Anda di halaman 1dari 33

DRAFT

CRAVING X DIRUT
“Menilik Isu Tenggelamnya Jakarta dari Sudut Pandang Teknik Sipil dan Teknik
Kelautan”
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................................... 2
1. Pendahuluan............................................................................................................................. 3
2. Mengapa Jakarta Tenggelam? ................................................................................................. 4
2.1. Penurunan Tanah Jakarta ................................................................................................. 4
2.2. Perubahan Iklim ............................................................................................................... 5
3. Solusi Eksisting Jakarta Tenggelam ........................................................................................ 6
3.1. Pembangunan Polder ........................................................................................................ 6
3.2. MONAS (Monitoring Air Tanah dan Subsiden) .............................................................. 6
3.3. Pelayanan Air Bersih dengan Perpipaan .......................................................................... 7
3.4. Tanggul Laut .................................................................................................................... 7
3.5. Pembangunan Sumur Resapan ......................................................................................... 8
3.6. Larangan Penggunaan Air Tanah ..................................................................................... 9
3.7. Pembangunan Waduk untuk Penampung Hujan .............................................................. 9
4. Inovasi Luar Negeri Terkait Permasalahan Jakarta Tenggalam ............................................ 10
4.1. Negara Belanda .............................................................................................................. 10
4.2. Negara Jepang ................................................................................................................ 13
5. Pembahasan ........................................................................................................................... 14
5.1 Rainwater Harvesting .................................................................................................... 14
5.2 Smart Water Management.............................................................................................. 16
5.3 Refleksi penerapan sistem polder di daerah Jakarta....................................................... 17
5.3.1 Deskripsi Lokasi ..................................................................................................... 17
5.3.2 Rencana Infrastruktur.............................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 32

2
1. Pendahuluan

Sebagai salah satu kota terpadat di dunia sekaligus ibu kota negara, Jakarta selalu menjadi
sorotan masyarakat. Mulai dari masalah penduduk hingga wilayahnya menjadi topik hangat
pemberitaan media nasional maupun internasional. Salah satunya ialah terkait isu tenggelamnya
Jakarta yang diprediksi akan terjadi pada satu dekade mendatang (CNN Indonesia, 2021). Isu
“Kiamat” bagi warga ibu kota ini sebenarnya telah menjadi perbincangan publik sejak beberapa
tahun lalu, namun keberadaannya kembali menghangat akibat pernyataan Presiden Amerika
Serikat, Joe Biden, bulan Agustus lalu. Dalam pidatonya itu, beliau menyoroti bahaya
perubahan iklim dan cara antisipasinya, termasuk perihal Jakarta yang berpotensi
tenggelam. Jika proyeksinya benar, maka dalam 10 tahun ke depan Indonesia mungkin harus
memindahkan ibu kotanya (Tempo.co, 2021). Hal serupa juga pernah diungkapkan NASA pada
2019 lalu, bahwa perubahan iklim dan masalah lainnya telah membuat tanah Jakarta kian
tenggelam. (CNN Indonesia, 2021).

Melihat permasalahan tersebut, banyak pihak yang berasumsi mengenai penyebab Jakarta
Tenggelam. Pertama, terkait masifnya pembangunan di wilayah hulu dan hilir Jakarta yang
mengakibatkan peningkatan intensitas aliran permukaan (Surface Run-Off). Hal ini berdampak
pada peningkatan intensitas banjir di Jakarta, dengan dampak terparah pada wilayah ujung
Jakarta. Kondisi ini diperburuk dengan banyaknya pemukiman liar yang berada di daerah
resapan air seperti di sungai atau bantaran kali yang menyebabkan terjadinya penyumbatan dan
penyempitan aliran. Akibatnya, dapat terjadi banjir pada musim hujan karena ketidakmampuan
sungai dalam menampung air yang ada. Selanjutnya, fenomena global warming turut menjadi
ancaman besar bagi kota yang memiliki wilayah pesisir seperti Jakarta. Pasalnya pemanasan
global ini mengakibatkan pencairan es di kutub yang memicu peningkatan tinggi muka air laut
sehingga menyebabkan terjadinya banjir rob. Kedua hal ini menjadi momok bagi masyarakat
ibu kota karena menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Misalnya, pada kejadian banjir
Februari lalu di Tol TB Simatupang yang menyebabkan kerugian mencapai Rp 30 juta sampai
Rp 50 juta per kendaraan tergantung tingkat keparahannya. Jumlah ini terbilang sedikit
dibandingkan 2020 lalu, dengan estimasi kerugian mencapai Rp 30 miliar akibat banjir Jakarta
(Bisnis.Tempo.co, 2021).

Selain itu, faktor penurunan permukaan tanah atau lebih dikenal dengan land-subsidence
juga mengancam tenggelamnya ibu kota negara, hal ini terjadi akibat eksploitasi air tanah
(groundwater) yang berlebihan sehingga menyebabkan posisi Jakarta terhadap laut makin
turun. Proses tenggelamnya Jakarta saat ini sedang berlangsung, dan dapat dilihat dari turunnya
daratan di sekitar wilayah Ancol. Selain Ancol, kota Semarang, Demak, dan Pekalongan pun
turut terkena dampak naiknya permukaan air laut akibat penurunan tanah. Menurut para ahli,
Jakarta diprediksi akan tenggelam pada tahun 2030 hal ini diperkuat oleh peneliti dari ITB yaitu
Heri Andreas yang mengatakan bahwa 95% wilayah Jakarta Utara akan terendam oleh air laut
pada tahun 2050.

3
Sudah saatnya kita sadar bahwa isu climate change itu nyata, tidak hanya berdampak
kepada lingkungan tapi juga merambah ke semua aspek yang ada dikehidupan kita. Oleh karena
itu, langkah preventif dan mitigasi yang tepat perlu dilakukan serta dipersiapkan untuk
menjawab permasalahan tenggelamnya Jakarta.

2. Mengapa Jakarta Tenggelam?


Sebelum membahas lebih dalam terkait solusi permasalahan, penting untuk mengetahui
penyebab dari permasalahan Jakarta tenggelam. Berikut merupakan beberapa penyebab yang
disinyalir merupakan alasan “Jakarta Tenggelam” dari pandangan Teknik Sipil dan Teknik
Kelautan.

2.1. Penurunan Tanah Jakarta

Salah satu aktor utama yang menjadi penyebab tenggelamnya Jakarta ialah
penurunan permukaan tanah. Land subsidence atau penurunan tanah merupakan suatu
proses pergerakan penurunan permukaan tanah yang didasarkan pada suatu datum referensi
geodesi (Marfai dan King, 2007). Berdasarkan riset dari Institut Teknologi Bandung (ITB),
Jakarta Utara menjadi daerah yang mengalami penurunan tanah paling parah dengan
kedalaman mencapai 25 cm tiap tahunnya dan terus tenggelam sedalam 2,5 cm di beberapa
bagian. Angka tersebut lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan penurunan permukaan
tanah di kota pesisir lain di seluruh dunia. Penurunan permukaan tanah juga terjadi di
seluruh wilayah Jakarta. Jakarta barat mengalami penurunan 15 cm per tahun, diikuti
Jakarta Timur sebesar 10 cm per tahun dan Jakarta Pusat sebesar 2 cm per tahun.
Sementara, Jakarta Selatan mengalami penurunan paling kecil yaitu 1 cm per tahun.

Gambar 1-Prediksi Penurunan Tanah di Jakarta pada 2050 (tirto.id)

4
Fenomena penurunan permukaan tanah di Jakarta disebabkan oleh beberapa hal
diantaranya ekstraksi air tanah, beban konstruksi, konsolidasi alami tanah aluvium, dan
penurunan tanah tektonik (PTRRB BPPT). Dari keempat hal tersebut, ekstraksi air tanah
menjadi penyebab penurunan tanah yang paling signifikan. Ekstraksi air tanah tersebut
dipicu oleh Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM) yang hanya mampu memenuhi 40%
kebutuhan air bersih, termasuk air minum warga Jakarta. Akibatnya, pemenuhan
kebutuhan air bersih warga ibukota sangat bergantung terhadap air tanah.

