Anda di halaman 1dari 17

PERTUSIS

OLEH KELOMPOK II:

ARIANTY NAU

CAROLIN RANGKU

CECILIA MOLO

CHALOLINA IMELDA ABINENO

CLARITA DE SANTALICA XIMENES

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan berkat-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makala ini tepat waktu. kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu kami dalam menyusun makalah ini. kami berharap agar
makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca, dan untuk memperoleh nilai mata kuliah
Epidemiologi penyakit menular.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini

Kupang, 19 Oktober 2021

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG.....................................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH.................................................................................................................1
C. TUJUAN.........................................................................................................................................2
BAB II
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................3
A. Definisi Penyakit Pertusis/ Batuk Rejan..........................................................................................3
B. Penyebab Penyakit Pertusis.............................................................................................................3
C. Masa Inkubasi Penyakit Pertusis.....................................................................................................4
D. Gejala Klinis Penyakit Pertusis........................................................................................................4
E. Patofisiologi/patogenesis.................................................................................................................6
F. Cara Penularan.................................................................................................................................7
G. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Pertusis................................................................................8
H. Data Epidemiologi Penyakit Pertusis.............................................................................................10
I. Segitiga Epidemiologi Penyakit Pertusis.......................................................................................10
BAB III
PENUTUP.................................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit yang dalam Bahasa Inggris disebut “whooping cough” adalah suatu
penyakit yang menular yang ditularkan melalui udara. Gejala awal mirip dengan infeksi
saluran napas lainnya seperti pilek dengan lendir cair dan jernih, mata merah dan berair,
batuk ringan dan demam ringan. Pada stadium ini, kuman paling mudah menular. Setelah
1 – 2 minggu, timbullah stadium kedua dimana frekuensi dan derajat batuk bertambah.
Stadium penyembuhan terjadi 2 – 4 minggu kemudian namun batuk bisa menetap hingga
lebih dari 1 (satu) bulan. Selain menyerang anak – anak, batuk pertusis juga menyerang
bayi di bawah 1 (satu) tahun. Namun dengan digalakkannya vaksinasi untuk pertusis,
angka kematian bisa ditekan dan seiring dengan semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi diharapkan pertusis tidak diketemukan lagi meskipun ada
kasusnya namun tidak signifikan. Mengingat pentingnya pembekalan pengetahuan dan
pemahaman masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya maka disusunlah
makalah Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yang berjudul
“Pertusis”.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi dari penyakit pertusis?
2. Apa penyebab dari penyakit pertusis?
3. Berapa lama masa inkubasi penyakit pertusis?
4. Apa gejala klinis dari penyakit pertusis?
5. Bagaimana patofisiologi/patogenesis penyakit pertusis?
6. Bagaimana cara penularan penyakit pertusis?
7. Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan penyakit pertusis?
8. Contoh data epidemiologi penyakit pertusis?
9. Bagaimana segitiga epidemiologi penyakit pertusis?

1
C. TUJUAN
1. Mengetahi definisi dari penyakit pertusis
2. Mengetahui dari penyakit pertusis
3. Mengetahui lamanya masa inkubasi dari penyakit pertusis
4. Mengetahui gejala klinis dari penyakit pertusis
5. Mengetahui patofisiologi/patogenesis penyakit pertusis
6. Mengetahui cara penularan penyakit pertusis
7. Mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit pertusis
8. Melihat dan menganalisis data epidemiologi penyakit pertusis
9. Mengetahui segitiga epidemiologi penyakit pertusis

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Penyakit Pertusis/ Batuk Rejan


Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough,
dan di Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis adalah penyakit infeksi serius yang
ditandai dengan batuk rejan. Mantra batuk ini bisa sangat lama dan intens bahwa orang
yang menderita mengalami kesulitan bernapas. Nama daripenyakit ini berasal dari batuk
terus menerus yang spasmodik ini,yang menghasilkan inhalasi yang intens setelah suatu
episode, menghasilkan dan mengeluarkan suara rejan. Karena intensitas batuk rejan,
orang dengan batuk rejan akan sering muntah setelahnya batuk, dan dapat berkembang
menjadi biru pucat karena kurangny aoksigen selama serangan batuk. Penyakit pertusis
juga merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I)

B. Penyebab Penyakit Pertusis

Pertusis (whooping cough) merupakan suatu penyakit infeksi traktus respiratorius


yang secara klasik disebabkan oleh Bordetella pertussis, namun walaupun jarang dapat
pula disebabkan oleh Bordetella parapertussis. Bordetella bronchiseptica juga dapat
menyebabkan pertussis-like cough illness. Bordetella pertussis adalah bakteri Gram-
negatif berbentuk kokobasilus (Brady et al., 2011). Organisme ini menghasilkan toksin
yang merusak epitel saluran pernapasan dan memberikan efek sistemik berupa sindrom
yang terdiri dari batuk yang spasmodik dan paroksismal disertai nada mengi karena
pasien berupaya keras untuk menarik napas, sehingga pada akhir batuk disertai bunyi
yang khas. Bordetella pertussis merupakan jenis bakteri yang menginfeksi saluran
pernafasan.

