ARIANTY NAU
CAROLIN RANGKU
CECILIA MOLO
KUPANG
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan berkat-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makala ini tepat waktu. kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu kami dalam menyusun makalah ini. kami berharap agar
makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca, dan untuk memperoleh nilai mata kuliah
Epidemiologi penyakit menular.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG.....................................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH.................................................................................................................1
C. TUJUAN.........................................................................................................................................2
BAB II
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................3
A. Definisi Penyakit Pertusis/ Batuk Rejan..........................................................................................3
B. Penyebab Penyakit Pertusis.............................................................................................................3
C. Masa Inkubasi Penyakit Pertusis.....................................................................................................4
D. Gejala Klinis Penyakit Pertusis........................................................................................................4
E. Patofisiologi/patogenesis.................................................................................................................6
F. Cara Penularan.................................................................................................................................7
G. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Pertusis................................................................................8
H. Data Epidemiologi Penyakit Pertusis.............................................................................................10
I. Segitiga Epidemiologi Penyakit Pertusis.......................................................................................10
BAB III
PENUTUP.................................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................14
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit yang dalam Bahasa Inggris disebut “whooping cough” adalah suatu
penyakit yang menular yang ditularkan melalui udara. Gejala awal mirip dengan infeksi
saluran napas lainnya seperti pilek dengan lendir cair dan jernih, mata merah dan berair,
batuk ringan dan demam ringan. Pada stadium ini, kuman paling mudah menular. Setelah
1 – 2 minggu, timbullah stadium kedua dimana frekuensi dan derajat batuk bertambah.
Stadium penyembuhan terjadi 2 – 4 minggu kemudian namun batuk bisa menetap hingga
lebih dari 1 (satu) bulan. Selain menyerang anak – anak, batuk pertusis juga menyerang
bayi di bawah 1 (satu) tahun. Namun dengan digalakkannya vaksinasi untuk pertusis,
angka kematian bisa ditekan dan seiring dengan semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi diharapkan pertusis tidak diketemukan lagi meskipun ada
kasusnya namun tidak signifikan. Mengingat pentingnya pembekalan pengetahuan dan
pemahaman masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya maka disusunlah
makalah Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yang berjudul
“Pertusis”.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi dari penyakit pertusis?
2. Apa penyebab dari penyakit pertusis?
3. Berapa lama masa inkubasi penyakit pertusis?
4. Apa gejala klinis dari penyakit pertusis?
5. Bagaimana patofisiologi/patogenesis penyakit pertusis?
6. Bagaimana cara penularan penyakit pertusis?
7. Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan penyakit pertusis?
8. Contoh data epidemiologi penyakit pertusis?
9. Bagaimana segitiga epidemiologi penyakit pertusis?
1
C. TUJUAN
1. Mengetahi definisi dari penyakit pertusis
2. Mengetahui dari penyakit pertusis
3. Mengetahui lamanya masa inkubasi dari penyakit pertusis
4. Mengetahui gejala klinis dari penyakit pertusis
5. Mengetahui patofisiologi/patogenesis penyakit pertusis
6. Mengetahui cara penularan penyakit pertusis
7. Mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit pertusis
8. Melihat dan menganalisis data epidemiologi penyakit pertusis
9. Mengetahui segitiga epidemiologi penyakit pertusis
2
BAB II
PEMBAHASAN
Bakteri ini memiliki bentuk batang yang membulat. B. pertussis termasuk dalam
kelompok besar bakteri yang disebut Gram negatif bakteri, yang memiliki membran
dalam dan luar, terpisah oleh dinding sel tipis, dan noda merah muda bila diperlakukan
3
dengan serangkaian pewarna (pewarnaan gram). Organisme ini hanya ditemukan di
saluran pernapasan saluran pernapasan dan dapat ditemukan dari saluran hidung ke
bawah yang bronkiolus . (Bronkiolus adalah cabang terkecil seperti tabung saluran udara
di paru-paru.) B. pertusis biasanya tidak masuk ke aliran darah, dan tidak menginfeksi
organ lain dan tisu. B. pertussis telah dilaporkan menyebabkan penyakit hanya pada
manusia; sampai saat ini tidak ada inang hewan yang telah diidentifikasi. Di sekitar 5
persen dari kasus, batuk rejan juga disebabkan oleh bakteri terkait, termasuk Bordetella
parapertussis , meskipun gejalanya cenderung lebih ringan dibandingkan dengan penyakit
yang disebabkan oleh B. pertussis urutan DNA perbandingan menunjukkan bahwa B.
pertussis dan B. parapertussis terpisah berevolusi dari bakteri yang secara genetik mirip,
Bordetella bronkiseptik.
