OLEH:
MULDIANTI
PO.714.241.18.1.053
Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang memberikan
arahan selama menyusun laporan ini. Saya berharap hasil Laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi Mahasiswa Fisioterapi Khususnya dan seluruhnya mahasiswa pada
umumnya.
Penyusun
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut The Healthy Back Institute (2010), daerah lumbal merupakan
daerah vertebra yang sangat peka terhadap terjadinya cedera atau kerusakan karena
daerah lumbal paling besar menerima beban saat tubuh bergerak dan saat menumpu
berat badan. Disamping itu, gerakan membawa atau mengangkat objek yang sangat
berat biasanya dapat menyebabkan terjadinya cedera pada lumbal spine (Bellenir,
2008). Salah satu diantaranya adalah Herniated Nucleus Pulposus (HNP).
HNP adalah penonjolan matriks nukleus pulposus ke kanalis vetebralis yang
berakibat terjadinya kompresi pada saraf spinalis (Sarno, 2010). HNP merupakan
salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan nyeri serta gangguan gerak
dan fungsional seseorang. Menurut sebuah clinical evidence oleh Jo Jordan (2010),
prevalensi dari HNP adalah sebanyak 1% sampai 3% di Finlandia dan Italia dimana
kondisi ini dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Prevalensi tertinggi terjadi pada
usia 30 sampai 50 tahun dengan rasio laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Pada usia
25 sampai 55 tahun, sekitar 95% HNP terjadi di lower lumbal spine (L4-L5 dan L5-
S1). HNP yang terjadi di atas level tersebut lebih umum dialami oleh orang yang
berusia diatas 55 tahun
HNP lumbar paling sering terjadi pada pria dewasa, dimana insiden puncak
terjadi pada usia 40-an dan 50-an namun rata-rata terkena pada usia 35 tahun.
Hampir 2/3 dari seluruh penyakit diskus intervertebralis selalu melibatkan lumbal
spine. HNP lumbar sering terjadi pada segmen L4 – L5 dan L5 – S1 yaitu sekitar
90% - 95% dari kasus diskus intervertebralis (Heliovaara et al, 2007).
HNP lumbar bisa menyebabkan keterbatasan ROM dalam bidang sagital.
Hal ini disebabkan karena gerakan fleksi dapat menyebabkan diskus semakin
menonjol kearah posterior sehingga akan semakin menekan akar saraf. Untuk
menghindari hal tersebut maka pasien HNP lumbar enggan melakukan gerakan
membungkuk dan gerakan ke belakang, sehingga lama kelamaan terjadi spasme otot
disekitar area lumbal dan keterbatasan ROM. Selain itu, umumnya ditemukan
1
adanya keterbatasan fleksi hip yang dapat menganggu aktivitas sehari-hari, karena
gerakan tersebut menyebabkan tension pada saraf ischiadicus dan akar sarafnya
sehingga dapat memperbesar tekanan pada akar sarafnya (Ciaccio et al, 2012)
Pada umumnya penderita HNP lumbar mengalami kesulitan dalam
melakukan aktivitas fungsional yang melibatkan beban dan gerak pada lumbal
seperti aktivitas duduk saat bekerja, berjalan, membungkuk, memindahkan dan
mengangkat objek. Hambatan fungsional tersebut menyebabkan penderita HNP
lumbar tidak mampu melakukan aktivitas pekerjaan dalam waktu yang lama.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Kasus
1. Definisi
Herniated Nucleus Pulposus (HNP) atau herniasi diskus intervertebralis,
yang sering pula disebut sebagai Lumbar Disc Syndrome atau Lumbosacral
Radiculopathies adalah penyebab tersering nyeri punggung bawah yang bersifat
akut, kronik, atau berulang. HNP adalah suatu penyakit dimana bantalan lunak
diantara ruas-ruas tulang belakang (soft gel disc atau nucleus pulposus)
mengalami tekanan di salah satu bagian posterior atau lateral sehingga nucleus
pulposus pecah dan meluruh, akibatnya terjadi penonjolan melalui annulus
fibrosus ke dalam kanalis spinalis dan menyebabkan penekanan akar saraf
(Leksana, 2013).
Hernia Nukleus Polposus (HNP) lumbar umumnya menimbulkan gejala
ischialgia. Keluhan ischialgia sering muncul setelah melakukan aktivitas yang
berlebihan, terutama banyak membungkukkan badan atau banyak berdiri dan
berjalan. Jika dibiarkan maka semakin lama mengakibatkan kelemahan anggota
badan bawah atau tungkai bawah yang disertai dengan mengecilnya otot-otot
tungkai bawah tersebut (Kuntono, 2000)
Gambar 2.1
3
2. Anatomi Lumbal
a. Anatomi Segmen Gerak
1) Diskus Intervertebralis
Diantara dua korpus vertebra dihubungkan oleh diskus
intervertebralis, merupakan fibrocartilago compleks yang membentuk
articulatio antara corpus vertebra, dikenal sebagai symphisis joint. Diskus
intervertebralis pada orang dewasa memberikan kontribusi sekitar ¼ dari
tinggi spine. (Dutton, 2002)
Gambar 2.2
Diskus Intervertebralis
Sumber : Dutton (2002)
4
lebih sensitif pada strain rotasi daripada beban kompresi, tension, dan
shear. Orientasi serabutnya juga memberikan kekuatan tension ketika
vertebra mengalami beban kompressi, twisting, atau pembengkokan
sehingga membantu mengendalikan gerakan vertebra yang beragam.
