Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH FARMAKOLOGI

INTERAKSI OBAT DAN PENYALAHGUNAAN OBAT

DOSEN PENGAMPU:
Fenti Hasnani, S.Kep., MA.Kes

DISUSUN OLEH:
1. Aji Muminn (P17120019001)
2. Alivia Azzahra Salsabilla (P17120019003)
3. Destika Anggita Y (P17120019010)
4. Isna Nur R (P17120019003)
5. Safitri Devi (P17120019003)
6. Salamah Widia (P17120019029)
7. Siti Rachma Almaidah (P17120019031)
8. Syifa Aini Salam (P17120019033)
9. Vebrinna Dwi (P17120019038)
10. Yulia Fadillah (P17120019040)

JURUSAN D-III KEPERAWATAN KELAS 1A


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN JAKARTA 1
Jl. Wijayakusuma Raya No. 47-48 Cilandak-Jakarta Selatan 12430. Telp : 75909605 Fax. 7590

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan umat manusia ini berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku, dan menjadikan umat Islam sebagai sebaik-bainya umat. Shalawat dan salam
semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW., pembawa suluh kebenaran,
pembimbing umat kepada jalan kebenaran.
Penulis membuat sebuah makalah yang berjudul “Interaksi Obat dan Penyalahgunaan
Obat” untuk membuka wawasan para pembaca mengenai interaksi obat dan penyalahgunaannya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Fenti Hasnani sebagai
pembimbing dalam menyelesaikan makalah ini.
Meskipun kami sudah mengumpulkan banyak referensi untuk menunjang penyusunan
makalah ini, namun kami menyadari bahwa di dalam makalah yang telah kami susun ini masih
terdapat banyak kesalahan serta kekurangan. Sehingga kami mengharapkan saran serta masukan
dari para pembaca demi tersusunnya makalah lain yang lebih lagi. Akhir kata, kami berharap
agar makalah ini bisa memberikan banyak manfaat.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak, demikian pula dengan makalah ini. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kedempurnaan makalah ini.

Jakarta, 23 Februari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii

BAB I...............................................................................................................................................1

PENDAHULUAN...........................................................................................................................1

A. Latar Belakang......................................................................................................................1

B. Tujuan...................................................................................................................................1

C. Manfaat.................................................................................................................................1

BAB II.............................................................................................................................................2

PEMBAHASAN..............................................................................................................................2

A. Pengertian interaksi obat.......................................................................................................2

B. Interaksi obat dapat bersifat farmakodinamik atau farmakokinetik.....................................2

C. Interaksi Obat-Makanan.......................................................................................................4

D. Interaksi Obat-Laboratorium................................................................................................5

E. Proses Keperawatan: Interaksi Obat.....................................................................................6

F. Penyalahgunaan Obat...........................................................................................................7

G. Proses Keperawatan: Penyalahgunaan Obat.....................................................................8

BAB III..........................................................................................................................................10

PENUTUP.....................................................................................................................................10

A. Kesimpulan.........................................................................................................................10

B. Saran...................................................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (index drug) berubah akibat adanya obat lain
(precipitant drug), makanan, atau minuman. Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang
memang dikehendaki (Desirable Drug Interaction), atau efek yang tidak dikehendaki
(Undesirable/Adverse Drug Interactions = ADIs) yang lazimnya menyebabkan efek samping
obat dan/atau toksisitas karena meningkatnya kadar obat di dalam plasma, atau sebaliknya
menurunnya kadar obat dalam plasma yang menyebabkan hasil terapi menjadi tidak optimal.
Sejumlah besar obat baru yang dilepas di pasaran setiap tahunnya menyebabkan munculnya
interaksi baru antar obat akan semakin sering terjadi.
Beberapa laporan studi menyebutkan proporsi interaksi obat dengan obat lain (antar obat)
berkisar antara 2,2% sampai 30% terjadi pada pasien rawat-inap dan 9,2% sampai 70,3% terjadi
pada pasien-pasien rawat jalan, walaupun kadang-kadang evaluasi interaksi obat tersebut
memasukkan pula interaksi secara teoretik selain interaksi obat sesungguhnya yang ditemukan
dan terdokumentasi. Di Amerika Serikat, insidens interaksi obat yang mengakibatkan reaksi efek
samping sebanyak 7,3% terjadi di rumah sakit, lebih dari 88% terjadi pada pasien geriatrik di
Puslitbang Biomedis dan Farmasi, Badan Litbangkes rumah sakit, lebih dari 77% terjadi pada
pasien HIV yang diobati dengan obat-obat penghambat protease. Sedangkan di Indonesia, data
yang pasti mengenai insidens interaksi obat masih belum terdokumentasi antara lain juga karena
belum banyak studi epidemiologi dilakukan di Indonesia untuk hal tersebut.
Terapi obat kini telah menjadi semakin kompleks karena banyaknya jumlah obat yang
diresepkan. problem interaksi nilai obat-obat, obat makanan, dan obat laboratorium juga semakin
bertambah. karena banyaknya kemungkinan interaksi, perawat harus mengetahui tentang
interaksi obat dan harus secara ketat memantau respon klien. komunikasi antara anggota tim
kesehatan juga penting.
Penyalahgunaan obat adalah penggunaan obat yang dapat menimbulkan keadaan yang tak
terkuasai oleh individu dan dilakukan di luar pengawasan medis, atau yang dapat menimbulkan
keadaan yang membahayakan/mengancam masyarakat. Masalah penyalahgunaan obat (terutama
narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya) merupakan masalah yang sangat kompleks dan

