Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN SLE

A. KONSEP TEORI SLE


2.1Pengertian
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik
autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang
mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini
berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan (Sudoyo Aru,dkk 2009).
SLE (Sistemic Lupus Erythematosus) adalah penyakti radang
multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit
yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi
disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.
Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit
autoimun, dimana tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah
arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah
merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk
melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh ( Smeltzer,
Suzanne C. 2002). SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus) adalah suatu
penyakit komplek yang bersifat genetis dan di duga lebih dari satu gen
menentukan seseorang akan terkena atau tidak (Sharon moore, 2008).
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun
yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan
gejala dari penyakit ini bisa bermacam- macam, bersifat sementara dan
sulit untuk didiognisis.
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit radang
multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit
yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi,
disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.
2.2Etiologi
Sampai saat ini penyebab SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) belum
diketahui, diduga ada beberapa paktor yang terlibat seperti faktor genetik,
infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE (Sistemik
Lupus Eritematosus).
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan
antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi
imunologi ini dapat menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi
ini juga berperan dalam kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit
inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan dalam fatogenesis
melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self tolerance
bersama aktifitas sel B, hal ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa
faktor:
1. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
2. Hiperaktivitas sel T helper
3. Kerusakan pada fungsi sel T supresor

Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus :


1. Infeksi
Risiko timbulnya SLE meningkat pada mereka yang lain pernah sakit
herpes zoster (shingles). Herpes zoster adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus varisela, virus yang juga menjadi penyebab dari
penyakit cacar air (variscela atau chiken pox).
2. Sinar ultraviolet
Sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar
sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut
serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit.
3. Obat-obatan yang tertentu
SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator
lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat
menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga
memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh.
Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh
membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang
benda asing tersebut.
4. Hormon
Lupus seringkali disebut penyakit wanita walaupun juga bisa diderita
oleh pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria
maupun wanita, meskipun 10-15 kali sering ditemukan pada wanita.
Faktor hormonal yang menyebabkan wanita sering terserang penyakit
lupus daripada pria. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa
sebelum menstruasi atau selama kehamilan mendukung keyakinan
bahwa hormone (terutama esterogen) mungkin berperan dalam
timbulnya penyakit ini. Kadang-kadang obat jantung tertentu dapat
menyebabkan sindrom mirip lupus, yang akan menghilang bila
pemakaian obat dihentikan.

2.3Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduksi) dan lingkungan (cahaya matahari, luka
bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid,
isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping
makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat
senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi
autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T supresor yang
abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya terjadi
serangan antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Kerusakan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini
menimbulkan abnormalitas respons imun didalam tubuh yaitu:
1) Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
2) Pembentukan sitokin yang berlebihan
3) Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain:
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks
imun maupun sitokin dalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c. Hilangnya toleransi imun: sel T mengenali molekul tubuh
sebagai antigen karena adanya mimikri molekuler.
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di
dalam tubuh yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi-
antibodi yang tersebut membentuk kompleks imun. Kompleks imun
tersebut terdeposisi pada jaringan/organ yang akhirnya menimbulkan
gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
Pathway SLE

Genetik, lingkungan, , obat-obatan tertentu

Produksi autoimun berlebihan



Autoimun menyerang organ tubuh (sel & jaringan)