Susunan serabutnya yang kuat melindungi nukleus di dalamnya dan
mencegah terjadinya prolapsus nukleus.
2) Facet Joint
Facet joint dibentuk oleh processus articularis superior dari vertebra
bawah dengan processus articularis inferior dari vertebra atas. Facet joint
termasuk dalam non-axial diarthrodial joint. Setiap facet joint mempunyai
cavitas articular dan terbungkus oleh sebuah kapsul. Gerakan yang terjadi
pada facet joint adalah gliding yang cukup kecil, sehingga memungkinkan
terjadi gerak tertentu yang lebih dominan pada segmen tertentu. Fungsi
mekanis facet joint adalah mengarahkan gerakan. Besarnya gerakan pada
setiap vertebra sangat ditentukan oleh arah permukaan facet articular
(Levangie and Norkin, 2005).
Pada regio lumbar kecuali lumbosacral joint, facet articularisnya
terletak lebih dekat kedalam bidang sagital. Facet bagian atas menghadap
kearah medial dan sedikit posterior, sedangkan facet bagian bawah
menghadap kearah lateral dan sedikit anterior. Kemudian, facet bagian
atas mempunyai permukaan sedikit konkaf dan facet bagian bawah adalah
konveks. Karena bentuk facet ini, maka vertebra lumbar sebenarnya
terkunci melawan gerakan rotasi sehingga rotasi lumbar sangat terbatas.
Facet artikularis lumbosacral terletak sedikit lebih kearah bidang frontal
daripada sebenarnya pada sendi-sendi lumbar lainnya (Levangie and
Norkin, 2005).
3. Biomekanik Lumbal
Regio Lumbopelvic bergerak dalam koordinasi dengan hip joint untuk
membentuk lumbopelvic rhythm saat gerakan fleksi dan ekstensi lumbar. Dalam
posisi berdiri dengan ekstensi knee, gerakan fleksi trunk dihasilkan melalui fleksi
5
hip, anterior pelvic tilt, dan fleksi lumbar. Kontribusi relatif dari total lingkup
gerak sendi fleksi lumbar bergantung pada panjang otot (contohnya m.
hamstring), mobilitas sendi (contohnya hip joint, facet joint, dan sacroiliaca
joint), dan kontrol neuromuskular. Untuk fungsional yang baik dari lumbopelvic
rhythm, fleksi hip harus lebih besar daripada fleksi lumbar dan harus terjadi
pertama kali saat aktivitas fungsional. (Reese dan bandy, 2010)
Facet joint memiliki dua prinsip gerakan : translation (slide, slope, atau
glide) dan distraction (gapping). Ketika upglide terjadi pada kedua sisi secara
simultan, maka menghasilkan gerak fleksi lumbar. Sebaliknya, ketika downglide
terjadi pada kedua sisi secara simultan, maka menghasilkan gerak ekstensi
lumbar. Gerak fleksi lumbar akan melibatkan flattening lordosis lumbar,
khususnya pada level upper lumbar, dan melibatkan kombinasi rotasi sagital ke
anterior dan translasi superior anterior (yakni upglide) pada facet joint secara
bilateral. (Darlene Hertling, 2006)
Ketika upglide terjadi pada satu sisi dengan downglide pada sisi
kontralateral, maka menghasilkan gerakan lateral fleksi. Distraksi terjadi dengan
axial rotasi dari lumbar ketika satu facet terkompresi dan menjadi fulcrum dan
ketika facet sisi rotasi mengalami distraksi. (Schenk, 2005)
Penemuan lainnya menunjukkan bahwa pasien dengan Chronic Low Back
Pain (CLBP) dapat terjadi tiga pola gerakan berpasangan yang berbeda, antara
lain : lateral fleksi disertai dengan axial rotasi (normal) dalam arah yang
berlawanan, lateral fleksi disertai dengan rotasi dalam arah yang sama, atau tidak
terjadi gerakan berpasangan antara lateral fleksi dan rotasi. Dalam satu
penelitian, hanya 14% pasien yang memiliki pola gerakan berpasangan normal
yaitu gerak berpasangan axial rotasi yang berlawanan arah dengan lateral fleksi.