1
memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerjasama
multidisipliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara
berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.Di Amerika Serikat, masalah penyalahgunaan obat
menduduki peringkat pertama penyebab terjadinya penyakit yang dapat dicegah (preventable
illness) dan kematian. Setiap tahunnya, lebih dari 500.000 kematian atau 1 dari 4 kematian
berhubungan dengan penyalahgunaan obat dalam jangka waktu 15 tahun terakhir (1992-2007).
Remaja merupakan kelompok risiko tinggi terhadap penyalahgunaan obat. Berdasarkan data
Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) di Jakarta, dalam kurun waktu 4 tahun (1997-2000)
kunjungan pasien rawat jalan maupun rawat inap korban napza cenderung meningkat. Baik
pasien rawat jalan maupun rawat inap, sebagian besar berpendidikan SLTA (38% untuk rawat
jalan dan 42,5% untuk rawat inap). Secara keseluruhan, pasien yang berobat sebagian besar
(78,1%) berusia 15-24 tahun
Dengan mengetahui bagaimana mekanisme interaksi antar obat, dapat diperkirakan
kemungkinan efek samping yang akan terjadi dan melakukan antisipasi. Makalah ini bermaksud
menguraikan beberapa mekanisme interaksi antar obat, implikasi klinik akibat efek samping
yang terjadi karena interaksi tersebut serta penyalahgunaan obat.

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Tujuan umum dari makalah ini adalah supaya pembaca dapat mengetahui
interaksi obat dan penyalahgunaan obat.
2. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui pengertian obat
2. Untuk mengetahui interaksi obat yang bersifat farmakodinamik atau
farmakokinetik
3. Untuk mengetahui interaksi obat makanan
4. Untuk mengetahui interaksi obat laboratorium
5. Untuk mengetahui proses keperawatan dalam interaksi obat
6. Untuk mengetahui penyalahgunaan obat
7. Untuk mengetahui proses keperawatan dalam penyalahgunaan obat.

2
C. Manfaat
Untuk pembaca :
1. Mengetahui interaksi obat dan penyalahgunaan obat.
2. Menambah pengetahuan tentang interaksi obat dan penyalahgunaan.
Untuk mahasiswa :
1. Memberikan pendidikan kepada mahasiswa tentang interaksi obat dan
penyalahgunaan obat.
2. Penerapan pengunaan obat yang benar.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian interaksi obat


Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek satu obat akibat obat lain yang
diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan, atau bila dua atau lebih obat berinteraksi
sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas satu atau lebih akan berubah (Fradgley,
2003). Interaksi obat terjadi ketika modifikasi aksi obat yang satu dengan obat yang lain di dalam
tubuh. Biasanya seperti aksi kuantitatif, yaitu peningkatan atau 13 penurunan dalam ukuran
respon yang diharapkan. Interaksi obat mungkin merupakan hasil perubahan farmakokinetik,
perubahan farmakodinamik, atau kombinasi keduanya (Katzung dan Trevor, 2002).
Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai kerja atau efek obat yang berubah, atau
mengalami modifikasi sebagai akibat interaksi dengan suatu obat atau lebih.Ini tidak boleh
dikacaukan dengan reaksi obat yang merugikan atau inkompatibilitas obat. Reaksi obat yang
merugikan adalah efek obat yang tidak diinginkan, yang dapat berkisar dari yang sifatnya ringan
sampai kepada efek toksik yang berat, termasuk reaksi hipersensitifitas dan anafilaksis.
Inkompatibilitas obat adalah reaksi kimia atau fisik yang terjadi antara dua obat atau lebih dalam
keadaan invitro (diluar tubuh)

B. Mekanisme Interaksi Obat


1. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat yang mempunyai efek
farmakologi atau efek samping yang serupa atau yang berlawanan. Interaksi ini dapat disebabkan
karena kompetisi pada reseptor yang sama, atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem
fisiologik yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diperkirakan berdasarkan sifat farmakologi
obat-obat yang berinteraksi. Pada umumnya, interaksi yang terjadi dengan suatu obat akan terjadi
juga dengan obat sejenisnya. Interaksi ini terjadi dengan intensitas yang berbeda pada
kebanyakan pasien yang mendapat obat-obat yang saling berinteraksi.

4
2. Interaksi Farmakokinetik
Yaitu interaksi yang terjadi apabila satu obat mengubah absorpsi, distribusi,
metabolisme, atau ekskresi obat lain. Dengan demikian interaksi ini meningkatkan atau
mengurangi jumlah obat yang tersedia (dalam tubuh) untuk dapat menimbulkan efek
farmakologinya. Tidak mudah untuk memperkirakan interaksi jenis ini dan banyak
diantaranya hanya mempengaruhi pada sebagian kecil pasien yang mendapat kombinasi
obat-obat tersebut. Interaksi farmakokinetik yang terjadi pada satu obat belum tentu akan
terjadi pula dengan obat lain yang sejenis, kecuali jika memiliki sifat-sifat
farmakokinetik yang sama .
a. Absorpsi.
Ketika seseorang memakai dua obat atau lebih pada waktu yang bersamaan,
maka laju absorpsi dari salah satu atau kedua obat itu dapat berubah obat. obat yang
satu dapat menghambat, menurunkan, atau meningkatkan laju absorpsi obat yang
lain. hal ini dapat terjadi melalui salah satu dari tiga jalan: dengan memperpendek
atau memperpanjang waktu pengosongan lambung, dengan mengubah pH lambung,
atau dengan membentuk kompleks obat. Obat-obat yang dapat meningkatkan
kecepatan pengosongan lambung, seperti laksatif, meningkatkan motilitas lambung
dan usus halus sehingga menurunkan absorpsi obat, kebanyakan dari obat terutama
diabsorpsi di usus halus : kecuali barbiturat, salisilat dan teofilin. obat obat narkotik
dan antikolinergik (obat-obat mirip atropin) memperpendek waktu pengosongan
lambung dan menurunkan motilitas gastrointestinal (GI), sehingga menyebabkan
peningkatan laju absorpsi. Semakin lama obat berada di dalam lambung atau usus
halus, semakin banyak jumlah obat yang diabsorpsi (hanya berlaku bagi obat-obat
yang diabsorpsi di dalam lambung.
Jika pH lambung menurun, obat asam lemah, seperti aspirin, akan lebih cepat
diabsorpsi. Obat-obat yang meningkatkan pH getah lambung menurunkan absorpsi
dari obat-obat asam lemah. Antasid, seperti maalox dan amphojel, meningkatkan pH
lambung dan menghambat atau memperlambat absorpsi. Beberapa obat dapat
bereaksi secara kimiawi. Contohnya, kedua obat ini, yaitu tetrasiklin dan ion logam
berat (kalsium, magnesium, aluminium dan besi) ternyata didalam Antasid
membentuk kompleks, dan tetrasiklin tidak di absorpsi. Tetrasiklin juga dapat

