Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH STUDI PUSTAKA PERKEMBANGAN KOMUNITAS

MANGROVE DI INDONESIA

Disusun oleh:
Rico Dwi Gala Gautama (C1101191028)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA

1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT sehingga makalah ini dapat
terselesaikan. Makalah ini membahas mengenai “Studi Pustaka Perkembangan komunitas
mangrove di indonesia”. Dalam makalah ini penulis ingin membahas tentang Hutan
Mangrove, yakni perkembangan komunitas mangrove di Indonesia. Disamping itu, penulis
menyadari bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari khilaf dan salah, oleh
karena itu, penulis memohon maaf dan maklum serta selalu mengharapkan segala kritik dan
saran yang bersifat membangun dari para pembaca yang budiman serta para pembimbing
yang bijak.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, masayarakat umum
dan khususnya bagi penulis, serta dapat menambah ilmu juga memperluas wawasan kita.

Sintang, 9 september 2021

2
Penyusun

DAFTAR ISI

Kata pengantar...................................................................................................2
BAB I..................................................................................................................4
PENDAHULUAN..............................................................................................4
BAB II................................................................................................................5
PEMBAHASAN.................................................................................................5
BAB III...............................................................................................................10
PENUTUP..........................................................................................................10

3
BAB I
PENDAHULUAN

Hutan mangrove yang biasa sering disebut dengan hutan bakau merupakan hutan yang hidup
di pesisir pantai. Hutan mangrove atau yang sering disebut hutan bakau merupakan sebagian
wilayah ekosistem pantai yang mempunyai karakter unik dan khas, dan memiliki potensi
kekayaan hayati. Secara umum hutan mangrove didefinisikan sebagai tipe hutan yang tumbuh
pada daerah pasang surut (terutama pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang
tergenang pada saat pasang dan bebas genangan pada saat surut yang komunitas
tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusmana, et al., 2003).
Hutan mangrove adalah tipe hutan khas yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai
yang keberadaannya selalu dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Secara umum ekosistem
mangrove merupakan habitat penting tumbuhan hijau yang memiliki peran penting dalam
melindungi tambak dari pasang air, menghilangkan polutan dan juga diketahui sebagai
tempat penyedia makanan, pemeliharaan, pemijahan, penetasan, asuhan dari organisme
akuatik (Oetama dedy dkk., 2013). Tumbuhan yang terdapat di dalam ekosistem hutan
mangrove saling berinteraksi dengan lingkungannya, baik yang bersifat biotik maupun
abiotik. Seluruh sistem ini saling bergantung dan membentuk suatu ekosistem yang khas.
Mangrove mempunyai kecenderungan membentuk kerapatan dan keragaman struktur tegakan
yang berperan penting sebagai perangkap endapan dan perlindungan terhadap erosi pantai.
Sedimen dan biomassa tumbuhan mempunyai kaitan erat dalam memelihara efisiensi dan
berperan sebagai penyangga antara laut dan daratan, bertanggung jawab atas kapasitasnya
sebagai penyerap energi gelombang dan menghambat intrusi air laut ke daratan. Selain itu,
tumbuhan tingkat tinggi menghasilkan habitat untuk perlindungan bagi hewan-hewan muda
dan permukaannya bermanfaat sebagai substrat perlekatan dan pertumbuhan dari banyak
organisme epifit (Nybakken.1986).
Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi
bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar
muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan
kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan
oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat
semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati
proses adaptasi dan evolusi

Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Hutan Mangrove ?
2. Apa saja fungsi dari Hutan Mangrove ?
3. Bagaimana perkembangan komunitas mangrove di Indonesia ?
4. Permasalahn apa saja yang terjadi pada Hutan Mangrove ?
5. Apa saja dampak yang di timbulkan dari permasalahan tersebu

