Anda di halaman 1dari 8

33

BAB III
KERANGKA PIKIR

Kondisi geologi Indonesia sangat ideal untuk terbentuknya mineralisasi,

sumber energi, bahkan bencana. Tapi, tidak semua bahan galian tersebut layak

tambang karena kondisi geologi dan cadangannya yang tidak ekonomis. Sebaran

cadangan wilayah pertambangan tidak bisa kita tentukan dengan pasti sebelum

cadangan tersebut ditemukan, ditentukan dan diukur keekonomiannya. Ditambah

lagi, banyak potensi cadangan mineral dan energi Indonesia terletak pada lokasi-

lokasi yang peruntukannya bagi keperluan lain, seperti kawasan hutan,

permukiman, dan lainnya. Akibatnya terjadi tumpang tindih penggunaan lahan.

Hal ini, tentu saja berdampak pada lambatnya investasi pertambangan.

Dalam Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2008 telah ditetapkan

sebanyak 70 Kawasan Andalan yang tersebar diseluruh Indonesia yang meliputi

darat dan laut. Sedangkan Penetapan Kawasan Strategis Nasional yang tercantum

dalam RTRWN menetapkan 2 kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan

pertumbuhan ekonomi yang memilki basis ekonomi pertambangan yaitu Kawasan

Soroako dan Sekitarnya (Provinsi Sulawesi Selatan) dan Kawasan Timika

(Provinsi Papua) .

Berdasarkan keputusan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral Nomor :

2737 K/30/MEM/2013 tentang Wilayah Pertambangan Pulau Sulawesi, maka

Provinsi Sulawesi Tenggara ditetapkan sebagai Wilayah Pertambangan yang

terdiri atas Wilayah usaha pertambangan, wilayah pertambangan rakyat dan

wilayah pencadangan Negara.


34

Didalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara

(RTRWP) wilayah IUP PT SCM masuk kedalam rencana peruntukan Pusat

Kawasan Industri Pertambangan (PKIP) yang dulunya direncanakan sebagai

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pertambangan yang meliputi Kecamatan

Asera, Kecamatan Wiwirano dan Kecamatan Langgikima atau disingkat AWILA.

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Konawe (RTRWKab),

Kecamatan Routa sebagai salah satu kecamatan yang masuk kedalam Wilayah

Usaha Pertambangan (WUP) dengan komoditas tambang mineral logam yaitu

Nikel Laterit, besi, kromit dan kobalt.

Adanya perubahan paradigma kebijakan pengelolaan pertambangan sejak

era otonomi daerah, menyebabkan sering terjadi ketidapaduan Ijin Usaha

Pertambangan dan pengurusan perizinan usaha pertambangan antara daerah

dengan pusat. Banyak perizinan dari pusat yang perjanjian kontraknya sudah

ditandatangani, ternyata tumpang tindih dengan perizinan kuasa pertambangan

atau Surat Ijin Pertambangan Daerah (SIPD). Daerah juga sering menerbitkan izin

pertambangan pada lokasi yang belum jelas keterdapatan mineral atau

batubaranya. Akibatnya, terjadi kesemrawutan penggunaan lahan antara

pertambangan dengan sektor yang lain, seperti izin kehutanan, perkebunan, dan

lain-lain. Peraturan perundang-undangan otonomi daerah yang dijadikan jembatan

antara pusat dan daerah belum bisa memberikan alternatif pengelolaan kebijakan

yang seimbang antara pusat dan daerah.

Permasalahan tumpang tindih dengan kawasan peruntukkan lain seperti

yang terjadi saat ini kebanyakan adalah tumpang tindih antara wilayah
35

pertambangan dengan wilayah kawasan hutan. Sebagian besar wilayah Indonesia

merupakan kawasan hutan, yaitu 76,72 % (berdasarkan Peta Penunjukkan

Kawasan Hutan dan Perairan, Departemen Kehutanan) yang terdiri hutan

konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Padahal, secara geologi wilayah

pertambangan terdapat di pegunungan dan tentunya secara teknis masuk dalam

kriteria kawasan hutan lindung bagi kehutanan. Hal inilah yang menyebabkan

sebagian besar wilayah pertambangan tumpang tindih dengan kawasan hutan,

terutama wilayah pertambangan mineral. Sumber daya pertambangan banyak

terdapat di dalam perut bumi. Namun dalam lingkup pengelolaan, pertambangan

tidak bisa lepas dari wilayah permukaan perut bumi, bahkan untuk tambang dalam

pun. Konflik kepentingan ini perlu segera diselesaikan dengan melakukan

evaluasi teknis dan ekonomi peruntukkan wilayah sehingga dicapai pengelolaan

yang lebih optimal.