5
membentuk kompleks dengan produk yang dibuat dari susu. Produk -produk dari
susu dan Antasid harus dihindari selama 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah meminun
tetrasiklin.
b. Distribusi
Dua obat yang berikatan tinggi dengan produksi protein atau albumin
bersaing untuk mendapatkan tempat pada protein atau albumin di dalam plasma.
akibatnya terjadi penurunan dalam pengikatan dengan protein pada salah satu atau
kedua obat itu : sehingga lebih banyak obat bebas yang bersirkulasi dalam plasma 
dan meningkatkan kerja obat. Efek ini dapat menimbulkan toksisitas obat. Obat-obat
yang tidak berikatan dengan protein adalah obat bebas, obat aktif, dan dapat
menimbulkan respons farmakologik jika ada dua obat yang
c. Metabolisme dan biotransformasi
Suatu obat dapat meningkatkan metabolisme dari obat yang lain dengan
merangsang(menginduksi) enzim-enzim hati. Obat-obat yang dapat meningkatkan
induksi enzim-enzim disebut sebagai penginduksi enzim. Salah satu contoh dari
penginduksi enzim adalah barbiturat. Fenobarbital meningkatkan metabolisme
penghambat reseptor beta, kebanyakan dari antipsikotik dan teofilin. Metabolisme
yang meningkat mempercepat eliminasi obat dan menurunkan konsentrasi obat di
dalam plasma. Akibatnya adalah penurunan kerja obat. Kadang-kadang enzim-enzim
hati mengubah obat menjadi metabolit aktif atau pasif. Metabolit obat dapat
dieksreksi atau dapat menghasilkan respon farmakologis aktif. Ada juga beberapa
obat yang merupakan penghambat enzim.
Obat antitukak, simetidin adalah penghambat enzim yang menurunkan
metabolisme obat-obat tertentu, seperti teofilin. Akibat dari penurunan metabolisme
teofilin terjadi peningkatan konsentrasi teofilin dalam plasma. Dosisi teofilin perlu
diturunkan untuk menghindari toksisitas. Jika simetidin atau obat penghambat enzim
yang lain dihentikan maka dosis teofilin perlu disesuaikan
d. Ekskresi
Obat-obat dapat meningkatkan atau menurunkan ekskresi dari obat-obat lain.
Obat-obat yang dapat menurunkan curah jantung, menurunkan aliran darah ke ginjal
dan menurunkan filtrasi glomerulus serta menurunkan atau menunda ekskresi obat.

6
Obat antiaritmia quinidin menurunkan ekskresi digoksin oleh karena itu konsentrasi
plasma dari digoksin meningkat. Toksisitas digitalis dapat terjadi. Probenesid suatu
obat untuk gout menurunkan ekskresi penisilin dengan bersaring.

C. Interaksi Obat dengan Makanan


Makanan telah diketahui dapat menurunkan, atau menunda absorpsi obat yang
berkurang atau lebih lambat. Sebuah contoh dari diskusi sebelumnya tentang makanan
yang berikatan dengan obat adalah interaksi tetrasiklin dengan produk-produk dari
susunan. Akibatnya adalah penurunan konsentrasi tetrasiklin dalam plasma. Oleh karena
adanya efek pengikatan ini, maka tetrasiklin harus dimakan 1 jam sebelum atau 2 jam
ssudah makan dan tidak boleh dimakan bersama-sama dengan produk dari susu. Ada
beberapa obat yang diabsorpsinya justru meningkat dengan adanya makanan contohnya
adalah agen antiinfeksi, nitrofurantoin (macrodantin) penghambat reseptor beta,
metoprolol (Lopressor) dan antipemik, lovastatin (mevacor). Obat-obat ini harus dimakan
atau bersama makanan.
Interaksi obat-makanan yang klasik terjadi jika antidepresan (seperti penghambat
monoamine oksidase [MAO], contoh, Mar]lan) dimakan bersama sama dengan makanan
yang kaya akan tiamin seperti keju, miniman anggur, jeroan,bir, yougurt, krim asam, atau
pisang. Akan lebih banyak eprinefrin yang dilepaskan sehingga dapat terjadi krisis
hipertensi. Makanan maknaan ini harus dihindari jika sedang memakai MAO.

D. Interaksi Obat-Laboratorium
Konsentrasi elektrolit plasma atau serum yang abnormal dapat mempengaruhi
terapi obat tertentu. Jika seserang klien memakai digoksin, sebyah preparat digitalis, dan
terdapat penurunan kadar kaldium serum, atau terdapat peningkatan kadar ka;sium serum
dan magnesium serum, maka dapat terjadi toksitas digitalis. Obat obat tertentu, seperti
yang berasal dari kelompok diuretic tiazid, dapat menimbulkan konsentrasi elektrolit
abnormal. Salah satu contohnya adalah hodrklorotiazid (hydrodiuril), yang dapat
menurunkan kadar kalium, magnesium, dan natrium serum, dan meningkatkan kadar
kalsium serum. Karena hydrodiuril menambah kehilangan kalium, maka kadar kalium
serum yang rendah meningkatkan konsentrasi digoksin dalam plasma, sehingga
meningkatkan kerjanya. Akibatnya adalah toksisitas digitalis (intoksikasi). Jika digoksin

7
dan hydrodiuril dipakai bersama sama, perawat harus mengamati akan terjadinya
toksisitas digitalis (mual, muntah, bradikardi [denyut kurang dari 60], dan gangguan
penglihatan).