Bakteri ini memiliki bentuk batang yang membulat. B. pertussis termasuk dalam
kelompok besar bakteri yang disebut Gram negatif bakteri, yang memiliki membran
dalam dan luar, terpisah oleh dinding sel tipis, dan noda merah muda bila diperlakukan

3
dengan serangkaian pewarna (pewarnaan gram). Organisme ini hanya ditemukan di
saluran pernapasan saluran pernapasan dan dapat ditemukan dari saluran hidung ke
bawah yang bronkiolus . (Bronkiolus adalah cabang terkecil seperti tabung saluran udara
di paru-paru.) B. pertusis biasanya tidak masuk ke aliran darah, dan tidak menginfeksi
organ lain dan tisu. B. pertussis telah dilaporkan menyebabkan penyakit hanya pada
manusia; sampai saat ini tidak ada inang hewan yang telah diidentifikasi. Di sekitar 5
persen dari kasus, batuk rejan juga disebabkan oleh bakteri terkait, termasuk Bordetella
parapertussis , meskipun gejalanya cenderung lebih ringan dibandingkan dengan penyakit
yang disebabkan oleh B. pertussis urutan DNA perbandingan menunjukkan bahwa B.
pertussis dan B. parapertussis terpisah berevolusi dari bakteri yang secara genetik mirip,
Bordetella bronkiseptik.

C. Masa Inkubasi Penyakit Pertusis


Masa inkubasi pertusis 6–21 hari, rata-rata 7-10 hari. Manifestasi klinis
tergantung tergantung dari etiologi spesifik , umur dan status imunisasi. Perjalanan klinis
penyakit terdiri dari 3 stadium, yaitu stadium kataralis berlangsung 1-2 minggu, stadium
paroksismal atau spasmodik berlangsung 2-4 minggu, dan stadium konvalesens selama 1-
2 minggu. Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi.

D. Gejala Klinis Penyakit Pertusis


Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga
pembentukan lendir semakin banyak Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi
kental dan lengket. Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3
tahapan
1. Tahap Kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi, ciri-
cirinya menyerupai flu ringan :
 Bersin-bersin
 Mata berair
 Nafsu makan berkurang

4
 Lesu
 Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi sepanjang
hari)
2. Tahap Paroksismal
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 5-15
kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi. Batuk bisa
disertai pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak
atau tampak sebagai gelembung udara di hidungnya).
Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah. Serangan
batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat sementara. Pada bayi,
apnea (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan dengan tarikan
nafas yang bernada tinggi
3. Tahap Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk semakin
berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk
terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan.

Perjalanan penyakit sering berkepanjangan. dimulai dengan gejala ringan —


hidung meler, bersin, sakit tenggorokan, mata meradang, batuk ringan—biasanya
sekitar satu minggu setelah infeksi awal (walaupun gejalanya mungkin muncul) mana
saja dari lima hari sampai tiga minggu setelah infeksi). Pada ini demam panggung
jarang terjadi dan batuk awalnya nonproduktif tive (tidak mengeluarkan dahak).
Sekitar dua minggu setelah gejala awal, batuk menjadi lebih parah. intens ini tahap
batuk biasanya berlangsung sekitar dua minggu dan secara bertahap mereda selama
satu sampai dua bulan. Seringkali, di antara serangan batuk, pasien tidak akan
menunjukkan banyak tanda penyakit. Batuk renjan adalah lebih sering di malam hari,
dan dapat dipicu oleh paparan a sejumlah rangsangan yang berbeda seperti suara tiba-
tiba atau makan atau minum. 2 Infeksi sekunder pada paru sering terjadi, karena
Bordetella pertussis menghancurkan sel-sel bersilia di saluran pernapasan saluran
yang secara alami melindungi terhadap infeksi. Komplikasi lain Hal-hal yang terkait
dengan batuk rejan termasuk infeksi telinga, mimisan, dan memar. Dalam kasus

5
dengan batuk yang sangat parah, hernia dapat berkembang, retina di mata dapat
terlepas, dan tekanan di tengkorak dapat meningkat ke titik di mana pembuluh darah
sel di otak pecah

E. Patofisiologi/patogenesis
Bakteri penyebab pertusis menghasilkan toksin hemaglutinin berbentuk filamen,
yang merubah protein G melalui reaksi ADP-ribosilat dan mempunyai fungsi penting
dalam kolonisasi dini.

Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian


melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh
Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap
mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik.

Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/


Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada
silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan
menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena
pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka
akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan
whooping cough

Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis


toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B
selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang
aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit
dan makrofag ke daerah infeksi

Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis


protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel
target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine

6
dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin,
sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid


peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia
sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh
Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir
akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru

Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi pada


saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat
mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin
ataukah sekunder sebagai akibat anoksia

Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel
mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik
terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan
infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis

F. Cara Penularan
Penularan terjadi melalui droplet yang mengandung Bordetella pertusis dari
pasien yang batuk dan mencapai traktus respiratorius bagian atas dari orang yang
suseptibel. Faktor yang mempengaruhi penularan adalah sanitasi, higiene lingkungan dan
pribadi yang buruk, karena penyebaran tidak langsung bisa juga terjadi dari pasien ke
lingkungan melalui sekresi respiratorius dan selanjutnya tangan host yang baru akan
mentransfer kuman ini sehingga terjadi inokulasi di traktus respiratorius.

Setelah pasien terpapar dengan bakteri Bordetella pertussis pathogenesis infeksi


tergantung 4 langkah penting yaitu: perlekatan, pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan
penyakit sistemik. Infeksi dimulai dari adanya perlekatan bakteri Bordetella pertussis
pada cilia dari sel-sel epitel bersilia di traktus respiratorius. Perlekatan ini difasilitasi oleh

7
pertactin, fimbriae 2 dan 3, pertussis toxin (PT), lipopolisakarida (LPS), tracheal
colonization factor (TCF), dan kemungkinan filamentous hemaglutinin (FHA).

G. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Pertusis


1. Pencegahan primer
 Imunisasi aktif
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang
dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid
pertussis, difteria dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat prevalen
dalam masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2 minggu
dengan jarak 4 minggu. Anak-anak berumur > 7 tahun tidak rutin diimunisasi

Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama


adolesens infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai
sumber infeksi B. pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis
monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi diantara
orang dewasa yang terpapar

Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum


seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering
terjadi panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik,
hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam
dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada
saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam

Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit panas,


kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang.
Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau
reaksi berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi untuk
imunisasi pertussis. Kontraindikasi untuk pemberian vaksin pertussis
berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang

8
demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis 3
jam, “high picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam
2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan 40.5 C dalam 2 hari, atau timbul
anafilaksis
 Sosialisasi
 Menjaga kebersihan
2. Pencegahan sekunder
Lakukan deteksi dini atau pemesiksaan dini jika terdapat gejalah seperti demam,
nafas cepat atau sesak nafas segara lakukan pemeriksaan ke tenaga kesehatan untuk
mengatahui penyebab dan pengobatan yang tepat dan secepatnya
3. Pencegahan tersier
Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati keparahan
batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan
penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk
menilai kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada
puncak penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada
riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk
kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam 48-72
jam

Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor terus, pada
keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan oleh personel
perawat kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian makan,
muntah, dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan
Paroksismal khas yang tidak membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut
lamanya kurang dari 45 detik, perubahan warna merah tetapi tidak biru, bradikardi,
atau desaturasi oksigen yang secara spontan selesai pada akhir paroksismal, berteriak
atau kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir paroksismal, mengeluarkan
sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi bukan tidak berespons

Pengobatan antibiotik dengan eritromisisn (50 mg/kgBB/hari) atau ampisilin (100


mg/kgBB/hari), maksimum 2gram perhari diberikan selama 14 untuk mencegah relaps.
9
Pemberian antibiotik tidak memperpendek stadium paroksismal. Terapi suportif
ditujukan untuk mengurangi serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi.

