Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

ASUHAN KEBIDANAN DENGAN RESIKO TINGGI

DOSEN PEMBIMBING
Nelly Apriningrum,S.ST.,M.Kes

DISUSUN OLEH
Nadila Rizkiyana : 2010630100006
Putry Ayu Handayani : 2010630100007
Rindi Hariska : 2010630100012
Uswatun Hasanah : 2010630100016
Vinanda Moldina Budiman : 2010630100017
Yufira Fauziah Zahra : 2010630100019
Suci Aulia Azzahra : 2010630100024

PRODI DIII KEBIDANAN


UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
TAHUN 2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan


sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Atas
berkat rahmat- Nya saya dapat menyelesaikan tugas mata kuliah “Asuhan
Kebidanan Neonatus, Bayi dan Balita”. Tanpa pertolongan-Nya tentunya saya
tidak akan sanggup untuk  menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta
salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah dengan. Penulis tentu
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah
ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik  lagi. Apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf  yang sebesar-besarnya.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan
bagi
 pembaca pada umumnya.

Karawang, 18 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1. 1 Latar belakang.........................................................................................1
BAB II TINJAUAN TEORI..................................................................................2
2.1 IKTERUS NEONATORUM..................................................................2
2.2 KEJANG..................................................................................................7
2.3 HYPERTERMI.....................................................................................11
2.4 HYPOGLIKEMI...................................................................................12
BAB III KASUS...................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. 1 Latar belakang
Hiperbilirubinemia merupakan keadan bayi baru lahir, dimana kadar bilirubin
serum total lebih dari 10 mg/dl pada minggu pertma yang ditandai berupa warna
kekuningan pada bayi atau disebut ikterus. Keadaan ini terjadi pada bayi baru
lahir yang disebut ikterus noenatorum yang bersifat patologis atau ynag dikenal
dengan hiperbilirubinemia. Hiperbilirubin merupakn suatu keadaan meningkatnya
kadar bilirubin dalam jaringan ekstravaskulersehingga kunjitiva, kulit dan mukosa
akan berwarna kuning. Keadan tersebut yang berpotensi menyebabkan kerusakan
otak akibat perlengketan bilirubin indirek di otak (hidayat 2005).
Hiperbilirubinemia merupakan istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum
setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar bilirubin.
Ikterus akan tampak secara visual jika kadar bilirubin lebih dari 5 mg/dL.
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir sering ditemukan pada minggu pertama
setelah lahir terutama pada bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram dan
pada bayi <37 minggu (Kosim, 2007).
Di Indonesia, ikterus masih merupakan masalah pada bayi baru lahir yang
sering dihadapi tenaga kesehatan terjadi pada sekitar 25-50% bayi cukup bulan
dan lebih tinggi pada neonatus kurang bulan. Oleh sebab itu, memeriksa ikterus
pada bayi harus dilakukan pada waktu melakukan kunjungan neonatal/pada saat
memeriksa bayi di klinik (Depkes RI, 2006).
Ikterus pada sebagian penderita dapat bersifat fisiologis dan pada sebagian
lagi bersifat patologis atau hiperbilirubinemia yang dapat menimbulkan gangguan
yang menetap atau menyebabkan kematian sehingga, setiap bayi dengan ikterus
harus mendapatkan perhatian, terutama pada ikterus patologis atau
hiperbilirubinemia apabila ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau
bila kadar bilirubin meningkat > 5 mg/dL (> 86μmol/L) dalam 24 jam (Etika et al,
2005).
Penurunan kadar bilirubin yang paling cepat terjadi pada 4-6 jam pertama
dilakukannya fototerapi. Pada fototerapi tunggal (menggunakan 1 alat) diharapkan
menurunkan kadar bilirubin hingga 22% dalam 24 jam pertama.

1
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 IKTERUS NEONATORUM


A. Pengertian Hiperbilirubinemia

Hiperbilirubinemia merupakan keadan bayi baru lahir, dimana kadar


bilirubin serum total lebih dari 10 mg/dl pada minggu pertma yang ditandai
berupa warna kekuningan pada bayi atau disebut ikterus. Keadaan ini terjadi
pada bayi baru lahir yang disebut ikterus noenatorum yang bersifat patologis
atau ynag dikenal dengan hiperbilirubinemia. Hiperbilirubin merupakn suatu
keadaan meningkatnya kadar bilirubin dalam jaringan ekstravaskulersehingga
kunjitiva, kulit dan mukosa akan berwarna kuning. Keadan tersebut yang
berpotensi menyebabkan kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek
di otak (hidayat 2005).
Hiperbilirubinemia merupakan istilah yang dipakai untuk ikterus
neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan
kadar bilirubin. Ikterus akan tampak secara visual jika kadar bilirubin lebih
dari 5 mg/dL. Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir sering ditemukan pada
minggu pertama setelah lahir terutama pada bayi dengan berat badan kurang
dari 2500 gram dan pada bayi <37 minggu (Kosim, 2007).
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin indirek
yang berlebih (Xiaong dkk., 2011). Hiperbilirubinemia adalah terjadinya
peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar
yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90
(Blackburn, 2007). Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa
pewarnaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu
pada gambaran kadar bilirubin serum total (Abdellatief dkk., 2012).
B. Klasifikasi

