Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

HADIST

TENTANG

POSISI HADIST DALAM ISLAM DAN POSISI SETELAH HADIST

OLEH KELOMPOK 2:

IKHWAN AL HAFIZ (2001022)

ADINDA OKTAVIA (2001001)

LASMI GUSNIARTI (2001032)

DOSEN PENGAMPU:

Dr. ZAINAL, M.Ag

JURUSAN PAI

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)

SYEKH BURHANUDIN

1443 H/2021 M
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji atas kehadirat Allah ‘Azza wa jalla atas segala
nikmat yang telah diberikan kepada kita semua sehingga kita masih bisa menikmati
kehidupan sampai saat sekarang ini dan kami dapat menyelesaikan makalah kami.
Shalawat dan salam tak lupa pula kita hadiahkan kepada Nabi besar Muhammad
Shalllallahu ‘alaihi wasallam yang telah membawa kita dari zaman yang tidak
berilmu pengetahuan ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan yang kita
rasakan pada saat sekarang ini.

Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada dosen pengampu mata kuliah
Hadist yang telah membimbing kami dalam penulisan makalah ini. Ucapan terima
kasih kami juga ucapkan kepada semua pihak yang memberikan bantuan untuk
menyelesaikan makalah kami.

Terlepas dari semua itu kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan
agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................i

DAFTAR ISI .................................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN ...........................................................................1

A. Latar Belakang .....................................................................................1


B. Rumusan Masalah ................................................................................1

BAB II : PEMBAHASAN.............................................................................2

A. Posisi hadist dalam islam......................................................................2


B. Posisi setelah hadist..............................................................................5

BAB III : PENUTUP ....................................................................................9

A. Kesimpulan ..........................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadist merupakan sumber ajaran islam yang kedua setelah Al-Qur'an, hadist
meliputi sabda nabi, perbuatan , dan taqrir (ketetapan) darinya. sebagai sumber ajaran
islam yang kedua, hadist perlu mendapat pengkajian yang mendalam karena hadist
memiliki beberapa fungsi terhadap Al-Qur‟an, salah satunya adalah melengkapi
hukum agama yang tidak diatur didalam Al-Qur‟an. mempelajari dan mengkaji
hukum agama harus secara mendalam dan menyeluruh mencakup sisi periwayatan
maupun kualitas dan kesahihan hadist. mempelajari dan mengkaji hadist ini
merupakan kegiatan yang kompleks mengingat kodifikasi hadist dilakukan dua abad
setelah nabi hijrah, sehingga terdapat kemungkinan terjadi distorsi terhadap hadist.
oleh karena itu penelitian terhadap hadist harus menyeluruh dan serius agar diperoleh
hadist yang berkualitas.

Hadist sebagai sumber ajaran islam tentunya memiliki peran yang sangat
fundamental bagi kehidupan manusia terutama umat islam. baik pada zaman dahulu
ataupun dizaman yang modern seperti sekarang ini, hadist harus tetap dijadikan
rujukan atau pedoman dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul
dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hal ini umat islam menyakini bahwa al-
Qur'an dan hadist merupakan sumber hukum islam yang tidak bisa dipisahkan dalam
kepentingan istidlal dan dipandang sebagai sumber pokok yang satu, yaitu nash.
keduanya saling menopang secara sempurna dalam menjelaskan syari‟ah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana posisi hadis dalam islam?
2. Apa posisi setelah hadis?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Posisi Hadis Dalam Islam

Kedudukan hadis dalam Islam sebagai sumber hukum. Para ulama juga telah
berkonsensus bahwa dasar hukum Islam adalah Al-Quran dan hadis. Dari segi urutan
tingkatan dasar Islam ini, hadis menjadi dasar hukum Islam (tasyri’iyyah) kedua
setelah Al-Quran.1 Hal ini dapat dimaklumi karena beberapa alasan sebagai berikut:

a. Fungsi hadis sebagai penjelas terhadap Al-Quran

Hadis berfungsi sebagai penjelas atau tambahan terhadap Al-Quran. Tentunya


pihak penjelas diberikan peringkat kedua setelah pihak yang dijelaskan. Teks Al-
Quran sebagai pokok asal, sedangkan sunnah sebagai penjelas (tafsir) yang dibangun
karenanya. Dengan demikian segala uraian dalam sunnah berasal dari Al-Quran.

b. Mayoritas sunnah relatif kebenarannya.