H. Data Epidemiologi Penyakit Pertusis


Secara historis, wabah batuk rejan telah mencapai puncaknya di siklus tiga sampai
lima tahun, paling sering di musim panas dan awal musim gugur. Siklus ini kemungkinan
besar merupakan hasil dari banyak anak yang mengatasi batuk rejan, yang menyebabkan
peningkatan tajam dalam jumlah dari kasus. Begitu anak-anak ini pulih, mereka menjadi
kebal terhadap infeksi ulang, yang menyebabkan penurunan jumlah kasus. Oleh tahun
ketiga hingga kelima, cukup banyak anak yang kekurangan kekebalan akan telah lahir
bahwa epidemi dapat menyebar lagi populasi. Batuk rejan merajalela di seluruh dunia
sebelum penyebaran luas vaksinasi pada tahun 1940-an, dan hampir semua orang
mengembangkan batuk rejan selama masa kanak-kanak. Bahkan hari ini, setiap tahun ada
sekitar 50 juta kasus dan 300.000 kematian akibat batuk rejan di seluruh dunia. Sekitar 90
persen dari kasus dan kematian ini terjadi di negara berkembang, terutama di negara-
negara dengan tingkat vaksinasi yang rendah, pemeriksaan dini ketika mengalami gejalah

I. Segitiga Epidemiologi Penyakit Pertusis


1. Faktor host yang merupakan faktor resiko tibulnya penyakit pertusis adalah sbb:

 Umur
Pertusis dapat mengenai semua golongan umur dengankasus terbanyak terdapat pada
umur 1-5 tahun. Penderita pertusis termuda pada umur 16 hari. Hal inidisebabkan
karena pada umur 16 hari penderita belummendapatkan vaksin DPT sehingga belum
mempunyaikekebalan yang cukup terhadap penyakit pertusis.Dapat dilihat bahwa
jadwal untuk imunisasi DPT rutin pada anak di anjurkan pemberian 5 dosis pada
umur 2, 4, 6,15-18bulan dan umur 4 sampai 6 tahun atau saatmasuk sekolah. Dosis
ke-4 haruslah diberikansekurang-kurangnya 6 bulan setelah dosis ke-3 .sedangkan
pada umur 16 hari belum mencapai umuryang seharusnya untuk mendapatkan vaksin
DPT yang pertama yaitu 2 bulan.

10
 Jenis kelamin
Pertusis lebih banyak dialami oleh laki-laki daripada perempuan.Hal ini disebabkan
karena laki-laki lebih banyak beraktivitas diluar rumah dibandingkan dengan
perempuan sehinggamenyebabkan laki-laki lebih mudah mendapatkan infeksi
pertusis dan tingkat imunitas perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki karena
kromosom ) yang dimiliki oleh perempuan. Perempuan lebih kuat karena micro RNA
atau lebih dikenal dengan RNA yang terkandung dalam kromosom yang ber(ungsi
sebagai penguat sistem imun. Berdasarkan sebuah studi yang baru-baru ini diterbitkan
dalam jurnal bioessays!dikatakan bahwa microRNA memiliki efek kekebalan
menonaktifkan pada kromosom X laki-laki. Ini berarti bahwalaki-laki hanya memiliki
satu kromosom X yang merupakankerugian bagi mereka. Sementara wanita memiliki
duakromosom x yang berarti bahwa mereka masih memiliki satulagi bila satu
kromosom dinonaktifkan serta perempuan juga memiliki hormon estrogen yang
diperkaya dengan enzim bernama caspase-12 yang bisa membantu imunitas.

2. Agen adalah suatu substansi tertentu yang keberadaannyaatau ketidakberadaannya


diikuti kontak efektif padamanusia dapat menimbulkan penyakit ataumempengaruhi
perjalanan suatu penyakit. Agent " Bordetella pertussis” atau “Haemophilus
pertussis” Termasuk dalam agent biologi karena agent tersebutadalah bakteri yang
tergolong makhluk hidup

Bakteri ini memiliki bentuk batang yang membulat. B. pertussis termasuk dalam
kelompok besar bakteri yang disebut Gram negatif bakteri, yang memiliki membran
dalam dan luar, terpisah oleh dinding sel tipis, dan noda merah muda bila
diperlakukan dengan serangkaian pewarna (pewarnaan gram). Organisme ini hanya
ditemukan di saluran pernapasan saluran pernapasan dan dapat ditemukan dari
saluran hidung ke bawah yang bronkiolus . (Bronkiolus adalah cabang terkecil seperti
tabung saluran udara di paru-paru.) B. pertusis biasanya tidak masuk ke aliran darah,
dan tidak menginfeksi organ lain dan tisu. B. pertussis telah dilaporkan menyebabkan
penyakit hanya pada manusia; sampai saat ini tidak ada inang hewan yang telah
diidentifikasi. Di sekitar 5 persen dari kasus, batuk rejan juga disebabkan oleh bakteri

11
terkait, termasuk Bordetella parapertussis , meskipun gejalanya cenderung lebih
ringan dibandingkan dengan penyakit yang disebabkan oleh B. pertussis urutan DNA
perbandingan menunjukkan bahwa B. pertussis dan B. parapertussis terpisah
berevolusi dari bakteri yang secara genetik mirip, Bordetella bronkiseptik.