Sekitar 50% menunjukkan gerak berpasangan axial rotasi dalam arah yang sama
dengan lateral fleksi dan sisanya menunjukkan tidak ada gerak pasangan rotasi
dengan lateral fleksi. (Legaspi dan Edmond, 2007)
menyempurnakan review literatur yang luas dalam beberapa penelitian (n =
32) dengan mengukur gerak segmental berpasangan pada lumbar dan
6
menyimpulkan bahwa tidak ada pola gerakan berpasangan yang konsisten terlihat
saat lateral fleksi atau rotasi lumbar. Sekitar 29% penelitian menunjukkan
gerakan lateral fleksi menjadi gerakan pertama yang terjadi, dimana sebagian
besar sampel menunjukkan gerakan lateral fleksi dan rotasi adalah berpasangan
dalam arah berlawanan. Meskipun demikian, 33% penelitian lainnya
menunjukkan bahwa gerakan berpasangan lateral fleksi dan rotasi adalah
bervariasi, bergantung pada level spinal. Sebanyak 45% penelitian dengan rotasi
yang menjadi gerak pertama ditemukan bahwa gerak berpasangan antara lateral
fleksi dan rotasi tidak konsisten, dan 45% penelitian lainnya menemukan bahwa
sebagian besar sampel memiliki gerak berpasangan yang bervariasi, bergantung
pada level spinal. (Legaspi dan Edmond, 2007)
Lapisan dari serabut annulus fibrosus memiliki orientasi oblique yang
memungkinkan hanya setengah dari serabut yang mengalami ketegangan
(tension) selama rotasi. Fleksi lumbar menyebabkan tension pada seluruh serabut
posterior annulus fibrosus sehingga gerakan kombinasi rotasi dan fleksi dapat
menghasilkan ketegangan yang berlebihan pada serabut posterior annulus
fibrosus. Nachemson mengukur tekanan intradiskal pada vertebra L3 dalam
beragam posisi dan menemukan bahwa tekanan diskus intervertebralis paling
besar terjadi pada posisi duduk dan badan condong ke depan 20° dengan beban
jatuh pada kedua tangan. Posisi berdiri memiliki sedikit tekanan intradiskal
dibandingkan posisi duduk, dan posisi terlentang adalah posisi dengan beban
tekanan intradiskal yang paling sedikit. Penelitian Nachemson memberikan dasar
untuk pembuatan keputusan klinis yang berkaitan dengan interpretasi sifat gejala-
gejala pasien dengan gejala diskogenik. Sebagai contoh, jika gejala low back
pain dan leg pain diprovokasi saat duduk dan badan condong ke depan, maka
kemungkinan gejala-gejala berasal dari peningkatan kondisi diskogenik. (Reese
dan bandy, 2010)
4. Etiologi
Herniated Nucleus Pulposus (HNP) dapat disebabkan oleh beberapa hal
berikut ini :
7
a. Degenerasi diskus intervertebralis. Penyebab dari HNP biasanya sejalan
dengan meningkatnya usia dimana terjadi perubahan degeneratif yang
mengakibatkan kurang lentur dan tipisnya nucleus pulposus (Moore dan Agur,
2013).
b. Trauma minor pada pasien lanjut usia dengan degenerasi
c. Trauma berat atau jatuh dengan posisi duduk
d. Mengangkat atau menarik benda berat
Selain itu, sebagian besar HNP juga disebabkan karena adanya trauma
derajat sedang yang berulang-ulang pada diskus intervertebralis sehingga
menimbulkan sobeknya annulus fibrosus. Kebanyakan pasien dengan gejala
trauma yang tiba-tiba, cedera pada diskus tidak terlihat gejalanya selama
beberapa bulan atau bahkan dalam beberapa tahun (Helmi, 2012).
Bukti radiografi dari HNP tidak selalu dapat memperkirakan kondisi nyeri
punggung bawah ke depannya yang berhubungan dengan gejalanya. Sekitar 19%
sampai 27% orang terdiagnosis oleh radiografi memiliki HNP tanpa
menunjukkan gejala. Faktor resiko dari HNP termasuk merokok, olah raga
dengan weight bearing (weight lifting, hammer throw), serta aktivitas berulang
seperti mengangkat beban yang berat. (Jordan, 2006).
5. Patofisiologi
Protrusi atau ruptur nukleus pulposus biasanya didahului dengan
perubahan degeneratif yang terjadi pada proses penuaan. Adanya trauma
sebelumnya atau mekanikal stress minor yang berulang-ulang seperti
mengangkat atau memindahkan barang yang tidak benar dapat melemahkan
serabut annulus fibrosus sehingga mudah mengalami kerobekan. (Hertling and
Kessler, 2006).
8
dilanjutkan dengan tujuan terapi, penatalaksanaan fisioterapi serta tindak lanjut dan
evaluasi.
1. Pengkajian Data
Dalam pengkajian fisioterapi, proses pemeriksaan untuk menentukan
problematika pasien dimulai dari anamnesa, pemeriksaan, dan dilanjutkan
dengan menentukan diagnose fisioterapi.
2. Anamnesis
Anamnesis merupakan suatu tindakan pemeriksaan yang dilakukan dengan
mengadakan Tanya jawab kepada pasien secara langsung (auto anamnesis)
ataupun dengan mengadakan Tanya jawab kepada pasien secara langsung (hetero
anamnesis) mengenai kondisi/ keadaan penyakit pasien. Dengan melakukan
anamnesis ini akan diperoleh informasi-informasi penting untuk membuat
diagnosis. Anamnesis dikelompokan menjadi dua yaitu anamnesis umum dan
anamnesis khusus.
