Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

Stroke adalah suatu penyakit gangguan fungsi anatomi otak yang terjadi secara

tiba-tiba dan cepat yang disebabkan karena adanya pendarahan di otak. Biasanya

mengenai penderita pada umur 65 tahun sebanyak 33,5 persen. Pada umumnya angka

kejadian pada laki- laki lebih banyak daripada perempuan. Stroke terjadi tanpa adanya

gejala- gejala prodroma atau gejala dini, dan muncul begitu mendadak. Stroke adalah

penyebab kematian dan kecacatan yang utama di seluruh dunia.

Stroke adalah tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak

fokal (atau global), dengan gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat

menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler. Stroke merupakan

suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda klinis yang berkembang

dengan cepat yang berupa gangguan fungsional otak fokal maupun global yang

berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau membawa kematian),

yang tidak disebabkan oleh sebab lain selain penyebab vaskuler. (WHO, 2005)

Gangguan motorik dan sensorik pada pasien stroke sering mempengaruhi

mobilitas pasien, membatasi aktivitas sehari – hari dan partisipasi mereka secara sosial

yang dimana akan menghambat kesempatan untuk melanjutkan kehidupan professional

mereka. Fungsi motorik dan faktor lainnya (baik dari faktor sosial maupun faktor

individual) dapat berkontribusi dalam penurunan kualitas hidup pasien stroke (Guiu-

Tula, et al., 2017).

1
Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena

stroke, sekitar 2,5 % atau 125.000 2 orang meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun

berat. Jumlah penderita stroke cenderung terus meningkat setiap tahun, bukan hanya

menyerang penduduk usia tua, tetapi juga dialami oleh mereka yang berusia muda dan

produktif stroke dapat menyerang setiap usia namun yang sering terjadi pada usia si atas

40 tahun. Angka kejadian stroke meningkat dengan bertambahnya usia, makin tinggi

usia seseorang, makin tinggi kemungkinan terkena serangan stroke. (Suyama et al,

2004)

Stroke iskemik (penyumbatan) memiliki persentase terbesar, yaitu sekitar 80%.

Insiden penyakit stroke hemoragik antara 15-30 % dan untuk stroke iskemik antara 70-

85%. Sedangkan, insiden stroke di negara- negara berkembang atau Asia untuk stroke

hemoragik sekitar 30% dan iskemik 70%. Kejadian stroke iskemik memiliki proporsi

lebih besar dibandingkan dengan stroke hemoragik (Soeharto, 2004).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI FISIOLOGI OTAK

Otak adalah organ vital yang terdiri dari 100 - 200 milyar sel aktif yang saling

berhubungan dan bertanggung jawab atas fungsi mental dan intelektual kita. Otak

terdiri dari sel - sel otak yang disebut neuron. Otak merupakan organ yang sangat

mudah beradaptasi meskipun neuron - neuron di otak mati tidak mengalami

regenerasi kemampuan adaptif atau plastisitas. Pada otak dalam situasi tertentu

bagian - bagian otak dapat mengambil alih fungsi dari bagian-bagian yang rusak.

Otak sepertinya belajar kemampuan baru. Ini merupakan mekanisme paling penting

yang berperan dalam pemulihan stroke (Feigin, 2006).

Secara garis besar sistem saraf dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf pusat dan

sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat (SSP) terbentuk oleh otak dan medulla spinalis.

Sistem saraf disisi luar SSP disebut sistem saraf tepi (SST). Fungsi dari SST adalah

menghantarkan informasi bolak balik antara SSP dengan bagian tubuh lainnya

(Noback dkk, 2005).

Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf dengan komponen bagiannya

adalah :

1. Cerebrum

Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar yang terdiri dari sepasang

hemisfer kanan dan kiri serta tersusun dari korteks. Korteks ditandai dengan

sulkus (celah) dan girus. Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu:

3
1) Lobus Frontalis

Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang lebih

tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di

hermisfer kiri), pusat penghidit dan emosi. Bagian ini mengandung pusat

pengontrolan gerakan volunter di gyrus presentralis (area motorik primer) dan

terdapat area asosiasi motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah

broca yang mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur gerakan sadar,

perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif (Purves dkk, 2004).

2) Lobus Temporalis

Lobus temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan ke

bawah dari fisura lateral dan sebelah posterior dari fisura parieto-oksipitalis

(White, 2008). Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, visual,

pendengaran dan berperan dalam pembentukan dan perkembangan emosi.

3) Lobus Parietalis

Lobus Parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di gyrus

post sentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran (White,

2008).

4) Lobus Oksipitalis

4
Lobus oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi

penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan dari nervus

optikus dan mengasosiasikan rangsang ini dengan informasi saraf lain dan

memori (White, 2008).

5) Lobus Limbik

Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi manusia, memori emosi

dan bersama hipothalamus menimbulkan perubahan melalui pengendalian atas

susunan endokrin dan susunan otonom (White, 2008).

Pembagian menurut area Broodmann :

a. Lobus Frontal

1) Pusat motorik : area 4, 6

2) Pengatur sikap dan mental : area 9, 10, 11, 12

3) Pengatur motoris (broca) : area 44, 45

b. Lobus Pariental

1) Pusat sensoris : area 1,2,3

2) Pengertian Bahasa : area 39, 40

5
c. Lobus Occypital

1) Pusat pengelihatan : area 17, 18, 19

d. Lobus Temporal

1) Pusat pendengaran : area 41.42

2) Pusat memori

2. Cerebellum

Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung lebih banyak

neuron dibandingkan otak secara keseluruhan. Memiliki peran koordinasi yang

penting dalam fungsi motorik yang didasarkan pada informasi somatosensori

yang diterima inputnya 40 kali lebih banyak dibandingkan output. Cerebellum

terdiri dari tiga bagian fungsional yang berbeda yang menerima dan

menyampaikan informasi ke bagian lain dari sistem saraf pusat.

Cerebellum merupakan pusat koordinasi untuk keseimbangan dan tonus

otot. Mengendalikan kontraksi otot - otot volunter secara optimal. Bagian -

bagian dari cerebellum adalah lobus anterior, lobus medialis dan lobus

fluccolonodularis (Purves, 2004).

6
3. Brainstem

Brainstem adalah batang otaK yang berfungsi untuk mengatur seluruh proses

kehidupan yang mendasar. Berhubungan dengan diensefalon diatasnya dan

medulla spinalis dibawahnya. Struktur - struktur fungsional batang otak yang

penting adalah jaras asenden dan desenden traktus longitudinalis antara medulla

spinalis dan bagian - bagian otak, anyaman sel saraf dan 12 pasang saraf cranial.

Bagian-bagian batang otak dari bawak ke atas adalah medula oblongata, pons

dan mesensefalon (otak tengah).

1) Medula oblongata merupakan pusat refleks yang penting untuk jantung,

vasokonstriktor, pernafasan, bersin, batuk, menelan, pengeluaran air liur

dan muntah. Pons merupakan mata rantai penghubung yang penting pada

jaras kortikosereberalis yang 3 menyatukan hemisfer serebri dan

serebelum.

2) Pons merupakan mata rantai penghubung yang penting pada jaras

kortikosereberalis yang 3 menyatukan hemisfer serebri dan serebelum

3) Mesensefalon merupakan bagian pendek dari batang otak yang berisi

aquedikus sylvius, beberapa traktus serabut saraf asenden dan desenden

dan pusat stimulus saraf pendengaran dan penglihatan.

7
Nervus Cranialis

I.Nervus olfaktorius

Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan aroma

(bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.

II.Nervus optikus

Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.

III.Nervus okulomotoris

Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata) menghantarkan

serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris dan otot iris.

IV.Nervus troklearis

Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang pusatnya terletak

dibelakang pusat saraf penggerak mata.

V.Nervus trigeminus

8
Bersifat majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah cabang. Fungsinya

sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar, sarafnya yaitu:

1) Nervus oltamikus

Sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan kelopak mata atas, selaput lendir

kelopak mata dan bola mata.

2) Nervus maksilaris

Sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas, palatum, batang hidung, ronga hidung

dan sinus maksilaris.

3) Nervus mandibular

sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi otot-otot pengunyah. Serabut-

serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit daerah temporal dan dagu.

VI. Nervus abdusen

Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf penggoyang sisi

mata.

VII. Nervus fasialis

Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi otot-otot

lidah dan selaput lendir ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat serabut-serabut saraf

otonom (parasimpatis) untuk 5 wajah dan kulit kepala fungsinya sebagai mimik wajah

untuk menghantarkan rasa pengecap.

VIII. Nervus auditoris

9
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari pendengaran dan

dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.

IX. Nervus glosofaringeus

Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah, saraf ini

dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.