Penataan ruang menjadi hal yang mendesak untuk segera dilakukan oleh

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dalam menentukan ruang terhadap

sebaran-sebaran potensi bahan galian yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan

pertambangan. Berhubung bahan tambang termasuk barang strategis, vital dan

bernilai ekonomi tinggi, maka pemanfaatannya harus selektif dan optimal guna

kemakmuran rakyat. Fungsi pengaturan, pembinaan dan pengawasan negara

terhadap kekayaan negara ini harus menjadi posisi tawar pertama dalam

mengelola bahan galian di Indonesia.

Dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara, dikatakan Wilayah Pertambangan (WP) merupakan bagian dari tata


36

ruang nasional yang merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan.

Oleh karena itu, Wilayah Pertambangan harus ikut serta dalam proses penyusunan

Rencana Tata Ruang tingkat pulau, provinsi, dan kabupaten/kota supaya dapat

diakomodir peruntukkannya dalam tata ruang wilayah. Wilayah Pertambangan

(WP) adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak

terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata

ruang nasional. Wilayah Pertambangan (WP) terdiri dari :

1. Wilayah Usaha Pertambangan (WUP); bagian dari WP yang telah memiliki

ketersediaan data, potensi dan/atau informasi geologi.

2. Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR); bagian dari WP dimana dilakukan

kegiatan usaha pertambangan rakyat.

3. Wilayah Pencadangan Negara (WPN); bagian dari WP yang dicadangkan untuk

kepentingan strategis nasional.

Oleh karena itu, perlu disusun suatu wilayah pertambangan sebagai ruang

bagi kegiatan pertambangan guna memberikan manfaat dari pengelolaan

pertambangan yang baik dan memberikan kesejahteraan & kemakmuran rakyat

Indonesia dan juga dikarenakan ketersediaan serta keperluan yang mendesak

untuk segara ditetapkan.

Belum singkronnya pola pengembangan wilayah pertambangan dengan

struktur ruang dan pemanfaatan ruang yang lain menimbulkan konflik-konflik

pemanfaatan sumber daya alam. Sumber daya pertambangan berada di bawah

tanah, sementara sarana dan prasarana kebanyakan terdapat di permukaan tanah.

Satu sama lain memang saling mempengaruhi. Itulah sebabnya, pada UU No. 26
37

Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah ditambahkan pengertian ruang

termasuk ruang di dalam perut bumi sebagai satu kesatuan dengan ruang daratan

dan udara. Tata ruang pertambangan ini akan memberikan kepastian hukum bagi

seluruh pemangku kepentingan.

Dengan ditetapkannya UU Nomor 26 Tahun 2007, seluruh kegiatan

penataan ruang harus disesuaikan dengan landasan utama tersebut. Dalam No.

26/2008 tentang RTRW Nasional, dikatakan bahwa kawasan pertambangan

adalah kawasan peruntukkan pertambangan yang berada di kawasan budidaya.

Kriterianya meliputi:

1. Memiliki sumber daya bahan tambang yang berwujud padat, cair atau gas

berdasarkan peta/data geologi;

2. Merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk pemusatan kegiatan

pertambangan secara berkelanjutan; dan atau

3. Merupakan bagian proses upaya merubah kekuatan ekonomi potensil menjadi

kekuatan ekonomi riil.

Khusus pada penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan

dilakukan hanya di kawasan hutan produksi dan lindung. Mekanismenya melalui

pemberian izin pinjam pakai oleh menteri dengan mempertimbangkan batasan

luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Pemberian izin

pinjam pakai yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai

strategis dilakukan oleh menteri atas persetujuan Dewan Perawakilan Rakyat,

dengan syarat pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan

dengan pola pertambangan terbuka.