4
BAB II
PEMBAHASAN

Kawasan pesisir merupakan suatu kawasan peralihan antara daratan dan lautan, dengan batas
kearah darat meliputi bagian daratan baik kawasan yang kering maupun yang terendam air
yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut, seperti pasang-surut, serta ditandai dengan adanya
vegetasi mangrove. Secara umum, di kawasan pesisir tropika yang relative terlindung dari
hempasan ombak, seperti teluk dan pulau-pulau kecil termasuk di kawasan pesisir Indonesia
memiliki ekosistem pesisir yang komplit, yakni terdiri dari hutan mangrove, terumbu karang,
dan padang lamun. Pada umumnya ekosistem pesisir, baik itu terumbu karang, padang lamun
maupun hutan mangrove mempunyai banyak keterkaitan dalam memenuhi kebutuhan
kehidupan berbagai biota laut. Salah satu dari ekosistem tersebut adalah hutan mangrove,
yang memiliki peran yang sangat besar terhadap biota laut yang hidup berasosiasi
didalamnya, termasuk juga masyarakat yang bermukim disekitar hutan mangrove.
Sudah sejak lama kehidupan masyarakat pesisir sangat tergantung dari keberadaan mangrove,
karena hutan mangrove menjadi sumber pencaharian untuk mencari nafkah, baik itu dalam
kegiatan menangkap ikan, kepiting, kerang-kerangan, udang, kayu bakar, kayu bangunan
rumah, maupun atap rumah yang diambil dari daun nipa (Nypa fruticans). Mangrove
memiliki peranan yang sangat penting baik itu dilihat dari aspek biologis, ekologis, maupun
dari aspek ekonomis. Berdasarkan besarnya peranannya terhadap ekosistem disekitarnya,
maka mangrove dinilai memiliki kemampuan yang sangat besar dalam menopang dan
menciptakan keseimbangan ekosistem perairan disekitarnya. Berdasarkan kondisi lingkungan
ekosistem mngrove yang sangat unik dan kompleks tersebut, maka para pakar mangrove
telah menyepakati bahwa ekosistem mangrove dipercayai menjadi suatu tempat pemijahan
dan tempat bertelur, serta sebagai tempat pembesaran berbagai macam biota laut. Selain itu,
kawasan mangrove juga telah dimanfaatkan sebagai penyedia pangan, bahan kayu bakar bagi
rumah tangga, bahan kayu bangunan, bahan untuk kayu lapis, dan juga dapat berperan
sebagai kawasan perlindungan dari bahaya bencana alam seperti tsunami dan angin topan.

5
Habitat Biota Terkait dengan fungsi ekologis, hutan mangrove memiliki kemampuan dalam
menciptakan dan menopang keseimbangan ekosistem kawasan pesisir.

Kawasan pesisir oleh Chapman (1979) disebut sebagai tempat tumbuhnya hutan pasang surut,
merupakan ekosistem yang sangat spesifik dan unik, serta memiliki fungsi dan manfaat yang
sangat besar terhadap kehidupan berbagai biota laut. Purnobasuki (2005) menambahkan
bahwa lingkungan disekitar hutan mangrove yang relatif tenang, dapat menciptakan kondisi
yang mempermudah terjadinya pembiakan telur ikan yang berlangsung diluar induknya.
Sistem perakaran mangrove, khususnya dari jenis Sonneratia sp., Avicennia sp., dan
Rhizophora sp., juga akan memberikan suatu kondisi untuk melindungi dan menahan dari
gerakan arus pasang-surut terhadap telur ikan yang sudah dibuahi. Selain itu, kondisi yang
unik dari sistem perakaran mangrove tersebut juga dimanfaatkan larva ikan untuk berlindung
dari serangan predator.
Oleh karena itu, secara ekologis mangrove memiliki kemampuan menyediakan habitat alami
yang nyaman dan aman, sebagai tempat memijah (spawning grounds), tempat asuhan
(nursery grounds) dan tempat mencari makanan (feeding grounds) dari berbagai biota laut
yang dapat membentuk suatu keseimbangan lingkungan, terutama pada keseimbangan antara
mangsa dengan pemangsa (prey dengan predator). Hutan mangrove mampu menciptakan
suatu kondisi terjadinya percampuran dari dua kelompok fauna, yaitu kelompok fauna
terestrial dan kelompok fauna akuatik. Kelompok fauna terestrial pada umumnya menempati
bagian atas pohon, misalnya burung, primata, reptil (ular, biawak, dan buaya), dan kelelawar.
Sedangkan kelompok akuatik dibedakan menjadi dua tipe, yaitu organisme yang dalam air
(misalnya ikan, dan udang), dan organisme yang hidup pada substrat atau lantai hutan
mangrove, seperti kepiting dan moluska. Selanjutnya diketengahkan oleh Nybaken (1988)
bahwa ekosistem mangrove juga merupakan suatu kawasan ekosistem yang sangat khas dan
unik, terkait dengan ekosistem yang ada di darat dan ekosistem perairan disekitarnya. Oleh
karena itu, hutan mangrove juga sering dikenal sebagai “interface ecosystem”, dari berbagai
fauna akuatik dan mikroorganisme (jasad renik), baik yang dijumpai pada substrat maupun
yang hidup menempel pada perakaran tumbuhan mangrove, sebagian besar dari siklus
hidupnya sangat tergantung dari eksistensi mangrove. Proses peluruhan serasah mangrove
pada lantai hutan, serta kondisi perakaran tumbuhan mangrove yang unik adalah salah satu
bukti, bahwa fauna aquatik dan mikroorganisme keberadaannya sangat tergantung dari hutan
mangrove (Odum, 1972).
Disebutkan oleh Dorenbosch (2006) dan Thorhaug & Austin (1986) bahwa komunitas
mangrove mampu menopang kehidupan biota laut yang hidup berasosiasi didalamnya. Odum
(1971) juga menambahkan bahwa serasah tumbuhan mangrove yang jatuh ke lantai hutan
menghasilkan antara 35-69% unsur hara terlarut pada ekosistem hutan mangrove. Secara
biologis, hutan mangrove juga memberi kontribusi yang sangat tinggi terhadap perputaran
mata rantai makanan suatu perairan pesisir. Interaksi antara lingkungan dengan hutan
mangrove di kawasan pesisir memiliki potensi untuk memberikan kondisi yang sesuai terkait
dengan proses biologi bagi beberapa biota laut, yang tentunya akan melibatkan eksistensi dari
mikrorganisme Struktur dalam ekosistem hutan mangrove memiliki dua komponen, yakni
komponen abiotik dan komponen biotik. Komponen abiotik terdiri dari substansi anorganik
(nutrien, mineral, air, oksigen, karbon dioksida) dan substansi organik (tanaman yang mati,