X. Nervus vagus

Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik, sensorik dan

parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus, gaster intestinum minor, kelenjar-

kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf perasa.

XI. Nervus asesorius

Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium, fungsinya

sebagai saraf tambahan.

XII. Nervus hipoglosus

Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini terdapat di

dalam sumsum penyambung.

PEREDARAN DARAH OTAK

Otak menerima 17 % curah jantung dan menggunakan 20 % konsumsi oksigen total

tubuh manusia untuk metabolisme aerobiknya. Otak diperdarahi oleh dua pasang arteri

yaitu arteri karotis interna dan arteri vertebralis. Dalam rongga kranium, keempat arteri

ini saling berhubungan dan membentuk sistem anastomosis, yaitu sirkulus Willisi

(Satyanegara, 1998).

10
1. Peredaran Darah Arteri

Suplai darah ini oleh dua pasang arteri, yaitu arteri vertebralis dan arteri

karotis interna, yang bercabang dan beranastosmosis membentuk circulus willisi.

Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteri karotis komunis yang

berakhir pada arten serebri anterior dan arteri serebri medial. Di dekat akhir

arteri karotis interna, dari pembuluh darah ini keluar arteri communicans

posterior yang bersatu kearah kaudal dengan arteri serebri posterior. Arteri

serebri anterior saling berhubungan melalui arteri communicans anterior. Arteri

vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteria subklavia sisi yang sama. Arteria

subklavia kanan merupakan cabang dari arteria inominata, sedangkan arteri

subklavia kiri merupakan cabang langsung dari aorta. Arteri vertebralis

memasuki tengkorak melalui foramen magnum, setinggi perbatasan pons dan

medula oblongata. Kedua arteri ini bersatu membentuk arten basilaris.

2. Peredaran Darah Vena

Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus - sinus duramater,

suatu saluran pembuluh darah yang terdapat di dalam struktur duramater. Sinus -

sinus duramater tidak mempunyai katup dan sebagian besar berbentuk

triangular. Sebagian besar vena cortex superfisial mengalir ke dalam sinus

longitudinalis superior yang berada di medial. Dua buah vena cortex yang utama

adalah vena anastomotica magna yang mengalir ke dalam sinus longitudinalis

superior dan vena anastomotica parva yang mengalir ke dalam sinus transversus.

Vena -vena serebri profunda memperoleh aliran darah dari basal ganglia

(Wilson, el al, 2002). Gambar. 2.4 Circulus

11
1. Sistem Motorik

Sistem motorik merupakan sistem yang mengatur segala gerakan pada

manusia. Gerakan diatur oleh pusat gerakan yang terdapat di otak.,

diantaranya yaitu area motorik di korteks, ganglia basalis, dan cerebellum.

Jaras untuk sistem motorik ada 2 yaitu : traktus piramidal dan

ekstrapiramidal. Traktus piramidal merupakan jaras motorik utama yang

pusatnya di girus presentralis (area 4 Broadmann), yang disebut juga korteks

Motorik primer. Impuls motorik dari pusat motorik disalurkan melalui

traktus piramidal ke saraf perifer menuju ke otot. Area motorik lain yang

terletak di depan korteks motorik primer adalah korteks premotorik (area 6

Broadmann). Area ini merupakan area asosiasi korteks motorik yang

membangkitkan pola gerakan untuk disampaikan ke korteks Motorik primer.

Contoh : Orang tertusuk duri → sensasi diteruskan ke korteks sensorik;

dianalisa → korteks sensorik asosiasi; diterjemahan → korteks premotorik;

program dan pola → korteks motorik primer; eksekusi gerakan → otot;

12
kontraksi. Kerusakan korteks motorik primer atau traktus piramidal dapat

menyebabkan paralysis (kelumpuhan) Ataupun parese (kelemahan gerakan).

Selain traktus piramidal, jaras sistem motorik ada juga yang melalui

traktus ekstrapiramidal (system ekstrapiramidal). Jaras ini melibatkan

ganglia basalis dan berfungsi untuk mengatur gerakan volunter kasar dan

tidak terampil, seperti mengendalikan posisi berdiri, gerakan tangan pada

waktu berjalan, gerak lambaian tungkai dan lengan. Kerusakan pada ganglia

basalis dapat menimbulkan gangguan gerak seperti : gejala-gejala pada

penyakit Parkinson (kekakuan otot atau rigiditas, tremor, akinesia),

hemibalismus, chorea, dan atetosis

2. Sistem Sensorik

Sistem sensorik pada manusia berhubungan dengan kemampuan

mempersepsi suatu rangsang. Sistem ini sangat penting karena berfungsi

terutama untuk proteksi tubuh. Sistem ini dapat juga dimaknai sebagai perasaan

tubuh atau sensibilitas.

1) Reseptor

Reseptor adalah sel atau organ yang berfungsi menerima rangsang atau

stimulus. Dengan alat ini sistem saraf mendeteksi perubahan berbagai

bentuk energi di lingkungan dalam dan luar. Setiap reseptor sensoris

mempunyai kemampuan mendeteksi stimulus dan mentranduksi energi fisik

ke dalam sinyal (impuls) saraf. Menurut letaknya, reseptor dibagi menjadi:

a. Exteroseptor ; perasaan tubuh permukaan (kulit), seperti sensasi

nyeri, suhu, dan raba

13
b. Proprioseptor ; perasaan tubuh dalam, seperti pada otot, sendi, dan

tendo.

c. Interoseptor ; perasaan tubuh pada alat-alat viscera atau alat-alat

dalam, seperti jantung, lambung, usus, dll

Menurut tipe atau jenis stimulus, reseptor dibagi menjadi :

a. Mekanoreseptor ; kelompok reseptor sensorik untuk mendeteksi perubahan

tekanan, memonitor tegangan pada pembuluh darah, mendeteksi rasa raba atau

sentuhan. Letaknya di kulit, otot rangka, persendn dna organ visceral. Contoh

reseptornya : corpus Meissner (untuk rasa raba ringan), corpus Merkel dan

badan Paccini (untuk sentuhan kasar dan tekanan).

b. Thermoreseptor ; reseptor sensoris unuk mendeteksi perubahan suhu. Contohnya

: bulbus Krause (untuk suhu dingin), dan akhiran Ruffini (untuk suhu panas).

c. Nociseptor ; reseptor sensorik untuk mendeteksi rasa nyeri dan merespon tekaan

yang dihasilkan oleh adanya kerusakan jaringan akibat trauma fisik maupun

kimia. Contoh reseptornya berupa akhiran saraf bebas (untuk rasa nyeri) dan

corpusculum Golgi (untuk tekanan).

d. Chemoreseptor ; reseptor sensorik untuk mendeteksi rangsang kimiawi, seperti :

bu-bauan yang diterima sel reseptor olfaktorius dalam hidung, rasa makanan

yang diterima oleh sel reseptor pengecap di lidah, reseptor kimiawi dalam

pembuluh darah untuk mendeteksi oksigen, osmoreseptor untuk mendeteksi

perubahan osmolalitas cairan darah, glucoreseptor di hipotalamus mendeteksi

perubahan kadar gula darah.

e. Photoreseptor ; reseptor sensorik untuk mendeteksi perbahan cahaya, dan

dilakukan oleh sel photoreceptor (batang dan kesrucut) di retina mata

14
B. TINJAUAN TENTANG HEMIPARASE

1. Definisi Hemiparase

Hemiparase adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresif

cepat, berupa defisit neurologis fokal yang berlangsung selama 24 jam atau lebih

atau langsung menimbulkan kematian, dan semata – mata disebabkan oleh

gangguan peredaran darah otak non-traumatic (Halim, 2016).

2. Etiologi

Hemiparese dapat disebabkan karena adanya kerusakan pada seluruh korteks

piramidalis sesisi yang menimbulkan kelumpuhan Upper Motor Neuron (UMN)

pada belahan tubuh sisi kontralateral.

Stroke non hemoragik atau stroke iskemik merupakan 88% dari seluruh

kasus stroke. Pada stroke iskemik terjadi iskemia akibat sumbatan atau

penurunan aliran darah otak. Berdasarkan perjalanan klinis, dikelompokkan

menjadi :

1. TIA (Transient Ischemic Attack) Pada TIA gejala neurologis timbul dan

menghilang kurang dari 24 jam. Disebabkan oleh gangguan akut fungsi fokal

serebral, emboli maupun trombosis.

2. RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit) Gejala neurologis pada

RIND menghilang lebih dari 24 jam namun kurang dari 21 hari.

3. Stroke in Evolution Stroke yang sedang berjalan dan semakin parah dari

waktu ke waktu.

