Anda di halaman 1dari 15

BAB VII

PEMBAHASAN

7.1 Keterbatasan Peneliti

a. Pada penelitian ini didapatkan tingkat keterkaitan OR sangat ekstrim

karena untuk penelitian dengan desain Cross Sectional seharusnya sampel

yang diambil banyak tetapi pada penelitian ini hanya ada sampel 88 jadi

bisa menghasilkan OR yang ekstrim.

b. Pada desain Corss Sectional ini hanya mempelajari tentang hubungan

penyakit dengan paparan tapi tidak bisa mengetahui sebab akibat dari

paparan.

7.2 Hubungan Ventilasi Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Balita

Ventilasi dalam rumah berfungsi sebagai sirkulasi udara atau

pertukaran udara dalam rumah karena udara yang segar dalam ruangan sangat

dibutuhkan manusia. Ventilasi yang buruk akan menimbulkan gangguan

kesehatan pernapasan pada penghuninya. Penularan penyakit saluran

pernapasan disebabkan karena kuman didalam rumah tidak bisa tertukar dan

mengendap sehingga ventilasi diharuskan memenuhi syarat yakni luas ventilasi

minimal 10% dari luas lantai. (Kemenkes, 2011)

Dari hasil yang didapatkan di desa Gunung Batu bahwa dari 88 orang

responden yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat dan memiliki balita

dengan keluhan ISPA yaitu sebesar 19 balita (95%). Sedangkan, responden

yang memiliki ventilasi memenuhi syarat namun balitanya mengalami keluhan

1
2

ISPA sebanyak 26 balita (38.2%). Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh

p-value sebesar 0.000 (p-value <0,05). ventilasi berhubungan dengan kejadian

ISPA pada balita dimana resiko Ventilasi tidak memenuhi syarat mempunyai

.risiko 30.692 kali untuk mengalami keluhan ISPA dibandingkan dengan balita

yang tinggal dalam rumah dengan ventilasi memenuhi syarat karena rumah

yang tidak memenuhi syarat ventilasi rata-rata rumah yang tidak memenuhi

syarat dinding yaitu menggunakan kayu dan sesuai dengan penelitian yang

dilakukan Linawati (2010) mengatakan bahwa terdapat hubungan antara

ventilasi terhadap kejadian ISPA pada balita dan resiko balita mengalami ISPA

3,07 kali lebih besar pada ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat

dibandingkan dengan ventilasi yang memenuhi syarat.

Penelitian diatas menyatakan bahwa ventilasi rumah berhubungan

dengan kejadian ISPA dikarenakan ventilasi yang kurang bisa menimbulkan

pertukaran udara yang tidak memenuhi syarat sehingga bisa menyebabkan

gangguan terhadap kesehatan. Sehingga dengan adanya ventilasi maka ada

pertukaran udara didalam rumah dan udara di dalam rumah menjadi baik

sehingga tidak mengganggu kesehatan. Untuk mengatasi ini pemeilik rumah

harus membuat ventilasi buatan ataupun ventilasi alami dengan membuat

jendela yang sesuai dengan standar dari kementrian kesehatan.

7.3 Hubungan Kepadatan Hunian Terhadap Kejadian ISPA Pada Balita

Terkadang dalam satu rumah yang seharusnya hanya bisa

menampung beberapa orang saja, dipaksakan untuk menampung melebihi


3

kapasitas rumah. Hal ini mengakibatkan terjadinya kepadatan dalam rumah

yang dimungkinkan dapat mempengaruhi kesehatan penghuni rumah. Menurut

keputusan menteri kesehatan nomor RI No.1077/MENKES/PER/V/ 2011

tentang persyaratan rumah dikatakan padat penghuni apabila perbandingan

luas lantai seluruh ruangan dengan jumlah penghuni lebih kecil dari 10m2/org,

sedangkan ukuran untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3m2/org.

