidana.
Contoh kasus hukum yang terjadi adalah: Empat perusahaan yang ditetapkan sebagai tersangka
kebakaran hutan dan lahan tahun 2019 adalah perusahaan asing milik Malaysia dan Singapura
yang beroperasi di Kalimantan. Sementara dalam tiga tahun sebelumnya, dari 2015 sampai
2018, pemerintah menyatakan telah menyeret sembilan perusahaan. Total ganti rugi yang
wajib dibayarkan perusahan pembakar lahan sebesar Rp 3,15 triliun.

Di dalam hukum internasional sudah menjelaskan bahwa setiap negara mempunyai


tanggung jawab terhadap kegiatan yang dilakukan dalam yuridiksi suatu negara yang
mempunyai dampak lingkungan terhadap negara lain. Negara-negara yang terkenada dampak
pencemaran udara, tentu saja akan melakukan protes hingga tututan keras terhadap negara
yang melakukan pelanggaran polusi lintas batas. Ditingkat global sudah ditetapkan dalam
Konferensi Stockholm 1972, sedangkan ditingkat regional ASEAN juga sudah menghasilkan
ASEAN Agreement on the Conservation of Nature and Natural Resource 1985. Sedangkan
upaya penyelesaian sengketa lingkungan internasional apabila pencemaran yang bersifat lintas
batas, sesuai dengan artiker 33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai penyelesasian
secara damai sengketa internasional.

Tindakan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan diantaranya yaitu


mengawasi dan memantau titik-titik rawan hutan terbakar, menindak tegas siapapun yang
terbukti melakukan pelanggaran atau diduga akan melakukan tindakan pembakaran hutan,
memperketat penjagaan hutan, menyiapkan pos-pos yang tersebar di dalam hutan guna
4
Alfia, A.Y., Samekto, A., Trihastuti, N., 2016, Tanggung Jawab Perusahaan Transnasional Dalam Kebakaran Hutan Di
Riau Dalam Perspektif Hukum Internasional, Diponegoro Law Journal 5(3), h.4
3

mengawasi titik-titik rawan, membangun infrastruktur terkait pemadaman api di sekitar area
hutan, memperketat ijin pembukaan lahan dengan cara tebang bakar, memperketat regulasi
terkait usaha yang sekiranya membutuhkan pembukaan lahan di dalam hutan.

III. Kesimpulan

Perkembangan pengelolaan lahan yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip konservasi


dan dorongan ekonomi merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kebakaran lahan dan
hutan. Setiap upaya peningkatan pemanfaatan lahan untuk keperluan pemenuhan kebutuhan
pangan hendaknya difikirkan aspek konservasi yang tidak menyebabkan terjadinya kebakaran
hutan dan lahan, sehingga koordinasi menjadi sangat penting adanya.
Hukum internasional biasanya bersifat softlaw, tidak mengatur bagaimana menegakkan
hukum atas perusahaan transnasional, namun hanya berupa prinsip dan kewajiban perusahaan
transnasional untuk menjaga integritas lingkungan. Namun dalam hukum internasional
dikatakan apabila perusahaan transnasional melanggar kewajiban tersebut saat beraktivitas di
negara penerima, maka harus tunduk pada pengaturan Negara penerima tersebut

Anda mungkin juga menyukai