Sumur ekstraksi air menyebabkan penurunan elevasi air tanah (head) akibat adanya
konsolidasi lapisan tanah di atas lapisan aquifer. Lebih jelasnya, konsolidasi tersebut terjadi
akibat perubahan tegangan efektif antar butiran tanah. Ketika terdapat perubahan tegangan
air yang terletak pada pori-pori tanah menjadi lebih kecil atau bahkan hilang dikarenakan
ada pengambilan air tanah, terjadi perubahan volume pada pori-pori tanah yang semula
terisi air menjadi kosong. Sehingga, rongga yang kosong tersebut akan terisi oleh butiran
padat lainnya dan menyebabkan penurunan permukaan tanah.

Pada daerah pesisir, penurunan permukaan tanah mengakibatkan letak permukaan air
laut menjadi lebih tinggi dan berujung pada terjadinya banjir pasang air laut (rob).
Berdasarkan peta yang dirilis oleh Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta, Jakarta
Utara menjadi lokasi yang paling rawan terjadi banjir rob. Secara umum, terdapat 5
kecamatan di Jakarta Utara yang dikategorikan sebagai daerah sangat rawan dan rawan.
Kecamatan Penjaringan tercatat memiliki luas kawasan terbesar yang sangat rawan
terhadap banjir rob yaitu 155 Ha yang selanjutnya disusul oleh daerah Cilincing,
Pademangan, Tanjung Priok, dan Koja.

2.2. Perubahan Iklim

Selain penurunan settlement, para ahli mengungkap adanya kaitan fenomena


perubahan iklim, seperti pemanasan global dan mencairnya gletser di kutub dengan isu
tenggelamnya Jakarta. Hal ini disampaikan oleh Kepala Environmental Engineering,
Universitas Airlangga, Dr. Eko Prasetyo Kuncoro, ST., DEA. menanggapi pidato Presiden
Amerika Serikat, Joe Biden.

Adanya pemanasan global memicu terjadinya kenaikan temperatur air laut yang
berimbas pada peningkatan muka air dan volume air laut. Imbasnya daerah Jakarta yang
merupakan pesisir diprediksi tenggelam. Selain itu, mencairnya gletser di kutub juga
menjadi salah satu penyebab kenaikan temperatur laut yang berakibat pada peninggian
muka air laut.

Panel antar pemerintah untuk perubahan iklim (IPCC) memprediksi kenaikan muka
air laut hingga tahun 2100 adalah 0,8 - 1 m atau kenaikan muka air laut minimal 1
cm/tahun. Prediksi tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Prof. Hasanudin Z. A., dkk dr

5
ITB menggunakan data pasang surut pengukuran tahun 1984-2004 (20 tahun) yang
menunjukkan telah terjadi tren kenaikan muka air laut sebesar 1 cm/tahun. Hal ini
berdampak pada genangan air laut semakin meluas di dataran pesisir rendah seperti Jakarta
dan Jawa pada umumnya.

Perubahan iklim juga berimplikasi terhadap intensitas gelombang ekstrim. Dalam


dekade terakhir, tercatat hampir setiap tahun Jakarta mengalami banjir rob akibat
gelombang ekstrim dan pasang purnama. Gelombang juga berdampak terhadap pengikisan
pantai, menyebabkan robohnya tanggul dan semakin meluasnya daerah abrasi.

3. Solusi Eksisting Jakarta Tenggelam


Melihat dari sebab-sebab yang telah dipaparkan di atas, berikut merupakan solusi yang
dapat dijadikan alternatif penyelesaian terkait permasalahan Jakarta tenggelam.

3.1. Pembangunan Polder

Polder merupakan suatu sistem untuk menangani banjir rob yang terdiri dari
kombinasi tanggul, kolam retensi, dan pompa. Air yang datang dari laut akan ditampung
pada kolam retensi untuk kemudian disalurkan kembali ke laut oleh pompa. Menurut ahli
hidrologi UGM, sistem polder memiliki urgensi yang tinggi untuk diterapkan di Jakarta
terutama pada daerah yang memiliki lahan di bawah permukaan laut.

Saat ini, penggunaan polder sudah diterapkan pada kawasan elit di tepi laut Jakarta
Utara. Sebagai contoh, kawasan Pantai Indah Kapuk yang terletak dua meter di bawah
permukaan air laut telah menerapkan sistem polder dan berhasil mencegah terjadinya
banjir. Di sisi lain, Pemprov DKI Jakarta terus meningkatkan jumlah polder atau kantung-
kantung air di sejumlah titik untuk meminimalkan dampak banjir. Pembangunan polder
tersebut akan direalisasikan pada 2021 hingga 2022. Berdasarkan pemaparan Dinas
Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta, setidaknya ada 8 polder yang akan dibangun pada
beberapa lokasi di antaranya Kelapa Gading, Pulo Gadung, Cakung-Cilincing, Makassar,
Cipayung, Penjaringan, Pademangan, dan Kembangan Kedoya. Selain polder, Dinas
Sumber Daya Air juga telah menyiapkan 487 pompa stasioner di 178 lokasi dan 175 pompa
mobile di 5 wilayah untuk menyedot dan mengalirkan air jika terjadi banjir.

3.2. MONAS (Monitoring Air Tanah dan Subsiden)

Instrumentasi monitoring terintegrasi sudah terdapat di lingkungan kantor BKAT


berupa pilot project. Fasilitas ini dibangun dan didukung oleh beberapa instansi (ESDM,
DPE DKI, PUPR). Instrumentasi diperlukan sebagai langkah dalam melakukan analisis
yang tepat dan dasar dalam pengambilan keputusan upaya pengendalian land subsidence.
Saat ini terdapat beberapa alat monitoring seperti GPS Geodetic, Deep Well Monitoring
(Piezometer), dan lain-lain. Kegiatan monitoring ini dimaksudkan untuk memperoleh data

6
ketinggian muka tanah di Jakarta yang selanjutnya akan diolah menjadi informasi geologi
yang spesifik dan tematik. Tujuan dilaksanakan kegiatan ini adalah agar informasi
penurunan muka tanah dapat menjadi dasar pengelolaan air tanah dan tata guna lahan di
wilayah Jakarta.

3.3. Pelayanan Air Bersih dengan Perpipaan

Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta berupaya meningkatkan pelayanan air bersih
perpipaan sebagai salah satu langkah untuk mencegah penurunan tanah yang berpotensi
mengancam wilayah Jakarta. Namun, pelayanan air pipa di Jakarta faktanya masih jauh
dari harapan. Hal ini dikarenakan jaringan pipa belum mampu menjangkau seluruh
kebutuhan air bersih untuk warga Ibu Kota. Cakupan layanan PAM Jaya masih di kisaran
65%. Sementara, secara nasional, air pipa baru menjangkau 21,08% warga Indonesia, jauh
di bawah Jakarta. Bagi Jakarta sendiri angka cakupan sebesar 65% itu termasuk rendah dan
mempunyai akibat yang fatal. Kondisi tersebut membuat warga harus memenuhi
kebutuhan airnya dengan menggunakan air tanah dalam jumlah besar sehingga terjadi land
subsidence (penurunan permukaan tanah) yang kini menyebabkan Jakarta terancam
tenggelam. Untuk mengatasi hal tersebut, Kementerian PUPR berupaya membangun 4
Sistem Penyedia Air Minum (SPAM) yang diharapakan segera terlaksana sehingga
pembangunan jaringan pipa dapat segera dilakukan dan air bersih dapat didistribusikan
kepada warga. Ketercukupan air ini akan mengurangi penggunaan air tanah yang berakibat
pada penurunan muka air tanah.

3.4. Tanggul Laut

Tanggul Laut Raksasa dikerjakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan


Perumahan Rakyat (PUPR) berupa pembangunan tanggul pantai dan sungai sebagai fase
awal atau kurun waktu 2014-2018. Tahun 2014, pembangunan tanggul tahap I dilakukan
di Pluit, Jakarta Utara sepanjang 75 meter dan tahun 2016-2018, pembangunan tahap II
sepanjang 4,5 kilometer. Tanggul laut merupakan bangunan yang berguna untuk
melindungi wilayah pantai, habitat, konservasi, maupun aktivitas – aktivitas manusia dari
pengaruh gelombang air laut. Pembangunan struktur tanggul laut sangat dipengaruhi oleh
fungsi bangunan, tujuan pembuatan dan rencana pembangunannya. Tanggul laut untuk
penanggulangan abrasi akan berbeda strukturnya dengan tanggul laut antisipasi gelombang
laut tsunami sehingga dibutuhkan dimensi yang tinggi untuk menahan volume air yang
besar, impermeable, dan kuat untuk menahan tekanan akibat volume air yang besar. Namun
demikian, belum ada pembaruan dari kelanjutan pembangunan proyek yang juga disebut
National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau Pembangunan Terpadu
Pesisir Ibukota Negara (PTPIN).

