DISUSUN OLEH :
SHARIMA TAHIRA
19112260
KELOMPOK A
A. DEFENISI
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau mengalihkan”.
Melitus berasal dari bahasa latin yang bermakna manis atau madu. Penyakit diabetes melitus
dapat diartikan idividu yang mengalirkan volume urine yang banyak dengan kadar glukosa
absolute insulin atau penurunan relative insensitivitas sel terhadap insulin (Corwin, 2009).
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan
metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata,
ginjal, saraf, dan pembuluh darah (Mansjoer dkk, 2007).
Diabetes melitus tipe 1 lebih diakibatkan oleh karena berkurangnya sekresi insulin
akibat kerusakan sel beta pankreas yang didasari oleh proses autoimun (Rustama dkk., 2010).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Diabetes melitus adalah suatu penyakit dimana kadar
glukosa atau kadar gula dalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat menghasilkan atau
menggunakan insulin secara efektif, hal ini bisa disebabkan oleh keturunan, pola makan, gaya
hidup dan stress dengan tanda dan gejala sering kencing malam, berat badan menurun, capat
lapar, badan gatal-gatal, mudah mengantuk, penglihatan kabur, dan kesemutan
Anatomi Fisiologi
B. ETIOLOGI
Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan
metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata,
ginjal, saraf, dan pembuluh darah (Mansjoer dkk, 2007).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Diabetes melitus adalah suatu penyakit dimana kadar
glukosa atau kadar gula dalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat menghasilkan atau
menggunakan insulin secara efektif, hal ini bisa disebabkan oleh keturunan, pola makan, gaya
hidup dan stress dengan tanda dan gejala sering kencing malam, berat badan menurun, capat
lapar, badan gatal-gatal, mudah mengantuk, penglihatan kabur, dan kesemutan.
C. KLAFISIKASI
Klasifikasi diabetes mellitus menurut (Corwin, 2009):
Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)
Lima sampai sepuluh persen penderita diabetik adalah tipe I. Sel-sel beta dari pankreas
yang normalnya menghasilkan insulin dihancurkan oleh proses autoimun. Diperlukan suntik
insulin untuk mengontrol kadar gula darah. Awitannya mendadak biasanya terjadi sebelum usia
30 tahun.
E. PATOFISIOLOGI
Diabetes tipe I. Diabetes tipe satu terdapat tidak mampuan untuk menghasilkan insulin
karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi
akibat produkasi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari
makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan
hiperglikemia posprandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin
(glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan
disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis
osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan
dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak yang
menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan
(polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan
kelemahan. Keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang
disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari dari asam-asam amino dan
substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan
dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia.
Badan keton merupakan asam yang menggangu keseimbangan asam basa tubuh apabila
jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-tanda dan
gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak
ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin
bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan
metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai
pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang penting.
Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi, dan
dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia urin. Perasaan
haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap
dehidrasi. Karena itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut.
Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat pada pasien DM usia
lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami infeksi akut. Defisiensi insulin yang
tadinya bersifat relatif sekarang menjadi absolut dan timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala
khas hiperventilasi dan dehidrasi, kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan
ketonemia. Gejala yang biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan
berkeringat banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak bermanifestasi
sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak.
Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang. Sedangkan gejala kebingungan dan
koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral tampak lebih jelas.
F. WOC
DM tipe 1 DM tipe 2
Defisinsi insulin
Komplikasi Kronik
Umumnya terjadi 10 sampai 15 tahun setelah awitan
1) Makrovaskular (penyakit pembuluh darah besar), mengenai sirkulasi koroner, vaskular
perifer dan vaskular serebral.
2) Mikrovaskular (penyakit pembuluh darah kecil), mengenai mata (retinopati) dan ginjal
(nefropati). Kontrol kadar gula darah untuk memperlambat atau menunda awitan baik
komplikasi mikrovaskular maupun makrovaskular.
3) Penyakit neuropati, mengenai saraf sensorik-motorik dan autonomi serta menunjang
masalah seperti impotensi dan ulkus pada kaki.
4) Rentan infeksi, seperti tuberkulosis paru dan infeksi saluran kemih
5) Ulkus/gangren/kaki diabetik.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :
1) Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah puasa >120 mg/dl dan dua jam
post prandial > 200 mg/dl.
2) Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan dengan cara
Benedict (reduksi). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna pada urine : hijau (+),
kuning (++), merah (+++), dan merah bata (++++).
3) Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis
kuman.
4) Aseton plasma (keton) positif secara mencolok.
5) Asam lemak bebas: kadar lipid dan kolesterol meningkat.
6) Osmolalitas serum: meningkat tapi biasanya < 330 mOsm/I.
7) Elektrolit: Na mungkin normal, meningkat atau menurun, K normal atau peningkatan semu
selanjutnya akan menurun, fosfor sering menurun.
8) Gas darah arteri: menunjukkan Ph rendah dan penurunan HCO3.
