Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS PERBANDINGAN JUDICIAL REVIEW MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA DENGAN MAHKAMAH KONSTITUSI FEDERAL


JERMAN

Rudy Gunawan B, Andi Mohammad A M, Zubry Ramadhan, Dina Wahyu P,


Riska Rahmawati P I, Haifa Khoirunnisa T
Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Islam Batik Surakarta

Abstrak

Pembentukan mahkamah konstitusi merupakan jawaban atas kebutuhan akan lembaga


peradilan yang baru yang diharapkan tidak hanya independen namun juga harus diberi
wewenang untuk melakukan interpretasi konstitusi. Fungsi judicial review Mahkamah
Konstitusi adalah untuk menjamin agar tidak ada produk hukum yang bertentangan dengan
konstitusi. Sejak dibentuknya Mahkamah Konstitusi, kewenangan judicial review Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia yaitu menguji Undang-Undang terhadap Undang Undang
Dasar 1945. Disisi lain, Mahkamah Konstitusi Federal Negara Jerman telah melaksanakan
judicial review jauh sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi Federal Negara Jerman tidak semata-mata hanya menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, namun juga produk hukum di bawah
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Jerman.

Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Mahkamah Konstitusi Federal


Jerman, judicial review

A. Pendahuluan
Pendirian Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum
dan tata negara modern yang muncul pada abad ke-20. Indonesia merupakan negara ke-78
dan salah satu negara di abad ke-21 yang membentuk Mahkamah Konstitusi. Pembentukan
Mahkamah Konstitusi juga merupakan salah satu hasil dari demokrasi. Perubahan utama
yang penting mengenai demokrasi pada level nasional dalam kebangsaan berskala modern
adalah bahwa tindakan-tindakan pemerintah biasanya dijalankan tidak secara langsung
dengan warganya, tetapi tidak secara langsung melalui perwakilan dengan siapa mereka
memilih berdasarkan basis yang sama dan bebas. 1
Pendirian Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk mengatasi
perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan negara dan kehidupan politik, yang
mana penyelesaiannya dilakukan oleh pengadilan atau dewan konstitusi spesial melalui
kewenangan judicial review, yaitu kewenangan untuk menguji konstitusi konsensual hukum
yang dibuat oleh lembaga legislatif nasional.2 Dengan demikian konflik yang terkait dengan
kedua hal tersebut tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola
penyelesaian yang baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara objektif dan
rasional sehingga sengketa hukum yang diselesaikan secara hukum pula. Oleh karena itu
Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai Lembaga Negara Pengawal Konstitusi atau The
Guardian and The Interpreter of The Constitution.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sendiri merupakan hasil dari perkembangan hukum
tata negara di dunia sebagai jawaban atas kebutuhan akan adanya suatu lembaga peradilan

1
Arend Lijphart, Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Countries, New Haven:
Yale University Press, 1984, hlm. 1
2
Jon Elster, Rune Slagstad, eds, Constitutionalism and Democracy, Cambridge, Cambridge University Press, 1997, hlm. 75
baru yang bersifat independen yang berwenang untuk menafsirkan konstitusi dan
menyelesaikan sengketa antarlembaga negara.
Dewasa ini hukum tata negara di seluruh dunia terus berkembang. Perbedaan antara
hukum tata negara yang satu dengan yang lain menimbulkan konsekuensi perlunya suatu
studi perbandingan antar hukum tata negara yang bertujuan untuk memperbaiki hukum
nasional suatu negara dengan mengadopsi sistem hukum dari negara lain yang sesuai untuk
diterapkan di Indonesia.