Penyakit lupus Kerusakan jaringan

Produksi antibodi terus - menerus

Kulit Sendi Darah Paru Ginjal Hati Otak

Arthritis Hb Emphisema Protein urine Kesalahan Suplai


sintesa zat O2 ke
Suplai O2/ Tubuh yang dibutuh- otak
Nutrien protein kan tubuh

ATP
BB

Perubahan status
kesehatan
2.4Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul
mendadak disertai dengan tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam
tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat
laun diikuti oleh gejala yang terkenanya sistem imun. Pada tipe menahun
terdapat remisi dan eksaserbsi. Remisinya mungkin berlangsung
bertahun-tahun.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi
seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat. Setiap
serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu
makan berkurang, kelemahan, berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang
paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.
a) Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala muskuloskeletal,
berupa artritis (93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal
proksimal didikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal,
siku dan pergelangan kaki. Selain pembekakan dan nyeri mungkin juga
terdapat efusi sendi. Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan
deformitas, kontraktur atau ankilosis. Adakala terdapat nodul reumatoid.
Nekrosis vaskular dapat terjadi pada berbagai tempat, dan ditemukan
pada pasien yang mendapatkan pengobatan dengan streroid dosis tinggi.
Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris.
b) Gejala Mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus
SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut,
subakut, diskoid, dan livido retikularis. Ruam kulit berbentuk kupu-kupu
berupa eritema yang agak edamatus pada hidung dan kedua pipi. Dengan
pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas luka.
Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit
yang terjadi karena hipersensitivitas. Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi
kulit subakut yang khas berbentuk anular.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis
dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi,
tertutup oleh sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau
sudah berlangsung lama akan berbentuk silikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil
sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema
periungual. Livido retikularis suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering
ditemui pada SLE.
c) Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68% kasus SLE. Manifestasi paling
sering ialah proteinuria atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik
kegagalan ginjal jarang terjadi, hanya terdapat pada 25% kasus SLE yang
urinnya menunjukkan kelainan. Ada 2 macam kelainan patologis pada
ginjal, yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis
lupus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis biasanya tampak
sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang
sampai berat. Nefritis lupus membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai
dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan
penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.
Kelainan ginjal yang lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah
pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal. Gagal ginjal merupakan salah satu
penyebab kematian SLE kronik.
d) Susunan Saraf Pusat
Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu
psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya
ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem lain-lainnya.
Pasien menunjukkan gejala halusinasi disamping gejala khas organik otak
seperti sukar menghitung dan tidak sanggup mengingat kembali gambar
yang pernah dilihat.
Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara
klinis tak dapat dibedakan dengan psikosis lupus. Perbedaan antara
keduanya baru dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikkan
dosis steroid yang dipakai. Psikosis lupus membaik jika dosis steroid
dinaikkan dan sebaliknya. Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk
tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah afasia,
hemiplegia.
e) Mata
Kelainan mata dapat berupa konjungtivitas, perdarahan
subkonjungtival dan adanya badan sitoid di retina.
f) Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis,
endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi
sebagai akibat keadaan tersebut.
g) Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi
pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari
kejadian tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak napas.
h) Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25% kasus SLE, mungkin disertai mual
dan diare. Gejalanya menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya
mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan
oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan
usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan
pankreatitis.
i) Hemik-Limfatik
Kelenjar getah bening yang sering terkena adalah aksila dan sevikal,
dengan karakteristik tidak nyeri tekan dan lunak. Organ limfoid lain adalah
splenomegali yang biasanya disertai oleh pembesaran hati. Kerusakan
lien berupa infark atau thrombosis berkaitan dengan adanya lupus
antikoagulan. Anemia dapat dijumpai pada periode perkembangan
penyakit LES, yang diperantai oleh proses imun dan non-imun.

2.5Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid
lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema
yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi
ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada.
Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini
memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta
hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
2. Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang
disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa
peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan
(Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai
macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid
dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui
mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
3. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada
asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan
asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh
sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan
protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh
sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA)
untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).

2.6Komplikasi
Lupus mungkin terlihat sebagai penyakit yang biasa terjadi pada
kulit. Namun jika tidak segera ditangani, lupus bisa menjadi momok bagi
kehidupan Anda. Berikut ini adalah beberapa komplikasi yang bisa terjadi
jika penyakit lupus tidak ditangani dengan cepat dan tepat:
1. Penyakit ginjal
Jika terjadi pembengkakan pada kaki atau pergelangan kaki setelah
Anda divonis mengidap lupus, maka itu adalah tanda bahwa eksresi
cairan pada tubuh Anda sudah tidak normal. Ada yang salah pada
ginjal Anda. Pada kasus yang lebih parah, gejalanya sampai urin
bercampur darah hingga pasien mengalami gagal ginjal.
2. Penyakit jantung
Komplikasi jantung yang paling umum terjadi pada penderita lupus
adalah terjadinya infeksi pada selaput pembungkus jantung, penebalan
pembuluh darah, dan melemahnya otot-otot jantung.
3. Penyakit paru-paru
1 dari 3 orang penderita lupus akan mengalami infeksi pada selaput
pembungkus paru-paru. Jika ini terjadi maka pasien akan merasakan
sakit saat bernapas hingga batuk berdarah.
4. Gangguan peredaran darah
Untuk penyakit yang satu ini pada penderita lupus, biasanya tidak
ditemukan gejala yang dapat dideteksi secara langsung. Gangguannya
antara lain seperti terganggunya distribusi oksigen dalam darah atau
berkurangnya produksi sel darah putih, dan anemia.
5. Gangguan saraf dan mental
Banyak dari penderita lupus yang mengalami susah konsentrasi, cepat
lupa, sakit kepala yang sangat parah, khawatir berlebihan, dan selalu
gelisah. Hal ini dikarenakan penyakit lupus lama-kelamaan akan
melemahkan kerja saraf dan menyebabkan stres pada pasien.