Seluruh umat Islam juga telah berkonsensus bahwa Al-Quran seluruhnya


diriwiyatakan secara mutawatir (para periwayat secara kolektif dalam segala
tingkatan). Maka ia memberi faedah absolut kebenarannya dari Nabi, kemudian di
antaranya ada yang memberi petunjuk makna secara tegas dan pasti dan secara relatif
petunjuknya. Sedangkan hadis, diantaranya ada yang muatawatir yang memberikan
faedah absolut kebenarannya, dan di antaranya bahkan yang mayoritas ahad
(periwayatnya secara individual) memberikan faedah relatif kebenarannya bahwa ia
dari Nabi meskipun secara umum dapat dikatakan absolut kebenarannya.

1
Muhammad A. Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009), hlm. 37.

2
Ada beberapa dalil yang menunjukkan atas kehujahan hadis dijadikan sebagai
sumber hukum Islam, yaitu sebagai berikut:

1. Dalil Al-Qur’an

Dalam Al-Quran banyak terdapat ayat yang menegaskan tentang kewajiban


mengikuti Allah yang digandengkan dengan ketaatan mengikuti rasul-Nya, seperti
firman Allah dalam Qs. An- nisa' ayat 59:

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad),
dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa: 59).

Disamping itu, banyak juga ayat yang mewajibkan ketaatan kepada rasul
secara khusus dan terpisah karena pada dasarnya ketaatan kepada rasul berarti
ketaatan kepada Allah SWT, yaitu:

1) Q.S An-Nisa (4) ayat 65 dan 80


2) Q.S Ali Imran (3) ayat 31
3) Q.S AN-Nur (24) ayat 56, 62 dan 63
4) Q.S Al-A’raf (7) ayat 158.

Selain Allah memerintahkan agar umat Islam agar percaya kepada Rasul
SAW, juga menyerukan agar menaati segala bentuk perundang-undangan dan
peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan
patuh kepada Rasul SAW ini sama halnya dengan tuntutan taat kepada Allah SWT.
Banyak ayat Al-Quran yang berkenaan dengan masalah itu.2

2. Dalil Hadits

2
Mudasir Haji, Ilmu Hadis (Bandung : Pustaka Setia, 1999). h. 27

3
Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan keharusan
menjadikan hadis sebagai pedoman hidup, di samping Al-Quran sebagai pedoman
utamanya. Beliau bersabda:

َ ِ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬


ُ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل تَ َر ْك‬
‫ت‬ ِ ‫ع َْن أَبِي هُ َري َْرةَ َر‬

‫َاب هَّللا ِ َو ُسنَّةَ نَبِيِّ ِه‬ ِ ‫فِي ُك ْم أَ ْم َر ْي ِن لَ ْن ت‬.


َ ‫َضلُّوا َما تَ َم َّس ْكتُ ْم بِ ِه َما ِكت‬

“Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW, bahwa Rasulullah bersabda: "Telah Aku
tinggalkan pada diri kamu sekalian dua perkara sehingga kamu tidak akan sesat
selama kamu berpegang teguh kepadanya. Yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya"
(HR. Malik).

3. Dalil Ijma Ulama

Setelah Rasulullah wafat, para sahabat sepakat bahwa apa-apa yang berasal
dari Rasulullah, baik perbuatan, perkataan dan takrirnya dijadikan sebagai landasan
untuk menjalankan agama.

Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadis


sebagai sumber hukum Islam, antara lain dapat diperhatikan peristiwa di bawah ini:

1) Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi Khalifah, ia pernah berkata “Saya tidak
meninggalkan sedikit pun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh
Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.
2) Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata “Saya tahu bahwa engkau
adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya
tidak akan menciummu”.
3) Pernah ditanyakan kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan shalat safar
dalam Al-Quran. Ibnu Umar menjawab: “Allah SWT telah mengutus Nabi
Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu.

4
Sesungguhnya kami berbuat sebagaimana duduknya Rasulullah SAW, saya
makan sebagaimana makannya Rasulullah dan saya sahalat sebagaimana
shalatnya Rasul”.
4) Diceritakan dari Sa’id bin Musayyab bahwa Usman bin ‘Affan berkata: “Saya
duduk sebagaimana duduknya Rasulullah SAW, saya makan sebagaimana
makannya Rasulullah dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul”.
4. Dalil Akal (Rasio)

Maksud dari dalil ini adalah argumen yang disusun berdasarkan pendekatan
akal untuk menjelaskan kedudukan hadis. Kerasulan Nabi Muhammad SAW telah
diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-
kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT, baik
isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan
ilham dari Tuhan. Namun, tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata
mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga tidak dibimbing
oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada nas yang menasakhnya.3