Terdapat dua jenis ikterus, yaitu ikterus fisiologis dan ikterus patologis :

1. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologi adalah tidak mempunyai dasar patologi atau tidak
mempunyai potensi menjadi kernikterus. Biasanya timbul pada hari ke dua
dan ke tiga. Kadar bilirubin serum total 6-8 mg/dL, bahkan hingga 12
mg/dL pada bayi cukup bulan, masih dianggap fisiologis (Mishra dkk.,
2007). Penurunan kadar bilirubin total akan terjadi secara cepat dalam 2-3
hari, kemudian diikuti penurunan lambat sebesar 1 mg/dL selama 1- 2

2
minggu. Pada bayi kurang bulan kadar bilirubin serum total 10-12 mg/dL,
bahkan dapat meningkat hingga 15 mg/dL dengan tanpa adanya gangguan
pada metabolism bilirubin (Mishra dkk., 2007). Kadar bilirubin total yang
aman untuk bayi kurang bulan sangat bergantung pada usia kehamilan

2. Ikterus Patologis
Ikterus patologis biasanya terjadi sebelum umur 24 jam. Kadar
bilirubin serum total meningkat > 0,5 mg/dL/jam. Ikterus biasanya
bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan dan 14 hari pada bayi
kurang bulan. Keadaan klinis bayi tidak baik seperti muntah, letargis,
malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, suhu tubuh yang tidak
stabil, apnea (Martin dan Cloherty, 2004).

a. Etiologi

Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri


ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar,
penyebab ikterus neonatarum dapat dibagi:

a) Produksi yang berlebihan Pada ikterus fisiologis biasanya


disebabkan karena volume eritrosit yang meningkat, usia eritrosit
yang menurun, meningkatnya siklus enterohepatik. Pada ikterus
patologis terjadi oleh karena hemolisis yang meningkat seperti
pada inkompatibilitas golongan darah sistem ABO,
inkomptabilitias rhesus, defek pada membran sel darah merah
(Hereditary spherocytosis, elliptocytosis, pyropoikilocytosis,
stomatocytosis), defesiensi berbagai enzim (defisiensi enzim
Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD), defesiensi enzim
piruvat kinase, dan lainnya), hemoglobinopati (pada talasemia).
Keadaan lain yang dapat meningkatkan produksi bilirubin adalah
sepsis, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC),
ekstravasasi darah (hematoma, perdarahan tertutup), polisitemia,
makrosomia pada bayi dengan ibu diabetes (Mishra dkk., 2007).

b) Gangguan pada proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini


dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk

3
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis,
hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil
transferase (Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah
defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam
uptake bilirubin ke sel hepar (Mishra dkk., 2007).

c) Gangguan pada transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada


albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan
albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak
terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak (Lauer dan Nancy, 2011).

d) Gangguan pada ekskresi Gangguan ini dapat terjadi akibat


obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar
biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam
hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab
lain (Mishra dkk., 2007; Lauer dan Nancy, 2011).

b. Patofisiologi

Bilirubin adalah produk penguraian hemglobin. Sebagian besar


(85-90%) terjadidari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil
(1015%) dari senyawa lainseperti mioglobin (Maisels, 2006). Sel
retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin denganhemoglobin
yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian
mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis
berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan
tetrapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut
dalam air (bilirubin indirek, indirek) (Maisels, 2006). Bilirubin dalam
plasma diikat oleh albumin sehingga dapat larut dalam air.Zat ini
kemudian beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati. Hepatosit
melepaskan bilirubin dari albumin dan mengubahnya menjadi bentuk
isomerik monoglucuronides dan diglucuronide (bentuk indirek)
dengan bantuan enzim uridinediphosphoglucuronosyltransferase 1A1
(UGT1A1) (Maisels dan McDonagh, 2008).

4
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan
bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal untuk
ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati (karena rusak)
untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah
normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati
juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia (Lauer dan Nancy, 2011).

c. Diagnosis
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus
secara klinis, mudah dan sederhana adalah dengan penilaian menurut
Kramer (Szabo dkk., 2001). Lokasi penentuan derajat kuning
berdasarkan

Kramer dapat dlihat pada Gambar

Kadar bilirubin
Area tubuh (mg/dl)
Kepala dan leher 4-8
Kulit tubuh di atas pusat 5-12
Kulit tubuh dibawah 8-16
pusat dan pahs

Lengan dan tungkai 11-18


Telapak tangan dan >15
telapak kaki

gambar 1.1 Hubungan antara derajat ikterus di kulit dan perkiraan kadar bilirubin
serum

