Anda di halaman 1dari 7

1.

Asuransi

Definisi
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih,
dimana pihak penanggung (perusahaan) mengikat diri kepada tertanggung
(nasabah), dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian
kepada tertanggung (nasabah sendiri/ahli waris keluarga) karena kerugian,
kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab
hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung (nasabah),
yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu
peristiwa pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan. (UU tentang Usaha Perasuransian yaitu UU
No. 2 tahun 1992 pasal 1)

Praktek/Implementasi Umum yang Terjadi


A. Akad
1. Antara tertanggung (nasabah) dan penanggung (perusahaan asuransi)
2. Obyek akad : janji/komitmen penanggung
B. Penjaminan/Pertanggungan:
1. Tertanggung : Nasabah
2. Penanggung : perusahaan asuransi
3. Yang mendapat pertanggungan: nasabah atau yang ditunjuk misalkan ahli warisnya
4. Janji penanggung untuk memberikan penggantian karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kpd pihak ketiga yang
mungkin akan diderita tertanggung (nasabah) yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti, atau
memberikan pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan
5. Penanggung dapat kompensasi berupa premi (iuran) dari tertanggung (nasabah)

Analisis
Praktek muamalah seperti ini tergolong batil, karena:
1. Menyalahi ketentuan akad syar’i:
• Obyek akad syar’i harus berupa barang atau jasa.
• Obyek akad asuransi adalah janji/komitmen, dan itu bukan barang ataupun jasa, karena tidak
bisa diambil manfaatnya baik dikonsumsi atau disewakan
• Obyek akad adalah rukun akad, dan ketentuannya dilanggar, karena itu akad asuransi adalah
batil
2. Menyalahi ketentuan adh-dhamân
• Tidak ada dhammu dzimmah ilâ dzimmah (memasukkan tanggungan orang lain ke dalam
tanggung jawab penjamin/penanggung) karena tertanggung/nasabah tidak punya kewajiban
finansial yang wajib ia tunaikan kepada siapapun. Kewajiban finansial dilakukan oleh perusahaan
asuransi.
• Penanggung dapat kompensasi laba
• Ada gharar, sebab nasabah tak tahu pasti berapa yang akan dia bayar. Juga bersifat gambling
sebab klaim bisa terjadi dan bisa juga tidak

FAKTA DAN HUKUM ASURANSI KONVENSIONAL


1) Asuransi konvensional itu jual “Janji”, faktanya sesuatu akan
diganti jika “....” dan janji bukan termasuk barang ataupun
jasa. Jadi tidak bisa ditransaksikan/diakadkan untuk mencari
profit. Oleh karena itu asuransi konvensional tidak
memenuhi rukun akad objek yang bisa diakadkan. Maka
asuransi konvensional adalah tidak sah/bathil.

Kesimpulan: Asuransi konvensional tidak sah/bathil karena


tidak memenuhi rukun akad yang ketiga (dengan kata lain
Asuransi konven tidak mentransaksikan barang ataupun jasa)
asuransi konven mentransaksikan “janji”.

2) Secara umum asuransi artinya pertanggungan. Kalau dalam


istilah fiqih muamalah pertanggungan dikenal dengan istilah
dhoman/kafalah. Sedangkan dhoman termasuk akad tabarru
(non profit).
a. Jaminan/pertanggungan dalam Islam tidak bisa
dibisniskan untuk meraih profit, sedangkan
pertanggungan dalam asuransi konvensional motifnya
adalah profit (Tijarah).
b. Mengubah akad Tabarru menjadi akad tijarah disebut
riba jahiliyah (Adiwarman A. K. 2004:41).
3) Dalam asuransi konvensional, terdapat hal-hal berikut:
a. Maysir/gambling (spekulasi) (untung-untungan), karena
mendasarkan pada peristiwa yang tidak pasti (gharar).
Contoh pada asuransi konven jenis asuransi jiwa, dengan
pertanggungan masa 10 tahun, premi 1 juta/tahun=10
juta. Jika meninggal maka nasabah dapat 10juta+bunga
walau baru bayar 5 tahun. Jika masih hidup maka nasabah
hanya bisa mendapatkan 25% saja.
b. Jika nasabah ingin mundur atau tidak bisa bayar tahun ke-
5 misalnya maka uang preminya hangus=ini penipuan dan
zalim.
c. Riba, jika tahun ke-5 nasabah mati maka dapat 10
juta+bunga, dan bunga adalah termasuk riba.

Solusi
Kembalilah pada ketentuan akad penanggungan (adh-dhaman).