Pencegahan terjadinya penularan penyakit (misalnya penyakit pernafasan)

jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lain minimum 90cm dan

sebaiknya kamar tidur tidak dihuni lebih dari 2 orang.

Dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa kepadatan hunian

berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita di Desa Gunung Batu dengan

hasil bahwa dari 88 responden kepadatan hunian tidak memenuhi syarat dan

memiliki balita dengan keluhan ISPA yaitu sebesar 19 balita (86,4%).

Sedangkan, responden yang memiliki kepadatan hunian memenuhi syarat

namun balitanya mengalami keluhan ISPA sebanyak 28 balita (39,4%)

Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar 0.000 (p-value

<0,05). Balita yang tinggal dalam rumah dengan kepadatan hunian tidak

memenuhi syarat mempunyai risiko 9,744 kali untuk mengalami keluhan ISPA

dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam rumah dengan kepadatan

hunian memenuhi syarat. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Iranto (2006) mengatakan bahwa kepadatan hunian

berpengaruh pada besarnya kejadian ISPA, yaitu besarnya anak terkena ISPA

adalah 2,27 kali lipat dari rumah yang padat penghuninya dibandingkan dengan
4

rumah tidak padat penghuninya. Semakin tingginya kepadatan rumah, maka

penularan penyakit khususnya melalui udara akan semakin cepat (Achmadi,

2008)

Masalah ini disebabkan karena banyaknya keluarga yang tinggal

dalam satu rumah karena ibu balita masih tinggal satu rumah dengan orang tua

dan keluarga lainnya untuk mengatasi masalah ini agar memperhatikan

setandar kepadatan hunian yang telah ditetapkan oleh permenkes tentang

persyaratan rumah sehat adalah maksimal 1 orang dengan luas lantai 10m2.

7.4 Hubungan Ventilasi Dapur Dengan Kejadian ISPA Pada Balita

Ventilasi pada dapur harus baik agar dan lancar agar asap atau udara

dapat keluar masuk secara bebas melalui lubang asap (cerobong asap). Hal ini

bertujuan agar asap tidak berkumpul di dalam ruangan dapur yang dapat

menyebabkan gangguan saluran pernapasan. Rumah yang mempunyai

ventilasi yang tidak berfungsi dengan baik akan menghasilkan 3 akibat yaitu

kekurangan oksigen, bertambahnya konsentrasi CO 2 dan adanya bahan organik

beracun yang mengendap dalam rumah.

Dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa dari 88 responden

menunjukkan bahwa responden yang memiliki ventilasi dapur tidak memenuhi

syarat dan memiliki balita dengan keluhan ISPA yaitu sebesar 21 balita

(80,8%). Sedangkan, responden yang memiliki ventilasi dapur memenuhi

syarat namun balitanya mengalami keluhan ISPA sebanyak 24 balita (38,7%).

Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar 0.000 (p-value
5

<0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara ventilasi dapur

dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Gunung Batu tahun 2019. Dari hasil

analisis diperoleh pula nilai OR sebesar 6,650 (95% CI: 2,211-19.999) yang

berarti bahwa balita yang tinggal dalam rumah dengan ventilasi dapur tidak

memenuhi syarat mempunyai risiko 6,650 kali untuk mengalami keluhan ISPA

dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam rumah dengan ventilasi dapur

memenuhi syarat. Hal ini sesuai dengan penelitian Citra (2012) yang

menyatakaan bahwa balita yang tinggal didalam rumah dengan letak dapur

menyatu/berada didalam rumah mempunyai resiko menderita pneumonia 5,2

kali dibandingkan dengan balita dengan letak dapur terpisah. dan diperburuk

dengan ventilasi yang tidak baik akan menyebabkan terjadinya gangguan

saluran pernafasan dan gangguan penglihatan (Lindawati, 2010)

Hasil penelitian ini didapatkan ada hubungan ventilasi dapur dengan

ISPA pada balita hal ini dikarenakan di rumah responden masih menggunakan

kayu bakar untuk memasak nasi dan memasak air dan tidak adanya ventilasi

didapur seperti cerobong asap atau jendela didekat dapur untuk membakar

kayu bakarnya masih memakai minyak tanah. Sehingga untuk mengatasi hal

ini sebaiknya membuat ventilasi di dekat dapur yang bisa menimbulkan

sirkulasi udara keluar agar asap bisa keluar.