7
Gambar 2-Gambar Tembok Laut Raksasa di Jakarta pada tahun 2017

3.5. Pembangunan Sumur Resapan

Salah satu upaya yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta ialah membangun sumur
resapan. Sumur resapan merupakan lubang yang dibuat pada permukaan tanah dengan
tujuan untuk menampung air hujan untuk selanjutnya diresapkan ke dalam tanah secara
perlahan. Selain untuk mencegah banjir, sumur resapan juga bermanfaat untuk menjaga
ketinggian permukaan air tanah yang dapat mencegah terjadinya penurunan muka tanah.

Pemprov DKI Jakarta berencana membangun 1,8 juta sumur resapan dalam kurun
waktu 3 tahun, dimulai pada 2020 hingga 2022. Program tersebut dijalankan dengan
menerapkan konsep zero run-off dengan menampung hujan sebanyak mungkin, sehingga
air yang mengalir menuju selokan atau sungai bisa diminimalkan. Namun, realisasi
pembangunan sumur resapan tersebut baru mencapai 2.974 sumur pada 2020 di 777 lokasi
yang berbeda. Berdasarkan penjelasan Pemprov DKI Jakarta, pembangunan sumur resapan
yang lambat disebabkan keterbatasan vendor yang mengerjakan yakni hanya dua. Untuk
ke depannya, Pemprov DKI Jakarta menargetkan pembangunan 300 ribu sumur resapan
sepanjang 2021 dengan alokasi APBD Rp 400 miliar.

Meski demikian, efektivitas pembangunan sumur resapan diragukan beberapa pihak,


termasuk pengamat perkotaan. Dikutip dari Media Indonesia, sumur resapan sulit
diterapkan di Jakarta karena sebagian besar tanah di wilayah Jakarta merupakan tanah
aluvial sehingga air sulit untuk diresapkan. Terlebih lagi, kondisi lingkungan bangunan dan
permukiman sudah sangat padat yakni lebih dari 90% telah terbangun, sehingga
8
ketersediaan lahan yang memadai untuk sumur resapan yang terintegrasi dengan sistem
drainase akan sulit diwujudkan.

Gambar 3-Pembangunan Sumur Resapan di Jakarta (republika.co.id)

3.6. Larangan Penggunaan Air Tanah

Ekstrasi air tanah yang berlebihan menjadi penyebab utama penurunan muka tanah
di Jakarta. Berdasarkan hal tersebut, Pemprov DKI Jakarta berencana menerbitkan regulasi
tentang larangan penggunaan air tanah. Menurut Kepala Dinas SDA DKI Jakarta,
sebenarnya sudah terdapat peraturan mengenai penggunaan air tanah yaitu Perda No. 10
tahun 1998 tentang “Pengendalian Air Tanah dengan Mekanisme Pajak Air Tanah”.
Namun, aturan tersebut hanya membatasi penggunaan air tanah terutama untuk keperluan
komersial dengan mekanisme pajak dan belum melarang penggunaan air tanah. Saat ini,
Pemprov DKI Jakarta sedang merancang regulasi zona bebas air tanah yang mana wilayah
yang sudah memiliki jaringan perpipaan yang cukup wajib melarang penggunaan air tanah.
Namun, sangat disayangkan aturan tersebut masih belum bisa diterapkan karena
Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya baru menargetkan 100% cakupan air perpipaan
tercapai pada 2030 mendatang.

3.7. Pembangunan Waduk untuk Penampung Hujan

Ancaman Jakarta Tenggelam tidak hanya dilihat dari segi jatuhnya air hujan di
Jakarta, namun juga air yang berasal dari daerah hulu. Hal tersebut, menggerakkan aksi
pemerintah Jakarta untuk membatasi jumlah air yang masuk dari hulu melalui
pembangunan waduk di beberapa titik kota Jakarta.

Waduk merupakan salah satu area permukaan tanah yang berfungsi untuk
menampung air hujan yang dapat dibangun secara alami maupun buatan manusia. Selain
itu, waduk juga difungsikan sebagai penunjang kebutuhan air untuk masyarakat sekitar.

9
Berdasarkan informasi Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, tercatat bahwa
sebaran waduk di daerah Jakarta sebanyak 117 waduk, namun hanya 23 waduk yang
berfungsi sebagai penampung air banjir. Jumlah waduk yang terbilang banyak,
dimaksudkan agar tiap lokasi memiliki wadah penampungan air dengan maksimal,
sehingga mengurangi kemungkinan adanya peristiwa waduk yang jebol.
Nyatanya, dibalik pembangunan waduk yang besar-besaran dan berkala. Terdapat suatu
hambatan atau kendala yang seringkali dihadapi pada saat pembangunan waduk
berlangsung, seperti luas lahan kosong di daerah Jakarta yang terbilang minim. Hal ini juga
dikarenakan semakin meledaknya jumlah populasi penduduk di Jakarta. Pertimbangan
pemilihan lokasi pembuatan waduk juga tergantung kondisi tanah, jumlah curah hujan, dan
aliran airnya.

Pada tahun 2020, DKI Jakarta menganggarkan dana sebesar Rp. 583,17 Miliar untuk
pembangunan waduk di Jakarta. Selain proses pembangunan waduk, pemerintah
Kabupaten Jakarta juga menyiapkan dana untuk memperluas dan mengoptimalkan fungsi
waduk yang ada di Jakarta.

Secara proses pemanfaatan dan aplikasinya, tentunya waduk sangat berpengaruh


untuk menahan air di hulu agar tidak menuju secara langsung ke hilir, sehingga dapat
mengurangi banjir di Jakarta serta kemungkinan Jakarta Tenggelam.

4. Inovasi Luar Negeri Terkait Permasalahan Jakarta Tenggalam

4.1. Negara Belanda

Belanda merupakan negara yang memiliki sistem pengelolaan air terbaik di dunia.
Asal mula Belanda mempunyai sistem pengelolaan air yang sangat canggih ini berangkat
dari kenyataan bahwa Belanda memiliki tinggi tanah yang berada di bawah permukaan air
laut. Hal tersebut mengingatkan kita pada untaian kata yang dilontarkan Rene Descartes,
“God created the world, but the Dutch created Holland”. Filsuf Perancis tersebut mencoba
menggambarkan bagaimana orang Belanda mengeringkan daratan yang digenangi air agar
dapat menjadi permukiman yang layak didiami. Dalam hal ini tidak sedikit inovasi yang
telah dilakukan Belanda dalam melawan banjir ini. Seperti yang kita ingat bahwa pada
tahun 1953 terjadi bencana banjir di Belanda yang memakan banyak korban. Akibat
peristiwa ini, Pemerintahan Belanda melakukan langkah preventif dengan membuat

10
Proyek Delta (Delta Works/Deltawerken), yaitu pembangunan infrastruktur polder
strategis untuk menguatkan pertahanan terhadap bencana banjir.

Gambar 4-Proyek Delta (Delta Works/Deltawerken)

Proyek Delta ini di konstruksi hingga 44 tahun dari 1953 sampai 1997 dengan biaya
8 miliar dollar yang diklaim mampu menahan badai besar yang hanya muncul sekali selama
10.000 tahun dengan tinggi 13 m diatas permukaan laut. Dengan proyek ini American
Society of Civil Engineers pun menetapkannya sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia
modern. Dalam proyek ini terdapat suatu system yang dinamakan polder.