1) Anamnesis Umum
Identitas pasien
Data identitas pasien yang diperoleh berupa nama, jenis kelamin, umur,
agama, pekerjaan, serta alamat pasien.
2) Anamnesis Khusus
a. Keluhan utama
Merupakan satu atau lebih keluhan atau gejala dominan yang
mendorong penderita untuk mencari pertolongan.
b. Kapan terjadi
Merupakan waktu awal terjadinya keluhan pada pasien yang
dirasakan hingga saat diberikan terapi.
c. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan rincian keluhan dan menggambarkan proses terjadinya
riwayat penyakit secara kronologis dengan secara jelas dan lengkap.
Yang isinya kapan mulai terjadinya, sifatnya seperti apa, manifestasi
lain yang menyertai, penyebab sakit, dan lain-lain.
9
d. Riwayat penyakit dahulu / penyerta
Pertanyaan diarahkan pada penyakit-penyakit yang pernah dialami
yang tidak berkesinambungan dengan munculnya keluhan sekarang.
e. Riwayat pribadi
Riwayat pribadi adalah hal-hal atau kegiatan sehari-hari yang
dilakukan pasien menyangkut hobi atau kebiasaan Riwayat penyakit
keluarga
f. Riwayat keluargaa dalah penyakit-penyakit yang bersifat menurun dari
orang tua atau keluarga yang lain .
3. Pemeriksaan Fisioterapi
Pemeriksaan yang dilakukan dibagi menjadi dua, antara lain:
1) Pemeriksaan fisik
a. Tanda – tanda Vital
Pemeriksaan tanda-tanda vital diperoleh data sebagai berikut: (1)
tekanan darah, (2) denyut nadi, (3) pernafasan (4) temperatur.
b. Inspeksi
Inspeksi adalah pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati.
Ada dua macam yaitu inspeksi statis dan inspeksi dinamis.Inspeksi statis
adalah inspeksi dimana pasien dalam keadaan diam, sedangkan inspeksi
dinamis adalah inspeksi dimana pasien dalam keadaan bergerak.
c. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar
Pemeriksaaan fungsi gerak adalah suatu cara pemeriksaan dengan
melakukan yang terdiri dari pemeriksaan gerak aktif, pasif, dan
isometrik melawan tahanan..
Pemeriksaan Fungsi Gerak Aktif
Pemeriksaan fungsi gerak yang dilakukan secara mandiri oleh
pasien tanpa bantuan dari orang lain atau terapis. Hasil yang
didapat dari pemeriksaan fungsi gerak dasar aktif adalah nyeri
dan keterbatasan gerak.
Pemeriksaan Fungsi Gerak Pasif
10
Pemeriksaan fungsi gerak yang dilakukan terapis sementara
pasien dalam keadaan pasif atau rileks. Hasil yang didapat dari
pemeriksaan fungsi gerak dasar pasif adalah nyeri, keterbatasan
gerak dan end feel.
Pemeriksaan Fungsi Gerak Isometrik Melawan Tahanan
Pemeriksaan fungsi gerak yang dilakukan terapis dengan
memberikan tahanan pada pasien saat melakukan gerakan.
Hasil yang didapat dari pemeriksaan fungsi gerak dasar
Isometrik Melawan Tahanan adalah nyeri, dan kualitas otot.
2) Pemeriksaan Spesifik
a. Patrick Test
Patrick test bertujuan untuk mendeteksi patologi pada hip, lumbar,
atau SI Join Dysfunction dengan Teknik Pasien terlentang dalam posisi
comfortable. Praktikan selanjutnya secara pasif menggerakkan tungkai
pasien yang dites kearah fleksi knee dengan menempatkan ankle diatas
knee pada tungkai pasien yang satunya. Praktikan kemudian memfiksasi
SIAS pasien pada tungkai yang tidak di tes dengan menggunakan satu
tangan dan tangan satunya pada sisi medial knee pasien yang dites, lalu
menekan tungkai pasien kearah abduksi. yang interpretasinya yaitu
Positif nyeri pada bagian hip, lumbar, dan atau SIJ.
b. SLR Test
Tes ini dikenal juga dengan Laseque’s test. Tes ini dilakukan untuk
meregangkan saraf sciatic pada pasien Ischialgia di level L4-L5 atau L5-
S1 yang menyebabkan tekanan pada akar saraf L5 atau S1 (Gross,
2009). Tes ini dilakukan dengan cara pasif, posisi pasien tidur telentang
dengan tungkai lurus normal, hip medial rotasi dan adduksi, lutut
ekstensi, setelah itu terapis memfleksikan atau mengangkat tungkai
antara 350-700 tersebut sampai pasien mengeluh nyeri atau kaku di
posterior paha (Magee, 2006). Hasil dikatakan positif bila timbul rasa
nyeri sepanjang perjalanan saraf iskhiadikus dan kemungkinan ada
11
penekanan pada akar saraf, bila tes negatif kemungkinan penekanan
akar saraf kecil (Tjokorda, 2009). Namun dalam penderita nyeri
punggung bawah miogenik hasil tes ini negatif, karena tidak ada
keterlibatan radik vertebra (Willms, 2005).