7.5 Hubungan Lantai Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Balita

Lantai merupakan media yang sangat baik bagi perkembang biakan

bakteri. Lantai yang baik adalah lantai yang dalam kondisi kering dan tidak
6

lembab dan harus kedap air sehingga mudah dibersihkan. Jadi lantai

seharusnya sudah diplester bahkan lebih baik lagi jika sudah di beri

ubin/keramik. Menurut Ditjen PPM dan PL, 2002 rumah yang mempunyai

lantai yang terbuat dari tanah cenderung menimbulkan lembab, dan pada

musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang

berbahaya bagi penghuni rumah.

Dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa dari 88 responden

menunjukkan bahwa responden yang memiliki lantai rumah tidak memenuhi

syarat dan memiliki balita dengan keluhan ISPA yaitu sebesar 28 balita

(77,8%). Sedangkan, responden yang memiliki lantai rumah memenuhi syarat

namun balitanya mengalami keluhan ISPA sebanyak 17 balita (32,7%).

Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar 0.000 (p-value

<0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara lantai rumah

dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Gunung Batu tahun 2019. Dari hasil

analisis diperoleh pula nilai OR sebesar 7,206 (95% CI: (2,715-19,128) yang

berarti bahwa balita yang tinggal dalam rumah dengan lantai rumah tidak

memenuhi syarat mempunyai risiko 7,206 kali untuk mengalami keluhan ISPA

dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam rumah dengan lantai rumah

memenuhi syarat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hasil

Lindawaty (2010) menunjukkan bahwa jenis lantai yang tidak memenuhi

syarat beresiko 2,15 kali lebih besar bagi balita terkena ISPA dibanding dengan

balita yang jenis lantainya memenuhi syarat.

Hal ini disebabkan karena ada beberapa lantai rumah responden


7

masih ada yang tanah dan kayu sehingga dimusim kemarai akan menyebabkan

debu dan yang lantai kayu susah dibersihkan dengan hanya disapu sehingga

debu masih menempel di kayu. Lantai yang baik harus kedap air, tidak lembab,

bahan lantai mudah dibersihkan dan dalam keadaan kering dan tidak

menghasilkan debu.

7.6 Hubungan Jenis Dinding Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Balita

Dinding berfungsi sebagai pelindung rumah yang terbuat dari

berbagai bahan seperti bambu, triplek, batu bata, dan dari berbagai bahan

tersebut yang paling baik yaitu yang terbuat dari batu bata atau tembok.

Dinding yang terbuat dari tembok bersifat permanen, tidak mudah terbakar dan

kedap air. Rumah yang menggunakan dinding berlapis kayu, bambu akan

menyebabkan udara masuk lebih mudah yang membawa debu-debu ke dalam

rumah sehingga dapat membahayakan penghuni rumah bila terhirup terus-

menerus terutama balita.

Dari hasil penelitian yang dilakukan dari 88 responden menunjukkan

bahwa responden yang memiliki dinding rumah tidak memenuhi syarat dan

memiliki balita dengan keluhan ISPA yaitu sebesar 38 balita (74,5%).