4. Completed Stroke Kelainan neurologisnya bersifat menetap dan tidak

berkembang lagi.

15
Stroke non hemoragik terjadi akibat penutupan aliran darah ke sebagian

otak tertentu, maka terjadi serangkaian proses patologik pada daerah

iskemik. Perubahan ini dimulai dari tingkat seluler berupa perubahan fungsi

dan bentuk sel yang diikuti dengan kerusakan fungsi dan integritas susunan

sel yang selanjutnya terjadi kematian neuron. Stroke non hemoragik dibagi

lagi berdasarkan lokasi penggumpalan, yaitu:

a. Stroke Non Hemoragik Embolik

Pada tipe ini embolik tidak terjadi pada pembuluh darah otak,

melainkan di tempat lain seperti di jantung dan sistem vaskuler sistemik.

Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada penyakit jantung dengan shunt

yang menghubungkan bagian kanan dengan bagian kiri atrium atau

ventrikel. Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang

meninggalkan gangguan pada katup mitralis, fibrilasi atrium, infark

kordis akut dan embolus yang berasal dari vena pulmonalis. Kelainan

pada jantung ini menyebabkan curah jantung berkurang dan serangan

biasanya muncul disaat penderita tengah beraktivitas fisik seperti

berolahraga.

b. Stroke Non Hemoragik Trombus

Terjadi karena adanya penggumpalan pembuluh darah ke otak.

Dapat dibagi menjadi stroke pembuluh darah besar (termasuk sistem

arteri karotis) merupakan 70% kasus stroke non hemoragik trombus dan

stroke pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus Willisi dan sirkulus

posterior). Trombosis pembuluh darah kecil terjadi ketika aliran darah

16
terhalang, biasanya ini terkait dengan hipertensi dan merupakan indikator

penyakit atherosklerosis.

3. Patofisiologi

Aliran darah dalam kondisi normal otak orang dewasa adalah 50-60 ml/100

gram otak/menit. Berat otak normal rata-rata orang dewasa adalah 1300- 1400 gram

(+ 2% dari berat badan orang dewasa). Sehingga dapat disimpulkan jumlah aliran

darah otak orang dewasa adalah + 800 ml/menit atau 20% dari seluruh curah jantung

harus beredar ke otak setiap menitnya. Pada keadaan demikian, kecepatan otak untuk

memetabolisme oksigen + 3,5 ml/100 gram otak/menit. Bila aliran darah otak turun

menjadi 20-25 ml/100 gram otak/menit 13 akan terjadi kompensasi berupa

peningkatan ekstraksi oksigen ke jaringan otak sehingga fungsi-fungsi sel saraf dapat

dipertahankan.

Proses patofisiologi stroke iskemik selain kompleks dan melibatkan

patofisiologi permeabilitas sawar darah otak (terutama di daerah yang mengalami

trauma, kegagalan energi, hilangnya homeostatis ion sel, asidosis, peningkatan, kalsium

intraseluler, eksitotositas dan toksisitas radikal bebas), juga menyebabkan kerusakan

neumoral yang mengakibatkan akumulasi glutamat di ruang ekstraseluler, sehingga

kadar kalsium intraseluler akan meningkat melalui transpor glutamat, dan akan

menyebabkan ketidakseimbangan ion natrium yang menembus membran.

Secara umum patofisiologi stroke iskemik meliputi dua proses yang terkait,

yaitu :

1. Perubahan fisiologi pada aliran darah otak

2. Perubahan kimiawi yang terjadi pada sel otak akibat iskemik.

17
4. Gambaran Klinis

Sebagian besar pasien dengan stroke (80%-90%) memiliki beberapa tanda-tanda

dan gejala motoric. Berupa deficit yang berat, yang mungkin disebabkan oleh neglect

motorik, apraksia, atau ataksia visuomotor dan bukan karena kelemahan. Hemiparesis

dengan kelemahan sesisi pada tangan, kaki, bahu, dan pinggul adalah profil defisit

motorik yang paling sering terjadi (setidaknya dua pertiga kasus) (Arboix, et al., 2012).

Untuk memahami manifestasi klinis yang terlihat pada seseorang yang

mengalami stroke, perlu untuk mengetahui struktur dan fungsi dari berbagai bagian

otak, serta sirkulasi dari otak. Karena distribusi sirkulasi otak terbagi ke berbagai bagian

korteks dan batang otak, penyumbatan atau pendarahan di salah satu pembuluh darah

menghasilkan temuan klinis yang cukup dapat diprediksi. (Martin and Kessler, 2007).

Manifestasi klinis pasien stroke berdasarkan sirkulasi otak (Martin and Kessler, 2007) :

a. Anterior Cerebral Artery Occlusion

Penyumbatan pada anterior cerebral artery paling jarang terjadi dan paling sering

disebabkan oleh embolus. Anterior cerebral artery menyuplai batas superior lobus

frontal dan parietal otak. Seorang pasien dengan oklusi anterior cerebral artery akan

menunjukkan tanda dan gejala berupa:

1) Kelemahan kontralateral,

2) Hilangnya sensoris terutama pada ekstremitas bawah

3) Afasia

4) Inkontinensia

5) Gangguan ingatan dan perilaku

b. Middle Cerebral Artery Occlusion

18
Infark middle cerebral artery, merupakan jenis stroke paling umum, yang

dapat menyebabkan hilangnya sensoris kontralateral, kelemahan pada wajah dan

ekstremitas atas. Infark pada daerah dominan hemisfer dapat menyebabkan afasia

global dan homonymous hemianopia, yang merupakan suatu kondisi di mana

seseorang hanya melihat satu sisi - kanan atau kiri - dari visual setiap mata. Pasien

mungkin juga mengalami kehilangan pandangan mata konjugat, yang merupakan

pengatur gerakan bola mata secara bersamaan.

c. Vertebrobasilar Artery Occlusion

Oklusi lengkap dari arteri vertebrobrasial seringkali berakibat fatal karena

melibatkan saraf kranial dengan tanda dan gejala berupa:

1) Diplopia (penglihatan ganda),

2) Disfagia (kesulitan menelan),

3) Dhysarthria (kesulitan menginformasikan kata sekunder karena

kelemahan pada lidah dan otot-otot wajah),

4) Deafness (ketulian), dan

5) Vertigo

Selain itu, infark ke daerah yang disuplai oleh distribusi vaskular ini dapat

menyebabkan ataksia, yang ditandai dengan gerakan yang tidak terkoordinasi,

defisit equilibrum, dan sakit kepala.

Penyumbatan arteri basilar dapat menyebabkan pasien mengalami sindrom

terkunci. pasien dengan tipe stroke ini memiliki gangguan yang signifikan. Para

pasien waspada dan berorientasi tetapi tidak dapat bergerak atau berbicara karena

kelemahan pada semua grup otot. Gerakan mata adalah satu-satunya jenis gerakan

19
aktif yang memungkinkan dan dengan demikian menjadi sarana komunikasi utama

pasien.

d. Posterior Artery Occlusion

Arteri serebral posterior menyuplai lobus oksipital dan temporal. Oklusi di arteri ini

dapat menyebabkan:

1) Hilangnya sensoris kontralateral,

2) Rasa sakit,

3) Defisit memori,

4) Homonymous hemianopia,

5) Visual Agnosia (ketidakmampuan mengenali benda atau individu yang

familiar), dan

6) Cortical Blindness (ketidakmampuan untuk memproses informasi visual

yang masuk meskipun saraf optik tetap utuh).

C. TINJAUAN PENGUKUKRAN FISIOTERAPI

1. Pengukuran Nyeri Menggunakan VAS (visual analog scale)

Menurut The International Association for the Study of Pain nyeri

merupakan suatu perasaan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat adanya kerusakan suatu jaringan yang nyata atau yang

berpotensi rusak atau tergambarkan seperti itu. Nyeri terjadi karena adanya suatu

kerusakan jaringan yang nyata seperti luka pasca bedah atau trauma akut, dan

nyeri terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata seperti nyeri kronik atau

proses penyembuhan trauma lama, nyeri post herpetic, phantom atau trigeminal.

20
Dengan demikian pada prinsipnya nyeri terjadi karena ketidakseimbangan antara

aktivitas supressor dibandingkan dengan depressor pada fase tertentu akibat

gangguan suatu jaringan tertentu.

Visual Analog Scale (VAS). VAS merupakan skala berupa suatu garis lurus

yang panjangnya biasanya 10 cm (atau 100 mm), dengan pengambaran verbal

pada masing-masing ujungnya, seperti angka 0 (tanpa nyeri) sampai angka 10

(nyeri terberat).

