Anda di halaman 1dari 6

UKM Wajib Tahu Sistem Barcode

Artikel · Ulasan - Bisnis Umum


Lama Baca : 13 Menit

Gambar diambil dari cicerocomunicacion.es

Di masa kini, tentu sahabat UKM tidak lagi asing dengan yang namanya barcode. Hampir di
setiap kemasan produk yang dijual di toko dan swalayan, baik itu roti, masker, air mineral,
hingga makanan ringan, tercetak suatu kotak yang terdiri dari garis-garis vertikal tebal dan
tipis. Inilah yang disebut barcode, dan biasanya tercetak rapih di salah satu sudut kemasan
produk. Nah, barcode ini ternyata banyak kegunaannya, lho! Mulai dari mengidentifikasi jenis
produk hingga mengawasi inventaris dan ketersediaan stok produk di suatu tempat.

Sebenarnya, apa sih barcode ini? Bagaimana cara penggunaannya? Teknologi apa saja yang


digunakan? Yuk kita bahas di artikel Tips Bisnis ini.

Asal-Usul Barcode
Barcode pertama kali muncul untuk menjawab kebutuhan industri retail akan suatu sistem
yang memuat dan menampilkan informasi atau gambaran besar setiap produk dengan lebih
cepat. Barcode sendiri diperkenalkan pertama kali pada tahun 1932, saat Wallace Flint
membuat sistem pemeriksaan barang untuk usaha retailnya. Awalnya, sistem ini hanya
digunakan oleh perusahaan-perusahaan retail, sebelum kemudian diikuti juga oleh
perusahaan-perusahaan industri. Sebelum sistem barcode muncul, perusahaan retail harus
mengetik dan mencari manual data produk-produknya saat dibutuhkan.

Baru pada Oktober 1949, dua lulusan Drexel Institute Technology bernama Bernard Silver dan
Norman Joseph Woodland berhasil membuat prototipe barcode untuk sistem pembacaan
informasi produk secara otomatis saat proses checkout produk. Dan di tahun 1970, untuk
pertama kalinya barcode digunakan secara komersial ketika Logicon Inc. Membuat Universal
Grocery Products Identification Standard (UGPIS). Perusahaan pertama yang memproduksi
perlengkapan barcode untuk perdagangan retail sendiri bernama Monarch Marking.

Tipe Barcode yang Digunakan Secara Luas Dalam Industri


Retail

Umumnya, yang digunakan hampir semua pelaku industri adalah barcode berbentuk persegi


panjang yang terdiri dari garis-garis tebal dan tipis berwarna hitam-putih dengan susunan
angka di bawahnya. Barcode jenis ini hingga sekarang tetap menjadi yang paling banyak
digunakan dan disebut barcode 1D (dimensi). Barcode 1D banyak digunakan di bisnis retail,
apotik, perpustakaan, buku terbitan (ISBN), majalah (ISSN), kartu ID karyawan, kartu anggota
organisasi atau kartu anggota pelanggan swalayan atau supermarket, dan masih banyak lagi
yang lainnya.

Namun, beberapa tahun belakangan muncul tren barcode baru, yaitu barcode 2D yang


berbentuk kotak, hitam putih, dengan motif pixel yang terlihat random. Apa beda di antara
keduanya? Barcode 1D (dimensi), membaca data secara horizontal, memuat informasi berupa
angka dan bahasa, dengan kapasitas informasi kecil. Sedangkan barcode 2D membaca data
secara horizontal dan vertikal, dengan tipe informasi lebih variatif, mulai dari sms, URL,
nomor handphone/kontak, dan alamat email. Kapasitas infromasi yang bisa dimuat juga lebih
besar. Biasanya, barcode 2D disajikan dalam bentuk QR Code, Aztec Code, dan lain-lain. Saat
ini, yang umum digunakan untuk barcode digital adalah QR Code.

Teman-teman bisa melihat pemanfaatan QR Code di bandara ketika akan bepergian


menggunakan pesawat. Saat proses check-in, kita biasanya diminta menunjukkan kertas kecil
yang terdapat kode garis kotak-kotak untuk di-scan. Mulai tahun 2005, seluruh bandara di
Indonesia harus menggunakan barcode 2D yang lebih aman, karena hanya barcode scaner
2D saja yang bisa membacanya.

Tak hanya itu, belakangan penggunaan barcode 2D juga dapat dilihat di koran-koran terkenal
yang ada di Indonesia. Pada halaman depan koran-koran tersebut, terdapat barcode 2D
berbentuk QR Code. Apa fungsinya? Dengan kode ini, kita bisa melihat koran tersebut secara
digital lewat ponsel pintar milik kita. Caranya? Kita hanya perlu melakukan scan dari ponsel
atau tablet kepadda QR Code yang terpampang di halaman depan tersebut. Mudah, bukan?

Bagaimana Cara Membaca Barcode?

Kedua jenis barcode memiliki cara pembacaan yang berbeda. Pada barcode 1D, ada tingkat


ketebalan dari garis-garis barcode itu sendiri, yang masing-masing merepresentasikan suatu
angka. Garis paling tipis berarti angka 1, dan paling tebal adalah angka 4.
Standar barcode retail untuk negara Eropa dan seluruh dunia (kecuali Amerika dan Kanada)
adalah EAN-13. EAN merupakan singkatan dari European Article Number dan angka 13
berarti sistem ini menggunakan 13 digit angka. Digit-digit ini merepresentasikan :

 3 digit pertama menunjukkan negara di mana pabrik manufaktur terdaftar (kode


negara)
 5 digit selanjutnya merupakan kode yang diberikan kepada pihak produsen
(manufacturer) dari wewenang penomoran EAN (manufacturer code).
 5 digit setelahnya diberikan oleh produsen barang (manufacturer) untuk
merepresentasikan suatu produk yang spesifik (product code).