6
serasah, hewan yang membusuk). Selain itu, bagian komponen abiotik yang juga sangat
penting adalah kondisi iklim seperti curah hujan, suhu, serta kelembaman. Sedangkan untuk
komponen biotik, terdiri dari 3 kelompok sesuai dengan fungsinya dalam suatu ekosistem,
yakni kelompok organisme produser, kelompok organisme konsumer (herbivora, karnivora,
omnivora dan kelompok pemakan detritus), serta kelompok organisme dekomposer
(kelompok pengurai). Ekosistem hutan mangrove adalah salah satu ekosistem pesisir yang
memiliki peran dan fungsi, serta manfaat yang sangat besar, karena secara biologis hutan
mangrove ikut berperan dalam mengatur perputaran mata rantai makanan, dan menciptakan
keseimbangan ekosistem di suatu perairan. Serasah mangrove yang jatuh ke lantai hutan akan
menjadi habitat yang baik bagi mikroorganisme (bakteri dan fungi), sekaligus membantu
dalam proses dekomposisi, dimana pada akhirnya menjadi sumber makanan bagi
Amphiphoda dan organisme pemakan detritus lainnya, dan selanjutnya menjadi makanan
bagi larva ikan (Heald & Odum, 1972).

Terkait dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa komunitas mangrove memiliki arti
penting bagi kesuburan perairan disekitarnya, serta dikenal mampu menopang kehidupan
biota akuatik yang hidup berasosiasi di dalamnya (Dumbois & Ellenberg, 1974; Coulter &
Allaway, 1979; Dorenbosch, 2006). Sukardjo (1999) menyebutkan bahwa total hasil
tangkapan laut pada tahun 1977 adalah sebesar 1.489.000 ton, dan 3% diantaranya
merupakan sumbangan dari jenis ikan yang hidupnya tergantung pada ekosistem mangrove.
Hutan mangrove di kawasan Segara Anakan, menyumbangkan sekitar 7% dari total produksi
perikanan lepas pantai (Martosubroto & Sudradjat, 1973). Keterkaitan antara hutan mangrove
dengan biota laut tersebut, juga diperjelas oleh Martosubroto & Naamin (1977), bahwa ada
hubungan linier positip antara luas hutan mangrove dengan produksi udang.
Pernyataan yang senada juga dilaporkan oleh Kasri (1982), yaitu bahwa kemunduran
perikanan di Bagansiapi-api dan sekitarnya adalah bukan semata-mata karena ekploitasi
sumberdaya perikanan yang berlebih, tetapi sebagai akibat dari rusaknya ekosistem
mangrove. Berkaitan dengan ikan yang hidup pada kawasan ekosistem hutan mangrove, para
ichthyolog telah mengelompokan ikan yang hidup pada ekosistem mangrove menjadi empat
kelompok, yaitu kelompok ikan yang hidup menetap pada ekiosistem mangrove, yakni ikan
gelodok, antara lain Periophthalmus koelreuteri, Periophthalmus sobrinus Periophthalmodon
schloseri, dan Boleophthalmus boddarti. Selanjutnya kelompok ikan yang hanya sementara