4
Lesu
Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi sepanjang
hari)
2. Tahap Paroksismal
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 5-15
kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi. Batuk bisa
disertai pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak
atau tampak sebagai gelembung udara di hidungnya).
Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah. Serangan
batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat sementara. Pada bayi,
apnea (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan dengan tarikan
nafas yang bernada tinggi
3. Tahap Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk semakin
berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk
terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan.
5
dengan batuk yang sangat parah, hernia dapat berkembang, retina di mata dapat
terlepas, dan tekanan di tengkorak dapat meningkat ke titik di mana pembuluh darah
sel di otak pecah
E. Patofisiologi/patogenesis
Bakteri penyebab pertusis menghasilkan toksin hemaglutinin berbentuk filamen,
yang merubah protein G melalui reaksi ADP-ribosilat dan mempunyai fungsi penting
dalam kolonisasi dini.
6
dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin,
sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel
mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik
terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan
infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis
F. Cara Penularan
Penularan terjadi melalui droplet yang mengandung Bordetella pertusis dari
pasien yang batuk dan mencapai traktus respiratorius bagian atas dari orang yang
suseptibel. Faktor yang mempengaruhi penularan adalah sanitasi, higiene lingkungan dan
pribadi yang buruk, karena penyebaran tidak langsung bisa juga terjadi dari pasien ke
lingkungan melalui sekresi respiratorius dan selanjutnya tangan host yang baru akan
mentransfer kuman ini sehingga terjadi inokulasi di traktus respiratorius.
7
pertactin, fimbriae 2 dan 3, pertussis toxin (PT), lipopolisakarida (LPS), tracheal
colonization factor (TCF), dan kemungkinan filamentous hemaglutinin (FHA).
8
demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis 3
jam, “high picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam
2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan 40.5 C dalam 2 hari, atau timbul
anafilaksis
Sosialisasi
Menjaga kebersihan
2. Pencegahan sekunder
Lakukan deteksi dini atau pemesiksaan dini jika terdapat gejalah seperti demam,
nafas cepat atau sesak nafas segara lakukan pemeriksaan ke tenaga kesehatan untuk
mengatahui penyebab dan pengobatan yang tepat dan secepatnya
3. Pencegahan tersier
Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati keparahan
batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan
penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk
menilai kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada
puncak penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada
riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk
kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam 48-72
jam
Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor terus, pada
keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan oleh personel
perawat kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian makan,
muntah, dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan
Paroksismal khas yang tidak membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut
lamanya kurang dari 45 detik, perubahan warna merah tetapi tidak biru, bradikardi,
atau desaturasi oksigen yang secara spontan selesai pada akhir paroksismal, berteriak
atau kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir paroksismal, mengeluarkan
sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi bukan tidak berespons
Umur
Pertusis dapat mengenai semua golongan umur dengankasus terbanyak terdapat pada
umur 1-5 tahun. Penderita pertusis termuda pada umur 16 hari. Hal inidisebabkan
karena pada umur 16 hari penderita belummendapatkan vaksin DPT sehingga belum
mempunyaikekebalan yang cukup terhadap penyakit pertusis.Dapat dilihat bahwa
jadwal untuk imunisasi DPT rutin pada anak di anjurkan pemberian 5 dosis pada
umur 2, 4, 6,15-18bulan dan umur 4 sampai 6 tahun atau saatmasuk sekolah. Dosis
ke-4 haruslah diberikansekurang-kurangnya 6 bulan setelah dosis ke-3 .sedangkan
pada umur 16 hari belum mencapai umuryang seharusnya untuk mendapatkan vaksin
DPT yang pertama yaitu 2 bulan.
10
Jenis kelamin
Pertusis lebih banyak dialami oleh laki-laki daripada perempuan.Hal ini disebabkan
karena laki-laki lebih banyak beraktivitas diluar rumah dibandingkan dengan
perempuan sehinggamenyebabkan laki-laki lebih mudah mendapatkan infeksi
pertusis dan tingkat imunitas perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki karena
kromosom ) yang dimiliki oleh perempuan. Perempuan lebih kuat karena micro RNA
atau lebih dikenal dengan RNA yang terkandung dalam kromosom yang ber(ungsi
sebagai penguat sistem imun. Berdasarkan sebuah studi yang baru-baru ini diterbitkan
dalam jurnal bioessays!dikatakan bahwa microRNA memiliki efek kekebalan
menonaktifkan pada kromosom X laki-laki. Ini berarti bahwalaki-laki hanya memiliki
satu kromosom X yang merupakankerugian bagi mereka. Sementara wanita memiliki
duakromosom x yang berarti bahwa mereka masih memiliki satulagi bila satu
kromosom dinonaktifkan serta perempuan juga memiliki hormon estrogen yang
diperkaya dengan enzim bernama caspase-12 yang bisa membantu imunitas.