VISUAL ANALOG SCALE


NILAI KETERANGAN
0 Tidak ada nyeri
1-2 nyeri ringan
3-4 Nyeri menganggu
5-6 Nyeri sangat mengganggu
7-8 Nyeri hebat
9 Nyeri sangat hebat
10 Nyeri tak tertahankan

2. Pengukuran Tonus Otot Menggunakan Skala Asworth

Gradasi Deskripsi
0 Tidak ada peningkatan tonus otot
1 Sedikit peningkatan tonus otot ditandai adanya “catch &

release” atau tahanan minimal pada akhir LGS saat bagian

yang terkena atau bagian - bagiannya digerakkan fleksi atau

extensi
1+ Sedikit peningkatan tonus ditandai adanya “catch & release”

atau tahanan minimal sepanjang LGS (kurang dari setengah)


2 Ditandai peningkatan yang lebih pada tonus otot, kesulitan

gerakan pasif.
3 Bagian yang terkena atau bagian – bagiannya rigid dalam

fleksi atau ekstensi


4 Sendi atau ekstremtas kaku/rigid pada gerakan fleksi atau

21
ekstensi

3. Pengukuran Kekuatan Otot Menggunakan Manual Muscle Testing

Menurut Kusworo secara fisiologis adalah kekuatan otot adalah kemampuanotot

untuk melakukan satu kali kontraksi secara maksimal melawan tahanan atau

beban.

Perubahan struktur otot sangat bervariasi. Penurunan jumlah dan serabut otot,

atrofi, pada beberapa serabut otot dan hipertropi pada beberapa serabut otot yang

lain, peningkatan jaringan lemak dan jaringan penghubung dan lain-lain

mengakibatkan efek negative. Efek tersebut adalah penurunan kekuatan, penurun

fleksibilitas, perlambatan waktu reaksi dan penurunan kemampuan fungsional

(Pudjiastuti & Utomo, 2008).

Penilaian Kekuatan Otot mempunyai skala ukur yang umumnya dipakai

untuk memeriksa penderita yang mengalami kelumpuhan selain mendiagnosa

status kelumpuhan juga dipakai untuk melihat apakah ada kemajuan yang

22
NILAI OTOT KETERANGAN
NILAI 5 Kekuatan otot normal dimana seluruh gerakan dapat dilakukan

otot dengan tahanan maksimal dari proses yang dilakukan

berulang-ulang tanpa menimbulkan kelelahan.


NILAI 4 Dapat melakukan Range Of Motion (ROM) secara penuh dan

dapat melawan tahanan ringan


NILAI 3 Dapat melkukan ROM secara penuh dengan melawan gaya berat

(gravitasi), tetapi tidak dapat melawan tahanan


NILAI 2 Dengan bantuan atau dengan menyangga sendi dapat melakukan

ROM secara penuh.


NILAI 1 Kontraksi otot minimal terasa/teraba pada otot bersangkutan tanpa

23
menimbulkan gerakan.
NILAI 0 Tidak ada kontraksi otot sam sekali.

4. Pengkuran fungsional ADL menggunakan Barthel Index

NO FUNSGI SKOR KETERANGAN HASIL


1. 0 Tidak terkendali/tak teratur

Mengendalikan rangsang (perlu pencahar)


1 Kadang-kadang tak terkendali
BAB
(1 x / minggu)
2 Terkendali teratur
2. Tak terkendali atau pakai
0

kateter

Mengendalikan rangsang 1 Kadang-kadang tak

BAK terkendali (hanya 1 x / 24

jam)
2
Terkendali teratur
3. Membersihkan diri 1
Butuh pertolongan orang lain
(mencuci wajah,mencuci

rambut, sikat gigi,


2 Mandiri
mencukur kumis)
4. Penggunaan WC (keluar 0
Tergantung
masuk WC,
pertolongan
melepas/memakai celana,
orang lain
cebok, menyiram)
Perlu pertolongan pada

1 beberapa kegiatan tetapi dapat

mengerjakan sendiri

24
beberapa
0 Tidak mampu
Makan 1 Perlu di tolong memotong
5. 2 Mandiri
6. 0 Tidak mampu
Perlu banyak bantuan untuk
1
Berubah sikap dari baring
bisa duduk (2orang)
2 Bantuan minimal 1 orang
ke duduk
Mandiri

7. 0 Tidakampu
Berjalan dengan bantuan 2
1
Berpindah / berjalan orang
Berjalan dengan bantuan 1
2
orang
3 Mandiri
8. 0 Tergantung orang lain
Sebagian dibantu (misalnya
Memakai baju 1
memasang kancing)

2 Mandiri

9. 0 Tidak mampu
1
Butuh pertolongan
Naik turun tangga
2
Mandiri
1 Tidak mampu

10. Mandi 2 Mandiri

SKOR TOTAL
Keterangan : Skor Barthel Index

20 : Mandiri

12 – 19: Ketergantungan ringan, 5–8 : Ketergantungan berat

25
9 – 11 : Ketergantungan sedang 0– 4 : Ketergantungan total

D. TINJAUAN INTERVENSI FISIOTERAPI

1. Transcranial Magnetic Stimulation

Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) bekerja dengan memberikan stimulus

pada sisi sel saraf otak sehingga sl-sel otak yang terganggu dapat bekerja kembali

dengan lebih baik, yaitu dengan meningkatkan aktivitas sel melalui cara

meningkatkan kerja Neurotransmitter. TMS digunakan untuk menguji integritas

fungsional dan rangsangan jalur kortikomotor dari ipsilesional M1 ke ekstremitas

yang terkena.

2. Peripheral Magnetic Stimulation

Peripheral Magnetic Stimulation (PMS) merupakan teknologi dan metode yang

menggunakan elektromagnetik yang menginduksi arus listrik pada jaringan

neuromuscular sehingga menyebabkan terjadinya kontraksi otot.

3. Proprioceptif Neuromuscular Facilitation

PNF atau “Proprioceptive Neuromuscular Facilitation” merupakan metode

gerakan kompleks. PNF berarti bahwa peningkatan dan fasilitasi neuromuscular

dengan sendirinya, sehingga memerlukan blocking yang berlawanan. Dalam proses

ini, reaksi mekanisme neuromuscular dimanfaatkan, difasilitasi, dan dipercepat

melalui stimulasi reseptor-reseptor. Penggunaan gerakan kompleks berdasarkan

pada prinsip-prinsip stimulasi organ neuromuscular dengan bantuan tambahan dari

seluruh gerakan.

b. Prinsip-prinsip dasar teknik PNF

26
Berikut ini adalah prinsip-prinsip dasar yang dapat meningkatkan reaksi yang

diinginkan dan digunakan untuk mencapai fungsi yang optimal.

1) Teknik menggenggam

Secara tepat dapat dihitung dan diaplikasikan teknik menggenggam dari terapis

untuk menentukan strength (kekuatan) gerakan kompleks yang dihasilkan.

2) Stimulasi verbal dan visual

Secara sederhana, instruksi yang jelas dapat mengurangi kerja terapis. Pasien

harus melihat dan berpartisipasi melakukan gerakan yang dicontohkan terapis.

3) Kompresi dan Traksi

Kompresi menyebabkan permukaan sendi saling merapat, traksi dapat

menggerakkan permukaan sendi saling menjauhi. Reseptor-reseptor akan

terangsang. Traksi dapat memfasilitasi gerakan pada sistem otot ; kompresi

dapat meningkatkan stabilitas.

4) Tahanan maksimal

Hukum “all or nothing” dalam kontraksi otot terlibat dalam teknik ini.

Tahanan isometrik dan/atau isotonik dapat digunakan dalam teknik ini. Tahanan

yang maksimal ditentukan oleh strength (kekuatan) otot dari setiap pasien.

5) Rangkaian Aksi Otot yang tepat

Ketika otot berkontraksi dalam suatu rangkaian yang tepat, maka group

otot yang tegang akan mengatasi tuntutan yang terjadi dengan optimal

efektifitas. Waktu yang tepat dapat berperan penting baik pada gerakan

kompleks maupun pada olahraga.

Ada 3 komponen gerakan yang mengambil bagian dari setiap pola gerak

spiral dan diagonal :

27
-Fleksi atau ekstensi

-Adduksi atau abduksi

-Eksternal atau internal rotasi

Eksternal rotasi digunakan dalam kombinasi dengan supinasi, dan internal

rotasi digunakan kombinasi dengan pronasi. Variasi teknik gerakan kompleks dapat

memperbaiki implementasi dan efektifitas sistem muskuloskeletal. Urutan gerakan

pada olahraga spesifik dapat dikombinasikan dengan gerakan-gerakan lainnya,

seperti gerak memukul pada handball atau menembak bola pada sepakbola.

