Anda di halaman 1dari 4

Politik Teknologi & Kekayaan Intelektual

Dr.-Ing. Fahmi Amhar, Peneliti Utama, Bakosurtanal

Bagi suatu bangsa, teknologi adalah suatu agen ekonomi yang paling signifikan, di
samping politik, hukum serta perubahan sosio-kultural.  Karena itu, untuk
membangkitkan ekonomi, perlu kebangkitan teknologi.  Apapun ideologi yang dianut
suatu bangsa, kebangkitan ekonomi tanpa teknologi sulit dibayangkan. 

Namun politik pengembangan teknologi bagi banyak negara berkembang saat ini
dikeluhkan terhambat oleh rezim “hak kekayaan intelektual” (HKI).  Mereka
menganggap, hak-hak itu adalah rekayasa negara-negara maju untuk membatasi akses
teknologi bagi negara berkembang.  Karena itu ada “perlawanan” pada sebagian
mereka dengan membiarkan pembajakan karya berhak-cipta, misalnya buku atau
software.  Di sisi lain, negara-negara maju mengklaim, maraknya pelanggaran HKI itu
justru akan mematikan potensi teknologi suatu bangsa. 

Karena itu perlu ditelusuri lebih dalam, bagaimana sesungguhnya rezim HKI ini dalam
teori dan realita.

Teori

HKI adalah pengakuan hukum oleh negara yang memberikan pencipta atau penemu
hak mengatur secara eksklusif penggunaan gagasan yang diciptakannya untuk jangka
waktu tertentu sebagai kompensasi dari pengumumannya kepada publik (publikasi). 
Istilah ‘kekayaan intelektual’ bermakna bahwa hasil pikiran dapat dilindungi oleh hukum
sebagaimana bentuk hak milik fisik lainnya.

Hak eksklusif ini secara umum ada dua kategori: pertama: hak eksklusif memperbanyak
ciptaan untuk tujuan komersial, tanpa melarang orang lain mengekspresikan ide yang
sama dalam bentuk yang berbeda; kedua: hak melarang orang lain mengerjakan
sesuatu yang telah didaftarkan, meski mereka belum pernah mendengar atau melihat
apa yang diklaim sebagai kekayaan intelektual itu.

Dalam realita, pemilik paten suatu obat misalnya, dapat menghalangi orang lain
membuat atau menjual obat itu tanpa seizinnya, namun di sisi lain, sang pemilik itu
juga tidak bisa melakukannya sendiri tanpa lisensi khusus dari otoritas pengatur.

Hal ini karena hukum yang mengatur HKI biasanya bersifat teritorial; sehingga dapat
berbeda-beda di tiap negara.  Di Indonesia UU HKI mencakup Hak Cipta dan Hak
Kekayaan Industri, yang terdiri atas Paten, Merek, Desain Industri, Desain Sirkuit
Terpadu, Rahasia Dagang dan Varietas Tanaman

-Hak cipta (copyright) ada pada karya kreatif atau seni (buku, film, musik, lukisan, foto
dan software) dan pemegangnya diberi hak eksklusif untuk jangka waktu tertentu
mengontrol reproduksi (mengcopy) atau adaptasinya (penerjemahan, pengangkatan
buku menjadi film, dsb). 

-Paten diberikan untuk penemuan baru yang berguna bagi industri.  Pemiliknya diberi
hak eksklusif untuk mengkomersilkan penemuannya untuk 20 tahun sejak tanggal
pendaftarannya.

-Desain industri memproteksi suatu bentuk alat atau desain (misal spareparts, mebel
atau motif tekstil) dari penjiplakan.  Hal sejenis ada pada desain sirkuit terpadu yang
dipakai memproduksi chip elektronik.

-Varietas tanaman memproteksi dalam jangka waktu tertentu suatu jenis tanaman
unggul yang telah didapatkan dari riset yang lama dan mahal.

-Merek dagang adalah tanda unik yang diberikan untuk membedakan suatu barang
atau jasa dari produsen atau pedagang lainnya.

-Rahasia dagang (terkadang disebut pula “confidential information”) adalah suatu


rahasia bisnis yang tidak dipublikasikan, namun diketahui orang-orang tertentu di
perusahaan itu, dan membocorkannya adalah melanggar hukum, sekalipun orang-orang
yang mengetahui itu sudah tidak bekerja di sana.  Rezim HKI memberi kesempatan
untuk mencatatkan pada negara apa yang termasuk rahasia dagang itu.

Perlindungan hak cipta biasanya diberikan selama 70 tahun, paten 20 tahun, desain
industri, sirkuit terpadu atau varietas tanaman bervariasi – umumnya juga maksimum
20 tahun, sedang merek dagang dan rahasia dagang tidak terbatas.

Dengan mempublikasikan karya-karya intelektual ini – meski dengan membatasi


pemanfaatannya – diharapkan para peneliti di seluruh dunia dapat meningkatkan
kreatifitasnya, sehingga terus menghasilkan karya-karya baru.  Database paten yang
memang terbuka (semacam www.uspto.gov) adalah sumber informasi teknologi
terlengkap yang ada di dunia.  Di sana tersedia lebih dari 6 juta deskripsi rinci teknologi
– bahkan sebagian besar belum pernah masuk ke pasar, mungkin karena tidak
menemukan investornya.

 
Kritik & Kontroversi

Kontroversi terjadi ketika undang-undang HKI mendorong untuk membuat inovasi agar
diketahui umum, namun pada saat yang sama memberi pencipta atau penemu hak
eksklusif pemanfaatan karya mereka itu untuk jangka waktu tertentu.