2. Asuransi Syariah

Definisi
(1) Usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi
dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko
tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah (DSN-MUI)
Maksud dari Akad yang sesuai dengan syariah adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan),
perjudian, riba, penganiayaan/kezaliman, suap, barang haram dan maksiat.
(2) Sistem menyeluruh yang pesertanya mendonasikan (derma) sebagian atau seluruh kontribusinya
yang digunakan untuk membayar klaim atas kerugian akibat musibah pada jiwa, badan, atau benda
yang dialami oleh sebagian peserta yang lain. (AAOIFI=Accounting and Auditing Organization for
Islamic Financial Institutions)

I. Praktek Umum Asuransi Syariah Non Saving


1. Seluruh premi nasabah jadi dana tabarru’. Pengelolaan dana tabarru’ dan
aktifitas takaful dijalankan oleh perusahaan asuransi dengan akad wakalah bil ujrah
2. Akad yang ada:
a. Tabarru’ takafuli
(1) Dananya adalah tabarru’ yaitu hibah (donasi) untuk takaful
(saling menanggung)
(2) Nasabah bisa mendapat pembayaran dari dana tabarru’ sesuai
ketentuan
b. Wakalah bil ujrah / ijarah
(1) Seluruh nasabah : musta’jir (majikan)
(2) Perusahaan asuransi: ajir (pekerja)
(3) Ujrah (upah) diberikan kepada perusahaan asuransi karena
telah mengelola dana tabarru

II. Praktek Umum Asuransi Syariah yang Disertai Saving


1. Premi nasabah dibagi dua : bagian dana tabarru’ dan bagian –biasanya lebih besar-utk investasi.
Dana tabaruu’ dikelola perusahaan dengan akad wakalah bil ujrah, dana investasi dikelola dengan
mudharabah/ musyarakah
2. Akad yang ada:
a. Tabarru’ takafuli
(1) Nasabah menyetor dana tabarru’. Setiap nasabah bisa dapat dana
pertanggungan dari dana tabaruu’ sesuai ketentuan
b. Wakalah bil ujrah
(1) Nasabah: musta’jir; perusahaan: ajir; ada ujrah
c. Mudharabah/mudharabah musyarakah
(1) Nasabah: shahibul mal; perusahaan: mudharib (atau sekaligus shahibul mal)
(2) Keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati
(3) Sebagian keuntungan nasabah disisihkan untuk dana tabarru’
(4) Perusahaan asuransi tidak mengelola langsung investasi dalam kegiatan riil
(karena asuransi adalah LKBB-lembaga keuangan bukan bank)

a. Premi Asuransi Syariah contoh 100rb/bulan dibagi 2


bagian:
1. 10rb masuk rekening tabarruinilah kumpulan dana
untuk menolong yang kena musibah. Dana ini tidak bisa
diambil lagi oleh penyetor premi, karena sifatnya seperti
hibah/pemberian.
2. 90rb masuk rekening nasabahdana ini dikelola oleh
perusahaan asuransi dengan akad mudharabah dengan
prinsip bagi hasil

Analisis
Tentang Penjaminan (dhaman)
Penjamninan adalah dhammu dzimmah adh-dhâmin ilâ dzimmah al-madhmûn ’anhu fî iltizâm
al-haqq (memasukkan jaminan penjamin pada tanggungan pihak yang dijamin dalam kewajiban
menunaikan hak)
Kepada Nabi saw. pernah didatangkan sesosok jenazah agar beliau menshalatkannya. Lalu
beliau bertanya, “Apakah ia punya hutang?” Para Sahabat berkata, “Benar, dua dinar.” Beliau
bersabda, “Shalatkan teman kalian!” Kemudian Abu Qatadah berkata, “Keduanya (dua dinar
itu) menjadi kewajibanku, ya Rasulullah.” Nabi saw. pun lalu menshalatkannya
(HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i dan al-Hakim)
Rukun Penjaminan
(1) Rukun
a. Sesuatu yang dijamin (al-madhmûn bihi)—utang jenazah yg harus ditunaikan
b. Penjamin (adh-dhâmin)- Abu Qatadah
c. Pihak yang dijamin (al-madhmûn ‘anhu), tidak boleh majhul (artinya harus diketahui)-
jenazah
d. Pihak yang menerima jaminan (al-madhmûn lahu), tidak boleh majhul –orang yg
memberikan utang kepada jenazah dulu ketika mash hidup.
e. Ijab qabul

2. Harus ada dhammu dzimmah ilâ dzimmah (memasukan tanggungan orang lain kedalam
tanggung jawab penjamin). , contohnya Abu Qatadah yg menjamin pelunasan hutang si mayit.
3. Harus Tanpa kompensasi untuk penjamin karena merupakan tabarru’ akad tolong menolong,
contohnya Abu Qatadah ketika menjamin pelunasan hutang si mayit , Abu Qatadah tidak
mendapatkan imbalan apapun.