Sedangkan, responden yang memiliki dinding rumah memenuhi syarat namun

balitanya mengalami keluhan ISPA sebanyak 7 balita (18,9%). Berdasarkan

hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar 0.000 (p-value <0,05) maka dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan antara dinding rumah dengan kejadian ISPA

pada balita di Desa Gunung Batu tahun 2019. Dari hasil analisis diperoleh pula
8

nilai OR sebesar 12,527 (95% CI: 4,445-35,303) yang berarti bahwa balita

yang tinggal dalam rumah dengan dinding rumah tidak memenuhi syarat

mempunyai risiko 12,527 kali untuk mengalami keluhan ISPA dibandingkan

dengan balita yang tinggal dalam rumah dengan dinding rumah memenuhi

syarat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lindawati (2010)

bahwa Balita yang jenis dindingnya masih terbuat dari bahan yang tidak

permanen seperti triplek, bambu, batu bata beresiko 1,51 kali lebih besar bagi

balita terkena ISPA.

Dapat dilihat dari hasil penelitian diatas bahwa rata-rata rumah

responden masih menggunakan dinding yang terbuat dari kayu sehingga debu

dari luar lebih mudah untuk masuk. Jenis dinding yang mempengaruhi

terjadinya ISPA disebabkan karena dinding yang sulit dibersihkan dan

menyebabkan penumpukan debu pada dinding, sehingga dinding akan

dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman.

7.7 Hubungan Bahan Bakar Memasak Dengan Kejadian ISPA Pada Balita

Namun dengan menggunakan bahan bakar kayu dan minyak tanah

tersebut dapat memperburuk keadaan dalam rumah yang bisa menyebabkan

resiko pencemaran udara dan bisa diperburuk dengan kurangnya ventilasi di

dapur seperti cerobong asap sehingga asap mengendap didalam rumah

(Departemen Kesehatan RI, 2011). Debu-debu yang dari hasil pembakaran

tersebut dapat mengasilkan unsur-unsur kimia, seperti besi, mangan, arsen,

timbal, cadimium. Dimana unsur-unsur kimia terebut jika dihirup akan


9

menempel langsung ke paru-paru.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang memiliki

bahan bakar memasak tidak baik seperti kayu dan minyak tanah dan memiliki

balita dengan keluhan ISPA yaitu sebesar 31 balita (91,2%). Sedangkan,

responden yang memiliki bahan bakar memasak yang baik seperti gas namun

balitanya mengalami keluhan ISPA sebanyak 14 balita (25,9%). Berdasarkan

hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar 0.000 (p-value <0,05) maka dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan antara bahan bakar memasak dengan

kejadian ISPA pada balita di Desa Gunung Batu tahun 2019. Dari hasil analisis

diperoleh pula nilai OR sebesar 29,524 (95% CI: 7,791-111,880) yang berarti

bahwa balita yang tinggal dalam rumah dengan bahan bakar memasak tidak

baik mempunyai risiko 29,524 kali untuk mengalami keluhan ISPA

dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam rumah dengan bahan bakar

memasak yg baik. Penelitian ini sesuai dnegan penelitian yang dilakukan oleh

Cahya (2011) menyatakan bahwa pencemaran udara akibat penggunaan bahan

bakar dimungkinkan berperan walaupun kecil. Rumah dengan bahan bakar

minyak tanah memberikan kesempatan 3,8 kali lebih besar balita terkena ISPA

dibandingkan dengan bahan bakar gas.

Hasil yang didapat disebabkan karena masih ada yang menggunakan

bahan bakar memasak dengan menggunakan kayu dan minyak tanah untuk

memasak nasi dan air. Dan masih ada yang belum mempunyai bahan bakar

memasak. Dan untuk bahan bakar memasak masih ada hubungannya dengan
10

ventilasi dapur karena jika ventilasi dapurnya tidak ada akan lebih

memperburuk kadaan didalam rumah.