Para ekonom kapitalis biasanya meyakinkan bahwa pasar bebas tanpa hak eksklusif
akan membawa produksi intelektual yang lebih rendah.  Hal ini karena para pencipta
atau penemu itu umumnya bukan pemilik modal besar.  Tanpa perlindungan hukum
yang memadai, mereka akan khawatir bila karya ciptaan atau penemuan mereka justru
dikomersilkan oleh perusahaan besar, dan perusahaan itulah yang untung besar sedang
para pencipta dan penemu hanya mendapat hasil yang pas-pasan.  Dengan menaikkan
balasan bagi para penulis, penemu dan penghasil karya intelektual, melalui royalti yang
dijamin rezim HKI, maka efisiensi diharapkan akan naik. 

Namun di sisi lain, membatasi penggunaan bebas dari ide dan informasi akan juga
menimbulkan biaya, ketika penggunaan teknik terbaik untuk suatu tugas tertentu jadi
terhalang.

Masalah ini mencuat karena memang tidak mudah menilai baik biaya menghasilkan
maupun manfaat yang didapat dari karya intelektual.  Semua hitung-hitungan selalu
didasarkan pada banyak asumsi – yang mungkin benar di lingkungan mikro, namun
sulit digeneralisasi secara makro.

Memang ada karya intelektual yang dihasilkan dalam riset yang mahal dan lama (riset
obat, bibit unggul atau mesin hemat energi).  Namun ada pula yang ide itu muncul
begitu saja, atau didasarkan temuah ilmiah lain yang tidak dilindungi rezim HKI atau
telah ditemukan sebelum rezim HKI ada.  Sebagaimana diketahui, penemuan fisika,
kimia atau matematika yang tidak secara langsung dapat dimanfaatkan oleh industri,
tidak dilindungi HKI, dan hanya konsumsi akademis saja.  Fakta juga, nilai ekonomis
karya intelektual sering tidak tergantung biaya pembuatannya.  Penciptaan lagu atau
software, terkadang hanya berbiaya kecil, namun memberi penghasilan sangat tinggi. 
Margin profitnya jauh lebih tinggi dari margin pada industri manufaktur barang-barang
fisik pada umumnya.

Karena itu, bagaimana nilai investasi yang harus dishare oleh pengguna atau investor
dalam bentuk royalty itu harus ditentukan?  Di sisi lain investor juga ingin nilai yang
diinvestasikan itu kembali.  Dalam lingkup kecil, investor dapat menghitung
penghematan yang dia dapatkan dengan karya intelektual itu.  Namun dalam skala
besar, hal itu sulit, karena benefit suatu perusahaan juga terkait iklan, persaingan
usaha, perkembangan teknologi (yang dapat membuat daluarsa penemuan teknologi
sebelumnya) dan kondisi makro ekonomi lainnya.  Bahkan sekedar dalam akuntansi
saja, pembukuan asset dari karya intelektual itu tidak mudah.
Di beberapa jenis produk memang ada hubungan antara peningkatan jumlah penemuan
dengan introduksi rezim HKI.  Namun pendapat ini digugat orang dengan alasan bahwa
wajar bila makin hari makin banyak penemuan teknologi, karena memang elemen yang
dapat dikombinasikan semakin banyak.

Yang jelas, di bawah rezim HKI, publik dicegah dari mengambil manfaat dari
penggunaan informasi yang dipublikasikan tanpa khawatir melanggar syarat-syarat
pemegang HKI.  Biaya yang ditanggung publik juga sulit dikuantifikasi.  Sebaliknya,
biaya yang “ditanggung pemegang HKI” sering dipublikasikan.  Bussiness Software
Alliance (BSA) yang gencar menyisir pembajakan software mengklaim bahwa di seluruh
dunia pembajakan software telah merugikan para penciptanya senilai 29 Milyar Dollar. 
Namun tidak pernah dihitung kerugian pengguna akibat software yang dibeli legal
namun tidak optimal.

Di dunia, hanya Amerika Serikat dan Inggris yang secara terus menerus menerima laba
netto dari HKI dan juga pendukung utama sistem HKI.  Ini yang dicoba diubah oleh
negara-negara seperti China, India dan negara berkembang.  Namun “aksi perlawanan”
bukan hanya tindakan di negara-negara berkembang.  Banyak kalangan dari negara
maju sendiri yang akhirnya melihat ketimpangan rezim HKI, dan lalu berinisiatif
membuat jalur alternatif. 

Orang seperti Wilhelm Conrad Roentgen, penemu sinar tembus dari Jerman, menolak
usulan agar mempatenkan penemuannya, karena dia ingin mesin itu menjadi “wakaf”
bagi kemanusiaan.

Dalam bidang software, muncul Open Source Society dan Free Software Foundation. 
Software bebas copy seperti Linux dengan segala aplikasinya sudah mengkhawatirkan
Microsoft, sampai Microsoft di Rusia, Cina, India dan Thailand menawarkan harga
khusus super murah kepada instansi pemerintah.

Bahkan World Intelectual Property Organizaiton (WIPO) sendiri telah mengkritik dirinya.
Pada 2004 dalam deklarasi Geneva WIPO dianjurkan untuk fokus lebih banyak pada
kebutuhan negara bekembang dan untuk melihat HKI sebagai salah satu dari banyak
alat untuk pembangunan, dan bukan berhenti pada dirinya sendiri.

Masalahnya, bagi negeri-negeri muslim, lepas dari soal pro atau kontra rezim HKI,
sudahkah politik teknologi mereka efektif?  Sudahkan ilmuwan mereka dihargai lebih
dari artis, olahragawan atau politisi?  Sudahkah teknolog mereka berkarya untuk
memiliki kemerdekaan teknologi, dan bukan sekedar corong produk ber-HKI dari
negara-negara maju? 

Anda mungkin juga menyukai