Hak cipta atau Hak kekayaan intelektual (huquq al milkiyah al fikriyah) adalah karya
inovatif dan penemuan manusia.[1] Disebut juga karya kreatif atau al-
mushannafat al mubtakirah.[2] Karya kreatif ini terdiri dari: (a)Buku dan barang
cetakan semisal buku, (b) produk audio maupun video, (c) software dengan segala
bentuknya, (d) penemuan di bidang industri (Pasal 70 kitab Masyru qanun al buyu’ fi
daulati al khilafah, karya Syaikh Ziyad Ghazal).
Pembuat karya kreatif adalah orang yang pertama kali membuatnya, sehingga
si pembuat inilah yang paling berhak atas hasil karyanya itu.
Karya kreatif faktanya adalah ilmu yang diolah dengan tenaga dan harta yang
diwujudkan dalam bentuk zat fisik (dapat berupa buku, audio dan/video, software,
temuan-temuan bidang industri-pertanian) (Ghazal, 2011:184). Nah, bentuk fisik
inilah disebut harta milik individu yang dalam Islam harta milik individu harus
dilindungi.
ْ
ِ َّْس ِمنَّا َو ْليَتَبَوَّأ َم ْق َع َدهُ ِمنَ الن
ار َ ْس لَهُ فَلَي
َ َم ِن ا َّدعَى َما لَي
Siapa saja yang mengklaim apa yang bukan miliknya maka ia bukan golongan kami,
dan hendaknya ia menyiapkan tempat duduk dari api neraka (HR. Muslim no. 226)
Selain pembuat karya juga tidak boleh mengubah karya kreatif dengan tetap
menisbatkan pada pembuatnya. (artinya misalkan A pembuat pertama karya kreatif,
kemudian B memodifikasi, lalu hasilnya tetap dinisbatkan kepada A Perbuatan ini
terkategori penipuan) karena A tidak mengubah karya kreatifnya. Mengenai hal ini
nabi bersabda:
Barang siapa yang menipu maka ia tidak termasuk golongan saya (HR. Muslim)
1) Hukum penggunaan karya kreatif oleh orang lain
Yang dimaksud memiliki adalah memiliki benda dengan cara-cara yang dibenarkan
syariat[5]. Kepemilikan hanya terjadi karena dua kemungkinan, membeli atau
mendapatnya secara cuma-cuma.
Jika seseorang mendapatkan dengan cara yang dibenarkan secara syariat maka akan
terjadi peralihan kepemilikan (intiqalu al milkiyah) sekaligus hak pengelolaan
(tasharruf). Karena pengertian kepemilikan (al milkiyyah) mengharuskan hal tersebut.
Akibatnya seseorang yang memiliki berhak untuk mengelolanya seperti menjualnya
kembali, menghadiahkannya, memperbanyaknya, mencetak dan membaginya secara
gratis, atau menjualnya dengan mengambil keuntungan jika ia mendapatkannya
dengan membeli (dengan akad untuk dikomersialkan).
Penjual tidak memiliki hak untuk menghalangi dan membatasi tasharruf. Karena
setidaknya dua alasan: (1) larangan membuat syarat yang menyelisihi al quran dan
sunnah, (2) larangan katmu al’ilmi (menyembunyikan ilmu).
Mengenai alasan pertama berdalil dengan hadist dari ‘Aisyah rah. Bahwa Barirah
menceritakan, ia mendatangi mukatab (budak yang dijanjikan bebas dengan tebusan).
Budak tersebut dijanjikan bebas oleh tuannya dengan tebusan 9 ‘awaq[6]. Mukatab
tersebut lalu mendatangi tuannya, dan menceritakan hal itu kepada mereka. Kemudian
mereka menolak dan mensyaratkan agar loyalitas [budak tersebut] tetap menjadi milik
mereka. Hal itu kemudian diceritakan ‘Aisyah kepada Nabi saw. Rasulullah saw
bersabda: “Lakukanlah.” Kemudian Barirah melaksanakan perintah tersebut dan
Rasulullah saw berdiri, lalu berkhutbah di hadapan manusia. Beliau segera memuji
Allah dan menyanjung namaNya. Kemudian bersabda: “Tidak akan dipedulikan,
seseorang yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak sesuai dengan apa yang
tercantum dalam Kitabullah.” Kemudian beliau bersabda lagi:
“Setiap syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka syarat tersebut adalah bathil.
Kitabullah lebih berhak, dan syaratnya (yang tercantum dalam Kitabullah) bersifat
mengikat. Loyalitas dimiliki oleh orang yang membebaskan.” (HR. Ibnu Maajah)
Syarat bahwa loyalitas mukatab masih pada majikannya dalam hadist di atas Rasul
sebutkan sebagai syarat yang batil. Kesimpulannya konsekuensi akad adalah bahwa
kepemilihan dan hak tasharruf telah beralih pada pembeli karya kreatif.