E. Penyalahgunaan Obat
Definisi penyalahgunaan obat (atau substansi) dapat berbeda di antara pelbagai
kelompok sosioekonomi, susku dan budaya. Tetapi tidak demikian halnya dengan
pemakaian obat yang salah, seperti mengobati sendiri dengan obat-obat bebas atau
menggunakan obat yang diresepkan tidak sesuai dengan perintah dalam resep. Namun
kadang-kadang, pemakaian obat yang salah dapat mengakibatkan penyalahgunaan obat.
Definisi yang luas dari penyalahgunaan obat adalah pemberian suatu obat oleh diri
sendiri secara berlebihyan yang mengakibatkan adiksi (ketergantungan fisik) dan dapat
merusak kesehatan seseorang.
Di Amerika Serikat, istilah medis drug abuse (penyalahgunaan obat) diartikan
sebagai penyelewengan fungsi dan maladaptasi, bukan ketergantungan yang disebabkan
oleh penggunaan obat. Dalam bahasa sehari-hari, penyalahgunaan obat (drug abuse)
diartikan penggunaan obat ilegal untuk kesenangan penggunaan obat-obatan resmi untuk
mengatasi masalah atau gejala tanpa resep dari dokter,dan penggunaan obat yang
berakibat ketergantungan.Penyalahgunaan zat atau bahan lainnya (NAPZA) yaitu
penggunaan zat/obat yang dapatmenyebabkan ketergantungan dan efek non-terapeutik
atau non-medis pada individu sendirisehingga menimbulkan masalah pada kesehatan
fisik/mental.
Seorang klien penderita kanker terminal yang menggunakan candu dalam dosis
tinggi untuk menaggulangi nyeri tidak tepat dianggap sebagai penyalahgunaan obat;
tetapi, sebaliknya seorang yang sehat yang menggunakan candu dalam dosis tinggi
termasuk dalam penyalahgunaan obat. Dua masalah penyalahgunaan obat pada masa kini
adalah penggunaan alcohol dan nikotin (merokok sigaret). Meminum satu atau dua ounce
alcohol setiap hari atau setiap minggu tidak dapat dianggap sebagai masalah
penyalahgunaan obat oleh sebagian orang, tetapi dalam kelompok budaya atau agama
tertentu dapat dianggap sebagai penyalahgunaan obat.

8
Beberapa kategori dari obat-obat yang disalahgunakan adalah (1) penekan
susunan saraf pusat (SSP) (seperti alcohol, mariyuana, narkotik [candu]), obat-obat
analgesic (seperti pentalzosin [Talwin]), sedative dan hipnotik, antipsikotik, dan
antiansietas perangsang SPP (seperti kokain, amfetamin, kafein) dan obat-obat pengaruh
pikiran (Mind-alte-ring) atau psikedelik (seperti lysergic acid die thylamide/LSD dan
meskalin). Obat antipsikotik yang diresepkan dalam dosis tinggi untuk mempertahankan
keadaan pasien bukanlah penyalahgunaan obat. Undang-undang substansi yang di control
tahun 1970 mengatur pemakaian narkotik, seperti pencatatan pemakaian. Undang-undang
ini telah membantu dalam mengurangi penyalahgunaan obat.
Dalam penyalahgunaan obat, seringkali terjadi adiksi dan merupakan masalah
fisik dan perilaku yang serius. Ciri-ciri dari adiksi adalah pemakaian obat yang
kompulsif, sangat membutuhkan obat, beruaha mencari obat. Adiksi adalah
ketergantungan fisik. Withdrawal (gejala putus obat) adalah efek fisiknya, seperti mual
dan kejang-kejang, yang terjadi ika obat dihentikan. Ketergantungan psikologis atau
habituasi, adalah keinginan yang kuat atau sangat membutuhkan obat jika obat tersebut
tidak tersedia. Orang yang bersangkutan tidak mengalami efek fisik atau withdrawal. Jika
obat telah dihentikan dan kebutuhan psikologis kuat, maka penggunaan obat dapat
diaktifkan kembali oleh orang tersebut dan ini merupakan awal dari lingkaran
penyalahgunaan obat.

F. Macam-Macam Obat Narkotika


Menurut UU tentang Narkotika, macam-macam narkoba dibagi menjadi menjadi
3 golongan berdasarkan pada risiko ketergantungan.
Narkotika Golongan 1
Narkotika jenis ini sebenarnya digunakan untuk keperluan IPTEK, reagensia
diagnostik atau laboratorium. Namun bila disalahgunakan dan dikonsumsi oleh orang
tanpa petunjuk ahli. Narkotika golongan 1 seperti ganja, opium, dan tanaman koka sangat
berbahaya bila disalahgunakan karena beresiko tinggi menimbulkan efek kecanduan.
Contoh Narkotika Golongan 1 :
Opiat: morfin, heroin atau putauw, petidin, candu.
Ganja: kanabis, mariyuana, hashis.

9
Kokain: serbuk kokain, pasta kokain, daun koka.
Narkotika Golongan 2
Narkotika golongan 2  seperti Morfin, Alfaprodina, dan lain-lain. Narkotika
golongan 2 juga berpotensi tinggi menimbulkan ketergantungan. Narkotika golongan ini
sebenarnya merupakan bahan baku untuk produksi obat, yang mampu menimbulkan
potensi ketergantungan tinggi dan hanya digunakan sebagai pilihan terakhir dalam
pengobatan.
Contoh: petidin, morphin, fentanil atau metadon.
Narkotika Golongan 3
Narkotika golongan 3 memiliki risiko ketergantungan yang cukup ringan dan
banyak dimanfaatkan untuk pengobatan serta terapi. Narkotika pada golongan ini hanya
digunakan untuk rehabilitasi, seperti mengurangi ketergantungan pada narkotika
golongan I dan II. Ia mempunyai potensi ringan akibatkan ketergantungan.
Contoh: kodein, difenoksilat.