Pemeriksaan dilakukan dengan menekan jari telunjuk pada


tempattempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada,
lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau
kuning (Szabo dkk., 2001). Pemeriksaan serum bilirubin (direk dan
indirek) harus dilakukan pada neonatus yang mengalami ikterus.
Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong
risiko tinggi mengalami hiperbilirubinemia berat. Pemeriksaan

5
tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab
ikterus antara lain adalah golongan darah dan Coombs test, darah
lengkap dan hapusan darah, hitung retikulosit, skrining Glucose-6-
phosphate dehydrogenase (G6PD) dan bilirubin direk (Mishra dkk.,
2007).

d. Komplikasi
Kadar bilirubin indirek yang sangat tinggi dapat menembus
sawar otak dan sel-sel otak, hal ini dapat menyebabkan terjadinya
disfungsi saraf bahkan kematian. Mekanisme dan faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya disfungsi saraf ini masih belum jelas.
Bilirubin ensefalopati adalah manifestasi klinis yang timbul akibat
efek toksik bilirubin pada sistem saraf pusat yaitu basal ganglia dan
pada beberapa nuklei batang otak (Lauer dan Nancy, 2011). Kern
ikterus adalah perubahan neuropatologi yang ditandai oleh deposisi
pigmen bilirubin pada beberapa daerah di otak terutama di ganglia
basalis, pons dan serebelum. Akut bilirubin ensefalopati terdiri dari 3
fase yaitu:

a) Fase Inisial: ditandai dengan letargis, hipotonik, berkurangnya


gerakan bayi dan reflek hisap buruk.

b) Fase Intermediate: tanda-tanda kardinal fase ini adalah moderate


stupor, iritabilitas dan peningkatan tonus (retrocollis dan
opisthotonus). Demam muncul selama fase ini.

c) Fase Lanjut: ditandai dengan stupor yang dalam atau koma,


peningkatan tonus, tidak mampu makan, high-pitch cry dan
kadang kejang. (American Academy of Pediatrics, 2004).

e. Fototerapi Pada Hiperbilirubinemia


Fototerapi dilakukan pada hiperbilirubinemia yang memiliki
kecenderungan Sebagai patokan yang digunakan adalah kadar
bilirubin total. Fototerapi intensif dilakukan apabila kadar bilirubin
total berada di atas garis kelompok risiko sesuai dengan usia
kehamilan. Faktor risiko termasuk isoimmune hemolytic disease,
defesiensi G6PD, asfiksia, letargi, suhu tubuh yang tidak stabil, sepsis,
asidosis, kadar albumin < 3 gr/dL (American Academy of Pediatrics,

6
2004). Prinsip penatalaksanaan hiperbilirubinemia dengan fototerapi
adalah untuk mengurangi kadar bilirubin dan mencegah
peningkatannya. Fototerapi menggunakan sinar untuk mengubah
bentuk dan struktur bilirubin menjadi molekul yang dapat
diekskresikan walaupun ada gangguan konjugasi (Stokowski, 2011).
Penurunan kadar bilirubin yang paling cepat terjadi pada 4-6
jam pertama dilakukannya fototerapi. Pada fototerapi tunggal
(menggunakan 1 alat) diharapkan menurunkan kadar bilirubin hingga
22% dalam 24 jam pertama. Pada fototerapi ganda (menggunakan 2
alat) penurunan kadar bilirubin hingga 29% dalam 24 jam pertama.
Sedangkan pada fototerapi intensif kadar bilirubin harus turun 1-2
mg/dL (17-34 μmol/L) dalam 4-6 jam pertama dan 5 mgdL dalam 24
jam pertama (Stokowski, 2011).
Pada bayi yang diberikan Air Susu Ibu (ASI) penurunan kadar
bilirubin lebih lambat jika dibandingkan bayi yang diberikan susu
formula, sekitar 2-3 mg/dL per hari (Maisels dan McDonagh, 2008).
Fototerapi dapat dihentikan apabila mencapai kadar 15 mg/dL. Setelah
fototerapi kadar bilirubin dapat kembali meningkat, keadaan ini
disebut rebound bilirubin, namun kondisi ini biasanya hanya rata-rata
1 mg/dL sehingga bayi setelah fototerapi tidak perlu menunggu
dipulangkan untuk observasi rebound bilirubin. Jika setelah dilakukan
fototerapi tidak terjadi penurunan kadar bilirubin yang diinginkan
maka dipertimbangkan untuk melakukan tranfusi tukar (Maisels dan
McDonagh, 2008).