7.8 Hubungan Penggunaan Obat Nyamuk Bakar Dengan Kejadian ISPA

Pada Balita

Sebagian masyarakat masih banyak menggunakan obat nyamuk

bakar untuk memberantas nyamuk dan seiring berkembangnya zaman dan

semakin banyak merk-merk obat nyamuk sehingga semakin banyak yang

menggunakan obat nyamuk didalam rumah. Memang menggunakan obat

nyamuk sebagian baik namun banyak sekali efeknya bagi penghuni rumah

tersebut. Jika pemakain digunakan setiap hari dan bahan-bahan kimianya

mengendap didalam rumah makan akan berdampak pada gangguan kesehatan

baik bersifat kronik ataupun akut. Sehingga harus diperhatikan penggunaan

obat nyamuk yang intens (Fillacano, 2013).

Dari hasil penelitian yang dilakukan diatas menunjukkan bahwa

responden yang menggunakan obat nyamuk bakar dan memiliki balita dengan

keluhan ISPA yaitu sebesar 37 balita (69,8%). Sedangkan, responden yang tidak

menggunakan obat nyamuk bakar namun balitanya mengalami keluhan ISPA

sebanyak 8 balita (22,9%). Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p-value

sebesar 0.000 (p-value <0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan

antara obat nyamuk bakar dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Gunung

Batu tahun 2019. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR sebesar 7,805 (95%

CI: 2,920-20,859) yang berarti bahwa balita yang tinggal dalam rumah dengan
11

menggunakan obat nyamuk bakar mempunyai risiko 7,805 kali untuk

mengalami keluhan ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam

rumah dengan yang tidak menggunakan obat nyamuk bakar. Penelitian ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sunyataningkamto (2004) yang

menyatakan bahwa anak yang terpapar dengan asap penggunaan obat nyamuk

bakar memiliki resiko 1.13 kali lebih besar dibandingkan anak yang tidak

terpapar asap penggunaan obat nyamuk bakar untuk terkena ISPA.

Ini dikarenakan di desa Gunung Batu masih banyak yang

menggunakan obat nyamuk bakar dan disana tidak ada yang menjual obat

nyamuk selain obat nyamuk bakar dan di desa Gunung Batu tidak ada Foging

yang dilakukan untuk memberantas nyamuk.

7.9 Hubungan Pendidikan Ibu Terhadap Kejadian ISPA Pada Balita

Pendidikan ibu berpengaruh terhadap informasi yang diterima

mengenai kesehatan anak. Ibu dengan pendidikan tinggi akan menerima segala

informasidengan mudah mengenai cara memelihara dan menjaga kesehatan

anak serta gizi yang baik untuk anak. Berdasarkan pengaruh terhadap

kesehatan dan prilaku seseorang peran pendidikan juga berpengaruh terhadap

lingkungan, pelayanan kesehatan dan juga heriditas (Achmadi, 2008)

Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa responden

yang pendidikan Ibunya rendah dan memiliki balita dengan keluhan ISPA yaitu

sebesar 34 balita (56,7%). Sedangkan, responden yang pendidikan Ibunya

tinggi namun balitanya mengalami keluhan ISPA sebanyak 11 balita (39,3%).


12

Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar 0.171 (p-value

>0,05) maka hasil yang didapatkan tidak signifikan. Dari hasil analisis

diperoleh pula nilai OR sebesar 2,021 (95% CI: 0,810-5,042) yang berarti

bahwa balita yang pendidikan Ibunya rendah mempunyai risiko 2,021 kali

untuk mengalami keluhan ISPA dibandingkan dengan balita yang pendidikan

Ibunya tinggi. Dan hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh Fitri (2004) tidak ada hubungan antara pendidikan orang tua dengan

kejadian ISPA pada balita. Baik pendidikan tinggi maupun rendah hampir sama

dalam menanggapi dan merespons serta mengambil tindakan ketika salah satu

keluarga mengalami ISPA atau penyakit lain.

Dari hasil penelitian diatas bahwa hasilnya statistiknya tidak

signifikan tetapi pendidikan ibu yang rendah memiliki resiko 2,021 kali terjadi

ISPA dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan tinggi. Kebanyakan Ibu di

Desa Gunung Batu memiliki pendidikan rendah.