B. Posisi Setelah Hadis


1. Hadis sebagai Bayan Tafshil

Yang di maksud dengan bayan tasfsil di sini adalah bahwa hadits itu
menjelaskan atau memperinci kemujmalan Al-Quran. Karena Al-Quran bersifat
mujmal (global), maka agar ia dapat berlaku sepanjang masa dan dalam keadaan
bagaimanapun diperlakukan perincian. Maka dari itu diperlukan adanya hadis atau
sunnah. Mujmal dalam pengertian ini adalah suatu lafaz yang belum jelas dilalahnya
atau masih bersifat umum dalam penunjukannya. Dengan hadis diharapkan dapat
diketahui dengan jelas maksud dan penunjukannya.

3
Munazier Sutopo, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003). h. 55.

5
Dalam Al-Quran ada perintah melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat,
mengerjakan ibadah haji. Namun teknik operasional tidak dijumpai didalam Al-
Quran, teknik pelaksanaan tersebut dijelaskan di dalam hadis.

2. Hadis sebagai Bayan Takhshish

Dalam hal ini hadis bertindak sebagai penjelas tentang kekhususan ayat-ayat
yang masih bersifat umum. ‘Amm dalam pengertian ini adalah suatu lafaz yang
menunjukkan suatu makna yang mencakup seluruh satuan makna yang tidak terbatas
dalam satuan tertentu. Dengan kata lain, semua lafaz yang mencakup semua makna
yang pantas dengan suatu ucapan saja. Misalnya lafaz al-Muslimun (orang-orang
Islam), al-rijal (anak-anak laki-lakimu), dan lain-lain. Misalnya, terkait informasi Al-
Quran tentang ketentuan anak laki-laki yang dapat mewarisi orang tua dari
keluarganya, di dalam Al-Quran dijelaskan sebagai berikut: “Allah telah
mewasiatkan kepadamu tentang bagian anak-anakmu, yakni untuk laki-laki sama
dengan dua bagian untuk anak perempuan”. (Q.S. An-Nisa: 11). Ayat ini tidak
menjelaskan syarat-syarat untuk dapat saling mewarisi antara keluarga. Selanjutnya
hal itu dijelaskan oleh hadis yang menerangkan tentang persyaratan khusus tentang
kebisaan saling mewarisi tersebut, antara lain tidak berlainan agama dan tidak ada
tindakan pembunuhan di antara mereka.

3. Hadis Sebagai Bayan Taqyid

Bayan taqyid adalah penjelasan terhadap Al-Qur’an dengan cara membatasi ayat-
ayat yang bersifat mutlak dengan keadaan, sifat dan syarat tertentu. Istilah mutlak
maksudnya adalah hakikat dari suatu ayat yang hanya berorientasi pada dhohirnya
tanpa memiliki limitasi yang dapat membuat pagar hukum yang sistematis. Adapun
contoh hadits yang memiliki pembatasan hukum adalah:

“Dari 'Aisyah bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak


boleh dipotong tangan seorang pencuri, kecuali sebesar seperempat dinar atau

6
lebih." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Muslim. Menurut Lafadz
Bukhari: "Tangan seorang pencuri dipotong (jika mengambil sebesar seperempat
dinar atau lebih." Menurut riwayat Ahmad: "Potonglah jika mengambil seperempat
dinar dan jangan memotong jika mengambil lebih kurang daripada itu”.

Hadits di atas dalam prakteknya yaitu membatasi hukuman pencuri yang


secara hukum tetap ia dipotong tangannya sebagaimana dijelaskan secara mutlak
dalam ayat:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari
Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. Al-Maidah (5) ayat 38).

Ayat ini menjelaskan tentang hukum mutlak potong tangan bagi pencuri laki-
laki dan perempuan tanpa ada suatu pembatas takaran curiannya. Ayat ini
mengobligasikan potong tangan secara mutlak. Maka, kemudian hadis datang untuk
membatasi hukum bahwa yang dikenakan potongan tangan adalah bagi mereka yang
mencuri seperempat dinar atau lebih.

4. Hadis sebagai Bayan Ta’kid

Hadis berfungsi juga sebagai penguat hukum-hukum yang ada di dalam Al-
Quran. Suatu ketetapan hukum tentang suatu masalah memiliki dua sumber atau
argumentasi, yakni Al-Quran dan Sunnah. Selain itu sunnah dalam konteks ini
melengkapi sebagian cabang-cabang hukum yang berasal dari Al-Quran.

