Kepribadian Sehat Sakit-Etika Keperawatan
Kepribadian Sehat Sakit-Etika Keperawatan
OLEH
KELOMPOK V
1. Nursia Ambari
2. Margareta Rahail
3. Ina Juliana Mouw
4. Yuliana Sirken
5. Trivona L Warat
6. Sukri Rettobrumlen
7. Otniel balubun
8. Mariana Ubleuw
KEMENTRIAN KESEHATAN RI
2019
i
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
penyertaan dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan makalah mengenai “Ciri dan Kepribadian Pasien”
Maka dari itu besar harapan kami untuk adanya kritik dan saran dari
Dosen maupun pembaca, sehingga akhirnya dapat menjadi bahan kajian dan
masukan buat kami.
Terimakasih.
Penulis
1. Nursia Ambari
2. Margareta Rahail
3. Ina Juliana Mouw
4. Yuliana Sirken
5. Trivona L Warat
6. Sukri Rettobrumlen
7. Otniel balubun
8. Mariana Ubleuw
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................2
D. Manfaat penulisan.....................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan.................................................................................................18
B. Saran...........................................................................................................19
Daftar Pustaka............................................................................................................ 20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan masalah
Rumusan dari beberapa kasus yang diambil adalah Adakah pengaruh tipe
kepribadian dengan Artritis Gout Kronis ( Tophus ),kepribadian yang terjadi
pada kasus Dispepsia dan derajat hipertensi pada pasien usia 30-50
tahun dan HIV/AIDS di puskesmas dan rumas sakit
1
C.Tujuan Penulisan
1.Tujuan umum
Untuk mengetahui adakah pengaruh tipe kepribadian dengan Artritis Gout
Kronis ( Tophus ),kepribadian yang terjadi pada kasus Dispepsia, derajat
hipertensi pada pasien hipertensi usia 30-50 tahun dan HIV/AIDS di
puskesmas dan rumas sakit
2.Tujuan khusus
a.Untuk mengetahui tipe kepribadian pada pasien Artritis Gout Kronis (
Tophus ),kepribadian yang terjadi pada kasus Dispepsia dan
derajat hipertensi pada pasien hipertensi usia 30-50 tahun dan
HIV/AIDS di puskesmas dan rumas sakit
b.Untuk mengetahui derajat Artritis Gout Kronis ( Tophus ),kepribadian
yang terjadi pada kasus Dispepsia dan derajat hipertensi pada
pasien usia 30-50 tahun dan HIV/AIDS di puskesmas dan rumas
sakit
c.Untuk menguji hipotesis mengenai pengaruhantara tipe kepribadian
dan derajat Artritis Gout Kronis ( Tophus ),kepribadian yang terjadi
pada kasus Dispepsia dan derajat hipertensi pada pasien hipertensi
usia 30-50 tahun dan HIV/AIDS di puskesmas dan rumas sakit
D.Manfaat Penulisan
Agar kita mengetahui jenis kepribadian yang muncul pada pasien dengan
kasus Artritis Gout Kronis ( Tophus ),kepribadian yang terjadi pada kasus
Dispepsia dan kepribadian derajat hipertensi pada pasien usia 30-50
tahun dan HIV/AIDS di puskesmas dan rumas sakit
2
BAB II
PEMBAHASAN
Artritis pirai (gout) adalah penyakit yang sering ditemukan dan tersebar
di seluruh dunia. Artritis pirai merupakan kelompok penyakit heterogen
sebagai akibat deposisi Kristal monosodium uarat pada jaringan atau akibat
supersaturasi asam urat didalam cairan ekstraselular. Manifestasi klinik
deposisi urat meliputi arthritis gout akut, akumulasi Kristal pada jaringan
yang merusak tulang (tofi), batu asam urat dan yang jarang adalah kegagalan
ginjal (gout nefropati). Gangguan metabolism yang mendasarkan gout adalah
hiperurisemia yang didefinisikan sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7,0
ml/dl dan 6,0 mg/dl.