6) Tahanan langsung

Hal ini melibatkan tahanan optimal untuk seluruh durasi gerakan; tahanan ini

bergantung pada gerakan alamiah yang beragam.

7) Kontraksi yang berulang

Kontraksi statik dan dinamik terlibat secara bergantian. Strength (kekuatan) otot

diperbaiki, khususnya pada area genggaman tahanan, ROM, dan endurance

(daya tahan).

2. Bridging Exercise

Bridging exercise adalah cara yang tepat untuk mengisolasi dan memperkuat otot

gluteus dan hamstring. Bridging exercise digunakan digunakan untuk stabilitas dan

latihan penguatan yang menargetkan otot perut serta otot-otot punggung bawah dan

hip. Akhirnya, bridging exercise dianggap sebagai latihan rehabilitasi dasar untuk

meningktakan stabilitas atau keseimbangan dan stabilisasi tulang belakang.

(Quinn,2012). Meskipun bridging exercise merupakan latihan yang mudah untuk

dilakukan, sangat bermanfaat dalam memprertahankan kekuatan di punggng bawah

untuk dilakukan, sangat bermanfaat dalam mempertahankan kekuatan kekuatan di

28
punggung bawah dan berguna dalam program pencegahan nyeri punggung bawah.

Bridging exercise juga merupakan latihan yang bagus dimana akan memperkuat otot-

otot paraspinal, otot-otot quadriceps di bagian atas paha, otot-otot hamstring di

bagian belakang paha, otot-otot perut dan glutealis.

3. Latihan fungsional

Pada pasien hemiparase stroke non haemoragik stadium recovery terjadi gerak

anggota tubuh yang lesi dengan total gerak sinergis sehingga dapat membatasi dalam

gerak untuk aktivitas fungsional dan membentuk pola abnormal (Rahayu, 1992).

Latihan fungsional dimaksudkan untuk melatih pasien agar dapat kembali melakukan

aktivitas sehari-hari secara mandiri tanpa menggantungkan penuh kepada orang lain.

Latihan fungsional berupa latihan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.

Jika latihan fungsional dilakukan berulang – ulang akan menjadikan pengalaman

yang relatif permanen atau menetap dan akhirnya akan menjadi sebuah pengalaman

gerak yang otomatis (Suyono, 1992).

29
BAB III

PROSES ASSEMEN FISIOTERAPI

A. IDENTITAS PASIEN

Nama pasien : Tn. Andi Alwi

Umur : 62 tahun

Jenis kelamin : Laki-Laki

Pekerjaan : Pensuinan PNS

B. HISTORY TAKING

Keluhan utama : kelemahan sisi tubuh sebelah kiri

Lokasi keluhan : sisi tubuh sebelah kiri

RPP : beberapa tahun lalu pasien pernah mengalami stroke ringan

kemudian normal kembali. Pasien memiliki riwayat diabetes dan hipertensi. Kurang

30
lebih satuminggu yang lalu pasien kurang tidur pada malam harinya kemudian pagi

hari pasien berolahraga, setelah berolahraga wajah pasien terlihat pucat. Pasien

kemudian beristirahat hingga setelah pasien bangun pada pagi hari pasien merasa

bagian tubuh sebeleh kiri tidak bisa digerakkan.

Riwayat penyakit penyerta : Hipertensi

Diabetes

C. INSPEKSI/OBSERVASI

1. Inspeksi Statis

-Pasien datang menggunakan kursi roda

-Posisi duduk pasien condong ke arah ekstremitas yang mengalami kelemahan

-Tungkai sisi sinistra Nampak drop foot

-Lengan sisi sinistra Nampak deviasi ke ara medial

-Bicara kurang jelas

2. Inspeksi Dinamis

- Pasien kesulitan mengerakkan lengan dan tungkai sisi kiri

D. PEMERIKSAAN/PENGUKURAN FISIOTERAPI

Pemeriksaan :

1. Pemeriksaan Vital Sign

-Tekana darah : 160/90 mmhg

-Frekuensi napas : 18 kali/menit

-Frekuensi Nadi : 80 kali/menit

-Suhu : 36°C

31
2. Pemeriksaan Sensorik

-Tes tajam tumpul : normal

-Tes sensasi suhu : normal

3. Pemeriksaan Refleks

-Bicep reflex : normal

-Tricep refleks : normal

-Patella reflex : normal

-Achilles reflex : normal

4. Pemeriksaan Koordinasi

-Finger to noise : Tidak dapat dilakukan

-Finger to finger : Tidak dapat dilakukan

-Menggenggam : Tidak dapat dilakukan

-Heel to toe : Tidak dapat dilakukan

-Menggambar lingkaran dengan kaki : Tidak dapat dilakukan

-Heel to knee : Tidak dapat dilakukan

5. Palpasi

-Tidak ada oedem

-Tidak ada spasme

-terdapat tenderness

Pengukuran

1. Pengukuran Nyeri

32
Nyeri diam : 0 (tidak ada nyeri)

Nyeri Tekan : 2 (nyeri

E. DIAGNOSA FISIOTERAPI

“GANGGUAN MOTOR FUNCTION WITH KOORDINASI AKIBAT

HEMIPARASE SINISTRA ET CAUSA NHS”

F. PROBLEMATIK FISIOTERAPI

N KOMPONEN ICF PEMERIKSAAN/PENGUKURAN

O YANG MEMBUKTIKAN
1. IMPAIRMENT
a. Gangguan koordinasi Tes koordinasi
b. kelemahan tungkai sisi sinistra Manual muscle testing

c. Tidak mampu menggerakkan Manual muscle testing

lengan sisi sinistra


2. ACTIVITY LIMITATION
a. Kesulitan melakukan transfer Index barthel

position
b. Kesulitan untuk berjalan mandiri Index barthel
c. Gangguan activity daily living Index barthel
3. PERTICIPATION RESTRICTION
a. Pasien mengalami kesulitan Index barthel

dalam melakukan kegiatan sehari-

hari dan berolahraga

BAB IV

INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI

33
A. RENCANA INTERVENSI FISIOTERAPI

1. Tujuan Jangka Panjang

-Memperbaiki keseimbangan

-Memperbaiki koordinasi

-Memperbaiki kemampuan ADL sehingga dapat kembali beraktifiitas seperti

biasanya.

2. Tujuan Jangka Pendek

-Meningkatkan tonus otot

-Meningkatkan kekuatan otot

B. STRATEGI INTERVENSI FISIOTERAPI

N PROBLEMATIK JENIS
TUJUAN INTERVENSI
O FISIOTERAPI INTERVENSI
1. IMPAIRMENT
a. Gangguan koordinasi Untuk meningkatkan
PNF
koordinasi
b. kelemahan tungkai sisi Untuk meningkatkan
PNF
sinistra kekuatan otot
c. Tidak mampu Untuk meningkatkan tonus

menggerakkan lengan otot PNF

sisi sinistra Untuk meningkatkan

kekuatan otot
2. ACTIVITY LIMITATION
Untuk menguatkan otot-otot -PNF

a. Kesulitan melakukan panggul -Bridging exercise

transfer position -Latihan fungsional


b. Kesulitan untuk Melatih keseimbangan -Bridging exercise

34
berjalan mandiri - Latihan fungsional

Untuk meningkatkan dan -Latihan fungsional


c. Gangguan activity
mengembalikan aktifitas
daily living
fungsional
3. PARTICIPATION RESTRICTION

a. Pasien mengalami Untuk meningkatkan dan -PNF

kesulitan dalam mengembalikan aktifitas -Latihan fungsional

melakukan kegiatan fungsional

sehari-hari dan

berolahraga

C. PROSEDUR PELAKSANAAN FISIOTERAPI

1. Bridging exercise

a. Tujuan : untuk meningkatkan kekuatan otot-otot panggul dan melatih

keseimbangan

b. Posisi pasien : Tidur terlentang di atas bed dalam keadaan rileks denga kedua

lutut ditekuk

35
c. Posisi fisioterapis : berada di samping bed

d. Teknik pelaksanaan : kedua tangan fisioterapis berada di lutut pasien untuk

memfiksasi. Kemudian minta pasien untuk mengangkat bokongnya dan

mempertahankan beberapa menit sesuai toleransi pasien

e. Dosis :

F : setiap hari

I : toleransi pasien

T : fisioterapis mengarahkan kepada pasien

T : 8 kali repetis

2. PNF

 Pnf lengan

a. Posisi pasien : pasien dalam posisi tidur terlentang

b. Posisi tangan fisioterapi :

- Tangan kiri fisioterapi memegang bagian posterior palmar pasien pada posisi

lumrical gride (distal)

36
- Tangan kanan fisioterapi pada daerah elbow atau proksimal untuk memfiksasi

agar tidak terjadi fleksi elbow dan untuk membantu gerakan serta memberikan

tahanan.

c. Teknik pelaksanaan

- Fisioterapis menjelaskan pola gerakan terlebih dahulu kepada pasien .