7
hidup pada ekosistem mangrove dan saat dewasa pindah ke muara sungai (misalnya ikan
belanak, ikan kapas-kapas, dan ikan kuwe). Kelompok ketiga adalah kelompok ikan yang
hanya ke hutan mangrove pada saat pasang (ikan gulamah, ikan barakuda, ikan tancak). Yang
keempat adalah kelompok ikan pengunjung musiman hutan mangrove, yakni kelompok ikan
yang hanya memanfaatkan mangrove untuk tempat memijah dan sebagai perlindungan,
mislanya dari jenis Macrones gulio dan Oedalechilus labiosus (Ghufran, 2012) Pernyataan
terkait dengan peran ekosistem mangrove terhadap keseuburan perairan disekitarnya tersebut
sangaterat kaitannya dengan gugur serasah mangrove yang disumbangkan pada ekosistem
kawasan perairan pesisir disekitarnya. Berdasarkan dari hasil penelitian gugur serasah
mangrove di beberapa daerah, antara lain hutan mangrove di pesisir Passo (Ambon)
menghasilkan serasah berkisar antara 11,68-17,40 ton ha-1 th-1 berat kering, hutan mangrove
di pesisir Teluk Kotania (Pulau Seram) sebesar 6,20 ton ha-1 th-1 berat kering, dan hutan
mangrove pesisir Teluk Gilimanuk (Bali) menghasilkan serasah sebesar 11,24 ton ha-1 th-1
berat kering (Pramudji 1999; 2001c; 2006; 2007a; Sediadi &Pramudji, 1987). Sedangkan
produksi serasah mangrove untuk tegakan murni jenis Bruguiera gymnorrhiza di Teluk Un,
Tual, Maluku Tenggara dan Sonneratia alba di Teluk Ambon berturut-turut menghasilkan
serasah sekitar 9,29 ton ha-1 th-1 berat kering dan 13,78 ton ha-1 th-1 berat kering Pramudji,
2001a; 2001b). Luruhan serasah tersebut memiliki makna yang penting terhadap mata rantai
makanan. Perlu dipahami bahwa selama terjadi proses dekomposisi, serasah mangrove akan
semakin diperkaya oleh protein dan selanjutnya menjadi sumber pakan dari berbagai
organisme, misalnya kepiting, moluska, polychaeta, udang dan ikan. Proses dekomposisi
serasah mangrove tersebut, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Pramudji (2001b) di
kawasan pesisir Teluk Un, Maluku Tenggara, bahwa serasah jenis Bruguiera gymnorrhiza
akan terurai habis dalam waktu kurang lebih sekitar 13 bulan. Kemudian untuk jenis
Rhizophora sp., proses dekomposisinya memerlukan waktu sekitar 12 bulan (Pramudji,
2003). Sedangkan untuk jenis Avicennia officinalis, penguraiannya membutuhkan waktu
sekitar 8 bulan (Wafar et al., 1999 ).
Perbedaan laju dekomposisi tersebut adalah berkaitan dengan kandungan unsur nitrogen dan
karbon dalam serasah mangrove. Semakin tinggi kandungan karbonnya, maka proses
dekomposisi serasah mangrove akan semakin lama. Selain itu, perbedaan laju penguraian
serasah mangrove tersebut, juga dipengaruhi antara lain oleh oksigen terlarut, pH tanah,
kehadiran mikroorganisme, lama penggenangan, dan kadar garam. Ditinjau dari aspek
ekologinya, hutan mangrove memiliki peranan dan fungsi yang cukup penting, baik terhadap
fauna maupun ekosistem kawasan perairan pesisir secara luas. Peranan dan fungsi mangrove
tersebut adalah sebagai sumber nutrisi, karena didalamnya terjadi proses biologi yang
dimanfaatkan oleh berbagai biota laut. Odum (1971), menyebutkan bahwa serasah yang jatuh
di lantai hutan, menghasilkan 35-60% unsur hara yang terlarut pada ekosistem
mangrove.Hutan mangrove juga dapat berperan sebagai tempat memijah, pembesaran,
mencari makan, dan tempat berlindung dari berbagai biota laut. Anonimous. (2005)
mengemukakan bahwa dari hasil penelitian di kawasan pesisir Delta Mahakam, ditemukan
ikan dari suku Gobiidae dalam stadium larva dan juvenil. Informasi ini mengindikasikan
adanya bukti bahwa daerah perairan hutan mangrove adalah sebagai tempat memijah dari
berbagai ikan.