3
Terjadi pada gout kronik :
Prognosis
B. DISPEPSIA
Dispepsia merupakan isitilah yang digunakan untuk suatu sindrom
(kumpulan gejala atau keluhan) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak
nyaman di ulu hati (daerah lambung), kembung, mual, muntah, sendawa,
rasa cepat kenyang, dan perut terasa penuh. Keluhan ini tidak selalu ada
pada setiap penderita. Bahkanpada seorang penderita, keluhan tersebut
dapat berganti atau bervariasi, baik dari segi jenis keluhan maupun
4
kualitas keluhan. Jadi, dispepsia bukanlah suatu penyakit, melainkan
merupakan kumpulan gejala ataupun keluhan yang harus dicari
penyebabnya (Sofro dan Anurogo, 2013).
Menurut Djojoningrat (2014) kata dispepsia berasal dari
bahasaYunani, “dys” yang berarti jelek atau buruk dan “pepsia” yang
berarti pencernaan, jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion
atau kesulitan dalam mencerna. Semua gejala-gejala gastrointestinal yang
berhubungan dengan masukan makanan disebut dispepsia, contohnya
mual, heartburn, nyeri epigastrum, rasa tidak nyaman, atau distensi. Kasus
dyspepsia didunia mencapai 13 – 40 % dari total populasi setiap tahun.
Hasil study menunjukkan bahwa di Eropa, Amerika Serikat dan Oseania,
prevalensi dyspepsia bervariasi antara 5% hingga 43 % (WHO, 2010). Di
Indonesia diperkirakan hampir 30% pasien yang datang ke praktik umum
adalah pasien yang keluhannya berkaitan dengan kasus dispepsia.
berobat ke praktik gastroenterologist terdapat 60% dengan keluhan
dispepsia(Djojoningrat, 2009).
Dispepsia adalah suatu istilah yang merujuk pada gejala abnormal di
perut bagian atas. Istilah ini biasa pula digunakan untuk menerangkan
bebagai keluhan yang dirasakan di abdomen bagian atas. Diantaranya
adalah rasa nyeri ataupun rasa terbakar di daerah epigastrum (ulu hati),
perasaan penuh atau rasa bengkak di perut bagian atas, sering sendawa,
mual, ataupun rasa cepat kenyang. Dispepsia sering juga dipakai sebagai
sinonim dari gangguan pencernaan (Herman, 2004). Sebagai suatu gejala
ataupun sindrom, dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, baik
yang bersifat organik, maupun yang fungsional. Berdasarkan konsensus
terakhir (kriteria Roma) gejala heartburn atau pirosis, yang diduga karena
penyakit refluks gastroesofageal, tidak dimasukkan dalam sindrom
dispepsia (Djojoningrat, 2014). 2.1.1Sindrom Dispepsia Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sindrom adalah himpunan gejala atau
tanda yang terjadi serentak (muncul bersama-sama) dan menandai
ketidaknormalan tertentu. Sindrom merupakan kumpulan dari beberapa
ciri-ciri klinis, tanda-tanda, simtoma, fenomena, atau karakter yang sering
muncul bersamaan. Adapun gejala-gejala (sindrom) dispepsia, yaitu:
-Nyeri perut (abdominal discomfort) -Rasa perih di ulu hati-Nafsu makan
berkurang Universitas Sumatera Utara
Rasa lekas kenyang -Perut kembung-Rasa panas didada dan perut
(Djojoningrat, 2014).
5
A. Klasifikasi Dispepsia
a.Tukak pada saluran cerna atas Keluhan yang sering terjadi nyeri
epigastrum. Nyeri yang dirasakan yaitu nyeri tajam dan menyayat
atau tertekan, penuh atau terasa perih seperti orang lapar. Nyeri
epigastrum terjadi 30 menit sesudah makan dan dapat menjalar ke
punggung. Nyeri dapat berkurang atau hilang sementara sesudah
makan atau setelah minum antasida. Gejala lain seperti mual,
muntah, bersendawa, dan kurang nafsu makan(Hadi, 2005).