- Pasien diminta untuk melakukan gerakan ekstensi jari-jari tangan, ekstensi

writs,radial deviasi,ekstensi elbow, kemudian pasien diminta menggerakkan

lengan membentuk pola diagonal sambil menggerakkan

supinasi elbow dan fleksi shoulder, ekternal rotasi hingga membentuk abduksi

shoulder.

- Pasien melakukan pola gerakan di atas dengan diberikan tahanan oleh

fisioterapis sambil fisioterapis menginstruksikan”dorong kuat” pada pasien dan

tubuih fisioterapis berputas mengikuti pola gerakan pasien.

d. Posisi lengan fisioterapi

- Tangan kiri fisioterapi memegang bagian anterior palmar pasien pada posisi

lumbrical gride (distal)

- Tangan kanan fisioterapi pada daerah elbow atau proksimal untuk memfiksasi

agar tidak terjadi fleksi elbow dan untuk membantu gerakan serta memberikan

tahanan.

37
e. Teknik pelaksanaan

 Fisioterapis menjelaskan pola gerakan terlebih dahulu kepada pasien

 Pasien diminta untuk melakukan gerakan fleksi jari-jari tangan, fleksi

wrist,radial deviasi dan ektensi elbow, kemudian pasien di minta menggerakkan

lengan membentuk pola diagonal sambil melakukan gerakan supinasi elbow dan

ekternal rotasi hingga membentuk adduksi shoulder

 Pasien melakukan pola gerakan diatas dengan diberikan tahanan oleh fisioterapis

sambil fisioterapis mengistruksikan “dorong kuat” pada paisen dan tubuh

fisioterapis mengikuti pola gerakan pasien

 Pnf tungkai

a. Posisi pasien : tidur terlentang

b. Posisi fisiterapis:

 Berdiri disamping pasien dalam arah diagonal. Berat badan terapis diatas kaki

kiri dapat digunakan untuk melakukan traksi

 Pegangan tangan kiri terapis memeagang tumit kiri pasien dan tanga kanan

terapis memegang dorsum kaki kiri pasien dengan posisi lumbrical grid

c. Teknik pelaksanaan

38
 Fisioterapis memgang tumit kiri pasien dengan tangan kanan, dan tnagan kiri

terapis memgang dorsum kaki kiri pasien dengan posisi lumbrical gride

 Gerakan pasien adalah lateral rotasi hip,inversi+dorsi fleksi ankle/kaki dan

ekstensi jari-jari kaki di ikuti oleh fleksi dan adduksi hip.rotasi harus terjadi

sepanjang gerakan, panjang otot hamstring akan mempengaruhi luasnya

lingkup gerak sendi.

Posisi fisioterapis :

 berdiri disamping pasien dengan pegangan tangan sama seperti pola dasar

 tangan kanan fisioterapis memegang patella pasien

 tangan kiri memegang bagian dorsum kaki pasien

d. Teknik pelaksanaan

e. gerakan yang terjadi adalah fleksi,adduksi,lateral rotasi dengan ditambah fleksi

knee.fleksi knee harus dilakukan secara aktif oleh pasien dan ditahan oleh tangan

kanan terapis.

39
 Terapis harus memastikan bahwa knee dan ankle bergerak secara diagonal

bersamaan untuk mempertahankan vertical satu sama lain.

Latihan fungsional

-Baring ke duduk

a. Tujuan : Untuk meningktakan kemampuan fungsional

b. Posisi pasien : supine lying

c. Posisi fisioterapis : berdiri di samping pasien

d. Teknik pelaksanaan : Fisioterapis mengarahkan pasien untuk tidur menyamping kea

rah yang sehat.kemudian menekuk kedua lutut lalu mendorong ke bawah lalu tangan

tangan yang sehat dijadikan tumpuan diatas bed untuk mengangkat tubuh keatas.

-Duduk ke baring

a. Tujuan : Untuk meningktkan keseimbangan dan kemapuan fungsional

b. Posisi pasien : Duduk

c. Posisi fisioterapis : Berdiri disamping pasien

d. Teknik pelaksanaan : Fisioterapis memfasilitasi tangan pasien lalu mengarahkan

kepada pasien membuka kaki selebar bahu. Lalu tangan pasien menumpu pada kaki

40
untuk membantu mendorong tubuh keatas, setelah itu dorong lutut pasien ke belakang

untuk menjaga keseimbangan

-Berjalan

a. Tujuan : untuk meningktakan fungsional

b. Posisi pasien : Berdiri tegap

c. Posisi fisioterapis : Berdiri disamping pasien

D. Teknik pelaksanaan : fisioterapi mengarahkan untuk menstabilkan lutut, fisiotrapi

memperhatikan posis pasien tetap tegap kemudian arahkan pasien untuk melakukan

pola berjalan.

D. EDUKASI/HOME PROGRAM

1. Pasien harus bisa menyemangati diri sendiri untuk selalu bersemangat untuk

melakukan terapi dan selalu berpikir positif dimana ini dapat memberikan

pengaruh penting dalam proses penyembuhan

2. Ketika berjalan, pola jalan harus diperhatikan. Pastikan pasien tidak berjalan

dengan menyeret tungkai yang lemah

3. Pada saat duduk santai tangan pasien tidak boleh tergantung, harus diberikan

penyangga.

E. EVALUASI FISIOTERAPI

NO INTERVENSI EVALUASI
PROBLEMATIK
AWAL TERAPI AKHIR TERAPI
FISIOTERAPI
1. Kelemahan otot PNF Nilai 2 Nilai 3

tungkai
2. Kelemahan otot PNF Nilai 0 Nilai 2

41
lengan
3. Gangguan PNF Belum mampu Belum mampu

koordinasi dilakukan dilakukan


4. Transfer position B-ridging Melakukan Sudah mampu

exercise transfer position melakukan

-Latihan dari duduk ke transfer position

fungsional baring atau dari duduk ke

sebaliknya baring atau

dengan bantuan sebaliknya

dengan mandiri
Melakukan Melakukan

transfer position transfer position

dari duduk ke dari duduk ke

berdiri atau berdiri atau

sebaliknya sebaliknya

dibantu dengan dibantu dengan

dua orang satu orang


5. Kesulitan untuk -Bridging Belum mampu Sudah mampu

berjalan mandiri exercise dilakukan berjalan dengan

-latihan bantuan

fungsional
6. Gangguan ADL -Bridging Skor 9 Skor 12

exercise

-Latihan

fungsional

42
BAB V

PEMBAHASAN

A. PEMBAHASAN ASSESMEN FISIOTERAPI

1. History Taking

History taking merupakan cerita tentang riwayat penyakit yang diutarakan

oleh pasien melalui tanya jawab, yang disusun secara kronologis yang

memerlukan pemahaman tentang patofisiologi dari pemeriksa. Untuk

mendapatkan history taking yang baik dibutuhkan sikap pemeriksa yang sabar

dan penuh perhatian, serta waktu yang cukup. Cara pengambilan history taking

dapat mengikuti dua pola umum, yaitu :

1) Pasien dibiarkan dengan bebas mengemukakan semua keluhan serta

kelainan yang dideritanya.

2) Pemeriksa membimbing pasien mengemukakan keluhannya atau

kelainannya dengan jalan mengajukan pertanyaan tertentu.

2. Inspeksi/observasi

Inspeksi/observasi merupakan salah satu bentuk pemeriksaan sebelum

menegakkan diagnosa sebuah penyakit. Bentuk dari inspeksi yaitu inspeksi

statis dimana pemeriksa mengamati keadaan pasien dalam keadan statis atau

diam dan inspeksi dinamis yaitu pemeriksan mengamati keadaan pasien dalam

keadaan dinamis atau bergerak. Pengamatan dilakuakn secara detai dari ujung

kepala hingga ujung kaki (head to toe)

3. Pemeriksaan Vital Sign

43
Vital sign atau tanda-tanda vital adalah ukuran statistik berbagai fisiologis yang

digunakan untuk membantu menentukan status kesehatan seseorang, terutama

pada pasien yang secara medis tidak stabil atau memiliki faktor-faktor resiko

komplikasi kardiopulmonal dan untuk menilai respon terhadap intervensi.