G. Dampak Penyalahgunaan obat


Narkotika dan obat terlarang serta zat adiktif / psikotropika dapat menyebabkan
efek dan dampak negatif bagi pemakainya. Danmpak yang negatif itu sudah pasti
merugikan dan sangat buruk efeknya bagi kesehatan mental dan fisik.Meskipun demikian
terkadang beberapa jenis obat masih dipakai dalam dunia kedokteran, namun hanya
diberikan bagi pasien-pasien tertentu, bukan untuk dikonsumsi secara umum dan bebas
oleh masyarakat. Oleh karena itu obat dan narkotik yang disalahgunakan dapat
menimbulkan berbagai akibat yang beraneka ragam.
A. Dampak Tidak Langsung Narkoba Yang Disalahgunakan
1. Akan banyak uang yang dibutuhkan untuk penyembuhan dan perawatan kesehatan
pecandu jika tubuhnya rusak digerogoti zat beracun.
2. Dikucilkan dalam masyarakat dan pergaulan orang baik-baik. Selain itu biasanya
tukang candu narkoba akan bersikap anti sosial.
3. Keluarga akan malu besar karena punya anggota keluarga yang memakai zat
terlarang.

10
4. Kesempatan belajar hilang dan mungkin dapat dikeluarkan dari sekolah atau
perguruan tinggi alias DO / drop out.
5. Tidak dipercaya lagi oleh orang lain karena umumnya pecandu narkoba akan gemar
berbohong dan melakukan tindak kriminal.
B. Dampak Langsung Narkoba Bagi Jasmani / Tubuh Manusia
1. Gangguan pada jantung
2. Gangguan pada hemoprosik
3. Gangguan pada traktur urinarius
4. Gangguan pada otak
5. Gangguan pada tulang
6. Gangguan pada pembuluh darah
7. Gangguan pada endokrin.
8. Gangguan pada kulit
9. Gangguan pada sistem syaraf
10. Gangguan pada paru-paru
11. Gangguan pada sistem pencernaan
12. Dapat terinfeksi penyakit menular berbahaya seperti HIV AIDS, Hepatitis, Herpes,
TBC.
C. Dampak Langsung Narkoba Bagi Kejiwaan / Mental Manusia
1. Menyebabkan depresi mental.
2. Menyebabkan gangguan jiwa berat / psikotik.
3. Menyebabkan bunuh diri
4. Menyebabkan melakukan tindak kejehatan, kekerasan dan pengrusakan

11
BAB III
PEMBAHASAN

A. Proses Keperawatan: Interaksi Obat


1. Pengkajian
 Dapatkan riwayat pemakaian obat obat bebas yang dipakai oleh klien
sekarang. Ada kemungkinan terjadi interaksi obat dengan obat yang
diresepkan.
 Kaji reaksi obat jika dua obat yang berikatan tinggi dengan protein dipakai
brsama sama setiap hari. Contoh, antokosgulan, warfarin (Coumadin), dan
antiinflamasi, sulindac (clinoril), mempunyai ikatan yang tingggi dengan
protein. Coumadin dilepaskan dari protein plasma, sehingga lebih banyak
Coumadin bebas dan kemungkinan terjadi pendarahan
 Kaji klien untuk kemungkinan terjadinya problem interaksi obat yang
berkaitan dengan:
- Meningkatnya atau menurunnya laju absorbsi dari dua obat
- Obat penginduksi enzim yang meningkatkan metabolism obat dapat
mengakibatkan berkurangnya efek obat (meningkatnya metabolism obat
menyebabkan bertambahnya ekskresi hati).
 Kaji klien untuk terjadinya toksisitas obat (dosis berlebih) jika suatu obat
penginduksi enzim dihentikan atau jika suatu obat penghambat enzim dipakai
bersama-sama dengan obat lain.
 Perhatikan jika seorang klien adalah perokok. Tembakau adalah penginduksi
enzim dan dapat meningkatkan laju metabolisme obat. Jika seorang klien
memakai suatu obat, seperti teofilin, untuk mengendalikan asma dan ia
seorang perokok, dosis obat perlu ditingkatkan. Bagi bukan perokok, dosis
teofilin perlu dikurangi dalam batas yang disarankan.
 Kaji fungsi ginjal dengan memeriksa apakah produksi urin dalam jumlah yang
memadai; yaitu lebih dari 600 mL/hari. Pedoman untuk orang dewasa adalah
25 mL (cc)/jam.

12
2. Perencanaan
 Klien menyadari akan terjadinya interaksi obat dan menghindari obat-obat yang
dapat mengakibatkan reaksi obat yang berat.

3. Intervensi Keperawatan
 Beritahu dokter jika penyesuaian dosis obat tidak diperintahkan pada keadaan
dimana ada obat penginduksi enzim yang dihentikan.
 Kenali obat-obat dalam kategori yang sama yang dapat menimbulkan efek adfitif.
Efek obat aditif dapat menjadi tidak diinginkan dan dapat menyebabkan respons
fisiologis yang berat.
 Beritahu perawat atau sokter yang bertugas jika obat-obat yang diperintahkan
mempunyai efek antagonistic atau efek yang bertentangan, seperti perangsang
beta dan penghambat beta.

PENYULUHAN KEPADA KLIEN


 Nasihatkan klien untuk tidak memakai obat bebas bersamaan dengan obat yang
dierapkan tanpa terlebih dahulu memberitahu dokter.