c. Palpasi
Palpasi merupakan cara pemeriksaan dengan cara meraba, menekan
dan memegang organ atau bagian tubuh pasien dimana untuk
mengetahui adanya nyeri tekan, spasme otot, suhu local, tonus otot, dan
oedema.
d. Palpasi tenderness
e. Femoral Stretch Test
f. Kompresi Test
g. Anti Patrick Test
h. Dermatom Test
i. Myotom Test
4. Pengukuran Fisioterapi
a. Visual Analog Scale (VAS)
Vas digunakan untuk mengukur kwantitas dan kwalitas nyeri yang
pasien rasakan, dengan menampilkan suatu kategorisasi nyeri mulai dari
”tidak nyeri, ringan, sedang atau berat” . Secara operasional VAS umumnya
berupa garis horizontal atau vertical, panjang 10 cm seperti yang di
ilustrasikan pada gambar. Pasien menandai garis dengan menandai sebuah
titik yang mewakili keadaan nyeri yang di rasakan pasien saat ini.
Kriteria Visiual analog scale (VAS)
o Skala 0, tidak nyeri
o Skala 1, nyeri sangat ringan
o Skala 2, nyeri ringan. Ada sensasi seperti dicubit, namun tidak
begitu sakit
o Skala 3, nyeri sudah mulai terasa, namun masih bisa ditoleransi
o Skala 4, nyeri cukup mengganggu (contoh: nyeri sakit gigi)
12
o Skala 5, nyeri benar-benar mengganggu dan tidak bisa didiamkan
dalam waktu lama
o Skala 6, nyeri sudah sampai tahap mengganggu indera, terutama
indera penglihatan
o Skala 7, nyeri sudah membuat Anda tidak bisa melakukan aktivitas
o Skala 8, nyeri mengakibatkan Anda tidak bisa berpikir jernih,
bahkan terjadi perubahan perilaku
o Skala 9, nyeri mengakibatkan Anda menjerit-jerit dan
menginginkan cara apapun untuk menyembuhkan nyeri
o Skala 10, nyeri berada di tahap yang paling parah dan bisa
menyebabkan Anda tak sadarkan diri
C. Tinjauan Tentang Intervensi Fisioterapi
1. Micro Wave Diathermy (MWD)
a. Definisi MWD
Sugijanto (2007) mengemukakan Microwave Diathermy (MWD)
merupakan suatu pengobatan menggunakan stressor fisis berupa energi
elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus bolak-balik frekuensi 2450 MHz
dengan panjang gelombang 12,25 cm.
b. Efek Fisiologi
Efek fisiologis yang ditimbulkan dari Microwave Diathermy adalah
perubahan temperatur menyebabkan reaksi lokal jaringan yang dapat
meningkatkan metabolisme sel-sel local ± 13% tiap kenaikan temperatur 1˚C,
juga dapat meningkatkan vasomotion sphincter sehingga timbul homeostatic
lokal dan akhirnya terjadi vasodilatasi lokal.
Reaksi general, mungkin dapat terjadi kenaikan temperatur, tetapi
perlu dipertimbangkan karena penetrasinya dangkal ± 3 cm dan aplikasinya
lokal. Consensual efek menyebabkan timbulnya respon panas pada sisi
kontralateral dari segmen yang sama.
Pada jaringan ikat dapat meningkatkan elastisitas jaringan ikat lebih
baik seperti jaringan collagen kulit, otot, tendon, ligamen, dan kapsul sendi
13
akibat menurunnya viskositas matriks jaringan tanpa menambah panjang
matriks, tetapi terbatas pada jaringan ikat yang letak kedalamannya ± 3 cm.
Pada jaringan otot dapat meningkatkan elastisitas jaringan otot dan
menurunkan tonus melalui normalisasi nocicencorik. Sedangkan pada jaringan
saraf dapat meningkatkan elastisitas pembungkus jaringan saraf,
meningkatkan konduktivitas serta ambang rangsang saraf.
c. Indikasi MWD
Alat Microwave Diathermy (MWD) memiliki indikasi sebagai berikut :
Kondisi inflamasi subakut dan kronik, spasme otot, jaringan colagen, kelainan
tulang, sendi, otot, kelainan saraf perifer. Ini dimaksudkan sebagai persiapan
sebelum pemberian latihan. Apabila elastisitas dan threshold jaringan saraf
semakin membaik, maka konduktivitas jaringan saraf akan membaik pula,
proses ini melalui efek fisiologis.
d. Mekanisme Penurunan Nyeri Dengan Microwave Diathermy (MWD)
Sugijanto (2007) menjelaskan bahwa perubahan temperatur lebih
terkonsentrasi pada jaringan otot, sebab jaringan otot lebih banyak
mengandung cairan dan darah. Karena efek sedatifnya dapat mengurangi nyeri
melalui stimulasi sekunder pada saraf afferent. Namun selain itu efek
sekunder dari serabut saraf afferent dapat mempengaruhi ujung serabut saraf
pada spindle otot dan tendon golgi, yang akan mempengaruhi inhibisi terharap
motor neuron sehingga akan mengurangi spasme (ketegangan) pada otot.