Bakteri ini memiliki bentuk batang yang membulat. B. pertussis termasuk dalam
kelompok besar bakteri yang disebut Gram negatif bakteri, yang memiliki membran
dalam dan luar, terpisah oleh dinding sel tipis, dan noda merah muda bila
diperlakukan dengan serangkaian pewarna (pewarnaan gram). Organisme ini hanya
ditemukan di saluran pernapasan saluran pernapasan dan dapat ditemukan dari
saluran hidung ke bawah yang bronkiolus . (Bronkiolus adalah cabang terkecil seperti
tabung saluran udara di paru-paru.) B. pertusis biasanya tidak masuk ke aliran darah,
dan tidak menginfeksi organ lain dan tisu. B. pertussis telah dilaporkan menyebabkan
penyakit hanya pada manusia; sampai saat ini tidak ada inang hewan yang telah
diidentifikasi. Di sekitar 5 persen dari kasus, batuk rejan juga disebabkan oleh bakteri
11
terkait, termasuk Bordetella parapertussis , meskipun gejalanya cenderung lebih
ringan dibandingkan dengan penyakit yang disebabkan oleh B. pertussis urutan DNA
perbandingan menunjukkan bahwa B. pertussis dan B. parapertussis terpisah
berevolusi dari bakteri yang secara genetik mirip, Bordetella bronkiseptik.
3. Lingkungan
Adalah segala sesuatu yang berada di sekitarmanusia yang mempengaruhi kehidupan
danperkembangan manusia. Environment lingkungan yang padat penduduknya,
lingkungan yang kurang bersih
12
BAB III
PENUTUP
Penyakit pertusis merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I). Pertusis adalah penyakit infeksi serius yang ditandai dengan batuk
rejan, yang secara klasik disebabkan oleh Bordetella pertussis, namun walaupun jarang
dapat pula disebabkan oleh Bordetella parapertussis. Masa inkubasi pertusis 6–21 hari,
rata-rata 7-10 hari. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara
sehingga pembentukan lendir semakin banyak Pada awalnya lendir encer, tetapi
kemudian menjadi kental dan lengket. Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan
berkembangan melalui 3 tahapan. Bakteri penyebab pertusis menghasilkan toksin
hemaglutinin berbentuk filamen, yang merubah protein G melalui reaksi ADP-ribosilat
dan mempunyai fungsi penting dalam kolonisasi dini Penularan terjadi melalui droplet
yang mengandung Bordetella pertusis dari pasien yang batuk dan mencapai traktus
respiratorius bagian atas dari orang yang suseptibel. Pencegahan bisa dengan cara
imunisasi aktif, sosialisasi, menjaga kebersihan, pemeriksaan dini ketika mengalami
gejalah, dan pengobatan segera.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Sir, P., Penyebaran, U., Pertusis, P., Pada, V., & Manusia, P. (2018). Pemodelan SIR
untuk penyebaran Penyakit Pertusis dengan Vaksinasi pada populasi Manusia Konstan.
Unnes Journal of Mathematics, 7(1), 96–107. https://doi.org/10.15294/ujm.v7i1.11878
2. Sariadji, K., Rizki, A., Sunarno, S., Puspandari, N., Rachmawati, F., Muna, F., Khariri,
K., Heriyanto, B., & Putranto, R. (2016). Studi Kasus Bordetella Pertussis pada Kejadian
Luar Biasa di Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah yang Dideteksi dengan PCR.
Jurnal Biotek Medisiana Indonesia, 5(1), 51–56.
3. Hanuddin, A., Syarif, J., & dkk. (2015). Kejadian Luar Biasa (KLB) Pertusis Di Desa
Tandasura Kecamatan Lomboro Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Selatan.
4. P, W. (2018). 392266_RS09_Pertusis-q.
5. Parker JN, P. P. (n.d.). W HOOPING C OUGH Medical dictionary, bibliography and
research guide to internet references.
6. Patrick G. Guilfoile, P. (1937). Whooping cough. Deadly diseases and epidemics. In
Zhurnal Eksperimental’noi i Teoreticheskoi Fiziki. http://scholar.google.com/scholar?
hl=en&btnG=Search&q=intitle:No+Title#0
7. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine. Missouri,
USA. Mosby Inc. 2009. Chapter 42. h: 693-699.
8. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses dari
http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.
9. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak
FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h:
564-566.
10. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus, diphtheria, and
pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular
pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33..
11. Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and Precautions
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00046738.htm
14