2.7Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorim yang dilakukan terhadap pasien SLE
adalah:
1) Tes ANA (Anti Nuclear Antibody)
2) Tes Anti dsDNA (double stranded)
3) Tes Antibodi anti-S (Smith)
4) Tes Anti-RNP (Ribonukleoprotein), anti-ro/anti-SS-A, anti-La
(antikoagulan lupus anti SSB, dan antibodi antikardiolipin).
5) Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)
6) Tes sel LE
7) Tes anti ssDNA (single stranded)

2.8Penatalaksanaan
1. Secara Umum
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan
dalam penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang
baru terdiagnosis. Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus
diputuskan dulu apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi
konservatif, atau imunosupresif yang agresif. Bila penyakit ini mengancam
nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan
pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan
imunosupresan lainnya. Tidak ada pengobatan yang permanen untuk
SLE. Tujuan dari terapi adalah mengurangi gejala dan melindungi organ
dengan mengurangi peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di
tubuh.
Bentuk penanganan umum pasien dengan SLE antara lain (Sukmana,
2004):
a. Kelelahan
Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya
kita harus mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat
sakitnya atau karena penyakit lain yaitu: anemia, demam, infeksi,
gangguan hormonal atau komplikasi pengobatan dan emotional
stress. Upaya mengurangi kelelahan disamping pemberian obat ialah:
cukup istirahat, batasi aktivitas, dan mampu mengubah gaya hidup.
b. Hindari merokok
Walaupun prevalensi SLE lebih banyak pada wanita, cukup
banyak wanita perokok. Kebiasaan merokok akan mengurangi
oksigenisasi,
memperberat fenomena Raynaud yang disebabkan penyempitan
pembuluh darah akibat bahan yang terkandung pada sigaret/rokok.
c. Cuaca
Walaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sangat
berbeda dan hanya ada dua musim, akan tetapi pada sebagian
penderita SLE khususnya dengan keluhan artritis sebaiknya
menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses
inflamasi.
d. Stres dan trauma fisik
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan
trauma fisik dapat mempengaruhi sistem imun melalui: penurunan
respons mitogen limfosit, menurunkan fungsi sitotoksik limfosit dan
menaikkan aktivitas sel NK (Natural Killer). Keadan stress tidak selalu
mempengaruhi aktivasi penyakit, sedangkan trauma fisik dilaporkan
tidak berhubungan dengan aktivasi SLE-nya. Umumnya beberapa
peneliti sependapat bahwa stress dan trauma fisik sebaiknya
dikurangi atau dihindari karena keadaan yang prima akan
memperbaiki penyakitnya.
e. Diet
Tidak ada diet khusus yang diperlukan pasien LES, makanan yang
berimbang dapat memperbaiki kondisi tubuh. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa minyak ikan (fish oil) yang mengandung
eicosapentanoic acid dan docosahexanoic acid dapat menghambat
agregasi trombosit, leukotrien dan 5-lipoxygenase di sel monosit dan
polimorfonuklear. Sedangkan pada penderita dengan hiperkolesterol
perlu pembatasan makanan agar kadar lipid kembali normal.
f. Sinar matahari (sinar ultra violet)
Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga
gelombang, dua dari tiga gelombang tersebut (320 dan 400 nm)
berperan dalam proses fototoksik. Gelombang ini terpapar terutama
pada pukul 10 pagi s/d pukul 3 sore, sehingga semua pasien SLE
dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari pada waktu-
waktu tersebut.

g. Kontrasepsi oral
Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan
memperberat LES, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan
membahayakan penyakitnya. Pada penderita SLE yang mengeluh
sakit kepala atau tromboflebitis jangan menggunakan obat yang
mengandung estrogen.

2. Terapi konservatif
Diberikan tergantung pada keluhan atau manifestasi yang muncul.
Pada keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau
obat antiinflamasi nonsteroid namun tidak memperberat keadaan
umum penderita. Efek samping terhadap sistem gastrointestinal,
hepar dan ginjal harus diperhatikan, dengan pemeriksaan kreatinin
serum secara berkala. Pemberian kortikosteroid dosis rendah 15 mg,
setiap pagi. Sunscreen digunakan pada pasien dengan fotosensivitas.
Sebagian besar sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotion atau
gel yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon, salisilat dan
sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B atau steroid
topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan
triamsinolon asetonid.