Dengan berkurangnya spasme otot tersebut diharapkan otot tersebut
diharapkan otot dapat berfungsi kembali, efek lain adalah meningkatkan
metabolisme sehingga dapat menurunkan nyeri akibat iskemia jaringan.
e. Prosedur Pelaksanaan
1) Posisi pasien diatur senyaman mungkin sesuai dengan arah yang akan
disinari. Untuk pasien LBP biasanya adalah posisi tengkurap.
2) Persiapan alat : tes alat, pre pemanasan alat 5-10 menit
3) Persiapan pasien : bebaskan pasien dari pakaian dan logam, posisikan
pasien senyaman mungkin, tes sensibilitas pasien, jarak alat 5-10 cm dari
14
kulit, durasi 8-10 menit, alat 2456 MHz, frekuensi terapi 2x/minggu,
intensitas 50-100 watt tergantung toleransi pasien.
2. TENS (Trancutaneus Electrical Nerve Stimulation)
a. Definisi TENS
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) adalah
perangsangan saraf secara elektris melalui kulit. Dua pasang elektroda yang
berperekat dipasang pada punggung, dikedua sisi dari tulang punggung.
Elektroda ini dihubungkan dengan sebuah kotak kecil yang mempunyai
tombol-tombol putar dan tekan. Tombol putar mengendalikan kekuatan dan
frekuensi denyut listrik yang dihasilkan oleh mesin. Denyut ini menghambat
pesan nyeri yang dikirim ke otak dari rahim dan leher rahim serta merangsang
tubuh mengeluarkan bahan pereda nyeri alaminya, yaitu endorfin. Penelitian
menunjukkan bahwa TENS paling efektif meredakan nyeri (Nolan, 2004).
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) adalah
penerapan arus listrik melalui kulit untuk kontrol rasa sakit, dihubungkan
dengan kulit menggunakan dua atau lebih elektroda, diterapkan pada frekuensi
tinggi (>50Hz) atau frekuensi rendah (<10Hz) dengan intensitas yang
menghasilkan sensasi getar (Robinson, 2008).
b. Indikasi TENS
a) Pada kondisi akut: nyeri pasca operasi, nyeri sewaktu melahirkan, nyeri
haid (dysmenorrhea), nyeri musculosceletal, dan nyeri akibat patah tulang.
b) Nyeri yang berhubungan dengan penanganan kasus gigi.
c) Pada kondisi kronik: nyeri punggung bawah, arthritis, nyeri punting dan
nyeri phantom, neuralgia pasca herpetic, neuralgia trigeminal.
d) Injuri saraf tepi.
e) Angina pectoris.
f) Nyeri fascial.
g) Nyeri tulang akibat metastase.
15
c. Prosedur Pelaksanaan
Posisikan pasien diatur senyaman mungkin sesuai dengan arah yang
akan dipasangkan pad/elektroda. Untuk pasien low back pain biasanya adalah
posisi tengkurap. Kemudian letakkan pad/elektroda pada titik nyeri yang
dirasakan pasien dengan dosis sebagai berikut :
Dosis : Frekuensi : 2x Seminggu
Intensitas : Sesuai toleransi pasien
Waktu : 10 menit
Teknik : Asimetric Byphasic
3. Stretching M. Erector Spine
Manfaat penguluran M. Erector Spine yaitu memberikan relaksasi otot
melalui pembakaran golgi tendon organ (GTO) yang terletak pada tendon otot.
Dengan relaksasinya otot, maka spasme otot akan menurun kemudian nyeri
akan berkurang.
16
yaitu neurophysiological, cara kerja teknik ini adalah otot otomatis relaksasi
setelah diberikan kontraksi.
17
2) Menambah jarak gerak sndi (ROM) dari lumbal
3) Mengembalikan/koreksi terhadap sikap tubuh/ postur.
4) Mengembalikan fungsi.
b. Indikasi teknik Mc. Kenzie
a) Spasme otot erector spine.
b) Nyeri gerak fleksi
c) Keterbatasan gerak fleksi
d) Gangguan diskus
18
digunakan dalam pengobatan akut nyeri pinggang, dilakukan pada awal
dari setiap latihan.
19
Kemudia ektensikan trunk sejauh mungkin dengan kedua tangan sebagai
fulcrum ( knee harus tetap lurus ). Pertahankan latihan ini dapat
diberikan setelah mengalami recvery low back pain, jaringan diberikan
pada akut LBP.
6) Posisi pasien duduk di kursi atau stool dengan kedua lutut dan kaki
terbuka dan kedua tangan bersandar di atas kedua tungkai. Kemusa
bengkokkan trunk ke depan sehingga keuda tangan menyentuh laintai.
Kembali ke posisi awal dan ulangi sebanya 5-6 kali. Latihan ini menjadi
lebih efektif dengan kedua tangan pada ankle dan mengkokkan trunk
sejauh mungkin. Latihan 6 hanya dilakukan setelah 1 minggu melakukan
latihan 5.
20
6. Strengthening ABD & ADD
Penguatan pada otot-otot abduktoren dan adduktoren untuk mobilisasi
simpisis pubis dan SIJ dengan teknik isometric. Dengan teknik isometric
tersebut mampu meningkatkan kekuatan otot abduktoren dan adduktoren. Dan
sebagai muscle relax tone pada region pelvic.