C. HIPERTENSI
6
darah tinggi mempengaruhi sekitar sepertiga dari populasi orang dewasa
di Amerika(Fields LE. et al., 2004).
Diperkirakan pada tahun 2025 di negara berkembang terjadi
peningkatan kasus hipertensi sekitar 80% dari 639 juta kasus di tahun
2000 menjadi 1,15milyar. (Armilawaty et al., 2007).
Hipertensi merupakan faktor risiko utama kardiovaskuler yang
merupakanpenyebab utama kematian di seluruh dunia. Peningkatan
umur harapan hidup dan perubahan gaya hidup meningkatkan faktor
risiko hipertensi di berbagai negara. Hipertensi sering diberi gelar The
Silent Killer karena hipertensi merupakan pembunuh tersembunyi.
Hipertensi bisa menyebabkan berbagai komplikasi terhadap beberapa
penyakit lain, bahkan penyebab timbulnya penyakit jantung, stroke, dan
ginjal. Berdasarkan data Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia
pada tahun 2004 prevalensi hipertensi di pulau Jawa 41,9%, dengan
kisaran di masing-masing provinsi 36,6%-47,7%. (Depkes RI, 2009)
Angka kejadian atau prevalensi hipertensi di Indonesia menurut beberapa
hasil survey adalah sekitar 5-10% pada orang dewasa dan akan lebih
dari 20% pada kelompok umur 50 tahun ke atas. Penderita hipertensi
lebih banyak pada perempuan yaitu 37% dari pada laki-laki hanya 28%.
(Karnadi, 2007)
Hipertensi dibagi menjadi tiga derajat, menurut JNC-VI yaitu derajat I
(ringan), derajat 2 (sedang) dan derajat 3 (berat). Penentuan derajat
hipertensi sangat bermanfaat untuk menentukan pengobatan hipertensi.
(Manjoer et al., 2001)
Tekanan darah cenderung meningkat seiring bertambahnya usia,
kemungkinan seseorang menderita hipertensi juga semakin besar. Pada
umumnya penderita hipertensi adalah orang-orang yang berusia 45 tahun
ke atas namun pada saat ini tidak menutup kemungkinan diderita oleh
orang berusia muda. (Wolf, 2006)
Beberapa hal yang dapat memicu tekanan darah tinggi adalah
ketegangan, kekhawatiran, status social, kebisingan, gangguan dan
kegelisahan. Pengendalian pengaruh dan emosi negative tersebut
tergantung juga pada kepribadian masing-masing individu.
Pasien yang menderita penyakit hipertensi biasanya mengalami
penurunan derajat atau kenaikan derajat. Hipertensi dapat dipengaruhi
oleh gaya hidup (merokok, minum alkohol), stress, obesitas
(kegemukan), kurang olahraga, keturunan dan tipe kepribadian.(Wolf,
2006)
7
Menurut Calvin S. Hall & Gardner Lindzey (2000) Kepribadian adalah
sesuatu yang memberi tata tertib dan keharmonisan terhadap segala
macam tingkah laku berbeda-beda yang dilakukan si individu. Perbedaan
faktor individu (kepribadian) mempengaruhi perilaku dan gaya hidup. Hal-
hal tersebut mempengaruhi tingkat atau derajat hipertensi pasien. Tipe
kepribadian berpengaruh terhadap kekambuhan hipertensi karena dilihat
dari cara seseorang menggunakan koping stressnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Ray Rosenman & Meyer Friedman, dua
orang ilmuan kardiologi, menunjukkan bahwa ada kaitan erat antara tipe
kepribadian yang berdasarkan pola perilaku yaitu tipe A dan tipe B
dengan penyakit kardiovaskuler. (Robbins, 2003)
Menurut Rosenman dan Friedman dalam Wolf (2006), Kepribadian tipe A
memiliki ciri-ciri, sebagai berikut: memiliki tingkat kesabaran rendah,
tergesa-gesa dalam melakukan segala sesuatu, memiliki harapan yang
tinggi untuk mencapai kesuksesan, memiliki keinginan yang tinggi untuk
bersaing, agresif, dan mudah marah. Kepribadian tipe B memiliki ciri-ciri,
sebagai berikut: memiliki tingkat kesabaran yang tinggi, santai dalam
melakukan segala sesuatu, memiliki harapan yang rendah untuk
mencapai kesuksesan, memiliki keinginan yang rendah untuk bersaing,
kurang agresif, dan tidak mudah marah.