3. Terapi agresif
Pemberian oral pada manifestasi minor seperti prednison 0,5
mg/kgBB/hari, sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat
diberikan prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian bolus
metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB selama 3 hari
dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis
tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/
hari. Secara ringkas penatalaksanaan LES adalah sebagai berikut:
a. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan
dipakai bersama kortikosteroid, secara topical untuk kutaneus.
b. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan
sistemik ringan SLE
c. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk
fungsi imun.

B. KONSEP TEORI ASUHAN KEPERAWATAN


2.9Pengkajian
1. Riwayat Penyakit
a. Keluhan Utama
Keluhan utama yang biasa muncul saat pengkajian tidak pasti,
tergantung kapan dilakukan pengkajian tersebut. Biasanya adalah
demam, kelemahan, nafsu makan menurun dan BB menurun.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat dari dimulainya gejala penyakit sampai pasien atau
keluarga memutuskan untuk dibawa ke RS. Yang biasa muncul
adalah riwayat demam, kelemahan sampai intoleransi aktifitas,
penurunan nafsu makan dan penurunan BB.
c. Riwayat Penyakit Terdahulu
Kaji apakah pasien mengalami hipertensi, gangguan pada mata,
dan adanya nyeri sendi.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji adanya keluarga yang memiliki penyakit yang sama.
2. Pemeriksaan fisik
a. Aktivitas
1) Gejala: Keletihan, kelemahan, nyeri sendi karena gerakan
2) Tanda: Penurunan semangat bekerja, toleransi terhadap
aktivitas rendah, penurunan rentang gerak sendi, gangguan
gaya berjalan.
b. Sirkuasi
1) Gejala: Nyeri dada
2) Tanda
TD: tekanan nadi melebar, desiran (menunjukkan mekanisme
anemia)
Warna kulit: pucat/sianosis, membaran mukosa, kulit terdapat
ruam.
c. Integritas Ego
1) Gejala: Mudah marah dan fruktasi, takut akan penolakan
dari orang lain, harga diri buruk, kekuatiran mengenai menjadi
beban bagi yang mendekat
2) Tanda: Ansietas, gelisah, menarik diri, depresi, fokus pada
diri sendiri
d. Eliminasi
1) Gejala: Sering berkemih, berkemih dengan jumlah besar
2) Tanda: Nyeri tekan pada abdomen, urine encer : terdapat
darah atau protein.
e. Makanan/Cairan
1) Gejala: Mual/muntah, anoreksia, haus, kesulitan menelan,
adanya penurunan BB
2) Tanda: Turgor kulit buruk berbentuk ruam, lidah tampak merah
daging, di sudut bibir terdapat luka.
f. Higiene
1) Gejala: kesulitan untuk mempertahankan aksi (nyeri/anemia
berat), berbagai kesulitan untuk melakukan aktivitas perawatan
pribadi.
2) Tanda: ceroboh, tak rapih, kurang bertenaga.
g. Neurosensori
1) Gejala: sakit kepala, berdenyut pusing, penurunan penglihatan,
bayangan pada mata, kelemahan, keseimbangan buruk,
kesemutan pada ekstremitas.
2) Tanda: kelemahan otot, penurunan kekuatan otot, kejang,
pembekakan sendi simetri.
h. Nyeri/Kenyamanan
1) Gejala: nyeri hebat, berdenyut, rasa perih di berbagai lokasi,
sakit kepala berulang, tajam, sementara, nyeri tekan abdomen,
nyeri dada
2) Tanda: menahan sendi pada posisi nyaman, sensitivitas
terhadap palpitasi pada area yang sakit.
i. Penapasan
1) Gejala: riwayat inspeksi paru, riwayat abses paru, napas pendek
pada istirahat dan aktivitas.
2) Tanda: takipnea, distres pernapasan akut, bunyi napas
menurun.
j. Keamanan
1) Gejala: kekeringan pada mata dan membran mukosa, demam
ringan menetap, lesi kulit, gangguan penglihatan, penyembuhan
luka buruk
2) Tanda: berkeringat, mengigil berulang, gemetar, luka pada
wajah
k. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala: riwayat penyakit hipertensi, hematologi, riwayat adanya
masalah dengan penyembuhan luka/perdarahan, pertimbangan
rencana pemulangan lama perawatan: 4-8 hari, memerlukan
bantuan dalam perawatan diri, pemeliharaan rumah.