7. Bridging Exercise
Bridging exercise merupakan latihan untuk meningkatkan kekuoatan otot
hip, ekstensor, dan promotor stabilitas trunk. Latihan ini ditujukan untuk pasien
dengan keluhan nyeri punggung bawah dan meningkatkan aktivitas stabilisasi
muscle trunk seperti internal oblique, eksternal oblique, dan erector spine
muscle.
BAB III
PROSES ASSESMENT FISIOTERAPI
21
A. Data-Data Medis Rumah Sakit
Diagnosa medis : LBP akibat HNP
B. Identitas Umum Pasien
Nama : Tn Muslimin kadir
Umur : 47 Tahun
Alamat : Malua
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Penyuluh agama
C. Anamnesis Khusus
Keluhan utama : Nyeri pada punggung hingga ke tungkai pada bagian kiri,
nyeri pasien sangat terasa ketika gerakan ekstensi HIP.
Sifat keluhan : Nyeri Menjalar (Radicular Pain)
RPP : Awalnya tiba - tiba mengalami pada daerah punggung
bawah tidak lama kemudian nyeri nya menjalar ke daerah
quadrisep, hal ini juga di persulit dengan tingginya
kolestrol.
Pemeriksaan Vital Sign
Tekanan Darah : 110/70 Mmhg
Denyut Nadi : 62x/menit
Suhu : (-)/(-)
D. Inspeksi/Observasi
1. Statis
Wajah pasien terlihat cemas
Antalgic position (tubuh lebih dominan ke arah yang sehat)
2. Dinamis
Berdiri jongkok tidak dapat dilakukan karena adanya nyeri
Gerakan membungkuk dilakukan dan ada nyeri
22
GERAKN AKTIF PASIF
Fleksi Lumbal Nyeri Nyeri
Ekstensi Lumbal Nyeri Nyeri
Lateral Fleksi Lumbal Sinistra Tidak Nyeri Tidak Nyeri
Lateral Fleksi Lumbal Dextra Tidak Nyeri Tidak Nyeri
Rotasi Lumbal Sinistra Nyeri Nyeri
Rotasi Lumbal Dekstra Nyeri Nyeri
F. Palpasi
Teknik :Cara pemeriksaan dengan cara meraba, menekan dan
memegang organ atau bagian tubuh pasien.
Hasil : Oedem : (-)/(-)
Kontur kulit : (-)/(-)
Tenderness : M. Erector spine sinistra
G. Pemeriksaan Spesifik
Palpasi tenderness
Teknik : Pasien tengkurap dalam posisi comfortable. Praktikan
selanjutnya meraba, menekan bagian tubuh pasien.
Hasil : (+) Nyeri
SLR
Teknik :Tes ini dilakukan dengan cara pasif, posisi pasien tidur
telentang dengan tungkai lurus normal, hip medial rotasi dan
23
adduksi, lutut ekstensi, setelah itu terapis memfleksikan atau
mengangkat tungkai antara 350-700 tersebut sampai pasien
mengeluh nyeri atau kaku di posterior paha.
Hasil :(+)
H. Pengukuran
Visual Analog Scale (VAS)
24
- Mengembalikan fungsional lumbal
BAB IV
INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI
25
L. Intervensi Fisioterapi
a. Micro Wave Diathermi (MWD)
Efek thermal dari MWD dapat membuat kondisi jaringan sekitar menutup
karena efek panas yang dihasilkan. Fungsi lain dari MWD adalah
meningkatkan plastisitas connecitve tissue dan sebagai potensial untuk
mengoreksi kontraktur, menurunkan viskositas cairan dalam tubuh dan
meningkatkan mobilitas sendi serta mengubah velositas konduksi saraf
sehingga jaringan lebih siap untuk menerima latihan.
Tujuan : Untuk memperlancar sirkulasi darah dan mengurangi nyeri
b. Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation ( TENS)
Penurunan tingkat nyeri didapat karena TENS konvensional menghasilkan
efek analgesia terutama melalui mekanisme segmental yaitu dengan jalan
mengaktivasi serabut A-β yang selanjutnya akan menginhibisi neuron
nosiseptif di kornu dorsalis medulla spinalis. Ini mengacu pada teori gerbang
control (Gate Control Therapy) yang menyatakan bahwa gerbang terdiri dari
sel internunsial yang bersifat inhibisi yang dikenal sebagai substansia
gelatinosa dan yanag terletak di kornu posterior dan sel T yang merelai
informasi dari pusat yang lebih tinggi.
Tujuan : untuk mereduksi nyeri
c. Stretching M. Erector Spine
Manfaat penguluran M. Erector Spine yaitu memberikan relaksasi otot
melalui pembakaran golgi tendon organ (GTO) yang terletak pada tendon otot.