Pada umumnya seseorang berada di antara kedua tipe tersebut, dengan
menyadari berkembangnya kecenderungan stress dalam diri individu
dapat menolong mengurangi resiko terhadap stress.(Karnadi, 2007)
Orang-orang pada tipe A dianggap lebih memiliki kecenderungan untuk
mengalami tingkat stress yang lebih tinggi, sebab mereka menempatkan
diri mereka sendiri pada suatu tekanan waktu dengan menciptakan suatu
batas waktu tertentu untuk kehidupan mereka. Hasilnya kepribadian ini
menghasilkan beberapa karakteristik perilaku tertentu. (Robbins, 2003)
Menurut Sher, Kepribadian jenis -baik tipe A dan tipe D -menyebabkan
tanggapan yang tidak sehat untuk stres psikologis sehari-hari. (Kumar &
Goel, 2008)
Menurut Regland dan Brand, Kepribadian tipe A, kecemasan dan
hypervigilance diarahkan keluar sebagai kompetitif, agresif, mudah
tersinggung, dan kadang-kadang perilaku bermusuhan.
Tipe kepribadian A memiliki mendapat perhatian sebagai faktor risiko
kardiovaskular potensi selama dua dekade, hasinya tipe kepribadian ini
8
benar-benar berhubungan dengan kejadian kardiovaskular.(Kumar &
Goel, 2008)
Puskesmas ngadi ,puskesmas Debut dan rumah sakit karel merupakan
puskesmas di kota kabupaten.
Hipertensi merupakan penyakit ketiga terbesar setelah ISPA dan arthritis
di puskesmas berdasar rekam medis di puskesmas beberapa bulan
terakhir ini.
Jumlah Pasien hipertensi di Puskesmas dan rumah sakit mayoritas selalu
berkunjung dengan keluhan yang sama yang mengarah ke tanda dan
gejala
hipertensi. Wawancara dan observasi yang dilakukan peneliti terhadap
pasien hipertensi di Puskesmas , ternyata 12 dari 20 pasien mengatakan
bahwa dirinya cenderung mudah marah, kompetitif, memiliki ambisi yang
kuat dan suka tergesa-gesa.
Beberapa pola perilaku tersebut mengarah ke tipe kepribadian,
tipe A.
Pasien-pasien tersebut juga memiliki derajat hipertensi yang berbeda
beda.Faktor psikologis, misalnya emosi-emosi negatif terjadi seperti
marah dan cemas, juga merupakan faktor resiko terjadinya gangguan
kardiovaskuler. Pola perilaku tersebut diidentifikasikan suatu pola
kepribadian disebut pola perilaku tipe A (type A Behavior Paterrn). (Nevid
et al., 2005)
Hipertensi memang tidak dapat disembuhkan tetapi hipertensi dapat
dikontrol sehingga pasien hipertensi tetap dapat melakukan kegiatan
sehari-hari dan mengurangi komplikasi. (Wolf, 2005)
Bertitik tolak pada hal-hal di atas maka peneliti ingin mengetahui tipe
kepribadian dan derajat hipertensipasien hipertensi tersebut, sehingga
peneliti ingin melakukan penelitian berjudul “Pengaruh Tipe
Kepribadian dengan Derajat Hipertensi pada Pasien Hipertensi Wanita
Usia 30-50 Tahun di Puskesmas dan rumas sakit.