B. Pembahasan
Wewenang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam hal judicial review diatur
dalam UUD NRI 1945 dan UU no. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi jo.
Undang – Undang no. 8 tahun 2011 tentang Perubahan atas UU no. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, namun tidak ada pasal yang tegas menyatakan batal
secara hukum apabila pengujian Undang - Undang terhadap Undang - Undang Dasar itu
dikabulkan. Dalam Undang - Undang tentang Mahkamah Konstitusi tersebut yang ada
hanyalah menyatakan bahwa Undang - Undang tersebut bertentangan dan tidak
mempunyai kekuatan mengikat apabila permohonan judicial review dikabulkan. Berbeda
dengan Jerman, apabila sebuah permohonan judicial review dikabulkan Mahkamah
Konstitusi Federal maka Undang-Undang yang diajukan untuk pengujian dinyatakan
batal secara hukum. Hal ini diatur dalam Peraturan Perundang - undangan yang
disebut Federal Constitusional Court Act (Bundesverfassungsgerichts - Gesetz, BVerfGG)
yang mungkin bisa menjadi solusi putusan JR Mahkamah Konstitusi Indonesia yang bersifat
final.
Di Indonesia tidak dikenal adanya pembagian penanganan perkara judicial review. Hal
ini dikarenakan MK Indonesia hanya mengenal satu jenis judicial review dalam peraturan
perundang - undangan, yakni pengujian UU terhadap UUD 1945 (Pasal 10 ayat (1) huruf a
UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dan UUD 1945 Pasal 24C ayat
(1) ). Tidak adanya pembagian di sini diperjelas dengan Pasal 28 UU No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa 9 hakim MK memeriksa, mengadili dan
memutus perkara. Jumlah 9 hakim adalah keseluruhan anggota hakim dari MK
Republik Indonesia sebagaimana tertulis di Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi. Sedangkan Mahkamah Konstitusi Federal Jerman mengenal
pembagian kewenangan penanganan perkara judicial review yakni melalui Senat Pertama dan
Senat Kedua. Dalam Pasal 14 ayat (1) Mahkamah Konstitusi Federal Jerman, Senat Pertama
terkonsentrasi dalam pengujian UU Negara Bagian/Federal terhadap UUD Republik Federal
Jerman atau UU Negara Bagian terhadap UU Federal. Dalam Pasal 14 ayat (2) Mahkamah
Konstitusi Federal Jerman, Senat Kedua terkonsentrasi dalam pengujian apakah suatu aturan
Hukum Internasional Publik merupakan bagian dari hukum federal dan pengujian lain yang
tidak ditugaskan pada Senat Pertama.
Mahkamah Konstitusi Indonesia hanya mengenal satu judicial review yakni pengujian
Undang - Undang terhadap UUD 1945 (Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi dan UUD 1945 Pasal 24C ayat (1) ). Sedangkan Mahkamah
Konstitusi Federal Jerman mengenal beberapa judicial review, yakni: (1) Pengujian formill
maupun materiil suatu hukum Federal atau Negara Bagian terhadap Undang - Undang Dasar
Republik Federal Jerman atau suatu hukum Negara Bagian terhadap hukum Federal atas
permohonan Pemerintah Federal, Pemerintah Negara Bagian, Suatu Pengadilan, maupun
Seperempat dari jumlah anggota Bundestag (Dewan Perwakilan Rakyat Federal Jerman).
Suatu hukum di sini ada segala peraturan perundang - undangan dibawah Undang - Undang
Dasar. (2) Pengujian apakah suatu aturan Hukum Internasional Publik merupakan bagian dari
hukum federal, (3) Pengujian penafsiran Undang - Undang Dasar dari 10 Pengadilan
Konstitusional dari sebuah Negara Bagian yang bermaksud menyimpang dari putusan yang
telah ada sebelumnya, (4) Pengujian permohonan constitutional complaint dari seseorang
yang menggugat suatu putusan atau suatu hukum. Suatu hukum di sini ada segala peraturan
perundang - undangan dibawah Undang - Undang Dasar.
Mahkamah Konstitusi Federal Jerman tidak hanya meninjau dari segi kesesuaian statuta
federal atau negara bagian dengan Grundgesetz secara yuridis saja, melainkan juga secara
historis dan teologis.3 Sedangkan, judicial review Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
hanya meninjau dari segi yuridis semata kesesuaian antara pembentukan dan materi undang-
undang dengan UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi Federal Jerman sebagai The Guardian of Grundgesetz memiliki
keistimewaan dimana mahkamah dapat mengawasi jalannya legislasi statuta federal atau
negara bagian agar tidak menyimpang dari Grundgesetz.4 Keistimewaan ini merupakan
langkah preventif dalam pelaksanaan konstitusi Jerman. Berbeda dengan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia yang hanya dapat mengadili apabila undang-undang telah
disahkan dan diberlakukan oleh DPR dan Presiden.