Tanda vital juga berguna untuk menentukan dosis yang adekuat bagi tindakan

fisioterapi, khususnya exercise. Vital sign terdiri atas tekanan darah, denyut

nadi,frekuensi napas, dan suhu tubuh

4. Pemeriksaan Sensorik

Sensory integration merupakan proses mengenal, mengubah, dan

membedakan sensasi dari sistem sensory untuk menghasilkan suatu respons

berupa “perilaku adaptif bertujuan”. Pada tahun 1972, A. Jean Ayres

memperkenalkan suatu model perkembangan manusia yang dikenal dengan teori

SI. Menurut teori Ayres, SI terjadi akibat pengaruh input sensory, antara lain

sensasi melihat, mendengar, taktil, vestibular dan proprioseptif. Proses ini

berawal dari dalam kandungan dan memungkinkan perkembangan respons

adaptif, yang merupakan dasar berkembangnya keterampilan yang lebih

kompleks, seperti bahasa, pengendalian emosi, dan berhitung.

Tujuan untuk mencari deficit sensibilitas (daerah-daerah dengan sensibilitas

yang abnormal,bisa hiperestesi, hipalgesia, atau hyperalgesia) dan mencari

gejala-gejala lain ditempat gangguan sensibilitas tersebut, misalnya atrofi,

kelemahan otot, reflex menurun atau negative, menurut distribusi dermatom.

( Evy Sulistyoningrum ,2005)

Dari pemeriksaan Sensorik pada pasien dengan diagnosis “Gangguan Motor

Function with koordinasi Akibat Hemiparese Et Causa NHS” yang meliputi tes

44
tajam-tumpul, panas-dingin, posisi, dan arah gerak maka didapatkan semua

hasilnya normal.

5. Pemeriksaan Koordinasi

Koordinasi adalah kemampuan untuk mempersatukan atau memisahkan

dalam suatu tugas kerja yang kompleks, dengan ketentuan bahwa gerakan

koordinasi meliputi kesempurnaan waktu antara otot dan sistem saraf

(Knudson,2007). Pemeriksaan koordinasi dilakukan untuk mengetahui tingkat

koordinasi pasien saat dilakukan tes koordinasi selain factor kemampuan

melainkan gerakan, factor kecepatan juga harus dipertimbangkan. (Sullivan dan

Schmitez, dikutip oleh Pudjiastuti dan Utomo, 2003)

Dari pemeriksaan koordinasi pada pasien dengan diagnosis “Gangguan Motor

Function with koordinasi Akibat Hemiparese Et Causa NHS” pada T0 pasien

tidak bisa melakukan berbabagi tes koordinasi setelah melakukan terapi 5 kli

pasien belum mampu melakukan berbagai gerakan koordinasi.

6. Pemeriksaan Reflex

Uji refleks menjadi salah satu tes yang penting dan harus dilakukan pada

pemeriksaan neurologis, terutama apabila seseorang diduga memiliki kelainan

neurologis. Uji refleks digunakan untuk mengukur keberadaan dan tingkat

kekuatan beberapa refleks pada tubuh, sehingga dapat diperkirakan tingkat

integritas dari sirkuit saraf yang terlibat. Uji yang sederhana biasanya dilakukan

hanya untuk mengecek integritas spinal cord, sedangkan uji yang lebih kompleks

dan lebih lengkap dapat dilakukan untuk mendiagnosis keberadaan serta lokasi

dari kerusakan spinal cord ataupun penyakit neuromuscular (Robinson, 2002).

45
Tes reflek merupakan informasi penting yang sangat menentukan maka

penilaiannya harus tepat dan secara banding antara kanan dan kiri. Disamping itu

posisi anggota gerak harus sepadan pada waktu perangsangan dilakukan.

Reflek Fisiologis atau Reflek Tendon meliputi : Biceps, Triceps, Patella,

Achiles, Adapun cara pemeriksaanya antara lain : teknik pengetukan pada reflek

tendon boleh dipegang secara keras. Gagang pada reflek dipegang dengan ibu jari

telunjuk sedemikian rupa sehingga palu dapat diayunkan bebas. Pengetukan tidak

boleh seolah-olah memotong atau menebas kayu, melainkan menjatuhkan secara

terarah, kepala palu reflek ke tendon/periosteum. Dalam hal itu, gerakan

pengetukan berpangkal pada sendi pergelangan tangan dan bukanya lengan yang

mengangkat palu reflek. Kemudian tangan menjatuhkan kepala palu reflek secara

lurus ke tendon/periosteum (Sidharta,1999).

Dari pemeriksaan Reflek Fisiologi atau Reflek Tendon pada pasien dengan

diagnosis “Gangguan Motor Function with koordinasi Akibat Hemiparese Et

causa NHS” didapati hasil normal pada Biceps, Triceps, patella dan Achilles.

7. Pemeriksaan kekuatan otot

Pengukuran kekuatan otot adalah suatu pengukuran untuk mengevaluasi

kontraktilitas termasuk didalamnya otot dan tendon dan kemampuannya dalam

menghasilkan suatu usaha. Pemeriksaan otot diberikan kepada individu yang

dicurigai atau aktual mengalami gangguan pada otot baik kekuatan maupun daya

tahannya. Identifikasi dini dari gangguan otot ini dapat dijadikan dasar intervensi

yang tepat untuk latihan penguatan otot (Torpey, 2010).

Penilaian Kekuatan Otot mempunyai skala ukur yang umumnya dipakai

untuk memeriksa penderita yang mengalami kelumpuhan selain mendiagnosa

46
status kelumpuhan juga dipakai untuk melihat apakah ada kemajuan yang

diperoleh selama menjalani perawatan atau sebaliknya apakah terjadi penurunan

pada penderita. (Suratun, dkk, 2008).

Pengukuran kekuatan otot dapat dilakukan dengan menggunakan pengujian

otot secara manual yang disebut dengan MMT (manual muscle testing).

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan otot mengkontraksikan

kelompok otot secara volunter. (Pudjiastuti dan Utomo, 2003). Manual Muscle

Testing (MMT) merupakan salah satu bentuk pemeriksaan kekuatan otot yang

paling sering digunakan. Hal tersebut karena penatalaksanaan, intepretasi hasil

serta validitas dan reliabilitasnya telah teruji. Namun demikian tetap saja, manual

muscle testing tidak mampu untuk mengukur otot secara individual melainkan

group / kelompok otot. (Bambang, 2012).

Untuk pengkajian kekuatan otot, pasien berada dalam posisi stabil. Klien

melakukan manuver yang memperlihatkan kekuatan kelompok otot utama.

Bandingkan kesimetrisan pasangan otot berdasarkan skala 0 sampai 5. Perhatikan

tiap kelompok otot. Minta klien untuk memfleksikan otot yang diperiksa dan

mencoba melawan saat diberikan dorongan berlawanan terhadap fleksi tersebut.

Jangan biarkan pasien menggerakkan sendi. Tingkatkan tekanan secara bertahap

terhadap kelompok otot (misalnya: ekstensi siku). Minta pasien menahan tekanan

yang diberikan dengan mencoba bergerak melawan tahanan (misalnya: fleksi

elbow). Pasien terus melawan sampai diminta berhenti (Potter & Perry, 2010)

Dari pengukuran kekuatan otot dengan Manual Muscle Testing (MMT)

yang dilakukan pada pasien dengan diagnosis “Gangguan Motor Function with

koordinasi Akibat Hemiparese Et Causa NHS” pada saat T0 didapatkan skor

47
MMT ekstremitas superior sinistra bernilai 2 dan ekstremitas inferior sinistra

bernilai 0. Dan setelah dilakukan terapi selama 5 kali terapi pasien mengalami

peningkatan kekuatan otot, dengan hasil akhir T5 skor MMT ekstremitas superior

sinistra menjadi 2 dan ekstremitas inferior dekstra menjadi 3.

8. Indeks Barthel

Pengukuran kemampuan fungsional dengan Indeks Barthel menggunakan

10 aktivitas sehari-hari dengan poin nilai masing-masing. Indeks Barthel

digunakan untuk mengukur kemandirian fungsional dalam hal perawatan diri dan

mobilitas serta dapat digunakan sebagai kriteria dalam menilai kemampuan

fungsional bagi pasien pasca stroke. Indeks Barthel sudah dikenal luas memiliki

kehandalan dan kesahihan yang tinggi, karena dengan pengamatan yang berulang

dari orang yang berbeda akan menghasilkan kesesuaian yang sangat memadai

(Sugiarto, 2005).