38

Hal ini tidak sinkron jika melihat UU No. 26 Tahun 2007, yang

menyebutkan bahwa kawasan lindung termasuk di dalamnya hutan lindung tidak

diperuntukkan untuk Kawasan Peruntukan Pertambangan (Ijin Usaha

Pertambangan). Namun, pada UU No. 41 Tahun 1999 masih dapat dilakukan

namun dengan model pinjam pakai. Karena itu, perlu dilakukan revisi terhadap

peraturan bidang penataan ruang agar usaha pertambangan dapat dilakukan

dimana saja terutama untuk kegiatan penelitian yang dilakukan oleh pemerintah

untuk memperoleh data potensi cadangan negara.

Fungsi Wilayah Pertambangan (WP) antara lain untuk:

1. Menyiapkan perwujudan ruang, dalam rangka pelaksanaan program

pembangunan bidang pertambangan.

2. Menjaga konsistensi pembangunan dan keserasian perkembangan tata ruang

pertambangan dengan tata ruang wilayah di tingkat pusat, pulau, provinsi dan

kabupaten/kota.

3. Sebagai alat mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan ruang

dan pengendalian pemanfaatan ruang bagi kegiatan yang memerlukan ruang,

sehingga dapat menselaraskan setiap program antar sektor.

4. Menjaga konsistensi perwujudan ruang kawasan pertambangan melalui

pengendalian program-program pembangunan pertambangan.

Kawasan Pertambangan adalah suatu kawasan yang terletak pada zona

layak tambang dan di dalamnya terdapat sebaran bahan galian unggulan. Dalam

penataan ruang, kawasan peruntukan pertambangan termasuk dalam kategori

kawasan budidaya, yaitu wilayah yang ditetapkan dalam fungsi utama untuk
39

dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya

manusia, dan sumber daya buatan.

Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan

pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan

program beserta pembiayaannya.

Kecamatan Routa menjadi salah satu kawasan strategis khususnya

kawasan strategis pertambangan. Hal ini menjadi dasar perlunya Kecamatan

Routa dikelola dan ditata dengan baik untuk pengembangan kawasan

pertambangan secara umum dan wilayah pertambangan PT SCM secara khusus.

Aktivitas saat ini yang dilakukan oleh PT SCM diwilayah pertambangan

masih tahap eksplorasi dengan melakukan pengeboran titik bor dengan 300

lubang bor dengan jarak tiap titik bor 500 m, dilakukan untuk mengetahui

kandungan kadar mineral logam yang ada khususnya nikel. PT SCM didalam

tahap ini mendirikan flying camp di lokasi dan mendirikan base camp pasokan

dan landasan helicopter diluar wilayah pertambangan PT SCM tepatnya di Desa

Lalomerui Kecamatan Routa.

Kondisi lahan di lokasi wilayah pertambangan PT SCM merupakan hutan

produksi dan hutan produksi terbatas dan indikasi adanya hutan primer

berdasarkan peta indikatif dari Menteri Kehutanan. Untuk pengembangan akses

jalan ke lokasi dan didalam lokasi wilayah pertambangan PT SCM serta fasilitas-

fasilitas pendukung lainnya perlu dilakukan kajian terhadap kondisi lahan,

kemiringan lereng dan kesesuaian lahan berdasarkan kondisi yang ada dan

dikaitkan dengan standar normative dan kajian terhadap penataan ruang yang ada.
40

Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat bagan kerangka pemikiran dari penyusunan

Model Penataan Ruang di Wilayah Pertambangan PT SCM.

Wilayah pertambangan Kebijakan Peraturan Perundang-


berdasarkan RTRWN, RTRWP undangan terkait penataan ruang
RTRWKab dan wilayah pertambangan

Kondisi dan aktivitas saat ini di


Wilayah Pertambangan PT SCM
di Kecamatan Routa, Konawe

Analisis kesesuaian lahan untuk


mendukung ketersediaan sarana dan
prasarana, akses, dan rencana
pertambangan PT SCM

Pengembangan Akses jalan,


fasilitas pendukung dan Standar normatif, dan kajian
ketersediaan kebutuhan teoritis penataan ruang
pertambangan PT SCM

Adanya Akses jalan, fasilitas Kantor dan Perumahan, lokasi


stok material, fasilitas pendukung kegiatan penambangan,
penempatan lokasi pelabuhan dan pabrik serta adanya peran
pemerintah daerah.

Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Studi

Anda mungkin juga menyukai