Yang lebih hak untuk kalian ambil upahnya adalah (mengajarkan) kitabullah (HR.
Bukhari no. 19 dari Ibnu ‘Abbas)
Jika ada yang bertanya apa hukum jual-beli dalam kondisi seperti ini? Menurut kami
hukum jual-belinya sah. Karena ‘pembajak’ telah memiliki produk kreatif yang ia
jual, hanya saja penjual harus memberi kompensi kepada pembuat karya kreatif
karena ia telah berbuat kesalahan dengan mengekploitasi harta orang lain tanpa
seizinnya. Pembeli pun boleh membelinya. Adanya kompensasi atas keuntungan jual
beli mengindikasikan sahnya jual beli ini. Karena jika tidak sah tentu tidak ada
kompensasi dari keuntungan penjualan. Pemahaman ini akan semakin jelas jika kita
membaca versi arab dari pasal 72 dari draft UU transaksi jual beli di era khilafah sbb:
…فإذا تم استغالله تجاريا من غير إذن صاحب المصنف فيستحق صاحب المصنف العوض المالي علئ ذلك.
Maka jika telah terjadi pengeksploitasian secara komersil, tanpa izin dari pembuat
maka pembuat berhak mendapat kompensasi secara materi atas hal tsb. [7]
[4] Menurut saya ini adalah untuk kasus langsung mendapatkan salinan karya kreatif
langsung dari pembuatnya, bukan untuk yang sudah disebarluaskan oleh
penerbit/produsen.
[5] an-nizham al iqtishadi fi al islam hlm. 71, huquq al milkiyah al fikriyah baina al-
fiqhi wa al-qanun hlm. 9
[6] 1 ‘awaq = 12 dirhan. 1 dirham syar’I = 2, 975 gram emas. Harga jual emas 24
karat per 20 Februari 2013 Rp518.00,-/gr. Sehingga 9 ‘awaq setara dengan Rp.
116.433.400,
Pasal 74
Dalam jual beli merk dagang disyaratkan pembeli mendapatkan semua
informasi dan keahlian yang diperlukan dari penjualnya agar kesesuaian
barang baru dengan barang aslinya bisa dipenuhi
Merk dagang adalah nama dan bentuk yang bisa membedakan barang
tertentu dengan barang lain. Saat ini, inilah fakta yang disebut merk dagang.
Merk dagang ini dijual untuk bisa dimanfaatkan oleh pembelinya. Merk dagang
ini secara real menghasilkan manfaat. Manfaat itu sendiri merupakan harta.
Dalilnya adalah sabda Rasul saw kepada orang yang meminta dinikahkan
dengan seorang wanita yang menyerahkan dirinya kepada Nabi saw:
»س ِمنَّا
َ ش َفلَْي
َّ «م ْن َغ
َ
“Siapa yang melakukan penipuan, maka dia bukan dari golongan kami.”
Orang yang pergi ke pasar untuk membeli barang, dengan seluruh zatnya,
sebenarnya dia mencurahkan hartanya sebagai kompensasi barang, yang
namanya terkait dengan karakteristik dan standar tertentu. Berdasarkan
semuanya itu, dia pun membayar harga barang tersebut. Jika nama dan
bentuknya tetap, tetapi spesifikasi dan standarnya berbeda, maka pembeli
tersebut sebenarnya telah membeli barang lain, bukan barang yang harganya
dia bayar untuk dibeli. Ini jelas merupakan bentuk penipuan. As-Salus
mengatakan, “Jika merk barang tertentu, dan merk tersebut dipindahtangankan
kepada perusahaan lain, bukan pemilik merk aslinya, maka pemilik asli merk
tersebut wajib memberikan apa yang dibutuhkan oleh pemilik barunya, yaitu
seluruh informasi, bahan atau yang lainnya, sehingga barang baru tersebut
1
Al-Qawâid, hal. 233
sama sekali tidak berbeda dengan barang aslinya. Jika tidak, maka ini
merupakan tindak penipuan, kecurangan dan gharar kepada masyarakat.”2
Pelanggaran terhadap merk dagang dengan menirunya, juga merupakan
bentuk penipuan. Pencantuman nama merk dagang suatu barang tertentu yang
sudah dikenal pada barang lain juga bagian dari penipuan, kebohongan dan
kecurangan kepada pembeli.
Pasal 75
Sah menjual nama dagang (nama perusahaan),
yaitu alamat spesifik untuk tempat dagang atau pabrik
2
As-Salus, al-Iqtishâd al-Islâmî wa al-Qadhâyâ al-Fiqhiyah al-Mu’âshirah, hal 749