2.2 KEJANG

A. Pengertian
Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai
mengakibatkan akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan
listrik serebral yang berlebihan.(betz & Sowden,2002).
Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang
suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memory yang bersifat
sementara (Hudak and gallo, 1996). Kejang demam adalah bangkitan kejang
terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38° c) yang disebabkan
oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam sering juga disebut kejang
demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah
5tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang

7
timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M.
Wikson, 1995).
Jadi dapat disimpulkan kejang demam adalah kenaikan suhu tubuh yang
menyebabkan perubahan fungsi otak akibat perubahan potensial listrik
serebral yang berlebihan sehingga mengakibatkan renjatan berupa kejang.
B. fisiologi
Hipotalamus mempunyai fungsi sebagai pengaturan suhu tubuh dan untuk
mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh.
a. Pirogen Endogen
Demam yang ditimbulkan oleh Sitokin mungkin disebabkan oleh
pelepasan prostaglandin lokal di hipotalamus. Penyuntikan prostaglandin
kedalam hipotalamus menyebabkan demam. Selain itu efek antipiretik
aspirin bekerja langsung pada hipotalamus, dan aspirin menghambat
sintesis prostaglandin.
b. Pengaturan Suhu
Dalam tubuh, panas dihasilkan oleh gerakan otot, asimilasi makanan, dan
oleh semua proses vital yang berperan dalam metabolisme basal. Panas
dikeluarkan dari tubuh melalui radiasi, konduksi (hantaran) dan penguapan
air disaluran nafas dan kulit. Keseimbangan pembentukan pengeluaran
panas menentukan suhu tubuh, karena kecepatan reaksi-reaksi kimia
bervariasi sesuai dengan suhu dank arena sistem enzim dalam tubuh
memiliki rentang suhu normal yang sempit agar berfungsi optimal, fungsi
tubuh normal bergantung pada suhu yang relatif konstan (Price Sylvia A :
1995).
C. Klasifikasi Kejang
Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan
tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang
tonik dan kejang mioklonik.
a. Kejang Tonik
Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah
dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi
prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu
ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai
yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah
dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai
deserebrasi harus di bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan
oleh rangsang meningkat karena infeksi selaput otak atau kernikterus

8
b. Kejang Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan
fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik
fokal berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai
gangguan kesadaran dan biasanya tidakdiikuti oleh fase tonik. Bentuk
kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada
bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
c. Kejang Mioklonik
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau
keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan
tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini merupakan pertanda kerusakan
susunan saraf pusat yang luas dan hebat. Gambaran EEG pada kejang
mioklonik pada bayi tidak spesifik.(Lumbang Tebing, 1997)
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektroensefalogram ( EEG ) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis
dan fokus dari kejang.
2. Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri
biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. Magneti resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan bayangan dengan
menggunakan lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna untuk
memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak jelas terliht bila
menggunakan pemindaian CT.
4. Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi
kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan
metabolik atau alirann darah dalam otak
5. Uji laboratorium
a. Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
b. Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
c. Panel elektrolit
d. Skrining toksik dari serum dan urin
e. GDA
f. Kadar kalsium darah
g. Kadar natrium darah
h. Kadar magnesium darah
E. Penatalaksanaan
1. Pengobatan fase akut
Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan diri
setenang mungkin dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus di
perhatikan adalah sebagai berikut

9
a. Anak harus di baringkan di tempat yang datar dengan posisi
menyamping, bukan terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
b. Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut sianak seperti sendok
atau penggaris, karena justru benda tersebut dapat menyumbat jalan
nafas.
c. Jangan memegangi anak untuk melawan kejang.
d. Sebagian besar kejang berlangsung singkat & dan tidak memerlukan
penanganan khusus.
e. Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera di bawa
ke fasilitas kesehatan terdekat. Sumber lain menganjurkan anak untuk di
bawa ke fasilitas kesehatan jika kejang masih berlanjut setelah 5 menit.
Ada pula sumber yang menyatakan bahwa penanganan lebih baik di
lakukan secepat mungkin tanpa menyatakan batasan menit.
f. Setelah kejang berakhir ( jika < 10 menit ), anak perlu di bawa menemui
dokter untuk meneliti sumber demam, terutama jika ada kakakuan leher,
muntah-muntah yang berat,atau anak terus tampak lemas.
F. Pengkajian
Pengkajian Fokus
1. Aktifitas dan istirahat
Gejala : keletihan,kelemahan umum,keterbatasan dalam beraktivitas atau
bekerja yang di timbulkan oleh diri sendiri atau orang terdekat atau
pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.
Tanda : perubahan tonus atau kekuatan otot, gerakan involunter atau
kontraksi otot ataupun sekelompok otot.
2. Sirkulasi
Gejala : Ikfal,hiperfensi,peningkatan nadi,sianosis
Postiktal : tanda-tanda fital normal atau depresi dengan penurunan nadi
dan pernafasan.
3. Eliminasi
Gejala : inkontinensia episodic
Tanda :
a. Iktal adalah peningkatan tekanan kandung kemih tonus spingfer
b. postikal adalah otot relaksasi yang mengakibatkan inkontinensia ( baik
urin atau Fekal ).
4. Makanan dan Cairan

10
Gejala : sensivitas terhadap makanan , mual atau muntah yang
berhubungan efektifitas kejang.
Tanda : kerusakan jaringan atau gigi ( cidera selama kejang)
5. Nyeri atau kenyamanan
Gejala : sakit kepala, nyeri otot, atau punggung, nyeri abdominal
Tanda : tingkah laku yang berhati-hati, perubahan pada tonus otot, tingkah
laku distraksi atau gelisah
6. Pernafasan
Gejala : iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun atau cepat
peningkatan sekresi mucus.
7. keamanan
Gejala : riwayat terjatuh atau trauma, fraktur
Tanda : trauma pada jaringan lunak atau ekimosis penurunan kekuatan
atau tonus otot secara menyeluruh.