Intepretasi hasil penilaiannya adalah sebagai berikut: 0-4 ketergantungan

total, 5-8 ketergantungan berat, 9-11 ketergantungan sedang, 12-19

ketergantungan ringan, 20 ketergantungan mandiri. Dari pengukuran Indeks

Barthel yang dilakukan pada pasien dengan diagnosis “Gangguan Motor

Function with koordinasi Akibat Hemiparese Et Causa Non Hemoragic Stroke”

pada saat T0 didapatkan skor 9 dan setelah dilakukan 5 kali terapi pasien

mengalami peningkatan dalam aktivitas fungsionalnya. Dengan hasil akhir T5

skor pasien menjadi 12 yang berarti kemampuan pasien dari terapi ke terapi

semakin membaik,

48
.

B. PEMBAHASAN INTERVENSI FISIOTERAPI

1. Proprioceptive Neuromuscular Facilitation

PNF adalah terapi latihan yang menggabungkan fungsional pola diagonal

berdasarkan gerakan dengan teknik fasilitasi neuromuskuler untuk

membangkitkan respon motorik dan meningkatkan kontrol neuromuskular dan

fungsi. Metode ini berusaha memberikan rangsangan-rangsangan yang sesuai

dengan reaksi yang dikehendaki, yang pada akhirnya akan dicapai kemampuan

atau gerakan yang terkoordinasi. (Kisner, 2007)

Tehnik-tehnik PNF adalah alat fasilitasi yang bertujuan untuk mengajarkan

pola gerak, menambah kekuatan otot, relaksasi, memperbaiki koordinasi,

memperbaiki gerak, mengajarkan kembali gerakan, menambah stabilisasi.

(Alim, 2012)

Dari intervensi PNF pada pasien dengan diagnosis “Gangguan Motor

Function with koordinasi Akibat Hemiparese Et Causa Non Hemoragic Stroke”

didapati adanya peningkatan kekuatan otot ekstremitas superior sinistra dari 2

menjadi 3 dan ekstremitas inferior sinistra dari 0 menjadi 2, bertambahnya

kemandirian pada aktivitas sehari-hari dimana T0 pasien masih termasuk

ketergantungan sedang dengan nilai 9 dan setelah 5 kali terapi dengan T5 pasien

sudah dikategorikan ketergantungan ringan dengan nilai 12.

2. Bridging exercise

Bridging exercise biasa disebut pelvic bridging exercise yang mana

latihan ini baik untuk latihan penguatan stabilisasi pada glutei, hip dan

49
punggung bawah (Miller, 2012). Bridging exercise adalah cara yang baik

untuk mengisolasi dan memperkuat otot gluteus dan hamstring (belakang kaki

bagian atas ). Jika melakukan latihan ini dengan benar, bridging exercise

digunakan untuk stabilitas dan latihan penguatan yang menargetkan otot perut

serta otot-otot punggung bawah dan hip. Akhirnya, bridging exercise dianggap

sebagai latihan rehabilitasi dasar untuk meningkatkan stabilitas atau

keseimbangan dan stabilisasi tulang belakang (Quinn, 2012).

Meskipun bridging exercise merupakan latihan yang mudah untuk dilakukan,

sangat bermanfaat dalam mempertahankan kekuatan di punggung bawah dan

berguna dalam program pencegahan sakit punggung bawah. Bridging exercise

juga merupakan latihan yang bagus yang memperkuat otot-otot paraspinal, otot-

otot kuadrisep di bagian atas paha, otot-otot hamstring di bagian belakang paha,

otot perut dan otot- otot glutealis (Cooper, 2009).

3. Latihan fungsional

Pada pasien stroke non haemoragik stadium recovery terjadi gerak anggota

tubuh yang lesi dengan total gerak sinergis sehingga dapat membatasi dalam gerak

untuk aktivitas fungsional dan membentuk pola abnormal (Rahayu, 1992). Latihan

fungsional dimaksudkan untuk melatih pasien agar dapat kembali melakukan

aktivitas sehari-hari secara mandiri tanpa menggantungkan penuh kepada orang lain.

Latihan fungsional berupa latihan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.

Jika latihan fungsional dilakukan berulang – ulang akan menjadikan pengalaman

yang relatif permanen atau menetap dan akhirnya akan menjadi sebuah pengalaman

gerak yang otomatis (Suyono, 1992).

50
Latihan fungsional seperti latihan duduk ke berdiri dan latihan jalan. Latihan

duduk ke berdiri merupakan latihan untuk memperkuat otot-otot tungkai dan

mempersiapkan latihan berdiri (Davies, 1985). Latihan jalan merupakan komponen

yang sangat penting agar pasien dapat melakukan aktivitas berjalan dengan pola yang

benar (Davies, 1985)

Dari pemeriksaan koordinasi pada pasien dengan diagnosis “Gangguan Motor

Function with koordinasi Akibat Hemiparese Et Causa Non Hemoragic Stroke”

pada T0 pasien tidak bisa melakukan transfer position yaitu duduk ke berdiri dan

sebaliknya pasien juga belum mampu berdiri sendiri pada T5 pasien sudah

mampu melakukan transfer position dari duduk ke berdiri ataupun sebaliknya

pasien juga sudah mampu berdiri dengan bantuan satu orang.

51
BAB VI

PENUTUP

Stroke non Hemoragic adalah gangguan peredaran darah pada otak yang

disebabkan oleh penyumbatan pembuluh darah arteri ,sehingga menimbulkan

infark/ischemic. Hal ini biasa terjadi pada saat penderita istirahat ,tidak terjadi suatu

pendarahan dan kesadaran penderita baik.

Hemiparese merupakan salah satu tanda adanya gangguan pada Upper Motor

Neuron yang penyebab salah satunya adalah bekuan darah yang menyumbat lumen

pembuluh darah sehingga menyebabkan gangguan struktur anatomi dan fungsi otak.

Otak mengalami kerusakan pada sel-sel atau jaringan otak yang akhirnya tidak

mampu memberikan suplai darah pada daerah yang diinervasinya.

Hemiparese adalah kelemahan atau kerusakan yang menyeluruh, tetapi

belum meruntuhkan semua neuron korteks piramidalis sesisi, menimbulkan

kelumpuhan pada belahan tubuh kontralateral yang ringan sampai sedang.

Fisioterapi berperan dalam proses penyembuhan pasca stroke dengan

beberapa modalitas yang bisa digunakan pada pasien hemiparese yaitu terapi

latihan, konsep PNF, dan bridging exercise dengan tujuan meningkatkan

keseimbangan, meningkatkan tonus dan kekuatan otot sehingga dapat

mengembalikan aktifitas fungsional.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Refi Yulita (15 Februari 2016). Anatomi dan Fisioologi Otak. Dikutip 18 September 2019
https://www.academia.edu/10041909/A._ANATOMI_DAN_FISIOLOGI_OTA K
2. Endra Yuda (4 November 2013). Patofisiologi Tumor Otak. Dikutip 18 September 2019
https://feelinbali.blogspot.com/2013/11/patofisiologi -tumor-otak.html
3. HelloSehat (7 Juli 2017). Apa itu Hemiplegia. Dikutip 18 September 2019
https://hellosehat.com/penyakit/hemiplegia/
4. Liza Dwi Januaryana (13 Agustus 2016). Makalah Penatalaksanaan Fisioterapi pada
Kasus Hemiparese. Dikutip 18 September 2019 https://lizafisioterapi.blogspot.com
5. School of Physiotherapy, 2001, Physiotherapy studies 1 : Neurological Physiotherapy,
School of Physiotherapy The University of Melbourne

6. Iradian Nastiti (2016). Penatalaksanaan Fisioterapi pada Pasien Post Stroke di RST. DR.
Soedjono Magelang. Dikutip 24 November 2020

http://eprints.ums.ac.id/45525/3/HALAMAN%20DEPAN.pdf

7. Putri Ni’matul Lillah (2012). Rancang Bangun Electrical Stimulator Berbasis


Mikrokontroler Sebagai Pengganti Palu Refleks (Hammer Reflex). Dikutip 24 November
2020

http://repository.unair.ac.id/25565/

8. Ika Yussi Nirmawati (30 juli 2009). Penatalaksanaan Terapi Latihan pada Pasien Paska
Stroke Hemorage Dekstra Stadium Recovery. Dikutip 24 November 2020

http://eprints.ums.ac.id/6637/2/J100060059.pdf

9. Ling Oktraningsih (Agustus 2017). Gambaran Kekuatan Otot Pasien Stroke yang
Immobilisasi di RSUP H. Adam Malik Medan. Dikutip 24 November 2020

http://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/1531/131101089.pdf?
sequence=1&isAllowed=y

53
10. Talelli P, Greenwood RJ, Rothwell JC. Fungsi lengan setelah stroke: 
korelasi neurofisiologis dan mekanisme pemulihan dinilai dengan stimulasi
magnetik transkranial. Clin Neurophysiol 200; 117: 1641–59

54

Anda mungkin juga menyukai