3
Brugger, Wertordnung und Rechtsdogmatik im Amerikanischen Verfassungsrecht; Rechtspositivismus Und Wertbezug
Des Rechts 174, 188ff, 1990, sebagaimana dikutip oleh Donald P. Kommers, op cit, hlm. 847
4
Kim Lane Scheppele, Constitutionalizing Abortion, in ABORTION POLITICS: PUBLIC POLICY IN CROSS-
CULTURAL PERSPECTIVE 29, 39 (Marianne Githens & Dorothy McBride Stetson eds., 1996), sebagaimana dikutip oleh
Gustavo Fernandes de Andrade, loc cit.
C. Kesimpulan
Dari hasil analisis perbandingan judicial review antara Mahkamah Konstitusi Federal
Jerman dengan Mahkamah Konstitusi Rebublik Indonesia, dapat disimpulkan bahwa
kewenangan judicial review Mahkamah Konstitusi Federal Jerman lebih luas daripada
Mahkamah konstitusi Republik Indonesia diantaranya yaitu di negara Indonesia tidak dikenal
adanya pembagian penanganan perkara judicial review, sedangkan Mahkamah Konstitusi
Republik Federal Jerman mengenal pembagian kewenangan penanganan perkara judicial
review, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia hanya mengenal satu judicial review,
sedangkan Mahkamah Konstitusi Federal Jerman mengenal beberapa judicial review,
Mahkamah Konstitusi Federal Jerman tidak hanya meninjau dari segi kesesuaian statuta
federal atau negara bagian dengan Grundgesetz secara yuridis saja, sedangkan, judicial
review Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia hanya meninjau dari segi yuridis,
Mahkamah Konstitusi Federal Jerman sebagai The Guardian of Grundgesetz memiliki
keistimewaan dimana mahkamah dapat mengawasi jalannya legislasi statuta federal, berbeda
dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang hanya dapat mengadili apabila
undang-undang telah disahkan dan diberlakukan oleh DPR dan Presiden.
Daftar Pustaka

Arend Lijphart, Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government in


Twenty-
One Countries, New Haven: Yale University Press, 1984, hlm. 1
Brugger, Wertordnung und Rechtsdogmatik im Amerikanischen Verfassungsrecht;
Rechtspositivismus Und Wertbezug Des Rechts 174, 188ff, 1990, sebagaimana
dikutip
oleh Donald P. Kommers, op cit, hlm. 847
Arief Ainul Yaqien. 2014. Arief Ainul Yaqin's Library of Law and Social Science.
http://equityjusticia.blogspot.com/2014/03/mahkamah-konstitusi-republik-
federal.html (diakses tgl 26 Juni 2021 pukul 11.40 WIB)
Jon Elster, Rune Slagstad, eds, Constitutionalism and Democracy, Cambridge, Cambridge
University Press, 1997, hlm. 75
Kim Lane Scheppele, Constitutionalizing Abortion, in ABORTION POLITICS: PUBLIC
POLICY IN CROSS-CULTURAL PERSPECTIVE 29, 39 (Marianne Githens &
Dorothy McBride Stetson eds., 1996), sebagaimana dikutip oleh Gustavo Fernandes
de Andrade, loc cit.

Anda mungkin juga menyukai