2.10 Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi pada kulit
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan defometas skletal
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan
ketergantungan fisik serta psikologis yang di akibatkan penyakit kronik
5. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit,
rasa nyeri, depresi.
2.11 Intervensi
Diagnosa Keperawatan Rencana Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Nyeri akut berhubungan NOC: NIC:
dengan inflamasi dan  Pain Level,  Paint
kerusakan jaringan  Pain Control, Management
 Comfort Level 1. Lakukan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam pasien tidak pengkajian
mengalami nyeri, dengan kriteria hasil: nyeri secara
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebeb nyeri, mampu komprehens
menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi if termasuk
nyeri, mencari bantuan). lokasi,
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan karakteristik
menggunakan manajemen nyeri. , durasi,
3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi, dan frekuensi,
tanda nyeri). kualitas,
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang. dan faktor
5. Tanda vital dalam rentang normal. presipitasi.
6. Tidak mengalami gangguan tidur. 2. Observasi
reaksi non
verbal dari
ketidaknya
manan.
3. Bantu
pasien dan
keluarga
untuk
mencari dan

20
menemukan
dukungan.
4. Kontrol
lingkungan
yang dapat
mempengar
uhi nyeri
seperti suhu
ruangan,
pencahayaa
n, dan
kebisingan.
5. Kurangi
faktor
presipitasi
nyeri.
6. Kaji tipe dan
sumber
nyeri untuk
menentukan
intervensi.
7. Ajarkan
tentang
teknik non
farmakologi
: nafas
dalam,
relaksasi,
distraksi,
kompres
hangat/dingi
n.
8. Berikan
analgesik
untuk
mengurangi
nyeri :
9. Tingkatkan
istirahat.
10. Berikan
informasi
tentang
nyeri seperti
penyebab
nyeri,
berapa
lama nyeri
akan
berkurang
dan
antisipasi
ketidaknya
manan dari
prosedur.
11. Monitor vital
sign
sebelum
dan
sesudah
pemberian
analgesik
pertama
kali.
2. Kerusakan integritas NOC: NIC:
kulit berhubungan dengan  Tissue Integrity: Skin and Mocous Membranes  Press
lesi pada kulit Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam, ure
kerusakan integritas kulit pasien teratasi dengan kriteria hasil: Management
1. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, 1. Anjurkan
elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi) pasien
2. Tidak ada luka/lesi pada kulit. untuk
3. Perfusi jaringan baik. mengguna
4. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit kan
dan mencegah terjadinya cedera berulang. pakaian
5. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban yang
kulit dan perawatan alami. longgar.
2. Hindari
kerutan
pada
tempat
tidur.
3. Jaga
kebersihan
kulit agar
etap bersih
dan kering.
4. Mebolisasi
pasien
(ubah
posisi
pasien)
setiap dua
jam sekali.
5. Monitor
kulit akan
adanya
kemeraha
n.
6. Oleskan
lotion/miny
ak/baby oil
pada
daerah
yang
tertekan.
7. Monitor
aktivitas
dan
mobilisasi
pasien.
8. Monitor
status
nutrisi
pasien.
9. Memandik
an pasien
dengan
sabun dan
air hangat.
10. Kaji
lingkungan
dan
peralatan
yang
menyebab
kan
tekanan.
3. Hambatan mobilitas NOC: NIC:
fisik berhubungan  Joint Movement: Active.  Exerc
dengan deformitas  Mobility Level. ise Therapy:
skeletal  Self care: ADLs. ambulation
 Transfer Performance 1. Monitoring
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam gangguan vital sign
mobilitas fisik teratasi dengan kriteria hasil: sebelum/s
1. Klien meningkat dalam aktivitas fisik. esudah
2. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas. latihan dan
3. Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan lihat
dan kemampuan berpindah. respon
4. Memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi. pasien
saat
latihan.
2. Konsultasi
kan
dengan
terapi fisik
tentang
rencana
ambulasi
sesuai
dengan
kebutuhan.
3. Bantu klien
untuk
mengguna
kan
tongkat
saat
berjalan
dan cegah
terhadap
cedera
4. Ajarkan
pasien
atau
tenaga