Terkadang produsen juga menambahkan informasi digit ini dengan tanggal, atau kapan
barang ini diproduksi dengan menaruh angka/digit tambahan. Hal ini akan membuat jumlah
angka lebih banyak dari standarnya yang adalah 13 digit. Lain halnya dengan QR Code, yang
bisa dibaca melalui titik-titik matriksnya. Kode-kode barcode ini kemudian digunakan oleh
industri retail untuk mempercepat proses.

Saat ini, sudah ada organisasi yang mulai membangun standarisasi barcode secara


internasional, yaitu GS 1. Jika data produk dan barcode sudah masuk GS 1, artinya produk
kita sudah masuk database internasional dan lebih mudah untuk dilacak (perjalanan dan
distribusinya) oleh negara mana pun. Biasanya, pelaku eksportir dan importir juga
menggunakan barcode untuk proses pengiriman atau registrasi barang yang akan dikirim.

Bagaimana kemasan barcode yang diterima pasar retail?

Barcode yang diterima para pengelola pasar retail merupakan barcode resmi yang telah


terdaftar di GS 1 –perusahaan penyedia jasa pembuatan Barcode skala internasional di
Indonesia—dan bukan barcode yang dibuat sendiri olrh teman-teman UMKM untuk
kebutuhan internal usaha. Alasannya masuk akal, karena dengan sistem pengkodean yang
seragam, pengelolaan inventori produk akan lebih mudah, mengingat saat ini barcode dengan
standar EAN-13 sudah berlaku lebih di 100 negara di dunia. Jadi, setiap nomor barcode yang
sudah resmi terdaftar di GS1 memiliki kode unik dan tidak ada duanya di seluruh dunia.

Menggunakan Barcode Untuk Menembus Pasar Ekspor

Dengan sistem yang bisa terbaca hingga ke 100 negara di dunia, tentunya akan lebih mudah
bagi kita untuk masuk ke industri ekspor jika menggunakan barcode. Untuk memperoleh
barcode yang sifatnya universal, teman-teman UKM bisa langsung mendaftar ke GS 1,
penyedia jasa pembuatan barcode di Indonesia.
Nah, bila kita telah membuat barcode di Indonesia, apakah perlu juga membuat barcode
khusus untuk ekspor nantinya? Jika bicara ekspor, di luar barcode, biasanya untuk setiap
kategori produk tertentu ada ketentuannya sendiri. Untuk biji kopi misalnya, ada standar-
standar khusus karena bisa menjadi komoditi yang berbeda. Produk yang standarnya sama
biasanya produk jadi, artinya produk yang sudah diolah. Untuk barcode sendiri, jika teman-
teman UKM masih menggunakan kemasan, maka tidak perlu membuat barcode baru. Cukup
dengan barcode yang sudah didaftarkan dari GS 1 tadi. Namun jika bentuknya bukan dalam
kemasan dan justru menggunakan kontainer, maka sobat UKM harus mendaftarkan SSC
Code, alias Serial Shipping Container Code yang merupakan kode pengiriman khusus untuk
kontainer. Jika dalam jumlah lebih kecil, harusnya bisa menggunakan barcode yang sudah
ada.

Kenyataannya, saat ini ada banyak UMKM yang membuat barcode sendiri, dan digunakan
sendiri untuk keperluan produksi internal, tanpa mendaftarkannya ke Kemenparin.
Bagaimana jika UKM tersebut kemudian ingin mengekspor produknya? Apakah harus
mendaftar ulang barcode yang baru?

Untuk kasus seperti ini, jika penjualannya masih skala kecil atau door to door, tentu tidak apa-
apa. Teman-teman UKM tidak memerlukan barcode untuk jenis penjualan seperti ini.
Namun, akan lain halnya jika dikirimkan ke leve-level tertentu yang lebih tinggi dan dilakukan
pengecekan. Umumnya, jika harus melewati perizinan distribusi dan masuk retail, produk
taanpa barcode resmi tidak akan bisa masuk ke negara asing. Sebab ada standar-
standar barcode yang harus dipenuhi.

Inilah uniknya sistem door to door, yang kadang bisa lewat tanpa pengecekan dan lolos.
Apalagi jika produknya langsung bisa dikonsumsi karena sistem ini produknya langsung
diterima sama konsumen atau pelaku reseller lain. Mungkin mereka pun tidak ada
standar barcode, dan mungkin malah tidak terpakai. Konsumen pun lebih melihat
ke ingredients. Banyak pelaku UMKM yang memanfaatkan hal ini dan berjualan door-to
door di negara orang. Namun, jika ingin masuk ke retailer, harus barcode dengan standar
resmi.

Penjelasan mengenai fungsi, manfaat, dan pentingnya barcode ini diharapkan bisa membawa
teman-teman UKM lebih sadar terhadap persaingan global. Jika ingin produk diterima lebih
luas, dalam jangkauan ekspor, tentunya kita harus selangkah lebih maju dan mengadopsi
sistem identifikasi produk global. Dengan begitu, pintu persaingan pasar retail yang lebih
menguntungkan akan mudah terbuka untuk produk kita, bukan? Jadi, jangan ragu untuk
mendaftarkan barcode. Sebab sudah saatnya UKM naik kelas!

Anda mungkin juga menyukai