4. Evaluasi
 Evaluasi efektivitas obat-obat dan tentukan apakah klien bebas dari efek samping.

B. Pasien yang Rentan Terhadap Interaksi Obat


Efek dan tingkat keparahan interaksi obat dapat bervariasi antara pasien yang satu
dengan yang lain. Berbagai faktor dapat mempengaruhi kerentanan pasien terhadap
interaksi obat, antara lain yaitu:
1. Pasien lanjut usia
2. Orang yang minum lebih dari satu macam obat
3. Pasien yang mempunyai gangguan fungsi ginjal dan hati
4. Pasien dengan penyakit akut
5. Pasien dengan penyakit yang tidak stabil
6. Pasien yang memiliki karakteristik genetik tertentu

13
7. Pasien yang dirawat oleh lebih dari satu dokter (Fradgley, 2003).
Reaksi yang merugikan dan interaksi obat yang terjadi pada pasien lanjut usia adalah tiga
sampai tujuh kali lebih banyak daripada mereka yang berusia 16 pertengahan dan dewasa
muda. Pasien lanjut usia menggunakan banyak obat karena penyakit kronis dan
banyaknya penyakit mereka, oleh karena itu mereka mudah mengalami reaksi dan
interaksi yang merugikan (Kee dan Hayes, 1996). Reaksi yang merugikan dan interaksi
obat yang terjadi pada pasien lanjut usia lebih tinggi karena beberapa sebab, yaitu:
1. Pasien lanjut usia menggunakan banyak obat karena penyakit kronik dan banyaknya
penyakit mereka.
2. Banyak dari pasien lanjut usia melakukan pengobatan diri sendiri dengan obat bebas,
memakai obat yang diresepkan untuk masalah kesehatan yang lain, menggunakan
obat yang diberikan oleh beberapa dokter, menggunakan obat yang diresepkan untuk
orang lain, dan tentunya proses penuaan fisiologis yang terus berjalan.
3. Perubahan-perubahan fisiologis yang berkaitan dengan proses penuaan seperti pada
sistem gastrointestinal, jantung dan sirkulasi, hati dan ginjal dan perubahan ini
mempengaruhi respon farmakologik terhadap terapi obat.

C. Proses Keperawatan: Penyalahgunaan Obat


1. Pengkajian
 Kaji perubahan perilaku, seperti kelelahan atau mudah menyerang, yang mungkin
menunjukan adanya penyalahgunaan obat.
2. Perencanaan
Orang akan lebih waspada akan kebiasaan obat dan mencari pertolongan dari
profesional.
3. Intervensi Keperawatan
Beritahu perawat atau dokter yang bertugas jika klien menerima obat-obat, seperti
narkotik atau hipnotik, dalam jangka waktu panjang yang mungkin
mengakibatkan penyalahgunaan obat.
Amati klien akan adanya gejala-gejala withdrawal fisik jika suatu obat yang
menimbulkan ketergantungan fisik dihentikan. Gejala yang ringan dapat berupa
mual, dan gejala yang berat dapat berupa halusinasi, dan kejang-kejang.

14
PENYULUHAN KEPADA KLIEN
 Dorong klien untuk mencari pertolongan profesional dalam menghilangkan
kecanduan obat.
 Dorong keluarga supaya mendukung klien setiap waktu.
 Dorong seriap profesi kesehatan untuk mencari pertolongan jika dicurigai terdapat
masalah obat. Melindungi sesama rekan sekerja atau profesi kesehatan yang
dicurigai mengalami penyalahgunaan obat atau melakukan diversi obat dapat
mengakibatkan komplikasi yang serius bagi individu dan perawat tersebut.
4. Evaluasi
 Evaluasi efektifitas dalam mengenali individu yang membutuhkan pertolongan
profesional untuk ketergantungan mereka terhadap obat dan membuat laporan dan
rujuan yang sesuai.
D. Dampak Penyalahgunaan Obat Secara Fisik Dan Mental
a. Dampak Fisik
Adaptasi biologis tubuh kita terhadap penggunaan narkoba untuk jangka waktu
yang lama bisa dibilang cukup ekstensif, terutama dengan obat-obatan yang tergolong
dalam kelompok downers. Tubuh kita bahkan dapat berubah begitu banyak hingga sel-sel
dan organ-organ tubuh kita menjadi tergantung pada obat itu hanya untuk bisa berfungsi
normal. Salah satu contoh adaptasi biologis dapat dilihat dengan alkohol. Alkohol
mengganggu pelepasan dari beberapa transmisi syaraf di otak. Alkohol juga
meningkatkan cytocell dan mitokondria yang ada di dalam liver untuk menetralisir zat-
zat yang masuk. Sel-sel tubuh ini menjadi tergantung pada alcohol untuk menjaga
keseimbangan baru ini.Tetapi, bila penggunaan narkoba dihentikan, ini akan mengubah
semua susunan dan keseimbangan kimia tubuh. Mungkin akan ada kelebihan suatu jenis
enzym dan kurangnya transmisi syaraf tertentu. Tiba-tiba saja, tubuh mencoba untuk
mengembalikan keseimbangan didalamnya. Biasanya, hal-hal yang ditekan/tidak dapat
dilakukan tubuh saat menggunakan narkoba, akan dilakukan secara berlebihan pada masa
Gejala Putus Obat (GPO) ini. Misalnya, bayangkan efek-efek yang menyenangkan dari
suatu narkoba dengan cepat berubah menjadi GPO yang sangat tidak mengenakkan saat
seorang pengguna berhenti menggunakan narkoba seperti heroin/putaw. Contoh: Saat
menggunakan seseorang akan mengalami konstipasi, tetapi GPO yang dialaminya adalah