D.HIV / AIDS
HIV atau Human Immunodeficiency Virusyaitu sebuah virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh. Jenis virus yang menyerang sel darah
putih ini yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh manusia menurun.
Sedangkan AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndromemuncul
setelah virus HIV menyerang sistem kekebalan tubuh manusia selama
kurang lebih lima hingga sepuluh tahun lamanya.
9
Sistem kekebalan tubuh manusia akan menjadi lemah dan akan
mudah muncul banyak penyakit yang menyerang tubuh manusia. Selain
itu, penyakit yang muncul akibat kekebalan tubuh yang turun bisa menjadi
lebih parah dari biasanya. Sistem kekebalan tubuh manusia berfungsi
untuk membuat antibodi yang berbeda-beda untuk setiap penyakit atau
sesuai dengan kuman yang dilawan oleh antibodi tersebut, termasuk
dengan antibodi HIV. Antibodi khusus HIV inilah yang terdeteksi saat hasil
tes HIV dinyatakan positif (Murni, Green, Djauzi, Setiyanto, dan Okta,
2016).
Orang dengan HIV membutuhkan pengobatan dengan Antiretroviral atau
ARV untuk menuruknkan jumlah virus HIV dalam tubuh agar tidak masuk
dalam stadium AIDS. Orang yang sudah terjangkit AIDS membutuhkan
pengobatan ARV untuk mencegah terjadinya infeksi oportunistik atau
berbagai macam penyakit infeksi yang dapat berakibat fatal dengan
berbagai macam komplikasinya (Departemen Kesehatan R.I, 2014).
Pada tahun 1987 di Indonesia, pertama kali HIV/AIDS ditemukan di Bali.
Berdasarkanprovinsi, wilayah Jawa tengah pada tahun 2014 menempati
urutan ke enam di Indonesia dengan jumlah kumulatif kasus HIV sebesar
9.032 kasus dan AIDS sebesar 3.767 kasus. Sedangkan menurut resume
profil kesehatan di kota Surakarta pada tahun 2014 terdapat 18kasus HIV
dan 47 kasus AIDS yang ditemukan (Departemen Kesehatan R.I, 2014).
Sejak tahun 1999 penggunaan narkoba dengan jarum suntik telah menjadi
faktorutama meningkatnyakasus HIV/AIDS di beberapa wilayah di
Indonesia, termasuk Jakarta, Jawa Barat, danBali. Infeksi HIV/AIDS
menular dari para pengguna narkoba suntik (penasun) kepada mitra
mereka yang bukan merupakan pengguna narkoba suntik (non penasun)
dan kepada para pekerja seks.
Dari penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan penggunaan secara
bersamaan tersebut, para pengguna narkoba jarum suntik sangat rentan
terjangkit virus HIV(Wicaksana, 2009).
Melakukan hubungan seks dengan pasangan yang bergonta-ganti dan
tanpa menggunakan kondomjuga menimbulkan resiko terjangkit HIV
(Wicaksana, 2009).
Selain itu, kelompok masyarakat yang juga berpotensi HIV adalah status
donor darah, bayi dari ibu yang dinyatakan menderita AIDS, pecandu
narkotik dan melakukan tindik dengan alat yang terpapar HIV/AIDS, dan
mereka yang mempunyai banyak pasangan seks di diskotik atau bar,
10
homoseksual dan heteroseksual, pola hubungan seks keluarga dengan
penderita HIV/AIDS positif (pasangan penderita misalnyasuami/istri) yang
tidak menggunakan pelindung.
akibat yang diderita dapat menimbulkan perasaan negatif seperti kecemasan,
depresi, marah, maupun rasa tidak berdaya yang terus-menerus menyerang
pasien yang ternyata dapat memperbesar kecenderungan seseorang
terhadap suatu penyakit tertentu.
Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Yunita dan Ginanjar (2001) mengenai
ODHA memfokuskan pada perkembangan status identitas penderita
HIV/AIDS yang hasilnya adalah bahwa ODHA mengalami semua reaksi
psikologis yang sebagian besar dialami oleh para ODHA seperti terkejut,
penyangkalan dan kemarahan, menarik diri dan depresi, membuka diri,
mencari teman, status spesial,tingkah laku altruistik, dan pada akhirnya
menerima keadaan. Proses dalam menerima keadaan ini diduga karena
adanya faktor kepribadian hardinessyang dimiliki oleh individu dalam
E. GEJALA NEUROTIK
A. Gangguan Neurotik
A. Pengertian Neurotik
Gangguan neurotik adalah gangguan di mana gejalanya
membuat distres yang tidak dapat diterima oleh penderitanya.
Hubungan sosial mungkin akan sangat terpengaruh tetapi
biasanya tetap dalam batas yang dapat diterima. Gangguan ini
relatif bertahan lama atau berulang tanpa pengobatan.
Neurotik merupakan suatu penyakit mental yang lunak, dicirikan
dengan tanda-tanda:
11
a) wawasan yang tidak lengkap mengenai sifat-sifat
kesukarannya
b) konflik-konflik batin
c) reaksi-reaksi kecemasan
d) kerusakan parsial atau sebagian pada struktur
kepribadiannya
e) seringkali, tetapi tidak selalu ada, disertai pobia,
gangguan pencernaan, dan tingkah laku obsesif
kompulsif.
Neurosa adalah kesalahan penyesuaian diri secara emosional karena
tak dapat diselesaikannya suatu konflik sadar. Kecemasan yg timbul
dirasakan secara langsung atau diubah oleh berbagai mekanisme
pertahanan psikologik (defence-mechanism) dan muncullah gejala-gejala
subjektif lain yg mengganggu. Namun sering kali banyak masyarakat
beranggapan, gangguan neurotik itu tidak berbahaya. Padahal banyak
penelitian membuktikan sebagian besar masyarakat yang menderita
gangguan neurotik dan tidak menyadarinya bisa berakibat terkena gangguan
psikiotik. Proses terjadinya gangguan neurotik ini sendiri berawal dari
gangguan psikologi kemudian berubah menjadi gangguan fisik bagi
penderita. Selain itu profesi yang bertugas menangani gangguan psikologi
masih sedikit
B. Gejala-Gejala Neurotik
Walaupun penderita neurotik menujukkan berbagai gejala,
namun pada umumnya ditunjukkan oleh adanya gambaran diri yang negatif,
cenderung merasa kurang mampu dan merasa rendah diri. Gejala utamanya
adalah kecemasan, selain itu perasaan depresi juga dapat ditemui pada
penderita neurotik, pada umumnya sering terlihat murung. Gejala lain dari
neurotik adalah individu menjadi sangat perasa, penyesuaian diri yang salah,
kesulitan konsentrasi atau dalam mengambil keputusan.
Orang yang mengalami gangguan neurotik ditandai oleh:
a) Anxiety (kecemasan), sebagai simbol rasa takut, gelisah, rasa
tidak aman, tidak mampu, mudah lelah, dan kurang sehat.
b) Depressive Fluctuations (depresi yang naik turun), tanda mudah
tertekan, susah, suasana hati muram, mudah kecewa.
c) Emosional Sensitivity (emosi yang sangat sensitif), sangat perasa,
tidak mampu menyesuaikan secara baik emosi dan sosialnya,
labil. Mudah tersinggung dan banyak melakukan mekanisme
pertahanan diri.
