1 Makhyatul Fikriya 1203050079 MPH-2
1 Makhyatul Fikriya 1203050079 MPH-2
Makhyatul Fikriya
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
E-mail: fikriyamakhyatul@gmail.com
Abstract
Dalam Teori Negara Hukum Rechtstaats yang di gagasnya,
Julius Stahl menyatakan bahwa setidaknya ada 4 prinsip
dasar yang harus terpenuhi sebagai negara yang salah satu di
antaranya adalah menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Maka Indonesia sebagai Negara hukum haruslah menjunjung
tinggi hak Asasi. Namun pada faktanya terdapat
problematika dalam implemantasinya. Yakni tidak ada hak
warga negara asing untuk mendapatkan legal standing dalam
pengujian UU. Untuk itu perlu adanya studi komparasi
hukum di Indonesia dengan hukum negara lain dalam hal ini
negara Jerman. Metode Penelitian yang digunakan dalam
penelitian yaitu Penelitian Yuridis Normatif adalah
Metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder. Hasil
penelitian menunjukkan data dan informasi perbedaan antara
legal standing di Indonesia dan legal standing di Jerman.
2│
gugatan tidak hanya diberikan kepada warga negara Jerman asli, tetapi juga
kepada warga negara asing. Hal ini diatur dalam Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi Federal nomor 8a (Gugatan Konstitusional), dalam
Pasal 90 Bagian (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi Federal,
Bab 15 Prosedur dalam kasus-kasus yang disebutkan dalam Pasal 13
Mahkamah Konstitusi Federal tersebut mengatur bahwa setiap orang berhak
untuk mengajukan permohonan ke Bundesverfassungsgericht jika merasa
hak-hak dasarnya terganggu oleh berlakunya sebuah undang-undang, karena
hak-hak dasar tidak hanya berlaku bagi warga negara Jerman asli, tetapi juga
bagi warga negara asing.(Yusa et al., 2019)
Dengan adanya perbedaan yang cukup signifikan antara Indonesia dan
Jerman, sudah dapat dipastikan bahwa hukum dan segala yang diatur akan
berbeda pula, maka dari itu untuk melihat perbedaan antara kedua negara
dalam aspek hukum yang berlaku saat ini.
RESEARCH METHOD
│3
menyajikan perbandingan antara dua negara.(Yusa et al., 2019) Pertama,
pendekatan perundang-undangan digunakan untuk mengkaji peraturan
perundang-undangan Mahkamah Konstitusi. No, Tahun, Tentang. 7, 2020,
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi. Kedua, pendekatan konseptual digunakan dalam
tulisan ini untuk memperoleh pemahaman tentang legal standing, pengujian
konstitusional, hak asasi manusia, warga negara, dan orang asing antara
negara Indonesia dan Negara Jerman. Ketiga, pendekatan kasus yang
diterapkan dalam tulisan ini berkaitan dengan analisis terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007. Keempat dengan
menyajikan informasi mengenai legal standing di antara dua negara yakni
Indonesia dan Jerman.
Legal standing, standing to sue, Ius Standi, dan Locus Standi dapat
diartikan sebagai hak individu, kelompok, atau organisasi untuk mengajukan
gugatan di pengadilan dalam proses perdata yang umumnya disebut sebagai
hak gugat. Secara tradisional, hak gugat didasarkan pada prinsip "tiada
gugatan tanpa kepentingan hukum" atau "point d'interest point d'action".
Prinsip ini menyiratkan bahwa kepentingan hukum seseorang atau kelompok
terkait dengan kepemilikan atau kepentingan material yang menderita
kerugian langsung. Doktrin ini terutama berlaku dalam konteks gugatan
perdata.(Gunawan, 2019) Dalam pengajuan gugatan perdata, legal standing
saat ini telah mengalami perkembangan yang signifikan. Perkembangan ini
sejalan dengan kemajuan hukum yang mencakup kepentingan masyarakat
secara umum (Public Interest Law), di mana seseorang, kelompok, atau
organisasi dapat menjadi penggugat meskipun mereka tidak memiliki
4│
kepentingan hukum yang langsung terkait. Namun, mereka didorong oleh
kebutuhan untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat luas terhadap
pelanggaran hak-hak publik, seperti lingkungan hidup, perlindungan
konsumen, dan hak-hak sipil dan politik.
│5
penolakan banding oleh Mahkamah Agung, kuasa hukum dari Duo Bali Nine
tersebut mengajukan Hak Uji Materiil (Handaving van Het Materielle Recht)
ke Mahkamah Konstitusi (MK) dua kali, dengan nomor perkara 2-3/PUU-
V/2007, yang menguji UU No 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap
UUD 1945. Dalam konteks judicial review ini, kuasa hukum terdakwa
menantang kebijakan yang diambil oleh para petinggi yudisial Negara.