Dalam Al-Quran banyak ayat yang saling menguatkan dengan sunnah.


Misalnya ayat Al-Quran tentang puasa Ramadhan, Allah berfirman:

“Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan AL-Quran sebagi petunjuk


bagi manusia dan sebagai penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara

7
yang hak dan batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu melihat bulan, maka
hendaklah dia berpuasa pada bulan itu”. (Q.S. Al-Baqarah: 15).

Ayat ini dikuatkan oleh hadis Nabi yang berbunyi: “Berpuasalah kamu setelah
melihat bulan itu dan berbukalah setelah melihat bulan juga” (H.R. Bukhari-Muslim).

5. Hadis sebagai Bayan Tasyri’

Bayan tasyri’ adalah penjelasan hadis Nabi yang mendefenisikan suatu


ketetapan hukum secara independen yang tidak didapati dalam nash-nash Al-Quran
secara tekstual. Penjelasan itu muncul dengan sebab adanya permasalahan-
permasalahan yang timbul di antara masyarakat. Di sinilah hadis Nabi mengeluarkan
penjelasan dan sekaligus keputusan dengan tidak berorientsi terhadap Al-Quran
namun tetap ada bimbingan langsung dari sang pemilik semesta, Allah SWT.
Misalnya hadits Nabi:

“Tidak boleh menikahi seorang perempuan bersamaan dengan bibinya dari pihak
bapak & tak boleh menikahi perempuan bersamaan dengan bibinya dari pihak
ibunya”. (HR. Malik No.977).

Hadits di atas menjelaskan bahwa seseorang dilarang mempoligami


perempuan bersamaan dengan bibinya. Disini Nabi memutuskan suatu hukum akan
larangan itu. Dalam Al-Quran tidak ada sebuah ayat tersurat tentang larangan
mengawini perempuan bersamaan dengan bibinya baik dari arah ayah maupun ibu.
Hanya ada dalam Al-Quran keterangan-keterangan tentang dilarangnya menikahi
perempuan beserta keluarganya, seperti ibu, saudara, anak dan sebagainya. Disinilah
hadis mejelaskan haramnya menikahi bibi perempuan yang dinikahi tanpa
berorientasi terhadap Al-Quran dalam membuat keputusan itu.4

4
Yusuf Qardhawi, Bagaimana memahami Hadis Nabi SAW (Bandung: Karisma, 1993), h. 77

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Al-Quran memang merupakan pedoman umat Islam yang utama, namun isi
dan redaksi dari Al-Quran itu sendiri masih sangat bersifat global (mujmal). Maka
dari itu kedudukan hadis dalam Islam yang utama adalah menjelaskan ayat-ayat Al-
Quran yang masih global. Rasulullah diperintahkan untuk menjelaskan tiap-tiap
ajaran kepada para sahabat setelah beliau mendapatkan penjelasan dari Jibril.

Peran kedua adalah agar hadis menjadi pedoman ketika muncul persoalan-
persoalan yang tidak secara spesifik terdapat dalam Al-Quran. Setelah masa
Rasulullah SAW. Al-Quran dan Hadis dijadikan sebagai rujukan para ulama untuk
mengeluarkan fatwa dan aturan lainya. Karena tidak menutup kemungkinan
perseteruan akan terjadi di masa yang akan datang berhubungan dengan hukum dalam
Al-Quran.

Peran yang ketiga, menjaga agar ayat-ayat Al-Quran tidak secara


sembarangan dilencengkan sehingga seolah ayat-ayat Al-Quran berkontradiksi.
Penjelasan Rasulullah sudah merupakan penjelasan yang dapat dipahami bahwa juga
telah ditafsirkan mendalam oleh para ulama.Rasulullah yang bergelar uswatun
hasanah segala ucapan dan kepribaianya adalah pencitraan dari Al-Quran. Sehingga
umat Islam yang mengikuti hadis-hadis Rasulullah adalah mereka yang juga taat
kepada Al-Quran.

9
DAFTAR PUSAKA

Muhammad A. Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009),

Mudasir Haji, Ilmu Hadis (Bandung : Pustaka Setia, 1999)

Munazier Sutopo, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003)

Yusuf Qardhawi, Bagaimana memahami Hadis Nabi SAW (Bandung: Karisma,


1993)

Anda mungkin juga menyukai