8
Pada akhirnya banyak manfaat yang dapat diperoleh dengan keberadaan hutan mangrove,
dengan ini masyarakat, khususnya masyarakat pesisir harus turut diberdayakan dalam usaha
pelestarian maupun rehabilitasi hutan mangrove. Baik dengan memberikan peningkatan
pengetahuan masyarakat akan pentingnya ekosistem hutan mangrove, maupun dengan turut
memberdayakan masyarakat dalam usaha rehabilitasi hutan mangrove tersebut. Di samping
itu, juga supremasi hukum harus ditegakkan agar program-program pemerintah yang telah di
rencanakan dan dilaksanakan dapat berjalan lancar dan berhasil guna. Pemerintah dan
masyarakat harus bersinergi dalam mengelola dan menjaga kelestarian lingkungan hidup
khususnya kelestarian hutan mangrove yang kita punya ini. Tak ada lagi kesalahpahaman
antara pemerintah dan masyarakat, semuanya harus bersama-sama bertanggung jawab
sebagai upaya melaksanakan undang-undang no 32 tahun 2009.

9
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Ekosistem Hutan Mangrove sangat berperan penting terhadap kehidupan makhluk hidup. Bila
keseimbangan ekosistem Hutan Mangrove terganggu ataupun dengan sengaja dirusak, maka
secara langsung hal tersebut akan berdampak pada kelangsungan hidup makhluk hidup, baik
manusia, tumbuhan maupun hewan, sebab beberapa makhluk hidup bergantung pada
ekosistem Hutan Mangrove. Komponen penyusun dari ekosistem mangrove yaitu komponen
biotic dan komponen abiotik. Ekosistem mangrove memiliki penanan biologis, ekologis, dan
ekonomis.
Dan juga, bila ekosistem Hutan Mangrove terusik, secara tidak langsung akan berdampak
pada ekosistem yang lain, karena ekosistem yang satu dengan yang lain saling memiliki
keterkaitan atau hubungan. Disamping itu, flora fauna yang hidup dalam ekosistem tersebut
dapat terganggu pertumbuhan dan perkembangannya, dan yang paling parah flora fauna
tersebut punah. Bila hal itu terjadi, maka manusia pun akan merasakan dampaknya sendiri.

10
DAFTAR PUSTAKA

Apriani, Rini. (2012). Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Desa
Eretan Kulon Kecamatan kandang Haur kabupaten Indramayu. Skripsi Biologi Universitas
Pendidikan Indonesia. Tidak Diterbitkan.
Aslamyah. S. & Fujay. Y., (2012). Respon Molting, Pertumbuhan, dan Komposisi Kimia
Tubuh Kepiting Bakau pada Berbagai Kadar Karbohidrat-Lemak Pakan Buatan yang
Diperkaya dengan Vitomolt. (Online). http://respository.unhas.ac.id/ (30 Agustus 2012).
Campbell, N.A., Racee, J.B., L.A., Cain, M.L., Wassaerman, S.A., Minorsky, P.V., Jakcson,
R.B. (2008). Biology Edisi Ke-8 jilid 2. Jakarta : Erlangga.
Cartono & Nurul, I.Y., (2010). Biologi Umum. Bandung: Prisma Press
Cartono & Ratu Nahdiah. (2008). Ekologi Tumbuhan. Bandung: Prisma Press.
Dinas Kelautan & Perikanan, (2016). Hutan Mangrove Karangsong Indramayu. Indramayu:
DKP.
Gita, R. S. D., (2015). Pengaruh Faktor Abiotik Terhadap Keanekaragaman dan
Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Hutan Mangrove Blok Bedul taman Nasional
Alas Purwo. Tesis pada Universitas Jember: Diakses dari Halaman Web Tanggal 8 Desember
2015: http//respository.unej.ac.id.
Handayani, R.T. (2015). Pola Distribusi dan Kelimpahan Kadal Pohon (Lygosoma sanctum)
di Hutan Cagar Alam, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Skripsi Pendidikan Biologi
Universitas Pasundan Bandung: Tidak Diterbitkan.
Hasan, R. Dkk. (2014). Morfometri dan Alometri Kepiting Biola Uca Perplexa yang
Terdapat pada Vegetasi Mangrove di pulau Baai, Bengkulu. Jurnal Seminar Nasional XI
Pendidikan Biologi FKIP UNS. Volume 1 : 11-094.

11

Anda mungkin juga menyukai