Sebuah hal yang unik terjadi dalam dokumen tersebut, di mana satu nama,
yaitu Scott Anthony Rush, berhasil terhindar dari hukuman mati. Namun,
MK menolak sebagian (imparsial) permohonan tersebut dengan mengacu
pada salah satu kualifikasi dalam UUMK pasal 51 ayat (1) huruf a, yang
menyatakan bahwa hak uji materiil hanya dapat dilakukan oleh Warga
Negara Indonesia (WNI), sedangkan WNA tidak memiliki kedudukan
hukum (legal standing) di Indonesia, sehingga putusan tersebut tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard).(Pradana, 2023)
6│
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun
(non-derogable rights).
Sedangkan Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgerich),
yang lebih mengarah pada pengajuan constitutional complaint daripada
judicial review. Ketentuan eksplisit dalam Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi Jerman (BverfGG), khususnya di § 90 (1) BverfGG, menegaskan
bahwa setiap orang di Jerman (jedermann) berhak mengajukan permohonan
constitutional complaint selama yang dimohonkan berkaitan dengan hak-hak
dasar (basic rights). Hak-hak dasar ini tidak terbatas sebagai hak warga
negara, sehingga juga dianggap sebagai hak WNA. Bahkan WNA di Jerman,
yang merupakan warga negara dari Negara Uni Eropa, memiliki kedudukan
hukum yang sama dengan warga negara Jerman dalam hal-hal yang setara.
(Konstitusi, 2007)
Dalam prakteknya, Mahkamah Konstitusi Jerman telah menunjukkan
sikapnya yang tidak membatasi legal standing hanya bagi warga negara
Jerman. Hal ini dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Jerman
yang dikeluarkan pada tanggal 22 Mei 2006. Putusan tersebut mengabulkan
permohonan constitutional complaint yang diajukan oleh seorang mahasiswa
asing dari Maroko yang tinggal di Jerman. Mahasiswa tersebut berpendapat
bahwa upaya pencegahan data screening (Rasterpfaendung) yang dilakukan
oleh The Federal Policy Agency (Bundeskriminalamt) untuk mengatasi
ancaman teroris setelah peristiwa 11 September 2001 bertentangan dengan
hak untuk menentukan informasi sendiri (the right for informational self-
determination) yang dijamin oleh Grundgesetz Republik Federal Jerman.
(Koritelu & Dewi, 2020)
│7
Keterangan Negara
Indonesia Jerman
Nama Mahkamah Konstitusi Bundesverfassunggericht
Dasar Konstitusional UUD NRI 1945 Basic Law for the Federal
Republic of Germany
Article 2 (2), Article 14
(2), dan Article 93.
Undang- undang Terkait Pasal 51 ayat (1) Undang- Act on the Federal
Undang Nomor 24 Tahun Constitutional Court,
2003 tentang Mahkamah Chapter 15 Procedure in
Konstitusi the cases referred to in
Article 13 no. 8a
(Constitutional complaint),
dalam Article 90 (1).
CONCLUSION
8│
Dalam konteks pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi,
kuasa hukum warga negara asing tidak memiliki legal standing atau
kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan uji materiil karena
undang-undang tersebut membatasi hak tersebut hanya untuk Warga Negara
Indonesia (WNI). Sementara itu, di Jerman, Mahkamah Konstitusi memiliki
pendekatan yang lebih inklusif terhadap legal standing warga negara asing.
Secara keseluruhan, perbedaan antara legal standing warga negara asing di
Indonesia dan di Jerman terletak pada pendekatan hukum yang diterapkan.
Di Indonesia, legal standing warga negara asing dalam konteks pengujian
undang-undang di Mahkamah Konstitusi terbatas hanya bagi Warga Negara
Indonesia (WNI), sementara di Jerman, Mahkamah Konstitusi mengakui hak
legal standing bagi warga negara asing yang tinggal di negara tersebut jika
hak-hak dasar mereka dirugikan.
│9
REFERENCES
10 │
UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi [JDIH BPK RI].
(n.d.).
Yusa, I. G., Sudibya, K. P., Aryani, N. M., & Hermanto, B. (2019). Gagasan
Pemberian Legal Standing Bagi Warga Negara Asing dalam
Constitutional Review. Jurnal Konstitusi, 15(4), 752.
https://doi.org/10.31078/jk1544
│ 11