Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

SUMBER HUKUM ISLAM (IJMA DAN QIYAS)


Ditujukan untuk memenunuhi tugas dari Bapak H. Dr. Raden Edi Komarudin, M.Ag
Sebagai dosen Mata Kuliah Ilmu Fiqh

Disusun oleh:

Kelompok 3
1. Adnan Nadirsyah 1205020007
2. Anisa Nurul Aulia Puteri 1205020023
3. Baeti Nur Fadhilah 1205020038

BAHASA DAN SASTRA ARAB


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
Jl. A.H. Nasution No. 105A, Cibiru, Bandung Jawa Barat Indonesia
TAHUN AJARAN 2020-2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Puji syukur hanya milik Allah SWT. Hanya karena izin-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Tak lupa kami
kirimkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Beserta keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh insan yang dikehendaki-Nya.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah
Bahasa Indonesia yang menjelaskan tentang Hukum Islam (Ijma dan Qiyas).
Dalam penyelesaian makalah ini, kami mendapatkan bantuan serta
bimbingan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika kami
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Raden Edi Komarudin, M.Ag selaku Dosen Pengampu Mata
Kuliah Ilmu Fiqh atas bimbingannya.
2. Orang tua kami yang banyak memberikan semangat dan bantuan, baik moril
maupun materil.
3. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini.

Kami cukup menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Karena
itu kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan
makalah mendatang. Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat dan memenuhi
harapan berbagai pihak. Aamiin.

Banjar,11 April 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................1
1.3 Tujuan................................................................................................................1
1.4 Manfaat .............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................3
2.1 Pengertian Ijma’...............................................................................................3
2.2 Dasar Hukum Ijma’.........................................................................................3
2.3 Rukun-rukun Ijma’..........................................................................................5
2.4 Macam-macam Ijma’.......................................................................................6
2.5 Pengertian Qiyas...............................................................................................8
2.6 Dasar Hukum Qiyas.........................................................................................8
2.7 Rukun-rukun Qiyas..........................................................................................8
2.8 Macam-macam Qiyas.......................................................................................9
BAB III PENUTUP............................................................................................................11
3.1 KESIMPULAN.................................................................................................11
3.2 KRITIK & SARAN..........................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam sebagai agama yang sempurna memiliki hukum yang datang dari Yang Maha
Sempurna,kemudian tersamapaikan melalui Nabi Muhammad SAW,dengan Al-Qur’an sebagai
pedomannya. Kemudian sumber hukum agama islam selanjutnya adalah Sunnah. Al-Qur’an dan
Sunnah merupakan dua hal yang menjadi rujukan utama bagi ummat Islam dalam menjalankan
kehidupan demi tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat.
Namun seiring berkembangnya zaman ada hal-hal yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an
dan Sunnah ketetapan hukumnya. Maka dari itu timbullah solusinya yaitu sumber hukum selain
dari Al-Quran dan Sunnah yaitu Ijma’ dan Qiyas. Akan tetapi Ijma’ dan Qiyas masih merujuk
pada Al-Qur’an dan Sunnah karena itu penjelasan dari keduanya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud Ijma’?
2. Apa dasar hukum Ijma’?
3. Apa saja rukun-rukun Ijma’
4. Apa saja macam-macam Ijma’?
5. Apa yang dimksud Qiyas?
6. Apa dasar hukum Qiyas?
7. Apa saja rukun-rukun Qiyas?
8. Apa saja macam-macam Qiyas?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Ijma’
2. Untuk mengetahui dasar hukum Ijma’
3. Untuk memgetahui rukun-rukun Ijma’
4. Untuk mengetahui macam-macam Ijma’
5. Untuk mengetahui pengertian Qiyas

1
6. Untuk mengetahui dasar hukum Qiyas
7. Untuk memgetahui rukun-rukun Qiyas
8. Untuk mengetahui macam-macam Qiyas