12
1) Gejala Utama:
1. mood depresif
2. Kehilangan minat dan kegembiraan
3. Berkurangnya energi, mudah lelah dan menurunnya
aktivitas.
2) Gejala Tambahan:
a) Konsentrasi dan perhatian berkurang
b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e) Gagasan/perbuatan yang membahayakan diri atau
bunuh diri
f) Tidur terganggu
g) Nafsu makan terganggu
C. Penyebab Neurotik
Sebab-sebab timbulnya gangguan neurotik, adalah:
1. Tekanan-tekanan menyebabkan ketakutan yang
disertai dengan kecemasan dan ketegangan-
ketegangan dalam batin sendiri yang kronis berat
sifatnya. Sehingga orang yang bersangkutan
mengalami mental breakdown.
2. Individu mengalami banyak frustrasi, konflik-konflik
emosionil dan konflik internal yang serius, yang sudah
dimulai sejak kanak-kanak.
3.Individu sering tidak rasionil sebab sering
memakai defence mechanism yang negatif dan
lemahnya pertahanan diri secara fisik dan mental.
4. Pribadinya sangat labil tidak imbang dan kemauannya
sangat lemah sosial dan tekanan
E. Klasifikasi Neurotik
15
tindakan kompulsif dan
dengan “mengatur”
keadaan secara obsesif
sedemikian rupa
sehingga segala
sesuatu dapat diawasi
dan tidak akan terjadi
kesalahan apa-apa.
GEJALA DINAMIKA
NEUROSA
UTAMA DASAR
16
merasa terlalu
lelah dan sakit
untuk meneruskan
perlawanan atau
usaha.
BAB III
17
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Carter M. Gout. In: Price SA, Wilson LM. editors. Patofisiologi: Konsep
Klinis Dasar Penyakit. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 2003.
2. Felson DT. Osteoarthritis. In: Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser,
Longo, Jameson, et al. editors. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 17th ed. 2nd vol. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
2008
3. Leeson TS, Leeson CR, Paparo AA. Buku Ajar Histologi. Edisi 5.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. p 156-7
4. Lipsky P. Rheumatoid Arthritis. In: Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser,
Longo, Jameson, et al. editors. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 17th ed. 2nd vol. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
2008
5. Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. Biokimia Harper. Edisi 27.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.2009
6. Schumacher HR, Chen LX. Gout and Other Crystal-associated
Arthropaties. In: Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson,
et al. editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17 th ed. 2nd vol.
New York: McGraw-Hill Companies, Inc. 2008
7. Tehupeiory ES. Ilmu Penyakit Dalam: Artritis Pirai. Edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006
8. Sarafino, E.P. (1998). Health Psychology: Biopsychosocial Interaction.
New York: John Wiley & Sons Inc.Taheri, A., Ahadi, H., Kashani, F. L.,
Kermani, R. A. (2014). Mental HardinessAnd Social Support in Life
Satisfaction Of Breast Cancer Patients. Procedia-Social Behavioral
Sciences, 159, 406-409.Villasis-Keever A, R.-F.S., Ruiz-Palacios G, de
Leon-Rosales SP. (2001). Clinical Manifestations and Survival Trends
During The First 12 Years of AIDS Epidemic in Mexico. Archives of
Medical Research, 32, 62-65.Wicaksana, J. F. P., Kusumawati, Y.,
Ambarwati. (2009). Pengetahuan Tentang HIV/AIDS dan Voluntary
Counseling and Testing (VCT), Kesiapan Mental, dan Perilaku
Pemeriksaan di Klinik VCT Pada Para Mitra Pengguna Obat dengan
Jarum Suntik di Surakarta. Jurnal Kedokteran Indonesia, 01 (2), 179-
184.Yunita, B.S., & Ginanjar, A.S. (2001). Perkembangan Status
Identitas Pada Penderita HIV & AIDS. Jakarta : Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.
20