2.3 HYPERTERMI
Perubahan suhu adalah kemampuan untuk menjaga keseimbangan
antara pembentukan panas dan kehilangan panas agar dapat

11
mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal (Hapsari RW, 2009).

A. Pengertian Hipertermi
Hipertermi adalah peningkatan suhu tubuh di atas titik pengaturan
hipotalamus bila mekanisme pengeluaran panas terganggu (oleh obat dan
penyakit) atau dipengaruhi oleh panas eksternal (lingkungan) atau internal
(metabolik) (Yunanto, 2008).
B. Etiologi
Terjadinya hipertermi pada bayi biasanya disebabkan oleh:

1. Perubahan mekanisme pengaturan panas sentral yang berhubungan


dengan trauma lahir dan obat-obatan.

2. Infeksi bakteri, virus atau protozoa.

3. Kerusakan jaringan.

4. Gerakan yang berlebihan.


C. Patofisologi
Sengatan panas didefinisikan sebagai kegagalan akut pemeliharaan
suhu tubuh normal dalam mengatasi lingkungan yang panas.

D. Penanganan hipertermi
Penanganan hipertermi, antara lain: 1. Bayi dipindahkan ke ruangan
yang sejuk dengan suhu kamar seputar 26 0C-28 0C. 2. Tubuh bayi diseka
dengan kain basah sampai suhu bayi normal(jangan menggunakan es batu
atau alkohol). 3. Berikan cairan dektrose NaCl = 1 : 4 secara intravena,
dehidrasi teratasi. 4. Antibiotik diberikan apabila ada infeksi.

E. Komplikasi hipertermi
Terapi hipertermi pada umumnya tidak menyebabkan kerusakan jaringan
normal/sehat jika suhunya tidak melebihi 43,8 0C. Tetapi perbedaan karakter
jaringan dapat menimbulkan perbedaan suhu atau efek samping pada
jaringan tubuh yang berbeda-beda. Teknik perfusi dapat menyebabkan
pembengkakan jaringan, penggumpalan jaringan, perdarahan atau gangguan

12
lain di area yang diterapi. Tetapi efek samping bersifat sementara.
Sedangkan whole body hipertermy dapat menimbulkan efek samping yang
lebih serius tetapi jarang terjadi

2.4 HYPOGLIKEMI

A. Definisi
Hipoglikemia merupakan keadaan kadar glukosa darah yang rendah.
Normalnya kadar glukosa darah pada bayi adalah >45 mg/dL. sedangkan pada
dewasa adalah <200 mg/dL.Hipoglikemia neonatus adalah keadaan kadar
glukosa darah yang rendah setelah lahir.

B. Etiologi
Hipoglikemia dibedakan menjadi dua berdasarkan umur yaitu yaitu
hipoglikemia transien pada neonatus atau bayi dan hipoglikemia pada masa
kanak. Pembagian yang sekarang didasarkan pada proses patofisiologi yaitu
defek keberadaan glukosa plasma (produksi glukosa kurang) dan peningkatan
pemakaian glukosa plasma. Kelainan yang dapat menyebabkan pemakaian
glukosa berlebihan yaitu :

1) Hiperinsulinemia
Hiperinsulinemia dapat menyebabkan pemakaian glukosa secara
berlebihan akibat rangsangan dari pengambilan glukosa oleh otot. Pada
bayi, keadaan ini terjadi karena defek genetik yang dapat menyebabkan
aktivasi reseptor sulfonylurea akibat dari sekresi insulin yang menetap.
Bayi yang lahir dari ibu penderita diabetes memiliki kadar insulin yang
tinggi setelah lahir karena tingginya paparan glukosa in utero yang
diakibatkan kurangnya kontrol kadar glukosa selama kehamilannya.
Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia pada bayi.

2) Defek pada pelepasan glukosa (siklus krebs)


Kelainan ini jarang terjadi. Biasanya apabila terjadi akibat proses
pembentukan ATP dari oksidasi glukosa yang terganggu.

3) Defek pada produksi energi alternatif

13
Kelainan ini dapat mengganggu penggunaan lemak sebagai energi,
sehingga tubuh sangat tergantung pada glukosa.

4) Sepsis atau penyakit dengan hipermetabolik termasuk hipertiroid.

Kelainan yang dapat menyebabkan kekurangan produksi glukosa yaitu :

1) Simpanan glukosa yang tidak adekuat, misalnya prematur, hipoglikemia


ketotik dan malnutrisi.

Kelainan ini sering menjadi penyebab dari hipoglikemia, disamping


hipoglikemia yang terjadi akibat pemberian insulin pada diabetes.
Kelainan ini dapat dibedakan dari gejala klinis dan adanya hipoglikemia
ketotik.

2) Kelainan pada produksi glukosa di hepar


Kelainan produksi glukosa yang menurun dapat terjadi melalui beberapa
defek termasuk blockade pada pelepasan dan sintesa glukosa atau
blockade glukoneogenesis.

3) Kelainan hormonal
Kelainan ini diakibatkan oleh hormon pertumbuhan dan kortisol yang
berperan pada proses pembentukan energi alternatif dan merangsang dari
produksi glukosa.

4) Toksin dan penyakit lain (etanol, salisilat, malaria) Etanol berperan


menghambat proses glukoneogenesis melalui hepar sehingga dapat
menyebabkan hipoglikemia. Biasanya terjadi pada penderita diabetes,
dimana pemakaian insulin tidak dapat mengurangi sekresi insulin sebagai
respon apabila terjadi hipoglikemia. Intoksikasi salisilat dapat
mengakibatkan hipoglikemia karena menambah sekresi insulin dan
hambatan pada glukoneogenesis.
C. Patofisiologi
Pada anak dan dewasa mempunyai persamaan substrat dan pengaturan
metabolisme hormonal, namun homeostatis glukosa pada bayi berbeda.

1. Metabolisme glukosa pada janin

14
Homeostatis glukosa yang terjadi pada neonatus dan anak membutuhkan
beberapa penjelasan spesifik. Pertama karena adanya transisi kehidupan
dari intrauterin ke ekstrauterin. Kedua adanya penggunaan kadar glukosa
yang meningkat pada neonatus dibandingkan dewasa.

Pada janin glukosa melewati sawar plasenta secara difusi yang dapat
menyebabkan janin tidak dependent terhadap proses glikogenolisis dan
glukoneogenesis karena terus disuplai dengan glukosa dari ibu.
Mekanisme glukoneogenesis terus berkembang seutuhnya saat mendekati
persalinan. Pada trisemester terakhir janin akan mengakumulasi cadangan
lemak, glikogen serta mengalami peningkatan aktivitas.

Saat lahir neonatus memiliki cadangan lemak dan glikogen yang cukup
untuk waktu yang singkat apabila terjadi penurunan kalori. Beberapa jam
setelah lahir konsentrasi glukosa plasma akan menurun sedangkan asam
lemak bebas menjadi meningkat. Namun cadangan glikogen menjadi
terbatas sehingga dependent terhadap proses glukoneogenesis.

Bila seorang ibu saat hamil mendapat nutrisi yang adekuat, maka pada
janin tidak terjadi glukoneogenesis. Selain di dalam kandungan, energi
pokok yang digunakan oleh janin adalah glukosa dan asam amino.
Glukosa pada ibu masuk kejanin melalui plasenta secara difusi karena
adanya perbedaan konsentrasi pada ibu dan plasma janin, dimana kadar
glukosa plasma janin 70-80% sama dengan kadar dalam vena ibu.

2. Sistem endokrin

Insulin merupakan hormon regulasi glukosa plasma. Insulin bekerja untuk


menurunkan produksi glukosa endogen dan dapat meningkatkan
pemakaian glukosa di perifer. Insulin menstimulasi membran sel otot
skelet, otot jantung dan jaringan lemak adiposa serta penyimpanan glukosa
menjadi glikogen. Dalam keadaan konsentrasi yang rendah, insulin
merupakan inhibitor proses lipolisis dan proteolisis. Beberapa substrat
seperti asam lemak bebas, badan keton dan asam amino dapat
meningkatkan pelepasan insulin dari sel beta pankreas baik secara

15
langsung maupun tidak langsung.

Hormon kontraregulasi seperti adrenokortikotropik (ACTH), kortisol,


glukagon, epinefrin dan growth hormon memiliki efek meningkatkan
kadar glukosa plasma dengan menghambat uptake glukosa oleh otot
(epinefrin, kortisol dan growth hormon), meningkatkan proses
glukoneogenesis endogen melalui proteolisis (kortisol), aktivitas lipolisis
dan meningkatkan proses glukoneogenesis berbahan asam lemak bebas
(epinefrin, glukagon, growth hormon, ACTH dan kortisol), menghambat
sekresi insulin dari pankreas (epinefrin), aktivasi enzim glikogenolisis dan
glukoneogenesis (epinefrin dan glukagon) serta meningkatkan produksi
dan menginduksi enzim glukoneogenesis dalam jangka yang panjang
(glukagon dan kortisol).

Bila kadar glukosa darah meningkat setelah makan, maka sekresi insulin
akan meningkat dan merangsang hepar untuk menyimpan glukosa sebagai
glikogen. Bila sel pada hepar dan otot kelebihan glukosa, maka kelebihan
glukosa tersebut akan disimpan sebagai lemak. Bila kadar glukosa
menurun, maka glukagon akan merangsang hepar untuk proses
glikogenolisis dan melepaskan glukosa kembali ke dalam darah. Pada
keadaan lapar, hepar akan mempertahankan kadar glukosa melalui proses
glukoneogenesis.

Glukoneogenesis merupakan proses pembentukan glukosa dari asam


amino. Otot memberikan simpanan glikogen dan memecah protein otot
menjadi asam amino yang merupakan substrat untuk proses
glukoneogenesis di hepar. Asam amino dalam sirkulasi akan
dikatabolisme menjadi keton, sedangkan asetoasetat dan beta hidroksi
butirat digunakan untuk membantu bahan bakar untuk sebagian besar
jaringan termasuk otot.

Hipotalamus akan merangsang sistem saraf simpatis dan epinefrin yang


disekresi oleh adrenal yang akan menyebabkan pelepasan glukosa oleh
hepar. Bila terjadi hipoglikemia yang berkelanjutan untuk beberapa hari,
maka hormon pertumbuhan dan kortisol disekresi dan akan terjadi

16
penurunan penggunaan glukosa oleh sebagian besar sel dalam tubuh.
Glukagon merupakan hormon yang pertama kali dalam mengatasi
terjadinya hipoglikemia, apabila gagal maka epinefrin yang memegang
peranan penting.

3. Kompensasi terhadap keadaan hipoglikemia


Dalam keadaan normal tubuh akan mempertahankan hipoglikemia dengan
cara menurunkan sekresi insulin dan meningkatkan sekresi glukagon,
epinefrin, hormon pertumbuhan dan kortisol. Perubahan hormon tersebut
dikombinasi dengan meningkatnya keluaran glukosa dihepar. Respon
pertama yang terjadi adalah meningkatkan produksi glukosa dari hepar
dengan melepaskan cadangan glikogen dihepar serta menurunkan sekresi

insulin dan meningkatkan sekresi glukagon. Bila cadangan glikogen habis


maka terjadi peningkatan kerusakan protein karena efek kortisol yang
meningkat serta proses glukoneogenesis hepar diganti dengan
glikogenolisis sebagai sumber produksi glukosa.

Kerusakan protein tersebut yaitu meningkatnya asam amino glukogenik,


alanin dan glutamine dalam plasma. Penurunan kadar glukosa perifer pada
keadaan awal dapat menurunkan kadar insulin, yang kemudian di ikuti
peningkatan kadar epinefrin, kortisol dan hormon pertumbuhan. Ketiga
proses tersebut dapat meningkatkan lipolisis dan asam lemak bebas dalam
plasma yang digunakan sebagai bahan bakar alternatif bagi tubuh dan
menghambat penggunaan glukosa. Hipoglikemia terjadi apabila satu atau
lebih mekanisme keseimbangan tersebut mengalami kegagalan atau
penurunan glukosa yang berlebihan seperti pada kondisi hiperinsulinemia
atau produksi yang kurang seperti pada penyakit “glycogen storage” serta
kombinasi defisiensi hormon pertumbuhan dan kortisol.

4. Perbedaan metabolisme glukosa pada bayi dan dewasa. Pada orang dewasa
setelah makan hingga 14 jam kemudian, metabolisme glukosa 2

17
mg/kgBB/menit kemudian menurun menjadi 1,8 mg/kgBB/menit pada 30
menit setelah makan. kadar metabolisme glukosa pada bayi dan anak pada
14 jam setelah makan jumlahnya 3 kali lipat lebih besar pada orang
dewasa dan saat 30 menit kemudian setelah makan kadarnya akan
menurun menjadi 3,8mg/kgBB/menit.
Pada bayi dan anak kemampuan tubuh tidak semaksimal pada orang
dewasa sehingga akan terjadi penurunan progresif dari konsentrasi glukosa
plasma dalam darah yang singkat. Perbedaan adaptasi puasa pada orang
dewasa dan anak disebabkan karena perbedaan massa otak, dimana kadar
otak anak lebih besar dibandingkan tubuh sehingga penurunan glukosa
terjadi lebih cepat akibat dari proses pemakaian. Glikogenolisis yang
terjadi pada anak tidak sebanyak yang terjadi pada dewasa karena massa
otot pada anak lebih kecil dibandingkan pada dewasa sehingga cara
mepertahankan glukosa plasma banyak menggunakan proses
glukoneogenesis.