Polder adalah sekumpulan dataran rendah yang membentuk kesatuan hidrologis


artifisial yang dikelilingi oleh tanggul (dijk/dike). Pada daerah polder, air buangan (air
kotor dan air hujan) dikumpulkan di suatu badan air (sungai, situ) lalu dipompakan ke
sungai atau kanal yang langsung bermuara ke laut. Tanggul yang mengelilingi polder bisa
berupa pemadatan tanah dengan lapisan kedap air, dinding batu, bisa juga berupa
konstruksi beton dan perkerasan yang canggih. Polder juga bisa diartikan sebagai tanah
yang direklamasi, artinya tanah semula basah yang dikeringkan. Sistem polder adalah suatu
cara penanganan banjir dengan bangunan fisik, yang meliputi sistem drainase, kolam
retensi, tanggul yang mengelilingi kawasan, serta pompa dan / pintu air, sebagai satu
kesatuan pengelolaan tata air tak terpisahkan. Sistem polder dipakai untuk mengeluarkan
air dari dataran rendah dan juga menangkal banjir di wilayah delta dan daerah aliran sungai
(Pusair,2007).

11
Gambar 5-Desain Sistem Polder

Fungsi utama polder adalah sebagai pengendali muka air di dalam sistem polder
tersebut. Untuk kepentingan permukiman, muka air di dalam Sistem dikendalikan supaya
tidak terjadi banjir atau genangan. Air di dalam sistem dikendalikan sedemikian rupa
sehingga jika terdapat kelebihan air yang dapat menyebabkan banjir, maka kelebihan air
itu dipompa keluar sistem polder. Adapun jenis polder menurut asal, tujuan, maupun
bentuknya adalah sebagai berikut.

a. Reklamasi suatu daerah rawa, air payau, dan tanah-tanah basah.


b. Polder yang dilindungi tanggul memanjang searah sungai.
c. Polder akibat pembendungan atau penanganan pada muara sungai.
d. Polder akibat pengendapan sedimen pada muara.
e. Polder yang terbentuk dari proses land subsidence perlahan-lahan dari muka tanah
menjadi tanah rendah di bawah muka air laut rata-rata.

Gambar 6-Cara Kerja Sistem Polder

Berikut merupakan kelebihan sistem polder:

a. Mampu mengendalikan banjir dan genangan akibat aliran dari hulu, hujan setempat
naiknya muka air laut (rob).
b. Dapat mengendalikan air.

12
c. Dapat digunakan sebagai objek wisata atau rekreasi, lahan pertanian, perikanan, dan
lingkungan industri serta perkantoran.

Berikut merupakan kekurangan sistem polder:

a. Sistem kerja Polder sangat bergantung pada pompa.


b. Problema penanganan banjir di lapangan untuk kota-kota seperti di Indonesia cukup
rumit karena ruang terbuka untuk resapan air semakin langka.
c. Setiap tetes air buangan yang jatuh pada kawasan polder harus didrainase dengan
bantuan pompa.
d. Biaya operasional dan perawatan relatif mahal.

4.2. Negara Jepang

Seperti halnya Jakarta, Tokyo pun menghadapi masalah yang sama, di mana
permukaan tanah di kota itu sempat mengalami penurunan maksimal hingga 4,6 meter,
salah satunya di Wilayah Minamisuna Koto-ku. Ada berbagai kemungkinan penyebab
penurunan tanah yang dibahas di Jepang sebelum masa Perang Dunia II, antara lain
pergerakan kerak bumi, konsolidasi oleh bangunan-bangunan berat, penyusutan lapisan
tanah karena berat tanah itu sendiri, pengurangan tekanan udara di tanah, pengurangan
infiltrasi hujan. Namun, pada 1940, peneliti Jepang berhasil menemukan penyebab
penurunan tanah melalui pengamatan lapangan dan analisis tentang air tanah dan
penurunan tanah di Wilayah Osaka Barat. Jepang berdasarkan pertimbangan ilmiah
menemukan korelasi yang jelas antara permukaan air tanah dan kecepatan penurunan.

Pada tahun 1910-an sekitar 27.000 meter kubik air tanah per hari dipompa oleh
bangunan-bangunan di daerah itu untuk pendingin ruangan. Hingga pada 1945,
pemompaan air tanah akhirnya terbukti menjadi penyebab utama penurunan tanah di
wilayah Tokyo. Peningkatan pesat jumlah pabrik dan populasi itu secara alami berdampak
pada penggunaan sejumlah besar air untuk keperluan industri dan rumah tangga.

Sementara itu, konsultan JICA Indonesia untuk urusan sumber daya air dan
manajemen bencana, Naoto Mizuno, mengatakan penurunan tanah di Tokyo disebabkan
beberapa hal, salah satunya padatnya bangunan-bangunan di kota tersebut. Namun, dia
menekankan bahwa penyebab utama dari penurunan tanah di Tokyo adalah ekstraksi air
tanah yang berlebihan untuk keperluan industri dan komersial.

Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah Jepang melakukan berbagai upaya secara
bertahap yaitu:

a. Membentuk Dewan Penanggulangan Penurunan Tanah pada 1953.

13
b. Pemberlakuan Undang-Undang Penggunaan Air Tanah untuk Industri pada 1956 untuk
secara bertahap membatasi penggunaan air tanah di Tokyo.

c. Pemerintah melakukan sosialisasi kepada perusahaan-perusahaan industri agar beralih


dari pemakaian air tanah.

d. Pemerintah Jepang pada 1964 mulai menyediakan sumber air alternatif untuk industri,
salah satunya air sungai dengan kualitas tinggi, jumlah yang cukup, dan harga yang
terjangkau.

e. Penggunaan sumber air lain dengan teknologi penghematan air dan daur ulang air,
bahkan metode pemanenan air hujan.

Gambar 7-Tabung alat pemanen air hujan untuk kebutuhan air di perumahan di Tokyo,
Jepang

5. Pembahasan

5.1 Rainwater Harvesting

Untuk mengatasi permasalahan itu penurunan tanah di Jepang, pemerintah setempat


melakukan beberapa upaya salah satunya ialah mengkomersialisasikan metode rainwater

14
harvesting. Pemanenan air hujan atau rainwater harvesting merupakan teknologi yang
digunakan untuk mengumpulkan air hujan yang berasal dari atap bangunan, permukaan
jalan, atau perbukitan batu sehingga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif
sumber air bersih (Abdulla et al., 2009). Berdasarkan UNEP (2001), rainwater harvesting
memiliki beberapa keunggulan di antaranya (1) meminimalkan dampak lingkungan, (2)
sebagai cadangan air sehingga dapat mengurangi kebergantungan terhadap sistem
penyediaan air bersih, dan (3) rainwater harvesting merupakan teknologi yang sederhana
sehingga dapat dibangun sesuai kebutuhan.

Saat ini, Jepang telah menerapkan program subsidi untuk pemasangan fasilitas
pemanenan air hujan. Menurut survei yang dilakukan oleh Association for Rainwater
Storage and Infiltration Technology pada 2011, 208 kotamadya di Jepang sudah
menyubsidi pemasangan tangki penyimpanan serta sistem penyaringan air hujan. Bagi
masyarakat yang ingin memasang tangki hujan dengan kapasitas kurang dari 1000 liter,
pemerintah akan memberikan subsidi setengah dari biaya tangki (hingga 40.000 yen)
termasuk biaya pemasangan. Selain program subsidi, pada April 2014 pemerintah Jepang
telah mengesahkan undang-undang untuk memajukan pemanfaatan air hujan. Berdasarkan
undang-undang tersebut, setiap kota diharuskan melakukan upaya-upaya untuk mencapai
target pemanfaatan air hujan dengan bantuan pemerintah pusat yang akan memberikan
dukungan finansial berupa subsidi.

Jakarta tentunya bisa belajar dari Jepang untuk mengatasi permasalahan ekstraksi air
tanah yang berlebihan dengan mengadopsi sistem rainwater harvesting. Berdasarkan BPS
Provinsi DKI Jakarta (2021), curah hujan yang tercatat pada tahun 2020 sebesar 2831,5
mm yang mana jumlah tersebut terbilang sangat tinggi dan meningkat 80% dari tahun
sebelumnya yakni sebesar 1526,7 mm. Hal tersebut dapat menjadi potensi yang besar bagi
Jakarta untuk memanfaatkan air hujan sebagai sumber air alternatif.