9) Trombosit darah: Ht meningkat (dehidrasi), leukositosis dan hemokonsentrasi merupakan
respon terhadap stress atau infeksi.
10) Ureum/kreatinin: mungkin meningkat atau normal.
11) Insulin darah: mungkin menurun atau tidak ada (Tipe I) atau normal sampai tinggi (Tipe
II).Kultur dan sensitivitas: kemungkinan adanya ISK, infeksi pernafasan dan infeksi luka.
Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl).
Pemeriksaan Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah sewaktu
- Plasma vena
- Darah kapiler < 100 100-200 >200
Kadar glukosa darah puasa <80 80-200 >200
- Plasma vena
- Darah kapiler
<110 110-120 >126
<90 90-110 >110
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :
1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr
karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl.
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan
kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan
terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal.
a.Diet
Penatalaksanaan nutrisi pada penderita DM diarahkan untuk mencapai tujuan berikut
1) Mencukupi semua unsur makanan essensial (misalnya vitamin dan mineral).
2) Mencapai dan mempertahankan berat badan (BMI) yang sesuai. Penghitungan.
BMI=BB (kg)/(TB (m))2
BMI normal wanita = 18,5 – 22,9 kg/m2
BMI normal pria = 20 – 24,9 kg/m2
3) Memenuhi kebutuhan energi.
4) Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan mengupayakan kadar
glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang aman dan praktis.
5) Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat
b.Olahraga
Olahraga atau latihan fisik dilakukan sebagai berikut:
5 – 10’ pemanasan.
20 – 30’ latihan aerobic (75 – 80% denyut jantung maksimal).
15 – 20’ pendinginan.
Namun sebaiknya dalam berolahraga juga memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
1) Jangan lakukan latihan fisik jika glukosa darah >250 mg/dL.
2) Jika glukosa darah <100 mg/dL sebelum latihan, maka sebaiknya makan camilan dahulu.
3) Rekomendasi latihan bagi penderita dengan komplikasi disesuaikan dengan kondisinya.
4) Latihan dilakukan 2 jam setelah makan.
5) Pada klien dengan gangrene kaki diabetic, tidak dianjurkan untuk melakukan latihan fisik
yang terlalu berat
ASUHAN KEPERAWATAN
A.PENGKAAJIAN
a. Identitas Pasien
• Umur : Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai anak usia
dibawah 3 tahun, terutama bayi kurang dari 1 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa anak pada usia muda akan lebih sering menderita ISPA daripada usia yang lebih
lanjut(Anggana Rafika, 2009).
• Jenis kelamin : Angka kesakitan ISPA sering terjadi pada usia kurang dari 2 tahun,
dimana angka kesakitan ISPA anak perempuan lebih tinggi daripada laki-laki di negara
Denmark (Anggana Rafika, 2009).
• Alamat : Kepadatan hunian seperti luar ruang per orang, jumlah anggota keluarga, dan
masyarakat diduga merupakan faktor risiko untuk ISPA. Penelitian oleh Kochet al (2003)
membuktikan bahwa kepadatan hunian (crowded) mempengaruhi secara bermakna
prevalensi ISPA berat .Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA dan penyakit
gangguan pernafasan lain adalah rendahnya kualitas udara didalam rumah ataupun diluar
rumah baik secara biologis, fisik maupun kimia. Adanya ventilasi rumah yang kurang
sempurna dan asap tungku di dalam rumah seperti yang terjadi di Negara Zimbabwe akan
mempermudah terjadinya ISPA anak (Anggana Rafika, 2009)
b. Pemeriksaan fisik:
b. Palpasi
• Adanya demam
• Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah leher/nyeri tekan pada nodus limfe
servikalis
• Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid
c. Perkusi
• uara paru normal (resonance)
d. Auskultasi
• Suara nafas vesikuler/tidak terdengar ronchi pada kedua sisi paru
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan melemahnya/menurunnya aliran darah
ke daerah gangren akibat adanya obstruksi pembuluh darah.
2) Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan iskemik jaringan.
C. INTERVENSI
No SDKI SLKI SIKI
1. Gangguan perfusi
jaringan
2. Gangguan rasa nyaman
D. IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan langkah keempat dalam tahap proses keperawatan dengan
melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan
dalam rencana tindakan keperawatan. Dalam tahap ini perawat harus mengetahui berbagai hal
diantaranya bahaya-bahaya fisik dan perlindungan pada pasien, teknik komunikasi, kemampuan
dalam prosedur tindakan, pemahaman tentang hak-hak dari pasien serta dalam memahami
tingkat perkembangan pasien. (Hidayat A Alimul, 2004).
E. EVALUASI
Evaluasi keperawatan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara melakukan
identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Di dalam
melakukan evaluasi perawat seharusnya memilki pengetahuan dan kemempuan dalam
memahami respons terhadap intervensi keperawatan, kemempuan menggambarkan kesimpulan
tentang tujuan yang di capai serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan
pada kriteria hasil (Hidayat A Alimul, 2004).
DAFTAR PUSTKA