1.5 Manfaat
Dalam penulisan makalah ini bertujuan agar penulis dan pembaca khususnya teman-
teman dapat mengetahui dan memahami mengenai Ijma’ dan Qiyas yang telah disepakati
oleh mujtahid yang dijadikan sebagai sumber hukum islam setelah Al-Qur’an dan Hadits.
Dan semoga makalah kami dapat bermanfaat.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A.Ijma’
2.1.Pengertian Ijma’
Ijma’ merupakan sumber penetapan hokum islam setelah Al-qur’an dan As-Sunnah.Ijma
dalam pengertian bahasa memiliki dua arti.Pertama,berupaya (tekad) terhadap
sesuatu.Kedua,berate kesepakata.Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa
arti pertama untuk orang dan arti kedua berate lebih dari satu orang.
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum
muslimin dalam satu masa setelah wafar rosulullah SAW atas hokum syara yang tidak dimukan
dasar hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadits.Ijma didefinisikan oleh para ulama dengan
beragam ibarat.Namun,secara ringkasnya dapatlah dikatakan sebagai berikut:”Kesepakatan
seluruh ulama mujtahid pada satu masa setelah zaman Rasulullah SAW atas sebuah perkara
dalam agama”.Dan ijma’ yang dipertangugung jawabkan adalah yang terjadi di zaman
sahabat,tabi’in (setelah sahabat),dan tabi’ut tabi’in (setelah tabi’in).karena zaman mereka para
ulama telah berpencar dan jumlahnya banyak,dan perselisihan semakin banyak,sehingga tak
dapat dipastikan bahwa semua ulama telah bersepakat.
Objek ijma’ ialah semua peristiwa atau kejadin yang tidak ada dasarnya dalam al-qur’an
dan hadits,peristiwa atau kejadian yang berhubugan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat
yabg tidak langsung ditujukan kepada Alloh SWT) bidang mu’amalat,bidang kemasyarakatan
atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam
al-quran dan hadits.
2.2.Dasar Hukum
1).Al-Qur’an:
Alloh SWT berfirman:

َ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ ِطيعُوا هَّللا َ َوأَ ِطيعُوا ال َّرسُو َل َوأُولِي اأْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم ۖ فَإ ِ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى هَّللا ِ َوال َّرسُو ِل إِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُون‬
َ ِ‫بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۚ ٰ َذل‬
‫ك َخ ْي ٌر َوأَحْ َسنُ تَأْ ِوياًل‬

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa’ :
59).

3
Kata Ulim Amri yang terdapat pada ayat diatas mempunyai arti hal,keadaan atau urusan
yang bersifat umum meliputi dunia dan urusan agama.Ulim Amri dalam urusan dunia ialah
raja,kepala Negara,pemimpin atau penguasa,sedangkan Ulil Amri dalam urusan agama ialah
para mujtahid.Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri telah sepakat sesuatu
ketentuan atau hokum dari suatau istimewa,maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan
dipatuhi oleh kaum muslim.
‫َص ُموا بِ َح ْب ِل هَّللا ِ َج ِميعًا َواَل تَفَ َّرقُوا‬
ِ ‫َوا ْعت‬
“ dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, …” (QS. Ali Imran ; 103)
‫صيرًا‬ ْ ‫يل ْال ُم ْؤ ِمنِينَ نُ َولِّ ِه َما ت ََولَّ ٰى َونُصْ لِ ِه َجهَنَّ َم ۖ َو َسا َء‬
ِ ‫ت َم‬ ِ ِ‫ق ال َّرسُو َل ِم ْن بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ لَهُ ْالهُد َٰى َويَتَّبِ ْع َغي َْر َسب‬
ِ ِ‫َو َم ْن يُ َشاق‬
“dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itudan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam
itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’ ; 115).
Pada ayat ini Alloh SWT melarang kita untuk menyakiti/menentang Rasulullah
SAW,membelot/menentang jalan yang disepakato kaum mu’minin.Ayat ini dikemukakan oleh
Imam Syafi’I ketika ada yang menanyakan apa dasarnya bahwa kesepakatan para ulama bisa
dijadikan dasar huum.Imam Syafi’I menunda jawaban atas pertanyaan orang tersebut sehingga
tiga hari.beliau mengulang-ulang hafalan Al-Qur’ab sehingga menemukan ayat ini.Contoh
ijma’;kewajiban shalat lima waktu.
2).Hadits
Sabda Rasulullah SAW:
“Apabila seseorang menginginkan kemakmuran surge,hendaknya selalu berjama’ah”
Dalam hadits di atas Imam Syafi’I berkomentar :”Jika keberadaan para mujtahid tersebar
diseluruh penjuru dunia,dan apabila tidak dimungkinkan bertemu langsung tetapi endapatnya
dapat disampaikan pada sejumlah mujtahid,maka dapat terjadi ijma’ dalam menetapkan
sebuah hokumDan ketetapan para mujtahid ini dianggap sebagai ojma’ dan apabila ada yang
mengingkarinya maka harus ditemukan bukti dan dalil baru untuk keputusan ijma tersebut.