Dengan adanya potensi tersebut, Pemerintah DKI Jakarta perlu menyusun roadmap
terkait penerapan sistem rainwater harvesting. Sebagai contoh, rainwater harvesting dapat
diterapkan terlebih dahulu pada rumah tinggal terutama pada daerah yang belum terjangkau
sistem perpipaan air bersih. Dengan begitu, kuantitas pengambilan air dari tanah dapat
ditekan. Selain itu, pada gedung bertingkat seperti perkantoran, pusat perbelanjaan, atau
hotel yang memiliki jumlah pemakaian air yang cukup besar diwajibkan memiliki sistem
rainwater harvesting guna memenuhi sekian persen kebutuhan air pada gedung tersebut,
sehingga dapat dilakukan penghematan penggunaan air PDAM. Jika ditinjau dari aspek
pendanaan, pemerintah dapat menyiapkan program subsidi untuk pengadaan alat
pemanenan air hujan mengingat mayoritas masyarakat yang mengalami kesulitan akses air
bersih merupakan masyarakat dengan tingkat penghasilan menengah ke bawah. Alternatif
lain yang dapat dilakukan ialah penerapan program subsidi silang dengan mematok tarif

15
lebih tinggi bagi masyarakat dengan penghasilan tinggi maupun perusahaan dengan skala
besar.

Upaya penerapan sistem rainwater harvesting di Jakarta juga patut didukung


landasan hukum dengan adanya pemberlakukan peraturan daerah tentang hal tersebut. Tak
sampai di situ, komersialiasi sistem rainwater harvesting dalam skala yang besar
membutuhkan suatu asosiasi atau badan independen yang bertujuan merencanakan,
melaksanakan, serta me-monitoring penerapan rainwater harvesting di Jakarta. Lembaga
tersebut juga dapat mengkoordinasikan pihak-pihak terkait seperti Pemerintah Daerah,
PDAM, Kementerian PUPR, maupun instansi lainnya sehingga kebijakan dapat berjalan
searah. Dengan demikian, diharapkan penerapan sistem rainwater harvesting untuk
mengatasi masalah penurunan muka tanah di Jakarta dapat diwujudkan.

5.2 Smart Water Management

Smart water management merupakan optimasi penggunaan teknologi informasi, dan


komunikasi untuk pengelolaan sumber daya air. Sistem ini menyediakan data real-time
otomatis mengenai kondisi sumber daya air dan lingkungan, serta perkiraan kondisi cuaca
dan iklim. Smart water management memiliki efektifitas yang jauh lebih tinggi dari
pengelolaan air secara konvensional. Tujuan utama pengelolaan air konvensional ialah
mengumpulkan dan menyediakan informasi secara bertahap mulai dari sumber air,
pengolahan (pemurnian dan distribusi air), dan pembuangan (pengolahan dan daur ulang
limbah). Sementara, smart water management mampu mengintegrasikan tahapan tersebut
sehingga penyampaian informasi dapat dilakukan secara multi-directional. Tak hanya
sampai di situ, smart water management dapat menganalisis informasi yang diperoleh
sehingga efisiensi dalam operasional dan pengambilan keputusan dapat tercapai.

Gambar 8-Diagram Alir Smart Water Management

Korea menjadi salah satu negara yang berhasil menerapkan smart water
management, tepatnya pada Kota Seosan. Kota tersebut menerapkan smart metering system
yang mana masyarakat dapat memonitor penggunaan air berdasarkan pola pemakaian

16
melalui perangkat pintar. Untuk skala yang lebih besar, Kota Seosan memiliki Sub-District
Metered Areas (SDMA) yang merupakan konsep pembagian wilayah untuk dilakukan
pengelolaan air yang lebih efisien. Sistem tersebut juga mampu memantau dan
menganalisis kebocoran, tekanan air, dan kualitas air.

Pengaplikasian smart water management di Kota Seosan membuahkan hasil yang


positif. Setelah menerapkan SDMA, melalui pengukuran cerdas rasio pendapatan air
mencapai 90% pada 2019. Angka tersebut mengalami peningkatan sebesar 18,5% dari
tahun 2015. Selain itu, SDMA juga berkontribusi mengurangi kebocoran hingga 19.000 m3
per tahunnya. Dari aspek ekonomi, smart water management memakan biaya investasi
awal yang cukup besar namun dapat menghasilkan banyak penghematan dalam jangka
panjang seperti peningkatan pendapatan air, pengurangan biaya tenaga kerja, dan
penurunan biaya deteksi kebocoran. Di Kota Seosan, smart water management
menghasilkan pendapatan USD 0,98 juta dengan laba bersih USD 0,51 juta dalam kurun
waktu 8 tahun. Berdasarkan analisis benefit and cost ratio, diperoleh hasil 2,1 yang
menunjukkan smart water management memiliki kelayakan secara ekonomi.

Melalui Kementerian PUPR, Indonesia direncanakan akan menerapkan smart water


management untuk kota-kota metropolitan. Penerapan smart water management meliputi
lima hal utama yaitu 1) pengelolaan air perkotaan terpadu, 2) penyediaan air baku
menggunakan bendungan sumber air permukaan, 3) penggunaan struktur yang memenuhi
low impact development (LID), 4) integrasi pengelolaan banjir, dan 5) pengaplikasian
smart nexus system untuk pemantauan dan distribusi air.

Jakarta sebagai kota metropolitan tentunya perlu melakukan transformasi


pengelolaan air. Smart water management merupakan sistem yang mengintregasikan
pengelolaan air dari hulu ke hilir, sehingga Jakarta harus melakukan koordinasi dengan
daerah di sekitarnya seperti Purwakarta dikarenakan 81% pasokan air Jakarta masih
bergantung pada Waduk Jatiluhur yang terletak pada daerah tersebut. Selain itu, perlu
dilakukan modernisasi dan pengembangan teknologi sebagai syarat utama penerapan smart
water management yang berbasis IoT. Salah satu cara yang dilakukan ialah dengan alih
teknologi melalui kerjasama dengan lembaga atau negara yang berhasil menerapkan smart
water management. Modernisasi tersebut juga harus diiringi peningkatan kompetensi
sumber daya manusia, sehingga mampu mengoperasikan sistem smart water management
secara efisien.

5.3 Refleksi penerapan sistem polder di daerah Jakarta

5.3.1 Deskripsi Lokasi

Provinsi DKI Jakarta mempunyai luas daratan 661,52 km2 dan lautan seluas
6.977,5 km2 serta tercatat ±110 pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu. Provinsi

17
DKI Jakarta terletak di sebelah Selatan Laut Jawa; sebelah Timur berbatasan
dengan Kabupaten/Kota Bekasi; sebelah Selatan dengan Kabupaten/Kota Bogor
dan Depok serta sebelah Barat dengan Kabupaten/Kota Tangerang. Lokasi Provinsi
DKI Jakarta yang strategis di Kepulauan Indonesia menjadikan Jakarta pintu
gerbang utama dalam perdagangan antar pulau dan hubungan Internasional dengan
pelabuhan utamanya Tanjung Priok dan Bandara Soekarno Hatta.

Sejak tahun 1997 penurunan tanah (land subsidence) sudah terjadi di Jakarta.

Gambar 9-Gambar peta penurunan tanah di Jakarta

Dan kemungkinan akan terus berlangsung hingga Jakarta diprediksi akan


tenggelam pada tahun 2050. Penurunan tanah di Jakarta tercatat sekitar 5-12
cm/tahun, terutama di wilayah Jakarta Utara. Jika terus berlangsung penurunan
tanah dalam sepuluh tahun ke depan bisa mencapai 1 hingga 1,5 meter. Penurunan
muka tanah ini terjadi secara merata di berbagai tempat di Jakarta diantaranya di
Jakarta Utara, penurunan paling masif terjadi di Pantai Indah Kapuk sebesar 7,44
cm/tahun. Lalu di Jakarta Barat, terjadi di daerah Hotel Ciputra sebesar 6,6
cm/tahun. Di Jakarta Timur juga terjadi penurunan tanah sebesar 10,65 cm/tahun.
Jakarta Selatan pun tak luput dari penurunan tanah. Di Lebak Bulus terjadi
penurunan sebesar 7,4 cm. Bahkan di Gambir yang mana daerah tersebut relatif
dekat dengan istana negara pun terjadi penurunan tanah sebesar 4,5 cm/tahun

18
Gambar 10-Persebaran penurunan muka tanah di Jakarta

Kondisi penurunan tanah di wilayah Jakarta ini sangat mengkhawatirkan.


Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya pembangunan
infrastruktur, aktivitas masyarakat, dan penggunaan air tanah secara masif.

5.3.2 Rencana Infrastruktur

Permasalahan sistem drainase kota Jakarta yang utama adalah karena


kenaikan muka air laut sebagai dampak dari pemanasan global dan gejala
penurunan elevasi tanah. Disamping itu juga karena menurunnya kapasitas drainase
yang disebabkan oleh sedimentasi akibat sampah dan bangunan liar. Meningkatnya
beban drainase akibat alih fungsi lahan yang tidak diikuti dengan pengembalian
fungsi resapan dan tampungan. Operasi dan pemeliharaan yang kurang optimal dan
penegakan hukum (law inforcement) masih lemah.

19
Kota Jakarta dari waktu ke waktu mengalami penurunan elevasi tanah lebih
rendah dari elevasi air laut, sehingga mengalami banjir air pasang (banjir rob).
Untuk menanggulangi bencana tersebut, sungai yang membawa air dari wilayah
atas disalurkan langsung ke laut. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar kota
Jakarta segera mengadopsi sistem polder untuk meminimalisir efek dari naiknya
permukaan air laut maupun banjir akibat tingginya intensitas hujan.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia


12/PRT/M/2014 tentang penyelenggaraan sistem drainase kota, sistem polder
adalah sistem penanganan drainase perkotaan dengan cara mengisolasi daerah yang
dilayani dari pengaruh limpasan air hujan atau air laut serta limpasan dari prasarana
lain (jalan, jalan kereta api), yang terdiri dari kolam penampung, sistem drainase
serta perpompaan.

Alasan mengapa sistem polder ini perlu dikembangkan di Indonesia seperti


kota Jakarta dan Semarang adalah karena terjadinya ketidakseimbangan
pembangunan akibat besarnya laju pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Maka
dari itu sistem ini dapat menjadi pengendali banjir dan rob di kota-kota pantai yang
ada di Indonesia. Sistem polder dikembangkan atas dasar paradigma baru,
diantaranya berwawasan lingkungan (environment oriented), pendekatan
kewilayahan (regional based), dan pemberdayaan masyarakat pengguna.

Pada umumnya sistem polder merupakan suatu daerah-daerah yang


dikelilingi oleh tanggul dan tanah tinggi dibangun agar tidak terkena banjir. Untuk
mengembangkan sistem ini perlu dilakukan pembangunan beberapa infrastruktur
penunjang seperti:

a. Tanggul Keliling

Tanggul merupakan suatu batas yang mengelilingi suatu badan air atau
daerah/wilayah tertentu dengan elevasi yang lebih tinggi daripada elevasi di
sekitar kawasan tersebut, yang bertujuan untuk melindungi kawasan tersebut
dari limpasan air yang berasal dari luar kawasan. Dalam bidang perairan, laut
dan badan air merupakan daerah yang memerlukan tanggul sebagai pelindung di
sekitarnya. Berikut merupakan jenis-jenis tanggul:

1. Tanggul alamiah yaitu tanggul yang sudah terbentuk secara alamiah dari
bentukan tanah dengan sendirinya. Contohnya bantaran sungai di pinggiran
sungai secara memanjang.

20
2. Tanggul timbunan adalah tanggul yang sengaja dibuat dengan menimbun
tanah atau material lainnya, di pinggiran wilayah. Contohnya tanggul
timbunan batuan di sepanjang pinggiran laut.

3. Tanggul beton merupakan tanggul yang sengaja dibangun dari campuran


perkerasan beton agar berdiri dengan kokoh dan kuat. Contohnya tanggul
bendung, dinding penahan tanah (DPT).

4. Tanggul infrastruktur merupakan sebuah struktur yang didesain dan dibangun


secara kuat dalam periode waktu yang lama dengan perbaikan dan
pemeliharaan secara terus menerus, sehingga seringkali dapat difungsikan
yang lain seperti tanggul dengan taman yang indah dan jalan raya.

Pembangunan struktur tanggul laut sangat dipengaruhi oleh fungsi


bangunan, tujuan pembuatan dan rencana pembangunannya. Pembuatan tanggul
laut harus memperhatikan kondisi tanah setempat. Banyak tanggul laut harus
dibuat pada lokasi yang kondisi tanahnya sangat lunak, sehingga resiko
kegagalan lereng (slope failure) sering terjadi. Oleh karena itu, tanggul laut di
Jakarta sangat mungkin untuk dibangun dengan kondisi tanah, fungsi dan tujuan
dibangunnya bangunan tersebut.

Gambar 11-Ilustrasi Tanggul Keliling

b. Jaringan Drainase

Drainase perkotaan adalah drainase di wilayah kota yang berfungsi


mengendalikan kelebihan air permukaan, sehingga tidak mengganggu
masyarakat dan dapat memberikan manfaat bagi kegiatan kehidupan manusia.
Sedangkan sistem drainase perkotaan adalah jaringan drainase perkotaan dalam
satu kesatuan wilayah administrasi kota dan sekitarnya (urban) yang saling

21
berhubungan. Dalam sistem drainase perkotaan perlu tempat yang berfungsi
sebagai tempat pengolahan air yang terakhir, yang dapat melakukan proses self
purification (memperbaiki diri sendiri),dapat berupa sungai, danau, rawa dan
laut yang menerima aliran dari sistem drainase perkotaan. Tempat pembuangan
dari pengolahan air tersebut dalam sistem drainase perkotaan disebut dengan
istilah badan air. Selayaknya, kualitas air sudah bagus sebelum dialirkan ke
badan sungai.

Dalam perencanaan sistem drainase suatu kawasan harus memperhatikan


pola jaringan drainasenya. Pola jaringan drainase pada suatu kawasan atau
wilayah tergantung dari topografi daerah dan tata guna lahan kawasan tersebut.
Adapun tipe atau jenis pola jaringan drainase menurut H. A. Halim Asmar (2011)
sebagai berikut.

1. Jaringan Drainase Siku, yaitu jaringan yang dibuat pada daerah yang
mempunyai topografi sedikit lebih tinggi daripada sungai. Sungai sebagai
pembuang akhir berada di tengah kota.

Gambar 12-Sketsa pola jaringan drainase siku

2. Jaringan Drainase Paralel, yaitu jaringan yang saluran utamanya terletak


sejajar dengan saluran cabang. Dengan saluran cabang (sekunder) yang cukup
banyak dan pendek-pendek, apabila terjadi perkembangan kota, saluran-
saluran akan menyesuaikan.

Gambar 13-Sketsa pola jaringan drainase pararel

22
3. Jaringan Drainase Grid Iron, yaitu jaringan yang dibuat untuk daerah yang
sungainya terletak di pinggir kota, sehingga saluran saluran cabang
dikumpulkan dulu pada saluran pengumpul.

Gambar 14- Sketsa pola jaringan drainase grid ion

4. Jaringan Drainase Alamiah, yaitu jaringan dengan prinsip sama seperti pola
siku, hanya saja beban sungai pada pola alamiah lebih besar.

Gambar 15-Sketsa pola jaringan drainase alamiah

5. Jaringan Drainase Radial, yaitu jaringan yanv diterapkan pada daerah


berbukit, sehingga pola saluran memencar ke segala arah.

Gambar 16-Sketsa pola jaringan drainase radial

23
6. Jaringan Drainase Jaring-Jaring, yaitu jaringan yang mempunyai saluran-
saluran pembuang yang mengikuti arah jalan raya dan cocok untuk daerah
dengan topografi datar.