Dengan relaksasinya otot, maka spasme otot akan menurun kemudian nyeri
akan berkurang.
d. MET (Muscle Energy Technique)
Tujuan dari teknik ini adalah untuk menempatkan pada kondisi
musculoskeletal seperti nyeri, muscle spasm dan kontraktur. Teknik ini
merupakan variasi dari isometric, isotonic, dan isokinetic. Prinsip teknik ini
26
yaitu neurophysiological, cara kerja teknik ini adalah otot otomatis relaksasi
setelah diberikan kontraksi..
e. Mc. Kenzie Exercise
Latihan ini menyebabkan terjadinya penekanan di titik tertentu daerah
vertebra sehingga mengurangi jarak antara vertebra dan menekan nukleus
diskus atau mendorong ke tempat semula menyebabkan pergerakan nukleus
akan lebih mudah karena diskus bergerak maju sehingga mengurangi dan
menghilangkan tonjolan di posterior dan menyebabkan nyeri berkurang.
f. Strengthening ABD & ADD
Penguatan pada otot-otot abduktoren dan adduktoren untuk mobilisasi
simpisis pubis dan SIJ dengan teknik isometric. Dengan teknik isometric
tersebut mampu meningkatkan kekuatan otot abduktoren dan adduktoren. Dan
sebagai muscle relax tone pada region pelvic.
g. Bridging Exercise
Bridging exercise merupakan latihan untuk meningkatkan kekuoatan otot
hip, ekstensor, dan promotor stabilitas trunk. Latihan ini ditujukan untuk pasien
dengan keluhan nyeri punggung bawah dan meningkatkan aktivitas stabilisasi
muscle trunk seperti internal oblique, eksternal oblique, dan erector spine
muscle.
BAB V
27
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) atau yang sering disebut saraf kejepit
adalah suatu tanda atau gejala yang diakibatkan oleh degenerasi diskus
intervertebralis bagian lumbar, atau gambaran klinis yang terjadi akibat adanya
perubahan proses degenerasi pada diskus intervertebralis lumbar bagian dalam
anulus fibrosus. Kerusakan diskus bagian dalam akibat adanya perubahan-
perubahan proses degenerasi sering dikaitkan dengan proses degenerasi, kesalahan
dalam beraktivitas, trauma dan sebagainya (Budi Susanto, 2015).
HNP dapat ditangani oleh fisioterapis dengan menggunakan beberapa
modalitas seperti Dhiatermy, Tens, terapi latihan dan terapi manual.
B. Saran
HNP memiliki prognosis yang baik jika ditangani sedini mungkin dengan
penanganan yang sesuai
Pasien disarankan menghindari gerakan/posisi yang memprovokasi
timbulnya nyeri seperti gerakan fleksi lumbal
28
DAFTAR PUSTAKA
Aras, Djohan. 2013. Tes Spesifik Muskuloskeletal Disorder. Makassar PhysioCare
Publishing.
Ciaccio, E. Di, dkk. 2012. ‘’Herniated Lumbar Disc Treated With Global Postural
Reeducation. A Middle-term Evaluation’’. European Review For Medical ana
Pharmalogical Sciences. 16:1072-1077.
Dutton, Mark. 2002. Manual Therapy of The Spine An Intergated Approach. United States
of America: Mc. Graw-Hill.
Heliovaara,M., Paul, K., Arpo, A.2007.Incidence and risk factors of herniated lumbar
intervertebral disc or sciatica leading to hospitalization. Journal of Chronic
Disease: Vol.40; page 251-258.
Bandy, Reese. 2010. Joint Range of Motion and Muscle Length Testing . Second Edition.
Missouri: St Louis.
Helmi, Zairin Noor (2012). Buku Ajar Gangguan Musculoscletal. Jakarta: Salemba
Medika.
Jordan, J et al. 2006, Herniated Lumbar Disk, American Academy of Family Physicins.
BMJ Publishing Group, UK, diakses pada 8 April 2020,
http://www.aaafp.org/afp/2006/p1240.html
Kisner, Carolyn. & Colby, Lynn Allen. 2012. Therapeutic Exercise Foundations and
Techniques. Sixth Edition. Unted States of America: F. A. Davis Company.
Kisner, Carolyn. & Colby, Lynn Allen. 2012. Therapeutic Exercise Foundations and
Techniques. Sixth Edition. Unted States of America: F. A. Davis Company.
Kuntono H.P. 2000. Manajement Nyeri Musculoscletal. Makalah disajikan dalam Temu
Ilmiah Tahunan Fisioterapi XV, Semarang.
Legaspi and Edmond. 2007. Lumbar Spine Coupled Motions: A Literature Review With
Clinical Implications.
Leksana, Jeffri S. 2013. Hernia Nukleus Pulposus Lumbal Ringan Pada Janda Lanjut Usia
Yang Tinggal Dengan Keponakan Dengan Usia Yang Sama. Lampung: Medula
Vol. 1 No. 2
29
Levangie, Pamela K., Norkin, Cynthia C. 2005. Joint Structure & Function. United Sates of
America: F. A. Davis
Netter, Frank H.ATLAS OF HUMAN ANATOMY 25TH Edition. Jakarta : EGC. 2001.
Setyanegara dkk. 2014. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Schenk., Dana J Lawrence. 2005. Muscle Energy Technique. Fourth Edition. Chhurchill
Livingstone: Elsevier.
30