15
diare, dan lain-lain. Bagi para pecandu, terutama, ketakutan terhadap sakit yang akan
dirasakan saat mengalami GPO merupakan salah satu alasan mengapa mereka sulit untuk
berhenti menggunakan narkoba, terutama jenis putaw/heroin. Mereka tidak mau
meraskan pegal, linu, sakit-sakit pada sekujur tubuh dan persendian, kram otot, insomnia,
mual, muntah, dan lain-lain yang merupakan selalu muncul bila pasokan narkoba
kedalam tubuh dihentikan.Selain ketergantungan sel-sel tubuh, organ-organ vital dalam
tubuh seperti liver, jantung, paru-paru, ginjal,dan otak juga mengalami kerusakan akibat
penggunaan jangka panjang narkoba. Banyak sekali pecandu narkoba yang berakhiran
dengan katup jantung yang bocor, paru-paru yang bolong, gagal ginjal, serta liver yang
rusak. Belum lagi kerusakan fisik yang muncul akibat infeksi virus {Hepatitis C dan
HIV/AIDS} yang sangat umum terjadi di kalangan pengguna jarum suntik.Dampak
positif narkotika bagi kehidupan. Dampak positif narkoba:
1. Opioid atau opium digunakan selama berabad-abad sebagai penghilang rasa sakit dan
untuk mencegah batuk dan diare.
2. Kokain Daun tanaman Erythroxylon coca biasanya dikunyah-kunyah untuk
mendapatkan efek stimulan, seperti untuk meningkatkan daya tahan dan stamina serta
mengurangi rasa lelah.
3. Ganja (ganja/cimeng) Orang-orang terdahulu menggunakan tanaman ganja untuk
bahan pembuat kantung karena serat yang dihasilkannya sangat kuat. Biji ganja juga
digunakan sebagai bahan pembuat minyak.
b. Dampak Mental
Selain ketergantungan fisik, terjadi juga ketergantungan mental. Ketergantungan
mental ini lebih susah untuk dipulihkan daripada ketergantungan fisik.
Ketergantungan yang dialami secara fisik akan lewat setelah Gejala Putus Obat
(GPO) diatasi, tetapi setelah itu akan muncul ketergantungan mental, dalam bentuk
yang dikenal dengan istilah sugesti. Orang seringkali menganggap bahwa sakaw dan
sugesti adalah hal yang sama, ini adalah anggapan yang salah. Sakaw bersifat fisik,
dan merupakan istilah lain untuk Gejala Putus Obat, sedangkan sugesti adalah
ketergantungan mental, berupa munculnya keinginan untuk kembali menggunakan
narkoba. Sugesti ini tidak akan hilang saat tubuh sudah kembali berfungsi secara
normal.Sugesti ini bisa digambarkan sebagai suara-suara yang menggema di dalam

16
kepala seorang pecandu yang menyuruhnya untuk menggunakan narkoba. Sugesti
seringkali menyebabkan terjadinya ‘perang’ dalam diri seorang pecandu, karena di
satu sisi ada bagian dirinya yang sangat ingin menggunakan narkoba, sementara ada
bagian lain dalam dirinya yang mencegahnya. Sugesti yang seringkali menyebabkan
pecandu relapse. Sugesti ini tidak bisa hilang dan tidak bisa disembuhkan, karena
inilah yang membedakan seorang pecandu dengan orang-orang yang bukan pecandu.
Orang-orang yang bukan pecandu dapat menghentikan penggunaannya kapan saja,
tanpa ada sugesti, tetapi para pecandu akan tetap memiliki sugesti bahkan saat
hidupnya sudah bisa dibilang normal kembali. Sugesti memang tidak bisa
disembuhkan, tetapi kita dapat merubah cara kita bereaksi atau merespon terhadap
sugesti itu.Dampak mental yang lain adalah pikiran dan perilaku obsesif kompulsif,
serta tindakan impulsive. Pikiran seorang pecandu menjadi terobsesi pada narkoba
dan penggunaan narkoba. Ini semua membuktikan bahwa penyakit adiksi adalah
penyakit yang licik, dan sangat berbahaya.
E. Hubungan Interaksi Obat dengan Penyalahgunaan obat
1. Morfin dan Alkaloid Opium
Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang telah
dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam dua golongan:
Golongan fenantren (mis: Morfin dan Kodein) dan Golongan benizilisonkinolin
(mis: Noskapin dan Papaverin).
a. Farmakodinamik
Efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis. Morfin dosis
kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada pasien yang sedang menderita
nyeri, sedih dan gelisah dan pada orang normal seringkali menimbulkan
disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual dan muntah. Opioid
menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang
terutama didapatkan di SSP dan medula spinalis yang berperan pada
transmisi dan modulasi nyeri. Beberapa individu, terutama wanita dapat
mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual dan muntah yang
mendahului depresi, tetapi delirium dan konvulsi jarang timbul. Kodein
tidak menyebabkan depresi progresif bila dosisnya dibesarkan, tetapi justru

17
menyebabkan eksitasi. Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja
pada reseptor µ dan κ menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh
perangsangan pada segmen otonom inti saraf okulmotor. Miosis ini dapat
dilawan oleh atropin dan skopolamin. Pada dosis kecil morfin sudah
menimbulkan depresi napas tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan
kesadaran. Dosis toksik dapat menyebabkan frekuensi napas 3-4 kali/menit
dan kematian pada keracunan morfin hampir selalu disebabkan oleh depresi
napas.
Morfin juga berefek di beberapa organ saluran cerna. Di lambung,
morfin menghambat sekresi HCl, menyebabkan pergerakan lambung berkurang,
tonus bagian antrum meninggi dan motilitasnya berkurang sedangkan sfingter
pilorus berkontraksi, akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum
diperlambat. Di usus halus, morfin mengurangi sekresi empedu dan
pankreas, dan memperlambat pencernaan makanan di usus halus. Di usus
besar, morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar,
meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar, akibatnya penerusan
isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih keras.
Pada sistem kardiovaskular, pemberian morfin dosis terapi tidak
mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun irama denyut jantung.
Perubahan baru akan terjadi pada pemberian toksik. Tekanan darah turun
akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin. Morfin dan opioid lain
menurunkan kemampuan sistem kardiovaskular untuk bereaksi terhadap
perubahan sikap.
Pada otot olos, morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudo serta
kontraksi ureter dan kandung kemih. Morfin merendahkan tonus uterus pada
masa haid dan menyebabkan uterus lebih tahan terhadap regangan. Mungkin
atas dasar ini morfin mengurangi nyeri dismenore.
Pada kulit, dosis terapi morfin menyebabkan vasodilatasi kulit,
sehingga kulit tampak merah dan terasa panas.
Dalam proses metabolisme, morfin menyebabkan suhu badan turun
akibat aktivitas otot yang menurun, vasodilatasi perifer dan penghambatan