7.10 Hubungan Pengetahuan Ibu Terhadap Kejadian ISPA Pada Balita

Pengetahuan atau kognitif merupakan hasil tahu dari terjadi

setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Pengetahuan terjadi melalui panca indera pengelihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba.Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang memeiliki

ibu yang berpengetahuan <medium dan memiliki balita dengan keluhan ISPA
13

yaitu sebesar 35 balita (72,9%). Sedangkan, responden yang pengetahuan

Ibunya tinggi namun balitanya mengalami keluhan ISPA sebanyak 10 balita

(25,0%). Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar 0.000 (p-

value <0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara

pengetahuan Ibu dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Gunung Batu tahun

2019. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR sebesar 8,077 (95% CI: 3,099-

21,049) yang berarti bahwa balita yang pengetahuan Ibunya rendah

mempunyai risiko 8,077 kali untuk mengalami keluhan ISPA dibandingkan

dengan balita yang pengetahuan Ibunya tinggi. Penelitian ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Ainiyah, dkk (2017) ada hubungan yang

signifikan antara pengetahuan Ibu terhadap kejadian ISPA yang didapatkan

korelasi rank spearman 0,048 dengan taraf signifikan 0,05.

Kurangnya pengetahuan ibu bisa menyebabkan ISPA karena

perilaku pencegahan adalah dari pengetahuan Ibu seperti standar ventilasi

rumah seperti apa, kepadatan hunian di rumah harusnya berapa per orang jika

pengetahuan Ibu tinggi maka sudah ada pencegahan sejak awal.

7.11 Hubungan Kebiasaan Merokok Dalam Keluarga Terhadap Kejadian

ISPA Pada Balita

Merokok merupakan kebiasaan yang sering dilakukan oleh

penghuni rumah terutama oleh bapak-bapak. Cenderung bapak-bapak merokok

didalam rumah sambil istirahat seperti menonton tv, membaca koran dan
14

sebagainya. Asap rokok yang dikeluarkan adalah gas beracun dari hasil

pembakaran produk tembakau yang biasa mengandung Poliyclinic Aromatic

Hydrocarbons (PAHs) yang berbahaya bagi kesehatan (Departemen Kesehatan

RI, 2011).

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang di

dalam keluarganya memiliki anggota keluarga yang biasa merokok dan

memiliki balita dengan keluhan ISPA yaitu sebesar 40 balita (78,4%).

Sedangkan, responden yang didalam keluarga tidak memiliki kebiasaan

merokok namun balitanya mengalami keluhan ISPA sebanyak 5 balita

(12,5%). Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar 0.000 (p-

value <0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kebiasaan

merokok dalam keluarga dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Gunung

Batu tahun 2019. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR sebesar 23,273

(95% CI: 7,334-73,855) yang berarti bahwa balita yang didalam keluarganya

memiliki kebiasaan merokok mempunyai risiko 23,273 kali untuk mengalami

keluhan ISPA dibandingkan dengan balita yang didalam keluarganya tidak ada

kebiasaan merokok. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Lindawati (2010) menyatakan bahwa balita yang tinggal

bersama penguni yang merokok beresiko 2,04 kali lebih besar terkena ISPA

dibanding dengan balita yang tidak terdapat penghuni rumah yang merokok.

Dari hasil penelitian diatas bahwa asap rokok berpengaruh terhadap

kejadian ISPA pada balita dikarenakan asap rokok merupakan bahan

pencemaran dalam ruangan yang serius dan bisa menyebabkan kesakitan dari
15

toksik yang lain dan juga balita yang terpapar asap rokok akan menimbulkan

gangguan pernafasan jika ada keluarga yang merokok didalam rumah daripada

diluar rumah. Oleh krena itu untuk melindungi balita dari asap rokok

diusahakan untuk tidak merokok didalam umah agar asap tidak tersebar

didalam rumah.

Anda mungkin juga menyukai