kesehatan
lain
tentang
teknik
ambulasi.
5. Kaji
kemampua
n pasien
dalam
mobilisasi.
6. Latih
pasien
dalam
pemenuha
n
kebutuhan
ADLs
secara
mandiri
sesuai
kemampua
n.
7. Dampingi
dan bantu
pasien
saat
mobilisasi
dan bantu
penuhi
kebutuhan
ADLs
pasien.
8. Berikan
alat bantu
jika klien
memerluka
n
9. Ajarkan
pasien
bagaimana
merubah
posisi dan
berikan
bantuan
jika
diperlukan.
4. Gangguan citra tubuh NOC: NIC:
berhubungan dengan  Body image  Body
perubahan dan  Self estrem image
ketergantungan fisik serta Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam gangguan enhancement
psikologis yang diakibatkan body image pasien teratasi dengan kriteria hasil: 1. Kaji secara
penyakit kronik 1. Body image positif verbal dan
2. Mampu mengidentifikasi kekuatan personal. non verbal
3. Mendiskripsikan secara faktual perubahan fungsi tubuh. respon
4. Mempertahankan interaksi sosial. klien
terhadap
tubuhnya.
2. Monitor
frekuensi
mengkritik
dirinya.
3. Jelaskan
tentang
pengobata
n,
perawatan,
kemajuan
dan
prognosis
penyakit.
4. Dorong
klien
mengungk
apkan
perasaann
ya.
5. Identifikasi
arti
pengurang
an melalui
pemakaian
alat bantu.
6. Fasilitasi
kontak
dengan
individu
lain dalam
kelompok
kecil.
5. Keletihan berhubungan NOC: NIC:
dengan peningkatan  Activity Tollerance  Energ
aktivitas penyakit, rasa  Energy Conservation y
nyeri, depresi  Nutritional Status: Energy Management
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam kelelahan 1. Monitor
pasien teratasi dengan kriteri hasil: respon
1. Kemampuan aktivitas adekuat kardiores
2. Mempertahankan nutrisi adekuat pirasi
3. Keseimbangan aktivitas dan istirahat terhadap
4. Menggunakan teknik energi konservasi aktivitas
5. Mempertahankan interaksi sosial (takikardi,
6. Mengidentifikasi faktor–faktor fisik dan psikologis disritmia,
yang menyebabkan kelelahan dispneu,
7. Memepertahankan kemampuan untuk konsentrasi diaphore
sis,
pucat,
tekanan
hemodin
amik, dan
jumlah
respirasi)
.
2. Monitor
dan catat
pola dan
jumlah
tidur
pasien.
3. Monitor
lokasi
ketidakny
amanan
atau
nyeri
selama
bergerak
dan
aktivitas.
4. Monitor
intake
nutrisi.
5. Monitor
pemberia
n dan
efek
samping
obat
depresi.
6. Instruksik
an pada
pasien
untuk
mencatat
tanda-
tanda
dan
gejala
kelelahan
.
7. Ajarkan
teknik
manajem
en
aktivitas
untuk
mencega
h
kelelahan
.
8. Jelaskan
pada
pasien
hubunga
n
kelelahan
dengan
proses
penyakit.
9. Kolabora
si dengan
ahli gizi
tentang
cara
meningka
tkan
intake
makanan
tinggi
energi.
10. Dorong
pasien
dan
keluarga
mengeks
presikan
perasaan
nya.
11. Catat
aktivitas
yang
dapat
meningka
tkan
kelelahan
.
12. Anjurkan
pasien
melakuka
n yang
meningka
tkan
relaksasi
(membac
a,
mendeng
arkan
musik).
13. Tingkatka
n
pembata
san
bedrest
dan
aktivitas.
14. Batasi
stimulasi
lingkunga
n untuk
memfasili
tasi
relaksasi.
2.12 Evaluasi
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu
menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari
bantuan), melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri serta mampu mengenali nyeri (skala, intensitas,
frekuensi dan tanda nyeri)
2. Kerusakan integritas kulit pada pasien teratasi
3. Gangguan mobilitas fisik pada pasien teratasi
4. Gangguan body image pasien teratasi
5. Pasien tidak mengalami kelelahan

35
50
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito and Moyet. 2007. Buku Saku Diagnosis
Keperawatan. Edisi 10.
Jakarta: EGC
Nanda Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan.
Jakarta:EGC
Kowalak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan:
Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta:
EGC
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Buku
Kedokteran
Lumenta, Nico A. dkk. 2006. Manajemen Hidup Sehat: Kenali Jenis
Penyakit dan Cara Penyembuhannya. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo
Smeltzer, Suzanne C. 2007. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah
Brunner dan Suddart edisi 8 volume 3. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai