Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penulisan Topik


Masalah gizi di Indonesia terutama terdapat pada golongan rentan, salah
satunya adalah wanita hamil. Selama hamil, calon ibu memerlukan lebih
banyak zat-zat gizi daripada wanita yang tidak hamil, karena makanan ibu
hamil dibutuhkan untuk dirinya dan janin yang dikandungnya. Bila makanan
ibu terbatas janin akan tetap menyerap persediaan makanan ibu sehingga ibu
menjadi kurus, lemah, pucat. Demikian pula, bila makanan ibu kurang,
tumbuh kembang janin terganggu, terlebih bila keadaan gizi ibu pada masa
sebelum hamil telah buruk pula. Keadaan ini dapat menyebabkan abortus,
BBLR, bayi lahir premature dll. Sebaliknya, makanan yang berlebihan dapat
pula menyebabkan kenaikan berat badan yang berlebihan, bayi besar, dan
dapat pula menyebabkan preeklamsi (Irianto, 2014).

Kesehatan ibu saat hamil mempengaruhi kualitas bayi yang dilahirkan


dan anak yang dibesarkan. Bayi dengan berat lahir rendah merupakan salah
satu dampak dari ibu hamil yang menderita kurang energi kronis dan akan
mempunyai status gizi buruk. BBLR berkaitan dengan tingginya angka
kematian bayi dan balita, juga berdampak serius terhadap kualitas generasi
mendatang yaitu akan memperlambat pertumbuhan dan perkembangan
mental anak, serta berpengaruh pada penurunan IQ (Irianto, 2014).

Tumbuh kembang anak dimulai dari konsepsi sampai dewasa dipengaruhi


oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut adalah genetik dan faktor
lingkungan bio-fisiko-psikososial, yang bisa menghambat dan
mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Bila semasa masih di dalam
kandungan janin mendapat lingkungan yang kondusif untuk tumbuh dan
kembang, bayi akan lahir hidup dengan kualitas yang prima. Sebaliknya bila
lingkungan tidak menguntungkan, bayi akan lahir dengan menyandang
berbagai masalah. Setelah bayi lahir, juga banyak faktor lingkungan yang
mempengaruhi. Karena itu, dibutuhkan lingkungan yang menunjang, agar
bayi tumbuh kembang sesuai dengan potensi genetiknya (Soetjiningsih,
2012).

1.2. Tujuan Penulisan

1.2.1. Tujuan Umum


Untuk mengetahui jenis-jenis gangguan pertumbuhan dan perkembangan
pada bayi dan balita yang berhubungan dengan nutrisi ibu saat hamil serta
tanggung jawab bida dalam memberikan asuhan kebidanan pada balita.

1.2.2. Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui jenis-jenis gangguan pertumbuhan pada bayi dan
balita yang berhubungan dengan masalah gizi ibu saat hamil.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis gangguan perkembangan pada bayi dan
balita yang berhubungan dengan masalah gizi ibu saat hamil.
3. Untuk mengetahui dokumentasi data asuhan pada bayi dan balita
gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada bayi dan balita yang
berhubungan dengan dengan masalah gizi ibu saat hamil
4. Untuk mengetahui persiapan dan prosedur rujukan pada bayi dan
balita dengan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang
berhubungan dengan dengan masalah gizi ibu saat hamil
5. Untuk mengetahui tanggung jawab madiri bidan dalam pelayanan
asuhan pada Balita (Bayi dan Anak Balita) kasus BBLR
6. Untuk mengetahui tanggung jawab kolaborasi bidan dalam pelayanan
asuhan pada Balita (Bayi dan Anak Balita) kasus BBLR
7. Untuk mengetahui tanggung jawab rujukan bidan dalam pelayanan
asuhan pada Balita (Bayi dan Anak Balita) kasus BBLR
8. Untuk mengetahui penyimpangan yang terjadi dari petugas bidan
dalam prosedur pencegahan gangguan gizi pada ibu hamil
1.3 Manfaat Penulisan

1.3.1 Bagi Mahasiswa Bidan

Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang gangguan


pertumbuhan dan perkembangan balita yang berhubungan dengan
gangguan gizi ibu saat hamil serta tanggung jawab bidan dalam
memberikan asuhan kepada balita.

1.3.2 Bagi Institusi Pendidikan Bidan

Dapat menambah informasi untuk dijadikan bahan masukan bagi


institusi mengenai gangguan pertumbuhan dan perkembangan balita
yang berhubungan dengan gangguan gizi ibu saat hamil serta tanggung
jawab bidan dalam memberikan asuhan kepada balita.

1.3.3 Bagi Organisasi Profesi Bidan

Dapat dijadikan bahan rujukan dalam menjalankan profesi bidan


terutama mengenai gangguan pertumbuhan dan perkembangan balita
yang berhubungan dengan gangguan gizi ibu saat hamil serta tanggung
jawab bidan dalam memberikan asuhan kepada balita.
BAB II

PENYAJIAN

1. Jenis-jenis Gangguan Pertumbuhan Bayi dan Balita yang


Berhubungan dengan Masalah Gizi saat Ibu Hamil.
A. Stunting
a) Defenisi
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki
panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan
umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang
lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan
anak dari WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik
yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial
ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya
asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang
akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik
dan kognitif yang optimal (Kemenkes, 2018).
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi
di bawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga
anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak
bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan
tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun.
Sedangkan definisi stunting menurut Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang
dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD
(severely stunted).
b) Etiologi
Kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan
serta setelah persalinan mempengaruhi pertumbuhan janin dan
risiko terjadinya stunting. Faktor lainnya pada ibu yang
mempengaruhi adalah postur tubuh ibu (pendek), jarak kehamilan
yang terlalu dekat, ibu yang masih remaja, serta asupan nutrisi
yang kurang pada saat kehamilan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 97 Tahun
2014 tentang Pelayanan Kesehatan Masa sebelum Hamil, Masa
Hamil, Persalinan, dan Masa sesudah Melahirkan,
Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan
Kesehatan Seksual, faktor-faktor yang memperberat keadaan ibu
hamil adalah terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering melahirkan,
dan terlalu dekat jarak kelahiran. Usia kehamilan ibu yang terlalu
muda (di bawah 20 tahun) berisiko melahirkan bayi dengan berat
lahir rendah (BBLR). Bayi BBLR mempengaruhi sekitar 20% dari
terjadinya stunting (Kemenkes, 2018).
c) Tanda dan Gejala
Stunting adalah tinggi badan yang kurang menurut umur
(<- 2SD),ditandai dengan terlambatnya pertumbuhan anak yang
mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tinggi badan yang
normal dan sehat sesuai usia anak. Stunting merupakan
kekurangan gizi kronis atau kegagalan pertumbuhan dimasa lalu
dan digunakan sebagai indikator jangka panjang untuk gizi kurang
pada anak.Stunting dapat didiagnosis melalui indeks
antropometrik tinggi badan menurut umur yang mencerminkan
pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan pasca persalinan
dengan indikasi kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi
yang tidak memadai dan atau kesehatan. Stunting merupakan
pertumbuhan linier yang gagal untuk mencapai potensi genetik
sebagai akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit.Stunting
yang terjadi pada masa anak merupakan faktor risiko
meningkatnya angka kematian, kemampuan kognitif dan
perkembangan motik yang rendah serta fungi tubuh yang tidak
seimbang.
d) Faktor Resiko
Beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting dapat
digambarkan sebagai berikut :
1) Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya
pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan
pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Beberapa
fakta dan informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari
anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI)
secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak
menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). MP-
ASI diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita berusia diatas
6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan
baru pada bayi, MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan
nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI,
serta membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan sistem
imunologis anak terhadap makanan maupun minuman.
2) Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-
Ante Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa
kehamilan) Post Natal Care dan pembelajaran dini yang
berkualitas. Informasi yang dikumpulkan dari publikasi
Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat
kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari 79% di
2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum mendapat akses
yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3
ibu hamil belum mengkonsumsi sumplemen zat besi yang
memadai serta masih terbatasnya akses ke layanan
pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1 dari 3 anak usia 3-6
tahun belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia
Dini).
3) Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan
bergizi. Hal ini dikarenakan harga makanan bergizi di
Indonesia masih tergolong mahal. Menurut beberapa sumber
(RISKESDAS 2013, SDKI 2012, SUSENAS), komoditas
makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding dengan di New
Delhi, India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih mahal
daripada di Singapura. Terbatasnya akses ke makanan bergizi
di Indonesia juga dicatat telah berkontribusi pada 1 dari 3 ibu
hamil yang mengalami anemia.
4) Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang
diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah
tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB) diruang
terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke
air minum bersih.
e) Patofisiologi
Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan akibat
akumulasi ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai
dari kehamilan sampai usia 24 bulan. Keadaan ini diperparah
dengan tidak terimbanginya kejar tumbuh (catch up growth) yang
memadai (Mitra, 2015).
Masalah stunting terjadi karena adanya adaptasi fisiologi
pertumbuhan atau non patologis, karena penyebab secara langsung
adalah masalah pada asupan makanan dan tingginya penyakit
infeksi kronis terutama ISPA dan diare, sehingga memberi
dampak terhadap proses pertumbuhan balita. Tidak terpenuhinya
asupan gizi dan adanya riwayat penyakit infeksi berulang menjadi
faktor utama kejadian kurang gizi. Faktor sosial ekonomi,
pemberian ASI dan MP-ASI yang kurag tepat, pendidikan orang
tua, serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai akan
mempengaruhi pada kecukupan gizi. Kejadian kurang gizi yang
terus berlanjut dan karena kegagalan dalam perbaikan gizi akan
menyebabkan pada kejadian stunting atau kurang gizi kronis. Hal
ini terjadi karena rendahnya pendapatan sehingga tidak mampu
memenuhi kecukupan gizi yang sesuai (Maryunani, 2016).
Pada balita dengan kekurangan gizi akan menyebabkan
berkurangnya lapisan lemak di bawah kulit hal ini terjadi karena
kurangnya asupan gizi sehingga tubuh memanfaatkan cadangan
lemak yang ada, selain itu imunitas dan produksi albumin juga
ikut menurun sehingga balita akan mudah terserang infeksi dan
mengalami perlambatan pertumbuhan dan perkembangan. Balita
dengan gizi kurang akan mengalami peningkatan kadar asam basa
pada saluran cerna yang akan menimbulkan diare (Maryunani,
2016).
f) Pencegahan
Gagal tumbuh pada anak akan mempengaruhi status gizi
dan kesehatan pada usia dewasa. Oleh karena itu perlu dilakukan
upayaupaya penanggulangan masalah stunting ini mengingat
tingginya prevalensi stunting di Indonesia. Kerangka Intervensi
Stunting yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terbagi
menjadi dua, yaitu Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi
Sensitif.
Kerangka pertama adalah Intervensi Gizi Spesifik. Ini
merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000
Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30%
penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik
umumnya dilakukan pada sektor kesehatan. Intervensi ini
juga bersifat jangka pendek dimana hasilnya dapat dicatat dalam
waktu relatif pendek. Kegiatan yang idealnya dilakukan untuk
melaksanakan Intervensi Gizi Spesifik dapat dibagi menjadi
beberapa intervensi utama yang dimulai dari masa kehamilan ibu
hingga melahirkan balita, yaitu (Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan, 2017) :
I. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Hamil.
Intervensi ini meliputi kegiatan memberikan makanan
tambahan (PMT) pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan
energi dan protein kronis, mengatasi kekurangan zat besi dan
asam folat, mengatasi kekurangan iodium, menanggulangi
kecacingan pada ibu hamil serta melindungi ibu hamil dari
Malaria.
II. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan
Anak Usia 0-6 Bulan.
Intervensi ini dilakukan melalui beberapa kegiatan yang
mendorong inisiasi menyusui dini/IMD terutama melalui
pemberian ASI jolong/colostrum serta mendorong pemberian
ASI Eksklusif.
III. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan
Anak Usia 7-23 bulan.
Intervensi ini meliputi kegiatan untuk mendorong penerusan
pemberian ASI hingga anak/bayi berusia 23 bulan. Kemudian,
setelah bayi berusia diatas 6 bulan didampingi oleh pemberian
MP-ASI, menyediakan obat cacing, menyediakan suplementasi
zink, melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan,
memberikan perlindungan terhadap malaria, memberikan
imunisasi lengkap, serta melakukan pencegahan dan
pengobatan diare.
Kerangka Intervensi Stunting yang direncanakan oleh
Pemerintah yang kedua adalah Intervensi Gizi Sensitif. Kerangka
ini idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan
diluar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70% Intervensi
Stunting. Sasaran dari intervensi gizi spesifik adalah masyarakat
secara umum dan tidak khusus ibu hamil dan balita pada 1.000
Hari Pertama Kehidupan/HPK. Kegiatan terkait Intervensi Gizi
Sensitif dapat dilaksanakan melalui beberapa kegiatan yang
umumnya makro dan dilakukan secara lintas Kementerian dan
Lembaga. Ada 12 kegiatan yang dapat berkontribusi pada
penurunan stunting melalui Intervensi Gizi sensitif sebagai berikut
(Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2017) :
1. Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih.
2. Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi.
3. Melakukan fortifikasi bahan pangan.
4. Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan
Keluarga Berencana (KB).
5. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
6. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).
7. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua.
8. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Universal.
9. Memberikan pendidikan gizi masyarakat.
10. Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi,
serta gizi pada remaja.
11. Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga
miskin.
12. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.
g) Penanganan
Menurut Khoeroh dan Indriyanti, 2017 beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk mengatasi stunting yaitu :
1. Penilaian status gizi yang dapat dilakukan melalui
kegiatan posyandu setiap bulan.
2. Pemberian makanan tambahan pada balita.
3. Pemberian vitamin A.
4. Memberi konseling oleh tenaga gizi tentang kecukupan
gizi balita.
5. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan dilanjutkan
sampai usia 2 tahun dengan ditambah asupan MP-ASI.
6. Pemberian suplemen menggunakan makanan penyediaan
makanan dan minuman menggunakan bahan makanan
yang sudah umum dapat meningkatkan asupan energi dan
zat gizi yang besar bagi banyak pasien.
7. Pemberian suplemen menggunakan suplemen gizi khusus
peroral siap-guna yang dapat digunakan bersama makanan
untuk memenuhi kekurangan gizi.
h) Evidance Based
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rina (2020)
intervensi program gizi sensitif dan spesifik telah terbukti
mampu menurunkan kejadian stunting dan menangani efek jangka
panjang dari stunting di berbagai negara di Asia dan Indonesia.
Program dan intervensi gizi di Indonesia spesifik untuk menangani
penyebab langsung masalah gizi, berupa pemberian asupan
makanan dan timbulnya infeksi pada balita, sedangkan intervensi
gizi sensitive lebih luas mencakup masalah tidak langsung terkait
gizi dan kebijakan-kebijakan di sector pendukung lain seperti
pertanian, pendidikan, kebersihan air dan sanitasi, perlindungan
sosial, dan pemberdayaan perempuan.
Program gizi yang diterapkan antara lain: intervensi gizi
mikro untuk menanggulangi kelaparan dan peningkatan
pendidikan. Program selanjutnya yaitu penanggulangan malaria,
meningkatkan cakupan imunisasi pada bayi, balita, dan anak.
Program kuratif yang dilakukan yaitu pemberian obat cacing
pada anak sekolah, pengobatan Tuberkulosis secara tuntas.
B. Obesitas pada Anak
a) Defenisi
Obesitas merupakan kondisi kesehatan kronis, yang ditandai
oleh terdapatnya penimubunan lemak yang berlebihan daripada
yang diperlukan untuk fungsi tubuh yang normal. Obesitas atau
kegemukan dari segi kesehatan merupakan salah satu penyakit
salah gizi sebagai akibat dari konsumsi makanan yang jauh
melebihi kebutuhan.
Tidak semua orang yang mempunyai berat badan lebih
disebut obes, terdapat anak yang mempunyai kerangka tulang besar
dan otot-otot yang lebih dari biasanya, sehingga BB dan TB diatas
rata-rata anak sebayanya, itu tidak disebut obesitas.
b) Etiologi
Obesitas terjadi bila terdapat kelebihan energi yang terus
menerus, atau pemakaian energi yang berkurang terus-menerus,
atau kombinasi keduanya.
1. Masukan energi yang melebihi kebutuhan
a. Pada bayi
1) Bayi yang minum susu botol dan selalu dipaksakan oleh
ibunya bahwa setiap kali minum harus habis
2) Kebiasaan memberikan minuman/makanan setiap kali
anak menangis
3) Pemberian makanan tambahan tinggi kalori pada usia
yang terlalu dini
4) Jenis susu yang diberikan berosmolaritas tinggi (terlalu
kental, terlalu manis, kalorinya tinggi, sehingga bayi
selalu haus/minta minum.

Sebagian obesitas pada bayi pada umur satu tahun pertama


berhubungan dengan berat badan lahirnya dan cara
pemberian makannya. Namun, sebagian besar obesitas pada
usia 6-12 bulan masih sulit diterangkan penyebabnya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya berat badan


lahir bayi yang lebih tinggi dari biasanya :

a) Faktor keturunan
b) Ibu obesitas
c) Pertambahan berat badan ibu pada waktu hamil
berlebihan
d) Ibu diabetes
b. Gangguan emosional
Biasanya pada anak yang lebih besar, makanan menjadi
pengganti untuk mencapai kepuasan dalam memperoleh
kasih sayang.
c. Gaya hidup masa kini
Anak-anak sekarang cenderung suka makanan “fast food”
yang tinggi kalori, tinggi lemak, dan relatif murah, seperti
humburger, pizza, kentang goring, es krim, aneka macam
mie, dan lainnya.
2. Penggunaan kalori yang kurang
Pemakaian energi yang kurang dapat terjadi pada anak yang
kurang beraktivitas fisik.
3. Hormonal
Penyebab obesitas yang cukup jarang adalah fungsi
hipotalamus yang abnormal sehingga terjadi hiperfagia (nafsu
makan yang berlebihan) karena tejadi gangguan pada pusat
kenyang di otak.
c) Tanda dan Gejala
Anak obesitas tidak hanya lebih berat daripada anak
seusianya, tetapi pertumbuhan tulangnya juga lebih cepat matang.
Anak obesitas relatif lebih tinggi pada masa remaja awal, tetapi
pertumbuhan memanjangnya lebih cepat selesai, sehingga hasil
akhirnya mereka mempunyai tinggi badan relatif lebih pendek
daripada anak sebayanya.
Bentuk muka anak obes tidak proporsional, hidung dan mulut
relatif kecil, dan memiliki dagu ganda. Terdapat timbunan lemak
pada daerah payudara. Perut menggantung dan sering disertai
striae. Alat kelamin pada anak laki-laki seolah-olah kecil, karena
adanya timbunan lemak pada daerah pangkal paha. Paha dan
lengan atas besar, jari-jari tangan relatif kecil dan runcing. Sering
terjadi gangguan psikologis, baik sebagai penyebab ataupun akibat
dari obesitasnya.
d) Faktor Resiko
1. Herediter ( Faktor keturunan)
Ada kecenderungan menjadi gemuk pada keluarga tertentu.
Kalau salah satu orangtua obes, anaknya mempunyai resiko
40% menjadi obes, sedangkan jika kedua orangtuanya obes,
resiko menjadi 80%.
2. Suku/bangsa
Pada suku/bangsa tertentu, kadang-kadang terlihat banyak
anggotanya yang menderita obesitas.
3. Pandangan masyarakat yang salah, yaitu bayi yang sehat adalah
bayi yang gemuk.
4. Anak cacat dan anak yang kurang aktivitas karena masalah
fisik/cara mengasuhnya.
5. Umur orangtua yang sudah lanjut
6. Meningkatnya keadaan sosial ekonomi seseorang.
e) Patofisiologi
Terjadinya obesitas menurut jumlah sel lemak adalah :
1. Jumlah sel lemak normal, tetapi terjadi hipertropi/pembesaran
2. Jumlah sel lemak meningkat/hyperplasia dan juga terjadi
hipetropi

Obesitas pada anak terjadi jika asupan kalori berlebihan, terutama


pada tahun pertama kehidupan. Rangsangan untuk meningkatkan
jumlah sel terus berlanjut sampai dewasa. Setelah itu hanya terjadi
pembesaran sel saja, sehingga jika terjadi penurunan berat badan
setelah masa dewasa, sebabnya bukan jumlah sel lemaknya yang
berkurang melainkan besarnya sel yang berkurang.

f) Pencegahan
Pencegahan harus dilakukan sedini mungkin dan dimulai
sejak dari bayi, yaitu dengan memberikan ASI. Bayi yang minum
ASI jarang mengalami obesitas, karena ASI mempunyai
mekanisme tersendiri untuk mengontrol berat badan bayi.
Komposisi ASI pada saat baru mulai disusui (foremilk)
mengandung lemak yang sedikit, sedangkan pada akhirn menyusu
(hind milk) kadar lemaknnya lebih tinggi.
g) Penanganan
Diagnosis
1. Hitung Indeks Massa Tubuh (IMT), yaitu dengan BB (kg)
dibagi tinggi badan (m) kuadrat
2. Anamnesis keluarga
- Identifikasi obesitas pada keluarga terdekat (ayah dan ibu)
- Evaluasi adanya penyakit kardiovaskular, diabetes tipe 2
dan kanker pada keluarga

Tujuan penanganan obesitas pada anak berbeda dengan


penanganan obesitas dewasa, karena tujuannya hanya menghambat
laju kenaikan berat badan yang pesat dan tidak boleh dilakukan diet
terlalu ketat, sehingga pengaturan dietnya harus
mempertimbangkan bahwa anak masih berada dalam masa
pertumbuhan, sesuai tingkat pertumbuhan pada usia anak tersebut.

Pada prinsipnya, penanganan anak obesitas adalah dengan :

1. Memperbaiki faktor penyebab, misalnya kesalahan cara


pengasuhan maupun factor kejiwaan
2. Memotivasi orangtua tentang pentingnya memperlambat
kenaikan berat badan anak
3. Memberikan diet rendah kalori yang seimbang untuk
menghambat kenaikan berat badan. Kemudian membimbing
pengaturan makanan yang sesuai untuk mempertahankan gizi
yang ideal sesuai dengan pertumbuhan anak. Ditambahkan juga
dengan vitamin dan mineral.
h) Evidance Based
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Riyanti dan
Larasati (2020) mengenai efektivitas penyuluhan kesehatan dalam
meningkatkan pengetahuan keluarga tentang obesitas pada anak,
terdapat perbedaan gambaran tingkat pengetahuan orang tua antara
sebelum dan sesudah diberi penyuluhan mengenai obesitas.
Dengan adanya penyuluhan yang aktif mengenai obesitas
pada anak, tenaga kesehatan dapat memberikan gambaran bahwa
terdapat dampak negatif dari obesitas pada anak, yaitu
menimbulkan komplikasi dari munculnya beberapa penyakit. Maka
dari itu peran orang tua sangat penting dalam memperhatikan pola
makan anak.

2. Gangguan Perkembangan Balita yang Berhubungan dengan


Gangguan Gizi Ibu saat Hamil
A. Autisme
a. Pengertian
Istilah Autism Infantil (Early Infantil Autism) pertama kali
diperkenalkan oleh Dr. Leo Kanner pada tahun 1943. Ia
menemukan 11 orang anak yang mempunyai ciri-ciri yang sama,
yaitu tidak mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang
lain, serta terlihat sangat acuh pada dunia luar sehingga
perilakunya seolah-olah hidup di dunianya sendiri.
Istilah”Autism” dipinjamnya dari bidang skizofrenia dimana
Bleuler menggambarkan bahwa semua pasien skizofrenia
mempunyai gejala dasar “Autism”, yaitu hidup dalam dunia
fantasinya sendiri dan tidak menghiraukan dunia luar. Dengan
meminjam istilah ini Kanner ingin menunjukkan bahwa pada
anak-anak ini pun “hidup dalam dunia sendiri” ini sangat
menonjol. Namun ada perbedaan besar sekali antara penyebab
autism pada penderita skizofrenia dan penyandang autism. Pada
skizofrenia, autism disebabkan oleh proses regresi yang terjadi
karena sakit jiwa, sedangkan pada autisme infantil penyebabnya
adalah kegagalan perkembangan.
Autis adalah suatu gangguan perkembangan pervasif pada
anak yang ditandai dengan perkembangan fungsi psikologis yang
meliputi gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif,
bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial. Autis
merupakan gangguan perkembangan kompleks yang muncul tiga
tahun pertama kehidupan akibat gangguan neurologi yang
mempengaruhi fungsi otak dan memerlukan perawatan yang
serius oleh tenaga ahli (Alexander, K. et al 2007). Gangguan ini
secara signifikan mempengaruhi komunikasi verbal dan non
verbal serta interaksi sosial pada anak (Rusianto Y.C. 2016)
Jadi autism adalah gangguan perkembangan yang sangat
kompleks dan berat, yang gejalanya sudah tampak sebelum anak
mencapai umur tiga tahun. Gejala yang tampak terutama adalah
dalam bidang interaksi sosial, komunikasi dan perilaku.

b. Etiologi
Penyebab autis sangat kompleks, yang telah diketahui
sekarang adalah karena adanya gangguan pada fungsi susunan
syaraf pusat. Gangguan fungsi ini diakibatkan karena kelainan
struktur otak yang mungkin terjadi pada saat janin usia dibawah 3
bulan. Ibu mungkin mengidap virus TORCH (tokso, rubella,
cytomegalic, herpes), mengkonsumsi makanan yang mengandung
zat kimia yang mengganggu pertumbuhan sel otak, menghirup
udara beracun, mengalami pendarahan hebat. Faktor genetic juga
memegang peran terhadap munculnya autism. Diperkirakan
kehidupan manusia yang terlalu banyak memakai zat kimia
beracun dapat menyebabkan mutase kelainan genetic. Pencernaan
yang buruk juga memegang peran yang penting, seringkali
adanya jamur yang terlalu banyak di usus sehingga menghambat
sekresi enzim. Usus tidak dapat menyerap sari-sari makanan
tetapi berubah menjadi “morfin” yang mempengaruhi
perkembangan anak.
c. Gejala Gangguan Perkembangan Autism
Beberapa gejala yang dapat diamati dan perlu diwaspadai
menurut usia adalah :
1) Usia 0-6 bulan
- Bayi Nampak terlalu tenang
- Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
- Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila mandi
- Tidak pernah terjadi kontak mata atau senyum secara
social
- Bila digendong mengepal tangan atau menegangkan kaki
secara berlebihan
2) Usia 6-12 bulan
- Kalau digendong kaku atau tegang
- Tidak tertarik pada mainan
- Tidak bereaksi terhadap suara atau kata
- Selalu memandang suatu benda atau tangannya sendiri
secara lama (akibat terlambat dalam perkembangan
motoric halus dan kasar)
3) Usia 2-3 tahun
- Tidak berminat atau bersosialisasi terhadap anak-anak lain
- Tidak ada kontak mata
- Tidak pernah focus
- Kaku terhadap orang lain
- Senang digendong dan malas menggerakkan tubuhnya
4) Usia 4-5 tahun
- Suka berteriak-teriak
- Suka membeo atau menirukan suara orang atau
mengeluarkan suara-suara aneh
- Gampang marah atau emosi apabila rutinitasnya diganggu
dan kemauannya tidak dituruti
- Agresif dan mudah menyakiti diri sendiri

Untuk dapat menegakkan diagnosis secara tepat harus ada kriteria


yang dipenuhi. Berikut ini adalah kriteria diagnostik yang lazim
dipakai, yaitu ICD-10 (International Classification of Diseases)
dari WHO.

ICD – 10. Kriteria untuk Autism


a. Adanya perkembangan yang menyimpang atau kerusakan
perkembangan yang terjadi sebelum usia tiga tahun, pada
sekurang-kurangnya satu dari area berikut :
(1) bahasa reseptif atau bahasa ekspresif yang penting
digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain,
(2) perkembangan kelekatan sosial / emosional kepada orang
yang dianggap penting atau dalam perkembangan interaksi
sosial yang sifatnya timbal balik,
(3) permainan yang sifatnya fungsional atau simbolik,
b. Secara keseluruhan sekurang-kurangnya enam simptom dari
(1), (2), dan (3) pasti ada, dengan sekurang-kurangnya dua
simptom dari (1) dan sekurang-kurangnya satu simptom dari
(2) dan (3).
(1) Adanya kerusakan secara kualitatif dalam interaksi sosial
yang dimanifestasikan dalam paling sedikit dua dari area
berikut :
a) gagal secara adekuat menggunakan kontak mata,
ekspresi wajah, postur tubuh dan gerakan-gerakan
tangan untuk meregulasi interaksi sosial,
b) gagal mengembangkan (sesuai usia mental dan
kesempatan) hubungan dengan teman sebaya yang
mencakup saling berbagi minat, aktivitas dan
emosi/perasaan,
c) kurangnya hubungan sosial emosional yang timbal
balik yang diperlihatkan oleh kurangnya respon
terhadap keadaan emosi orang lain; kurangnya
perilaku yang sesuai dengan konteks sosial; atau ada
kelemahan dalam mengintegrasikan perilaku sosial,
emosi dan perilaku yang komunikatif,
d) tidak adanya spontanitas untuk berbagi kenikmatan,
minat atau prestasi dengan orang lain (misal
memperlihatkan sesuatu kepada orang lain, membawa
sesuatu kepada orang lain serta menunjukkan minat
kepada orang lain),
(2) Adanya bentuk komunikasi yang menyimpang yang
dimanifestasikan dalam sekurang-kurangnya pada satu
area berikut :
a) keterlambatan dalam perkembangan bahasa tutur atau
sama sekali tidak berkembang, yang diikuti oleh tidak
adanya upaya untuk mengkompen-sasi keadaan itu
dengan menggunakan gerakan-gerakan tangan atau
mimik sebagai suatu cara untuk berkomunikasi
dengan orang lain.
b) gagal dalam mengambil inisiatif dalam suatu
percakapan atau gagal bertahan dalam suatu
percakapan dimana ada tanggapan yang timbal balik
terhadap komunikasi yang dilakukan orang lain,
c) menyebutkan kata-kata atau frasa secara berulang-
ulang dan itu-itu saja tanpa melihat konteks,
d) tidak dapat spontan dalam suatu permainan sosial
yang melibatkan orang lain,
(3) Adanya pola-pola tingkah laku, minat dan aktivitas-
aktivitas yang kaku yang ditampilkan secara berulang-
ulang dan itu-itu saja, yang dimanifes-tasikan paling
sedikit dalam satu dari gejala berikut :
a) adanya minat yang berlebihan terhadap sesuatu hal
yang aneh,
b) adanya tingkah laku yang spesifik yang dilakukan
berulang-ulang yang sebetulnya tidak berguna
(fungsional),
c) adanya gerakan-gerakan yang berulang-ulang
dilakukan secara terus-menerus, misalnya menepuk-
menepuk tangannya atau menampilkan gerakan-
gerakan seluruh tubuh yang lebih kompleks,
d) terpaku kepada suatu bagian dari suatu benda atau
kepada elemen nonfungsional dari suatu mainan
(misalnya baunya, rasa dari permukaan mainan, atau
suara-suara tertentu dari benda-benda itu).
d. Faktor Resiko Autisme
Adapun beberapa resiko autism, dapat dikelompokkan
dalam beberapa periode, seperti periode kehamilan atau prenatal,
persalinan atau perinatal dan periode usia bayi atau neonatal
(Judarwanto, 2006).
1. Periode kehamilan atau prenatal
Faktor-faktor pada periode ini adalah peningkatan usia ayah
dan ibu, primipara (wanita yang telah melahirkan seorang
anak), perdarahan antepartum akibat placentae previa dan
abruptio placentae, medikasi selama kehamilan, pre-
eklampsia, infeksi, serta stress selama melahirkan (Guinchat
dkk, 2012 dan Judarwanto, 2006). Faktor resiko seperti
perdarahan antepartum akan menyebabkan hipoksia fetus
sehingga mengganggu perkembangan otak atau timbulnya
abnormalitas otak. Hipoksia fetus juga dapat menyebabkan
peningkatan aktivitas dopaminergik. Keadaan abnormalitas
otak dan peningkatan aktivitas dopaminergik tersebut
memiliki kaitan erat dengan autisme. (Gardener dkk, 2009).
2. Periode persalinan atau perinatal
Gangguan persalinan yang dapat meningkatkan resiko
terjadinya autisme adalah pemotongan tali pusat terlalu cepat,
asfiksia pada bayi (nilai APGAR SCORE rendah < 7),
komplikasi selama persalinan, lamanya persalinan, persalinan
yang cepat, letak presentasi bayi saat lahir, kelahiran yang
diinduksi, kelahiran dengan .seclio cesarea, usia kehamilan
dibawah 35 minggu dan berat bayi lahir rendah dibawah 2500
gram (Guinchat dkk, 2012; Judarwanto, 2006; dan Larsson
dkk, 2005). Faktor resiko seperti berat lahir bayi rendah
berkaitan berbagai gangguan kognitif dan masalah psikiatrik
seperti gangguan bicara dan bahasa, gangguan perhatian,
hiperaktivitas, serta gangguan belajar. Pada usia kehamilan,
gangguan yang timbul serupa dengan berat bayi lahir, yaitu
hambatan perkembangan dan gangguan intelektual yang
timbul pada masa kanak-kanak dan dewasa (Kolevzon dkk,
2007).
3. Periode usia bayi atau neonatal
Dalam kehidupan awal di usia bayi, beberapa gangguan
yang terjadi dapat mengakibatkan gangguan pada otak yang
akhimya dapat beresiko untuk terjadinya gangguan autisme.
Kondisi atau gangguan yang beresiko untuk terjadinya
autisme adalah prematuritas, alergi makanan, kegagalan
kenaikan berat badan, kelainan bawaan seperti kelainan
jantung kongenital, kelainan genetik, kelainan metabolik,
serta gangguan neuroiogi seperti trauma kepala, kejang otot
atipikal, kelemahan otot (Judarwanto, 2006).
e. Deteksi Dini Gangguan Perkenbangan Autism
Agar dapat melakukan deteksi dini, orang tua perlu
mengetahui dan memahami apa yang menjadi penyebab autism,
mengetahui bagaimana perkem-bangan ikatan emosional yang
normal pada anak usia di bawah tiga tahun yang dapat diamati
dari perilaku anak terhadap orang lain, dan mengetahui gejala-
gejala autism pada anak di bawah usia tiga tahun. Dengan
mengetahui penyebab autism, orangtua dapat menelusuri kembali
pengalaman-pengalaman ibu pada saat hamil, melahirkan dan
setelah kelahiran anak tersebut. Hal ini dalam rangka mengetahui
apakah anak beresiko tinggi terhadap autism atau tidak. Dengan
mengetahui perkembangan ikatan emosional anak terhadap orang
lain, orangtua dapat memantau perkembangan anak apakah sesuai
dengan yang diharapkan atau tidak. Adapun pengetahuan
mengenai gejala autism pada masa bayi (0 – 2 tahun) dan masa
toddler (2 – 3 tahun) dapat digunakan orangtua untuk lebih
mempertajam deteksi dini. Setelah orangtua melakukan deteksi
dini secara kasar dan ternyata anak diduga mengalami autism,
orangtua dapat membawa anak ke psikiater/dokter anak agar anak
mendapatkan pemeriksaan yang lengkap dan cermat. Setelah
diketahui bahwa ternyata anak mengalami autism,
psikiater/dokter anak mungkin akan merujuk ke psikolog dan ahli
terapi guna dapat menyusun program intervensi dini yang sesuai
untuk anak yang bersangkutan secara terpadu.
f. Penanganan
Dalam melakukan penanganan terhadap para penyandang
autis baik oleh terapis, guru maupun keluarga harus
memperhatikan prinsip secara umum sebagai berikut :
a) Semua hak azasi manusia khususnya anak juga berlaku pada
kelompok anak autis seperti berhak mendapat pendidikan,
bermain, kasih sayang dll.
b) Anak autis tidak persis sama satu sama lainnya, masing
masing mempunyai keunikan dan tingkat gangguannya
sendiri-sendiri, oleh karena itu perlu diperhatikan
kebutuhannya serta kekhususan masing-masing.
c) Gangguan spektrum Autisme adalah suatu gangguan proses
perkembangan, sehingga terapi jenis apapun yang dilakukan
akan memerlukan waktu yang lama. Terapi harus dilakukan
secara terpadu dan setiap anak membutuhkan jenis terapi
yang berbeda.
d) Tujuan utama penanganan anak autis adalah mendorong
kemandirian, disamping peningkatan akademiknya jika
memungkinkan.
e) Orang tua dan guru-guru sekolah harus bekerja sama,
bersikap terbuka, selalu komunikasi untuk membuat
perencanaan penanganan dengan tehnik terbaik untuk anak-
anak mereka.
f) Pengajaran terstruktur sangat penting. Dalam melakukan
penanganan terlebih dahulu orang tua dan guru harus mampu
melakukan deteksi Autisme secara sederhana apakah anak
mengalami autis atau tidak.

Berbagai jenis terapi autisme


a. Terapi Perilaku (ABA, LOVAAS, TEACCH, Son-rise)
Terapi perilaku (behavior theraphy) adalah terapi yang
dilaksanakan untuk mendidik dan mengembangkan
kemampuan perilaku anak yang terhambat dan untuk
mengurangi perilaku-perilaku yang tidak wajar dan
menggantikannya dengan perilaku yang bisa diterima dalam
masyarakat. Terapi perilaku ini merupakan dasar bagi anak-
anak autis yang belum patuh (belum bisa kontak mata dan
duduk mandiri) karena program dasar/kunci terapi perilaku
adalah melatih kepatuhan, dan kepatuhan ini sangat
dibutuhkan saat anak-anak akan mengikuti terapi-terapi
lainnya seperti terapi wicara, terapi okupasi, fisioterapi,
karena tanpa kepatuhan ini, terapi yang diikuti tidak akan
pernah berhasil.
b. Terapi Wicara
Terapi wicara (speech therapy) merupakan suatu
keharusan, karena anak autis mempunyai keterlambatan bicara
dan kesulitan berbahasa. Tujuannya adalah untuk
melancarkan otot-otot mulut agar dapat berbicara lebih baik.
Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan
dalam bicara dan berbahasa.
c. Terapi okupasi
Terapi okupasi dilakukan untuk membantu menguatkan,
memperbaiki koordinasi dan keterampilan otot pada anak
autis dengan kata lain untuk melatih motorik halus anak.
Hampir semua anak autis mempunyai keterlambatan dalam
perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar,
mereka kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara yang
benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap
makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini
terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan
otot –otot halusnya dengan benar.
d. Terapi Fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif.
Banyak diantara individu autistik mempunyai gangguan
perkembangan dalam motorik kasarnya. Kadang-kadang tonus
ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat.
Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi
integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk
menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan
tubuhnya.
e. Terapi Bermain, untuk melatih mengajarkan anak melalui
belajar sambil bermain. Meskipun terdengarnya aneh, seorang
anak autis membutuhkan pertolongan dalam belajar bermain.
Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara,
komunikasi dan interaksi sosial. Seorang terapis bermain bisa
membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu.
Terapi bermain ini bertujuan selain untuk bersosialisasi juag
bertujuan untuk terapi perilaku, bermain sesuai aturan.
f. Terapi Medikamentosa, obat-obatan (drug therapy) untuk
menenangkan melalui pemberian obat-obatan oleh dokter
yang berwenang., untuk kebaikan dan kebugaran kondisi
tubuh agar terlepas dari faktor-faktor yang merusak dari
keracunan logam berat, efek elergi. Terapi biomedik
dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam
DAN! (Defeat Autismem Now). Banyak dari para perintisnya
mempunyai anak autistik. Mereka sangat gigih melakukan
riset dan menemukan bahwa gejala-gejala anak ini diperparah
oleh adanya gangguan metabolisme yang akan berdampak
pada gangguan fungsi otak. Oleh karena itu anak-anak ini
diperiksa secara intensif, pemeriksaan, darah, urin, feses, dan
rambut. Semua hal abnormal yang ditemukan dibereskan,
sehingga otak menjadi bersih dari gangguan. Ternyata lebih
banyak anak mengalami kemajuan bila mendapatkan terapi
yang komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dari dalam tubuh
sendiri (biomedis).
g. Terapi Melalui Makan(diet therapy), untuk mencegah atau
mengurangi tingkat ganggguan autisme.
h. Terapi integrasi sensoris, untuk melatih kepekaan dan
koodinasi daya indra anak autis.
i. Terapi Integrasi Auditori, untuk melatih kepekaan
pendengaran supaya lebih sempurna. Dapat menggunakan
snozellen.
j. Terapi Musik, untuk melatih audiotori anak,menekan
emosi,melatih kontak mata dan konsentrasi.
k. Terapi Anggota Keluarga, memberi perhatian yang penuh.
Bisa dengan menggunakan konseling kognitif perilaku (KKP).
l. Terapi Sosial, Kekurangan yang paling mendasar bagi
individu autisme adalah dalam bidang komunikasi dan
interaksi . Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan
dalam ketrampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan
main bersama ditempat bermain. Seorang terapis sosial
membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk
bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara-
caranya.
m. Terapi Perkembangan. RDI (Relationship Developmental
Intervention) dianggap sebagai terapi perkembangan. Artinya
anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat
perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial,
emosional dan Intelektualnya. Terapi perkembangan berbeda
dengan terapi perilaku seperti ABA yang lebih mengajarkan
ketrampilan yang lebih spesifik.
n. Media Visual, Individu autis lebih mudah belajar dengan
melihat(visual learners/visual thinkers). Hal inilah yang
kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar
komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya dengan metode
PECS ( Picture Exchange Communication System). Beberapa
video gamesbisa juga dipakai untuk mengembangkan
ketrampilan komunikasi. Contoh lain menggunakan
Computer picture.
Pemilihan terapi tersebut diatas yang diberikan pada anak,
tergantung dari kondisi kemampuan dan kebutuhan anak. Jadi
tidak semua terapi sesuai dengan kebutuhan anak, namun terapi
utama bagi anak adalah terapi perilaku, terapi wicara dan terapi
okupasi.
g. Evidance Based
Dari hasil penelitian (Sari, D. P., Novitrie, A., & Latifah, L.
(2021)) didapatkan bahwa, terdapat hubungan antara kontak mata,
pemahaman, emosi, bicara dengan interaksi sosial dari penderita
autis. Untuk itu, tenaga kesehatan perlu melakukan interaksi
sosial dengan penderita autis terutama dengan pendekatan melalui
bicara karena dapat melatih anak autis dalam mengingat dan
meningkatkan kemampuan bahasanya. Interaksi sosial anak autis
dapat di ajarkan secara awal oleh terapis perilaku yang nantinya
di ajarkan oleh terapis kepada orang tua dan keluarga untuk
dilakukan di rumah kepada anak autis tersebut agar dapat
membantu mempercepat kemajuan perkembangan sosialnya.

B. Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH)


a. Pengertian
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH)
atau dalam istilah kedokteran lebih dikenal dengan singkatan
ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) adalah salah satu
masalah psikiatri utama yang sering ditemukan pada anak.
Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktivitas (GPPH) adalah
suatu gangguan perkembangan neurobiologis yang ditandai oleh
kekurang-mampuan memusatkan perhatian, dan/ atau
hiperaktivitas-impulsivitas yang lebih berat dibandingkan dengan
anak-anak sebayanya. Gangguan ini dapat dijumpai dalam
kehidupan sehari – hari, baik pada anak usia prasekolah, remaja,
bahkan dewasa dapat mengalami gangguan ini. Sebagian besar
masyarakat, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan klinik,
masih belum mengenali adanya gangguan ini. Mereka bahkan
menganggap gangguan ini sebagai atensi yang kurang baik yang
tidak dapat diterima oleh lingkungannya. GPPH ini menjadi salah
satu alasan terbesar orang tua untuk membawa anaknya
berkonsultasi dengan psikiater. Mayoritas dari para orang tua
tersebut mengeluhkan anaknya nakal, tidak mau belajar, tidak bisa
diam, cepat beralih perhatian, baik di rumah maupun di sekolah.
Menurut hasil observasi yang dipimpin Russell Barkley dan
kawan-kawan (dalam Kutscher, 2005:43) yang menggambarkan
ADHD sebagai ketidakmampuan untuk menghambat, bukan
ketidakmampuan memperhatikan dalam diri mereka. Anak ADHD
yang tidak mampu melakukan pengereman, maka mereka :

a. Tidak mampu menahan gangguan : kurang memperhatikan


b. Tidak mampu mengontrol pemikiran : Impulsif
c. Tidak mampu mengontrol tindakan seperti gangguan atau
:pikiran Hiperaktif.
b. Karakteristik ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder)
Menurut DSM IV (dalam Baihaqi & Sugiarman, 2006: 8) kriteria
ADHD adalah sebagai berikut :
1. Kurang Perhatian
Pada kriteria ini, penderita ADHD paling sedikit
mengalami enam atau lebih dari gejala-gejala berikutnya, dan
berlangsung selama paling sedikit 6 bulan sampai suatu
tingkatan yang maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat
perkembangan.
- Seringkali gagal memerhatikan baik-baik terhadap sesuatu
yang detail atau membuat kesalahan yang sembrono dalam
pekerjaan sekolah dan kegiatan-kegiatan lainnya.
- Seringkali mengalami kesulitan dalam memusatkan
perhatian terhadap tugas-tugas atau kegiatan bermain.
- Seringkali tidak mendengarkan jika diajak bicara secara
langsung
- Seringkali tidak mengikuti baik-baik intruksi dan gagal
dalam menyelesaikan pekerjaan sekolah, pekerjaan, atau
tugas ditempat kerja (bukan disebabkan karena perilaku
melawan atau gagal untuk mengerti intruksi).
- Seringkali mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas
dan kegiatan
- Sering kehilangan barang/benda penting untuk tugas-tugas
dan kegiatan, misalnya kehilangan permainan; kehilangan
tugas sekolah; kehilangan pensil, buku, dan alat tulis
lainnya.
- Seringkali menghindar, tidak menyukai atau enggan untuk
melaksanakan tugas-tugas yang menyentuh usaha mental
yang didukung, seperti menyelesaikan pekerjaan sekolah
atau pekerjaan rumah.
- Seringkali bingung/terganggu oleh rangsangan dari luar,
dan
- Sering lekas lupa dan menyelesaikan kegiatan sehari-hari.
2. Hiperaktivitas Impulsifitas
Paling sedikit enam atau lebih dari gejala-gejala
hiperaktivitas impulsifitas berikutnya bertahan selama paling
sedikit 6 sampai dengan tingkat yang maladaptif dan tidak
dengan tingkat perkembangan.
Hiperaktivitas
- Seringkali gelisah dengan tangan atau kaki mereka, dan
sering menggeliat di kursi
- Sering meninggalkan tempat duduk di dalam kelas atau
dalam situasi lainnya dimana diharapkan anak tetap duduk
- Sering berlarian atau naik-naik secara berlebihan dalam
situasi dimana hal ini tidak tepat. (pada masa remaja atau
dewasa terbatas pada perasaan gelisah yang subjektif)
Sering mengalami kesulitan dalam bermain atau terlibat
dalam kegiatan senggang secara tenang
- Sering bergerak atau bertindak seolah-olah dikendalikan
oleh motor, dan Sering berbicara berlebihan
Impulsifitas
- Mereka sering memberi jawaban sebelum pertanyaan
selesai
- Mereka sering mengalami kesulitan menanti giliran
- Mereka sering menginterupsi atau mengganggu orang
lain, misalnya memotong pembicaraan atau permainan
c. Faktor-faktor Penyebab ADHD
Penelitian terhadap penyebab ADHD masih tetap
berlangsung, laporan mengenai ADHD semakin hari juga
semakin banyak. Sudah sejak lama didiskusikan sama seperti
gangguan psikiatrik lainnya apakah ADHD sebenarnya adalah
gangguan yang berasal dari gangguan neurologis di otak, atau
disebabkan oleh faktor pengasuhan orang tua. Beberapa hal
sebagai faktor penyebab ADHD kini sudah semakin jelas, yaitu
1. Faktor genetik (Keturunan), Dari penelitian faktor keturunan
pada anak kembar dan anak adopsi, tampak bahwa faktor
keturunan membawa peran sekitar 80%. Dengan kata lain
bahwa sekitar 80% dari perbedaan antara anak-anak yang
mempunyai gejala ADHD di kehidupan bermasyarakat akan
ditentukan oleh faktor genetik. Anak dengan orang tua yang
menyandang ADHD mempunyai delapan kali kemungkinan
mempunyai resiko mendapatkan anak ADHD. Namun, belum
diketahui gen mana yang menyebabkan ADHD
(Paternotte&Buitelaar, 2010:17).
2. Faktor Fungsi otak, Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
secara biologis ada dua mekanisme di dalam otak yaitu
pengaktifan sel-sel saraf (Eksitasi) dan penghambat sel-sel
saraf (Inhibisi). Pada reaksi eksitasi sel-sel saraf terhadap
adanya rangsangan dari luar adalah melalui panca indra.
Dengan reaksi inhibisi, sel-sel saraf akan mengatur bila terlalu
banyak eksitasi. Pada perkembangan seorang anak pada
dasarnya mengaktifkan sistem- sistem ini adalah
perkembangan terbanyak. Pada anak kecil, sistem pengereman
atau sistem hambatan belumlah cukup berkembang: setiap
anak balita bereaksi impulsif, sulit menahan diri, dan
menganggap dirinya pusat dari dunia. Umumnya sistem
inhibisi akan mulai pada usia 2 tahun, dan pada usia 4 tahun
akan berkembang secara kuat. Tampaknya pada anak
ADHD perkembangan sistem ini lebih lambat, dan juga
dengan kapasitas yang lebih kecil. Sistem penghambat atau
pengereman di otak bekerja kurang kuat atau kurang
mencukupi. Dari penelitian juga disebutkan bahwa adanya
neuro-anatomi dan neuro-kimiawi yang berbeda antara anak
yang menyandang ADHD dan tidak (Paternotte&Buitelaar,
2010:19).
3. Faktor Lingkungan, Saat ini tidak lagi diperdebatkan apakan
ADHD disebabkan oleh lingkungan ataukah gen, namun
sekarang lebih mengarah pada bagaimana hubungan atau
interaksi yang terjadi antara faktor genetik dan lingkungan.
Dengan kata lain, ADHD juga bergantung pada kondisi gen
tersebut dan efek negatiflingkungan, bila hal ini terjadi secara
bersamaan maka dapat dikatakan bahwa lingkungan penuh
resiko. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan secara
luas, termasuk lingungan psikologis (relasi dengan orang lain,
berbagai kejadian dan penanganan yang telah diberikan),
lingkungan fisik (makanan, obat-obatan, menyinaran),
lingkungan biologis ( cedera otak, radang otak, komplikasi saat
melahirkan) (Paternotte&Buitelaar, 2010:18).
Sedangkan dalam Flanagen (2002:3) disebutkan bahwa
pada dasarnya penyebab ADHD belum pasti, namun beberapa
ilmuan yakin bahwa ADHD bukan disebabkan oleh kerusakan otak
atau alergi makanan. Beberapa hipotesis penelitian menyebutkan
penyebab dari ADHD adalah
a. Keturunan/faktor genetik, banyak anak yang menderita ADHD
mempunyai kerabat dekat yang tampaknya memiliki gejala serupa.
b. Defisit neurotransmiter, dua neurotransmiter pada otak tampaknya
berperan dalam regulasi jumlah pembangkitan dan perhatian. Kedua
neurotransmiter tersebut noradrenaline dan dopamine. Konsumsi obat
mempengaruhi regulasi keduanya.
c. Kelambatan perkembangan sistem pembangkitan diotak, pengobatan
stimulan meningkatkan pembangkitan, ada beberapa indikasi bahwa
kemungkinan anak-anak ADHD menderita kelambatan pembangkitan
yang membuat mereka tidak sensitif terhadap rangsang yang datang.
d. Perkembangan otak yang abnormal, tidak berfungsinya lobus frontal.
Lobus frontal adalah area pada otak yang mengumpulkan input auditori
dan visual yang berlebihan. Hal ini menunjukkan bahwa lobus ini
didombardir dengan banyak informasi yang tidak tersaring dan tidak
sesuai.
Dari gambaran diatas terlihat ADHD tidak hanya disebabkan oleh
satu faktor saja melainkan multi faktor yang satu dengan yang lainnya
saling berhubungan.

d. Penatalaksanaan
ADHD merupakan gangguan yang bersifat heterogen dengan manifestasi
klinis beragam. Sampai saat ini belum ada satu jenis terapi yang dapat diakui
untuk menyembuhkan anak dengan ADHD secara total. Berdasarkan National
Institute of Mental Health, serta organisasi profesi lainnya di dunia seperti
American Academy of Child and Adolescent Psychiatry (AACAP),
penanganan anak dengan ADHD dilakukan dengan pendekatan komprehensif
berdasarkan prinsip pendekatan yang multidisiplin dan multimodal.
Tujuan utama penanganan anak dengan ADHD ialah:
- Memperbaiki pola perilaku dan sikap anak dalam menjalankan fungsinya
sehari-hari terutama dengan memper-baiki fungsi pengendalian diri.
- Memperbaiki pola adaptasi dan penyesuaian sosial anak sehingga
terbentuk kemampuan adaptasi yang lebih baik dan matang sesuai dengan
tingkat perkembangan anak.
Berdasarkan prinsip pendekatan yang multidisiplin dan multimodal ini
maka terapi yang diberikan dapat berupa obat, diet, latihan, terapi perilaku,
terapi kognitif dan latihan keterampilan sosial; juga psikoedukasi kepada
orang tua, pengasuh serta guru yang sehari-hari berhadapan dengan anak
tersebut.

1. Medikamentosis: Cara ini dapat mengontrol ADHD sampai 70-80%. Obat


yang merupakan pilihan pertama ialah obat golongan psikostimulan.
Meskipun disebut stimulan, pada dasarnya obat ini memiliki efek yang
menenangkan pada penderita ADHD.4,5 Yang termasuk stimulan antara
lain: amphetamine, dextroamphetamine dan derivatnya. Pemberian obat
psiko-stimulan dikatakan cukup efektif mengurangi gejala-gejala ADHD.6
Obat ini memengaruhi sistem dopaminergik atau sirkuit noradrenergik
korteks lobus frontalis-subkortikal, meningkatkan kontrol inhibisi dan
memperlambat potensiasi antara stimulasi dan respon, sehingga
mengurangi gejala impulsif dan tidak dapat menyelesaikan tugas.5 Efek
sampingnya ialah penarikan diri dari lingkungan sosial, fokus yang
berlebih, iritabel, sakit kepala, cemas, sulit tidur, hilang nafsu makan,
sindrom Tourette, serta munculnya tic.
2. Diet: Meta-analisis menemukan bahwa menghindari pewarna makanan
buatan dan bahan pengawet sintetik secara statistik bermanfaat mencegah
terjadinya gejala ADHD. Keseimbangan diet karbohidrat dan asam amino
(triptophan sebagai serotonin substrate) juga dapat menjadi upaya lain.15
Belum ada bukti bahwa pemanis buatan seperti aspartam memperburuk
ADHD.
3. Rehabilitasi medik: Mengembangkan kemampuan fungsio-nal dan
psikologis seorang individu dan mekanismenya sehingga dapat mencapai
kemandirian dan menjalani hidup secara aktif.

e. Evidance Based

Terapi yang dapat meningkatkan fungsional aktivitas anak dan mengurangi


gangguan serta hambatan pada kondisi ADHD, dapat diberikan modalitas
fisioterapi berupa Neuro Senso Motor Reflek Development And
Syncronization Dan Play Therapy.
Sumber :

1. Khoeroh dan Indriyanti. 2017. Evaluasi Penatalaksanaan Gizi Balita Stunting


di Wilayah Kerja Puskesmas Sirampong. Unnes Journal of Public Health. 6
(3): 189-195
2. Maryunani, Anik. (2016). Kehamilan dan Persalinan Patologis (Risiko Tinggi
dan Komplikasi) dalam Kebidanan. Jakarta: CV Trans Info Media.
3. Mitra. (2015). Permasalahan Anak Pendek (Stunting) dan Intervensi untuk
Mencegah Terjadinya Stunting (Suatu Kejadian Kepustakaan). Jurnal
Kesehatan Komunitas. 2 (6).
4. Riyanti, E. dan Lestari, P.E. (2020). Efektivitas Penyuluhan Kesehatan dalam
Meningkatkan Pengetahuan Keluarga tentang Obesitas pada Anak Sekolah.
Nursing Science Journal. 1 (1): 14-18.
5. Sutjiningsih. 2013. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC
6. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 2017. 100
Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting). Jakarta
Pusat: Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia.

7. Judarwanto W. 2006. Pencegahan Autis Pada Anak.


8. Kolevzon A, Gross R, Reichenberg A. 2007. Prenatal and Perinatal Risk
Factor for Autism. ARCH PEDIATR ADOLESC MED 161 : 326-333
9. Gardener H, Spiegelman D, Buka SL. 2009. Prenatal Risk Factors for
Autism : Comprehensive Meta-Analysis 195 : 7-14
10. Sari, D. P., Novitrie, A., & Latifah, L. (2021). Analisis penatalaksanaan
Interaksi Sosial pada Anak Autis dengan Menggunakan Metode Social Story
di Klinik Shally Autis Center Palembang Tahun 2020. Jurnal Ilmiah
Universitas Batanghari Jambi, 21(2), 505-510.
11. Melly Budiman. 2000. Pentingnya Penatalaksanaan Terpadu Pada Anak
Penyandang Autism . Makalah dipresentasikan pada Lokakarya Tatalaksana
Perilaku dengan Metoda Applied Behavior Analysis (Metoda Lovaas) pada
Gangguan Perkembangan Anak Autisma di Fakultas Psikologi Universitas
Kristen Maranatha Bandung 8 April 2000.
12. Nelson, RW; Israel,AC. 1997. Behavior Disorders of Childhood. Thrid
Edition. Prentice Hall. New Jersey.
13. Wenar,C. 1994. Developmental Psychopathology From Infancy through
Adolescence. Third Edition. McGraw-Hill Inc. New York.
14. Eapen V, Mabrouk AA, Zoubeidi T, Sabri S, Yousef S, Al-Ketbi J, et al.
Epidemiological study of attention deficit hyperactivity disorder among
school children in the United Arab Emirates. Journal of Medical Sciences.
2009; 2(3): 119-27.
15. Saputro D. ADHD (attention deficit/hyperactivity disorder). Jakarta: Sagung
Seto; 2009
16. Sugiarmin M. Bahan ajar anak dengan attention defisit hyperactivity disorder.
PBL, 2007; p. 1-5.

Anda mungkin juga menyukai