18
mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolisme dikurangi, hiperglikemia
timbul tidak tetap akibat pelepasan adrenalin yang menyebabkan
glikogenolisis. Morfin membuat volume urin berkurang akibat merendahnya
laju filtrasi glomerulus, alir darah ginjal, dan pelepasan ADH.

b. Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi melalui
kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa, dan juga dapat diabsorpsi
usus, tetapi efek analgetik setelah pemberian oral jauh lebih rendah dibanding
secara parenteral.
Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian morfin mengalami konyugasi
dengan asam glukoronat di hepar, sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas
dan 10% tidak diketahui nasibnya.
Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas
ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonyugasi ditemukan
dalam empedu, sebagian yang sangat kecil dikeluarkan bersama cairan
lambung.
Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO 2, yang kemudian
dikeluarkan oleh paru-paru. Sebagian kodein mengalami N-demetilasi. Urin
mengandung bentuk bebas dan bentuk konyugasi dari kodein, norkodein dan
morfin.

c. Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau
menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-
opioid. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai infark
miokard, neoplasma, kolik renal, oklusio akut vaskular perifer, pulmonal,
perikarditis akut, dan nyeri akibat trauma misalnya luka bakar dan
pascabedah.
Penggunaan analgesik opioid dewasa ini telah banyak digunakan untuk
menghambat refleks batuk yang tidak produktif dan hanya iritatif sehingga
menyebabkan pasien tidak dapat beristirahat dan mungkin sekali disertai

19
dengan nyeri. Terhadap edema paru akut, morfin IV dapat dengan jelas
mengurangi atau menghilangkan sesak napas akibat edema pulmonal yang
menyertai gagal jantung kiri.
Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan diare berdasarkan efek
langsung terhadap otot polos usus. Pada pengobatan diare yang disebabkan
oleh intoksikasi makanan atau intoksikasi akut obat, pemberian morfin harus
didahului oleh pemberian garam katartik untuk mengeluarkan penyebab.
d. Efek Samping
Morfin dapat menyebabkan mual dan muntah terutama pada wanita
berdasarkan idiosinkrasi. Berdasarkan reaksi alergik dapat timbul gejala
seperti urtikaria, eksantem, dermatitis kontak, pruritus dan bersin.
Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biasanya terjadi akibat
percobaan bunuh diri atau pada takar lajak. Pasien akan tidur, sopor atau
koma jika intoksikasi cukup berat.
e. Toleransi
Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak timbul terhadap
efek eksitasi, miosis dan efek pada usus. Toleransi silang dapat timbul antara
morfin, dihidromorfinon, metopon, kodein dan heroin. Toleransi timbul setelah
2-3 minggu.
Timbul toleransi terhadap efek analgesik, tetapi tidak terhadap efek
konstipasi. Potensi penyalahgunaan tinggi. Penghentian menyebabkan
insomnia, nyeri, peningkatan aktivitas saluran cerna, kegelisahan.
f. Interaksi Obat
Interaksi morfin dapat meningkatkan kerja depresan SSP lain. Selain
itu, meningkatkan depresi pernapasan yang diinduksi oleh loker
neuromuskular. Dan morfin bersifat aditif dengan obat yang menyebabkan
hipotensi.

20
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek satu obat akibat obat lain yang
diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan, atau bila dua atau lebih obat berinteraksi
sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas satu atau lebih akan berubah (Fradgley,
2003). Ini tidak boleh dikacaukan dengan reaksi obat yang merugikan atau inkompatibilitas obat.
Reaksi obat yang merugikan adalah efek obat yang tidak diinginkan, yang dapat berkisar dari
yang sifatnya ringan sampai kepada efek toksik yang berat, termasuk reaksi hipersensitifitas dan
anafilaksis.
Definisi penyalahgunaan obat (atau substansi) dapat berbeda di antara pelbagai kelompok
sosioekonomi, susku dan budaya. Tetapi tidak demikian halnya dengan pemakaian obat yang
salah, seperti mengobati sendiri dengan obat-obat bebas atau menggunakan obat yang diresepkan
tidak sesuai dengan perintah dalam resep.
Beberapa kategori dari obat-obat yang disalahgunakan adalah (1) penekan susunan saraf
pusat (SSP) (seperti alcohol, mariyuana, narkotik [candu]), obat-obat analgesic (seperti
pentalzosin [Talwin]), sedative dan hipnotik, antipsikotik, dan antiansietas perangsang SPP
(seperti kokain, amfetamin, kafein) dan obat-obat pengaruh pikiran (Mind-alte-ring) atau
psikedelik (seperti lysergic acid die thylamide/LSD dan meskalin).
Reaksi yang merugikan dan interaksi obat yang terjadi pada pasien lanjut usia adalah tiga
sampai tujuh kali lebih banyak daripada mereka yang berusia 16 pertengahan dan dewasa muda.
Pasien lanjut usia menggunakan banyak obat karena penyakit kronis dan banyaknya penyakit
mereka, oleh karena itu mereka mudah mengalami reaksi dan interaksi yang merugikan (Kee dan
Hayes, 1996).

B. Saran
Dengan dibuatnya makalah ini diharapkan mahasiswa dapat mencari referensi terbaru
seperti jurnal-jurnal ataupun buku-buku yang ada di perpustakaan dan juga mahasiswa lebih
mengetahui mengenai interaksi obat dan penyalahgunaan obat

21
DAFTAR PUSTAKA

http://202.70.136.138/index.php/MPK/article/view/1086 diunduh pada tanggal 18 februari 2020


pukul 16.26
http://fk.unri.ac.id/wp-content/uploads/2017/11/Tingkat-penyalahgunaan-obat-2009.pdf diunduh
pada tanggal 18 Februari 2020 pukul 16.45

22

Anda mungkin juga menyukai