Dalam praktek umum muamalah asuransi syariah terdapat hal-hal “yg harus dicermati”:
1. Terjadi dua akad dalam satu transaksi (shafqatayn fî shafqah). Statusnya bisa batil
2. Tabarru’ secara syar’i merupakan hibah. Hibah merupakan pemindahan kepemilikan tanpa
kompensasi. Pada asuransi syariah, nasabah ikut karena mengharap bisa dapat dana pertanggungan
yang tentu saja jauh lebih besar dari total premi yang dibayarkan. Dan itu tertuang dalam klausul
kontrak asuransi yang sifatnya mengikat. Disamping dalam asuransi non saving juga ada
pengembalian dana kpd nasabah dari kelebihan pengelolaan dana tabarru’ (surplus underwriting)
3. Dari sisi ketentuan adh-dhamân, tidak terpenuhi:
Tidak terdapatnya “dhammu dzimmah ilâ dzimmah”. Sebab seharusnya nasabah (yang dijamin)
tidak punya kewajiban finansial apapun kepada siapapun.
4. Status perusahaan dalam akad mudharabah
Perusahaan tidak mengelola langsung dana investasi, melainkan diinvestasikan melalui bank atau di
re-asuransikan

Solusi
Kembalilah pada ketentuan akad penanggungan (adh-dhaman) seutuhnya.
Buku bisnis dan muamalah kontemporer hal 159.

Alternatif solusi
Akad saling menanggung bisa dilakukan di antara peserta. Jadi sejumlah peserta membentuk
kesepakatan bersama untuk saling menanggung dengan cara mengumpulkan sejumlah uang.
Bisa pula disepakati dana yang dikumpulkan dipakai sebagai modal usaha yang diputar oleh
sebuah perusahaan, dimana sebagian atau keseluruhan keuntungan dipakai sebagai dana
tanggungan. (jadi akad saling menanggungnya bukan antara perusahaan dengan peserta tapi
akadnya di antara nasabah). Dan yg memiliki kuasa penuh akan dana tabarru ada pada peserta
bukan di perusahaan.
Lembaga takaful dapat berperan sebagai wakil bagi pengusaha dan peserta. Lembaga takaful
memperoleh dana dari pungutan administrasi dari para peserta atau imbalan baik dari peserta
ataupun pengusaha. Dana itu lebih banyak diperuntukkan bagi biaya operasional dan
mengembangkan kegiatan takaful jadi bukan mencari keuntungan. Jadi berbeda sekali dengan
tujuan dan falsafah pendirian perusahaan asuransi dalam kapitalisme.

Menurut Hafidz dan Yahya Abdurrahman (2013:159-160),


alternatif penyelesaiannya adalah akad saling menanggung (takafulli
atau dhaman) bisa dilakukan di antara para peserta nasabah. Jadi
sejumlah nasabah membentuk kesepakatan bersama untuk saling
menanggung dengan cara mengumpulkan sejumlah uang. Bisa pula
disepakati dana yang dikumpulkan dipakai sebagai modal usaha
yang diputar oleh pengusaha perusahaan pengelola (bukan lembaga
takaful), di mana sebagian atau keseluruhan keuntungan dipakai
sebagai dana tanggungan. (jadi akad saling menanggungnya
(takafulli atau dhaman) bukan antara pengusaha dengan nasabah,
bukan pula antara perusahaan takaful dengan nasabah tapi akad
saling menanggungnya di antara nasabah). Dan yang memiliki kuasa
penuh akan dana tabarru’ ada pada nasabah bukan di lembaga
takaful.
Bila dana hasil keuntungan pengusaha tersebut (bukan takaful)
berlebih, bisa disepakati lebih jauh untuk menanggung orang lain
yang bukan anggota takaful. Peran lembaga takaful (asuransi
syariah) dalam hal ini bisa sebagai wakil kedua belah pihak
(pengusaha dan para nasabah) yaitu mengurusi segala hal yang
berkaitan dengan kegiatan takaful. Lembaga ini (takaful) berhak
memperoleh dana pendapatan sebagai kompensasi atas administrasi
dan manajemen yang dilakukan takaful dari para nasabah, atau
imbalan (‘ujrah) karena mempertemukan pengusaha (yang usaha)
dengan nasabah (yang memiliki dana). Sehingga memang dana hasil
semua keuntungan dari dunia usaha untuk dana tanggungan,
lembaga takaful hanya diberi ‘ujrah bukan bagi hasil.
Dana tersebut lebih banyak digunakan untuk biaya operasional atau
mengembangkan kegiatan takaful. Bukan untuk mencari keuntungan.
Dengan demikian lembaga takaful didirikan memang untuk kegiatan
nirlaba, sehingga berbeda dengan perusahaan asuransi konvensional.
Dengan demikian maka mu’amalah yang terjadi tetap berada dalam
koridor syari’at Islam yakni memenuhi syarat dan rukun dhaman.

Anda mungkin juga menyukai