18
D. Klasifikasi
Tabel 2.1 Klasifikasi hipoglikemia pada bayi dan anak.3

Neonatus – Hipoglikemia Sementara


1. Dihubungkan dengan ketidakcukupan
substrat atau fungsi enzima.
Prematuritas
b. Kecil menurut umur kehamilan
c. Kembar yang lebih kecil
d. Bayi distress dengan pernafasan berat
e. Bayi dari ibu toksemia
2. Dihubungkan dengan hiperinsulinemia

Neonatus – Hipoglikemia Infantil atau


Masa Anak Persisten 1. Keadaan
hiperinsulinemia
a. Nesidioblastosis
b. Sensitivitas leusin
c. Malaria falsifarum
2. Defisiensi hormon
a. Panhipopituitarisme
b. Defisiensi ACTH
c. Defisiensi glukagon
d. Defisiensi epinefrin
e. Defisiensi hormon pertumbuhan murni
3. Substrat terbatas
a. Hipoglikemia ketotik
b. Ketonuria rantai cabang
4. Penyakit penyimpanan glikogen
a. Defisiensi glukosa-6-fosfatase
b. Defisiensi amilo-1,6-difosfatase

19
c. Defisiensi glikogen sintesa
5. Gangguan glukoneogenesis
a. Intoksikasi alkohol akut
b. Intoksikasi salisilat

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari hipoglikemia yaitu pertama meliputi gejala
yang berkaitan dengan aktivasi sistem saraf autonom dan pelepasan
epinefrin yang disertai dengan penurunan kadar glukosa. Kedua meliputi
gejala yang disebabkan karena penurunan penggunaan glukosa otak yang
disertai dengan hipoglikemia yang lama. Pada neonatus biasanya gejala
disertai sianosis, apnea, hipotermia, hipotonia dan kejang-kejang.

F. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang disertai gejala klinis penting untuk menentukan


diagnosa hipoglikemia. Apabila terdapat gejala dari hipoglikemia maka harus
dilakukan pemeriksaan kadar gula darah untuk memastikan. Kadar glukosa
darah dapat diukur dengan menggunakan glukometer. Bayi yang memiliki
resiko harus dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah.

Pemeriksaan glukosa darah penting dilakukan secara berkala hingga bayi


dapat meminum ASI secara peroral dan tidak memakai infus selama 24 jam.
Bayi dengan hipoglikemia membutuhkan infus glukosa selama 5 hari lebih
untuk dilakukan evaluasi penyebabnya. Pemeriksaan lain yang dapat
dilakukan adalah pemeriksaan serum terhadap kadar insulin, kortisol, hormon
pertumbuhan, elektrolit darah, tes faal hati dan pemeriksaan formal gula darah
puasa (OGTT).

G. Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan hipoglikemia adalah menurunkan kadar glukosa
darah secepat mungkin agar kembali normal, menghindari hipoglikemia yang
berulang sampai homeostatis glukosa normal dan mencari penyakit yang

20
mendasari hipoglikemia.

1. Medikamentosa
Pada neonatus, hipoglikemia yang terjadi pada aterm asimptomatik, dapat
diberikan larutan glukosa atau susu formula, bila memungkinkan dapat
diberikan ASI. Pengobatan akut neonatus meliputi pemberian intravena 2
mL/kg disertai dengan infus glukosa 6-8 mg/kg/menit, menyesuaikan
kecepatan untuk mempertahankan kadar glukosa darah agar menjadi
normal.

Tatalaksana hipoglikemia pada neonatus adalah :


a) Memantau kadar glukosa darah
Pada semua neonatus beresiko tinggi:
(1) Pada saat lahir.
(2) 30 menit kemudian setelah lahir.
(3) setiap 2-4 jam selama 48 jam sampai pemberian minum berjalan
baik dan kadar glukosa menjadi normal.
b) Pencegahan hipoglikemia
(1) Menghindari faktor resiko yang dapat dicegah seperti hipotermia.
(2) Apabila bayi tidak memungkinkan untuk menyusui maka dengan
pemberian minum menggunakan sonde dalam waktu 1-3 jam
setelah lahir.
(3) Neonatus dengan resiko tinggi dipantau kadar glukosa serta
asupannya dan dilakukan tiga kali pengukuran hasilnya normal
sebelum pemberian minum diatas 45mg/dL.
c) Hipoglikemia refraktori
Kebutuhan glukosa dengan >12mg/kg/menit menunjukan adanya
keadaan hiperinsulisme, yang dapat dilakukan dengan :

(1) Hidrokortison 5 mg/kg/hari secara i.m diberikan dalam dosis


terbagi setiap 8 jam.
(2) Prednison oral 1-2 mg/kg/hari diberikan setiap 6-12 jam
(3) Glukagon 200µg secara i.v.
(4) Diazoxide oral 10-25 mg/kg/hari diberikan dalam dosis setiap 6
jam.

21
BAB III
KASUS

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Azis Alimul. (2008). Asuhan Neonatal, Bayi & Balita. Jakarta :EGC

M. Sholeh Kosim,Dkk. (2009). Buku Ajar Neonatologi. Jakarta : IDAI

22
http://repository.unimus.ac.id/266/3/BAB%20II.pdf

23

Anda mungkin juga menyukai