Gambar 17-Sketsa pola jaringan drainase jaring-jaring

Jaringan drainase di Jakarta sudah terlaksana, namun masih terdapat


beberapa masalah yang harus diselesaikan. Masalah utama saluran drainase
Jakarta adalah saluran tidak dirawat dengan baik sehingga penuh sampah,
limbah, dan lumpur. Selain itu, jaringan utilitas masih tumpang tindih di dalam
saluran drainase. Sistem drainase kota-kota di Indonesia termasuk Jakarta
memang dirancang untuk kapasitas curah hujan 100-150 ml/hari. Namun, seiring
dengan perubahan iklim yang berdampak pada curah hujan dan intensitas hujan
yang juga meningkat maka harus dilakukan rehabilitasi sistem drainase tersebut.
Oleh karena itu, pemerintah Jakarta harus memperbaiki kondisi sistem jaringan
drainase yang sudah ada. Jika diperlukan, pembangunan jaringan drainase baru
dapat dilaksanakan dengan menyesuaikan kondisi lingkungan dan juga
kebutuhan yang ada,

c. Kolam Retensi

Kolam retensi merupakan suatu cekungan atau kolam yang dapat


menampung atau meresapkan air didalamnya, tergantung dari jenis bahan
pelapis dinding dan dasar kolam. Kolam retensi dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu kolam alami dan kolam non alami.

1. Kolam alami yaitu kolam retensi yang berupa cekungan atau lahan resapan
yang sudah terdapat secara alami dan dapat dimanfaatkan baik pada kondisi
aslinya atau dilakukan penyesuaian. Pada umumnya perencanaan kolam jenis
ini memadukan fungsi sebagai kolam penyimpanan air dan penggunaan
sesuai kondisi lingkungan masyarakat sekitarnya. Kolam jenis alami ini selain

24
berfungsi sebagai tempat penyimpanan, juga dapat meresapkan pada lahan
atau kolam yang pervious, misalnya lapangan sepak bola (yang tertutup oleh
rumput) atau danau alami, yang berfungsi sebagai taman rekreasi dan kolam
rawa.

2. Kolam non alami yaitu kolam retensi yang didesain dan dibuat dengan bentuk
dan kapasitas tertentu pada lokasi yang telah direncanakan sebelumnya. Pada
kolam jenis ini air yang masuk ke dalam inlet harus dapat ditampung sesuai
dengan kapasitas yang telah direncanakan sehingga dapat mengurangi debit
banjir puncak (peak flow). Kolam berfungsi mengurangi debit banjir
dikarenakan adanya penambahan waktu konsentrasi air untuk mengalir di
permukaan.

Gambar 18-Kolam Retensi di dekat Badan Sungai

Untuk di daerah Jakarta sendiri sudah banyak pembangunan kolam retensi


seperti halnya pada tahun ini Pemerintahan Kota Jakarta Utara mulai kembali
mengoperasikan kembali tiga waduk yakni Waduk Belibis, Kesatrian, dan Rawa
Malang yang dalam hal ini masih dalam tahap pengerjaan yang berfungsi sebagai
kolam retensi.

d. Pompa

Pompa Drainase Perkotaan (Stormwater Pumping) adalah pompa air yang


umum dipakai untuk membantu mengalirkan aliran dari satu bidang ke bidang
lainnya yang lebih tinggi. Jenis Pompa yang ada dan biasa dipergunakan adalah
sebagai berikut:

1. Poros Tegak (Vertical propeller and mixed flow)

25
2. Pompa dalam air (Submersible vertical dan horizontal)

3. Sentrifugal (horizontal non –clog )

4. Skrup (screw)

5. Volute or Angle flow (Vertikal)

Secara umum pompa-pompa tersebut adalah pompa yang menggunakan


tenaga listrik, tetapi ada juga yang menggunakan diesel. Pengoperasian pompa
pada sistem polder lebih ditentukan oleh kondisi muka air di waduk/long storage
/kolam yang disebabkan oleh hujan atau buangan domestik. Beberapa kondisi
keduanya adalah sebagai berikut:

1. Pemompaan dari polder ke laut

Kondisi muka air di area polder sebagai berikut:

a. Muka air rendah (normal) pada kondisi tidak hujan, pompa diistirahatkan
untuk dilakukan pengecekan ringan, pemberian pelumas, pengecekan
kelancaran arus listrik dari sumber dan panel.

b. Muka air naik karena buangan air domestik masuk biasanya waktu pagi
dan sore hari. Pompa dioperasikan sampai muka air di waduk kembali
normal.

c. Terjadi hujan ringan pompa dioperasikan jika tinggi muka air terjadi
kenaikan melebihi ambang tinggi yang sudah ditentukan.

d. Terjadi hujan lebat di area polder otomatis tinggi muka air akan naik maka
pompa harus dioperasikan secara maksimal untuk mengembalikan kondisi
tinggi muka air menjadi normal kembali.

e. Untuk menjaga agar supaya pompa tidak memompa sampai kering dan
akan merusak baling-baling (propeller) maka harus ditentukan batas tinggi
muka air terendah. Tinggi muka air terendah juga difungsikan supaya
saluran tidak kotor dan tidak kering.

f. Tinggi muka air normal berada pada level tinggi muka air tanah. Sekalipun
kolam retensi dibuat dalam, setelah dipompa muka air akan kembali ke
level normal lagi. Volume retensi yang operasional untuk musim kemarau
dimulai dari muka air normal sampai muka air maksimal. Untuk musim
hujan volume retensi dioperasionalkan mulai dari muka air terendah sebab

26
volume tampungan dibutuhkan lebih besar sesuai besarnya debit yang
masuk lewat inlet.

2. Pemompaan ke kanal (sungai)

Pemompaan ke badan air berupa kanal atau sungai prosedurnya sama


dengan ke laut. Hanya saja terkadang untuk meletakkan pompa terkendala
oleh adanya tanggul. Apalagi kalau diameter pompanya besar sehingga dapat
mengganggu lalu lintas di atasnya jika pompa diletakkan di atas tanggul.
Ketinggian tanggul diperhitungkan terhadap tinggi air laut pasang dan muka
air banjir di kanal.

Namun, hal ini belum tentu dapat diaplikasikan di setiap daerah yang ada
Indonesia termasuk kota Jakarta yang kondisi demografinya cukup padat. Oleh
karena itu, perlu dipertimbangkan kembali subsistem-subsistem yang perlu
dikembang di Kota Jakarta yaitu sistem kanal drainase. Konsep “flood control”
atau pengendalian banjir sudah mulai diterapkan di Jakarta sejak tahun 1973.
Sebelum tahun 2012, pengendalian banjir didefinisikan sebagai cara untuk
menjauhkan orang dari banjir dengan cara membangun saluran kanal, tanggul,
dan perbaikan pada sungai. Menurut penelitian Noviandrina et al, pada tahun
2020, sistem pengendalian banjir diubah menjadi sistem mitigasi banjir dan
difokuskan untuk mengurangi resiko terjadinya frekuensi banjir. Berikut ini
adalah konsep dasar pengendalian banjir di Jakarta (Noviadriana et al., 2020).

1. Di Jakarta, air mengalir dari daerah hulu menuju ke laut melalui jalur banjir
di sisi luar daerah Jakarta

2. Di daerah dengan kemiringan dan ketinggian yang cukup, air mengalir secara
gravitasi

3. Di daerah bawah atau dataran rendah seperti Jakarta Pusat dan Jakarta Utara,
digunakan sistem polder dan air dipompa ke laut

4. Kolam retensi di daerah hulu harus dipelihara agar dapat menyimpan curah
hujan dan mengurangi aliran air ke daerah hilir

Pemerintahan DKI Jakarta sebelumnya telah berusaha untuk


mengembangkan sistem polder, namun sampai saat ini rencana tersebut belum
terealisasi semuanya sehingga belum maksimal. Berikut ini adalah gambar peta
pengembangan sistem polder yang sudah dikembangkan di DKI Jakarta.

27
Gambar 19-Peta pengembangan sistem polder yang sudah dikembangkan di DKI
Jakarta

Dari gambar peta diatas terdapat beberapa wilayah di DKI Jakarta yang
belum dibangun polder yang ditandai dengan gambar ungu. Oleh karena itu,
menurut penelitian Noviandrina dan timnya pada tahun 2020, dari hasil survei
yang telah dikumpulkan kemudian dilakukannya pemodelan dengan metode
Partial Least Square (PLS) dan Principal Component Analysis (PCA) terhadap
sistem polder yang sudah ada atau “exist” untuk memaksimalkan polder yang
sudah ada dan meminimalisir kerugian akibat banjir. Berikut ini adalah tabel
indikator komponen polder berdasarkan metode PLS dan PCA.