B. bronchiseptica adalah patogen penyebab penyakit pada berbagai hewan,


meskipun kadang-kadang dapat menginfeksi manusia. Patogen hewan dan manusia
ini memiliki perbedaan yang dramatis gaya hidup. B. bronchiseptica , dapat tetap
berada di saluran pernapasan dari inang yang terinfeksi, kadang-kadang selama sisa
hidup hewan. Di dalam Sebaliknya, B. pertussis biasanya akan dieliminasi setelah
satu atau dua kali bulan. Pertimbangan teoretis menunjukkan bahwa meluasnya
distribusi B. pertussis terjadi setelah populasi manusia masuk kota mencapai tingkat
yang cukup tinggi sehingga batuk rejan bisa dipertahankan sepanjang tahun, dan dari
tahun ke tahun. Di bawah ini kondisi, patogen yang menyebabkan infeksi yang intens
dan berumur pendek (seperti halnya dengan B. pertussis ) kemungkinan akan lebih
berhasil daripada mikroba yang menyebabkan infeksi jangka panjang yang lebih
ringan.

3. Lingkungan
Adalah segala sesuatu yang berada di sekitarmanusia yang mempengaruhi kehidupan
danperkembangan manusia. Environment lingkungan yang padat penduduknya,
lingkungan yang kurang bersih

12
BAB III

PENUTUP
Penyakit pertusis merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I). Pertusis adalah penyakit infeksi serius yang ditandai dengan batuk
rejan, yang secara klasik disebabkan oleh Bordetella pertussis, namun walaupun jarang
dapat pula disebabkan oleh Bordetella parapertussis. Masa inkubasi pertusis 6–21 hari,
rata-rata 7-10 hari. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara
sehingga pembentukan lendir semakin banyak Pada awalnya lendir encer, tetapi
kemudian menjadi kental dan lengket. Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan
berkembangan melalui 3 tahapan. Bakteri penyebab pertusis menghasilkan toksin
hemaglutinin berbentuk filamen, yang merubah protein G melalui reaksi ADP-ribosilat
dan mempunyai fungsi penting dalam kolonisasi dini Penularan terjadi melalui droplet
yang mengandung Bordetella pertusis dari pasien yang batuk dan mencapai traktus
respiratorius bagian atas dari orang yang suseptibel. Pencegahan bisa dengan cara
imunisasi aktif, sosialisasi, menjaga kebersihan, pemeriksaan dini ketika mengalami
gejalah, dan pengobatan segera.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Sir, P., Penyebaran, U., Pertusis, P., Pada, V., & Manusia, P. (2018). Pemodelan SIR
untuk penyebaran Penyakit Pertusis dengan Vaksinasi pada populasi Manusia Konstan.
Unnes Journal of Mathematics, 7(1), 96–107. https://doi.org/10.15294/ujm.v7i1.11878
2. Sariadji, K., Rizki, A., Sunarno, S., Puspandari, N., Rachmawati, F., Muna, F., Khariri,
K., Heriyanto, B., & Putranto, R. (2016). Studi Kasus Bordetella Pertussis pada Kejadian
Luar Biasa di Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah yang Dideteksi dengan PCR.
Jurnal Biotek Medisiana Indonesia, 5(1), 51–56.
3. Hanuddin, A., Syarif, J., & dkk. (2015). Kejadian Luar Biasa (KLB) Pertusis Di Desa
Tandasura Kecamatan Lomboro Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Selatan.
4. P, W. (2018). 392266_RS09_Pertusis-q.
5. Parker JN, P. P. (n.d.). W HOOPING C OUGH Medical dictionary, bibliography and
research guide to internet references.
6. Patrick G. Guilfoile, P. (1937). Whooping cough. Deadly diseases and epidemics. In
Zhurnal Eksperimental’noi i Teoreticheskoi Fiziki. http://scholar.google.com/scholar?
hl=en&btnG=Search&q=intitle:No+Title#0
7. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine. Missouri,
USA. Mosby Inc. 2009. Chapter 42. h: 693-699.
8. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses dari
http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.
9. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak
FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h:
564-566.
10. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus, diphtheria, and
pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular
pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33..
11. Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and Precautions
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00046738.htm

14

Anda mungkin juga menyukai