28
Gambar 20-Tabel indikator komponen polder berdasarkan metode PLS dan PCA

Tabel di atas diambil dari studi literatur sebelumnya yaitu terkait dampak
yang terjadi pada komponen sistem polder baik dari sisi teknis maupun non-
teknis. Dari tabel di atas akan dilakukan seleksi baik metode PLS maupun PCA.
Untuk metode PLS indikator yang memiliki peluang dibawah <50% harus
dieliminasi, sedangkan untuk metode PCA variabel indikator dibawah <30%
harus dieliminasi. Dari hasil eliminasi berdasarkan tabel di atas diperoleh tabel
berikut

29
Gambar 21-Tabel hasil eliminasi indikator berdasarkan metode PLS dan PCA

Dari tabel di atas ditemukan beberapa indikator yang harus dihapus dari
sistem polder yang sudah ada, dari 32 indikator diperoleh 23 indikator yang
dapat digunakan untuk meningkatkan sistem polder yang sudah dibangun di DKI
Jakarta. Sedangkan 9 indikator akan dieliminasi yang mana terdiri dari 4 variabel
teknis dan 5 variabel non teknis. Berikut ini adalah 23 indikator pendukung
kinerja Polder yang diklasifikasikan dari aspek teknis maupun non teknis.

30
Gambar 22-Tabel 23 indikator pendukung kinerja polder berdasarkan aspek teknis
dan non teknis

Diharapkan untuk kedepannya sistem polder yang sudah ada di DKI


Jakarta dapat dimaksimalkan fungsinya, meskipun masih belum semua polder
dibangun di Jakarta. Salah satu cara untuk memaksimalkan kinerja sistem polder
yang sudah yaitu dengan menerapkan 23 indikator sebagai parameter dari polder
yang sudah dibangun di DKI Jakarta.

31
DAFTAR PUSTAKA

Alexander, H. B. (2021, July 31). Biden Sebut Jakarta Tenggelam 10 Tahun Lagi, Apa Solusi
Pemerintah? Halaman All. - Kompas.com. Kompas.com.
Https://www.kompas.com/Properti/Read/2021/07/31/201301821/Biden-Sebut-Jakarta-
Tenggelam-10-Tahun-Lagi-Apa-Solusi-Pemerintah?Page=All.
Alexander, H. B. (2021b, October 8). Tanggapan Pemprov Dki Jakarta Soal Larangan Penggunaan
Air Tanah Halaman All - Kompas.Com. Kompas.Com.
Arya Pranantya, P. (2019, May 21). Geoseminar : Karakteristik Geologi Jakarta Dan Keterkaitan
Dengan Fenomena Land Subsidence [Slides]. Badan Geologi Kesdm.
Https://Psg.Bgl.Esdm.Go.Id/Docs_Gsm/2019/Geoseminar_2019-05-24_Pulung_Arya.Pdf
Balai Konservasi Air Tanah Badan Geologi. (2018). Monitoring Online Air Tanah Dan Subsiden
(Monas-Bkat). Bkat Geologi Esdm. Retrieved November 1, 2021, From
Http://Bkat.Geologi.Esdm.Go.Id/Monas/T_Homelist.Php
Belajar Dari Sistem Polder Negeri Belanda, Http://Anggunsugiarti.Blogspot.Com, Dikutip Pada
06 Oktober 2021 , Pada Pukul 19.00 WIB.
CNN. (2018, July 10). Mengenal Sistem Kerja Sumur Resapan Dan Konservasi Air Tanah.
Teknologi.

Edi, Purnomo. (2020, January 7). Ahli Hidrologi Ugm Sarankan Jakarta Gunakan Sistem Polder
Untuk Atasi Banjir. Merdeka.Com. Https://Www.Merdeka.Com/Jakarta/Ahli-Hidrologi-
Ugm-Sarankan-Jakarta-Gunakan-Sistem-Polder-Untuk-Atasi-Banjir.Html

Helmer, Johan Et Al., 2009. Rotterdam Polder System And Plan Of K. Banger Polder In Semarang,
Waterboard Hhsk Rotterdam.

Kajian Pengaruh Tanggul Laut Terhadap Banjir Di Sistem Drainase Sungai Tenggang (N.D.) Ragil
Nugroho Adhi , Gardanessia Listavio Pradana , Budi Santosa.

Maulana, R. (2019, November 4). Perluasan 3 Waduk Di Jakarta Selesai Akhir Tahun Ini.
Bisnis.Com. Https://Ekonomi.Bisnis.Com/Read/20191104/45/1166407/Perluasan-3-
Waduk-Di-Jakarta-Selesai-Akhir-Tahun-Ini

Media Indonesia. (2018, July 9). Sumur Resapan Sudah Mustahil Di Jakarta.
Mediaindonesia.Com, All Rights Reserved.
Https://Mediaindonesia.Com/Megapolitan/171009/Sumur-Resapan-Sudah-Mustahil-Di-
Jakarta
Merdeka.Com. (2013, January 22). Cegah Jakarta “Tenggelam”, Pemerintah Bangun Waduk
Ciawi. Merdeka.Com.

32
Mrh Dan Eks. (2021, 20 Agustus). Ahli Singgung Tiga Faktor Penyebab Jakarta Tenggelam. Cnn
Indonesia. Cnnindonesia.Com/Teknologi/20210819151102-199-682521/Ahli-Singgung-
Tiga-Faktor-Penyebab-Jakarta-Tenggelam.
Oviadriana, D. Et Al. (2020) ‘Indicators Of Index For Polder Services Use Partial Least Square
And Personal Component Analysis Method’, Iop Conference Series: Earth And
Environmental Science, 437(1). Doi: 10.1088/1755-1315/437/1/012028.
Patnistik, E. (2019, February 14). Pembebasan Lahan Jadi Kendala Pembangunan Waduk
Kampung Rambutan Halaman All - Kompas.Com. Kompas.Com.
Https://Megapolitan.Kompas.Com/Read/2019/02/14/09282781/Pembebasan-Lahan-Jadi-
Kendala-Pembangunan-Waduk-Kampung-Rambutan?Page=All

Pusair, 2007. Sistem Polder Untuk Perkotaan Rawan Air, Semiloka Pusair 2007.

S. Imam Wahyudi, Henny Pratiwi Adi Penata Letak Dan Desain Sampul : Dwi Riyadi Hartono,
2016. Drainase Sistem Polder. S.L.:Ef Press Digimedia.

Sinaga, Y. A. (2020, January 28). Belajar Dari Tokyo Atasi Penurunan Tanah Di Ibu Kota Jakarta.
Antara News. Https://Www.Antaranews.Com/Berita/1263737/Belajar-Dari-Tokyo-Atasi-
Penurunan-Tanah-Di-Ibu-Kota-Jakarta
Solihudin, T. (2021, 12 Agustus). Jakarta Tenggelam, Ya Atau Tidak? ... Ini Pandangan Peneliti
Madya Pusriskel. Pusat Riset Kelautan, Badan Riset Dan Sdm Kelautan Dan Perikanan.
Https://Kkp.Go.Id/Brsdm/Pusriskel/Artikel/33238-Jakarta-Tenggelam-Ya-Atau-Tidak-
Ini-Pandangan-Peneliti-Madya-Pusriskel.
Thenu, E. T. (2021, January 28). Jakarta Kerja Keras Bangun 9 Polder Untuk Minimalisir Dampak
Banjir. Kumparan. Https://Kumparan.Com/Kumparannews/Jakarta-Kerja-Keras-Bangun-
9-Polder-Untuk-Minimalisir-Dampak-Banjir-1v4e0nldhy8

Wahyudi S. I., Adi H. P. . 2016. Drainase Sistem Polder. Semarang. Isbn. 978-602-1145-78-4

Wahyudi, 2010. Pengembangan Sistem Polder Untuk Penanganan Banjir Rob Akibat Kenaikan
Muka Air Laut Dan Penurunan Tanah, Unissula, Isbn 978-602-8420-36-5.

Zuhra, W. U. N. (2020, 22 Juni). Masalah Usang Dan Runyam Penurunan Muka Tanah Jakarta.
Tirto.Id.Https://Tirto.Id/Masalah-Usang-Dan-Runyam-Penurunan-Muka-Tanah-Jakarta-
Fkws

33

Anda mungkin juga menyukai