4
3).Dalil Aqliyah
Setiap ijma’ yang ditetapkan menjadi hukum syara', harus dilakukan dan disesuaikan dengan
asal-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah
mengetahui dasal-dasar pokok ajaran Islam, batal-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad
serta hukum-hukum yang telah ditetapkan.
Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh
melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu.
Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar
ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam,
karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan
sebagainya.
Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah
dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi Al Qur'an dan Hadis, karena
semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan
seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat
mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.

2.3.Rukun Ijma’
Menurut Abu Wahab Khalaf dalam kitab ‘ilm ushul fiqh,terdapat empat rukun ijma yang
merupakan hakikat dan unsur pokok dari suatu ijma’.Diantaranya:
1. Saat berlangsung kejadian yang memerlukan adanya ijma’,terdapat sejumlah orang yang
berkualitas mujtahid.Karena kesepakatan tidak dapat terjadi kecuali berdasarkan
kesepakatan pendapat dari seluruh mujtahid.Jika pada suatu masa tidak ada mujtahid
sama sekali kecuali hanya satu maka ijma’ tidak bisa terlaksana secara hokum.Karena itu
tidak ada ijma’ pada zaman Rasululloh SAW karena beliau satu-satunya mujtahid pada
saat itu.
2. Semua mujtahid itu pada satu masa sepakat atas hokum suatu masalah tanpa
memandang negeri asal,suku dan kelompok tertentu.Jika pada masa tersebut yang
mencapai kesepakatan suatu hukum hanya ulama Haramain saja,atau hanya ulama Irak
saja,maka ijma’ tidak dapat disebut ijma’.Karena ijma’ hanya tercapai dalam
kesepakatan menyeluruh saja.
3. Kesepakatan itu tercapai setelah terebih dahulu masing-masing mujtahid
mengemukakan pendapatnya sebagai hasil dari usaha ijtihadnya,

5
baik pendapat itu dikemukakan dalam bentuk ucapan dengan mengelurkan fatwa,atau
dalam bentuk perbuatan dengan memutusan hukum dalam pengadilan dalam
kedudukan sebagai hakim.Penyampain pendapat itu mungkindalam bentuk
perseorangan yang kemudian ternyata hasilnya sama atau secara bersama-sama dalam
suatu majelis yang sesudah bertukar pikiran ternyata terdapat kesamaan pendapat.
4. Kesepakatan hokum dicapai dari hasil kesepakatan pendapat para ulama secara
keseluruhan.Seandainya ada sebagian ulama yang tidak setuju dengan kesepakatan
tersebut,maka tidak bisa disebut ijma’.Meski para ulama yang berbeda pendapat itu
sedikit dan yang setuju banyak,Karena ketika pendapat perbedaan ulama maka ada
kemungkinan terdapat kesalahan,sehingga pada saat itu kesepakatan yang dicapai oleh
mayoritas tidak bisa djadikan sebagai dalil syara yang pasti dan wajib.

Menurut Az-Zuhaili (1986;537) dalam ushul fiqh islami,ijma’ baru dianggap sah jika
memenuhi rukun-rukunnya,yaitu:

 Mujtahid berjumlah lebih dari satu orang.


 Kesepakatan ulama atas suatu hukum itu dapat direalisasikan
 Adanya kesepakatan semua mujtahid atas hokum syar’I tanpa memandang
negeri,kebangsaan,atau kelompoknya.Artinya jika terdapat kesepakatan ulama Mekkah
saja,Irak saja atau yang lainnya,itu tidak bisa disebut Ijma’
 Kesepakatan tersebut diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan
pendapatnya secara jelas daan transparan.
 Sandaran hokum ijma’ adalah Al-Qur’an dan Hadits Rasululloh SAW.

2.4.Macam-macam Ijma’
Berdasarkan kejelasan perkara yang disepakati,ijma’ terbagi menjadi dua:
1. Ijma’ Qath’I,yaitu yang berupa perkara maklum dan jamak diketahui oleh seluruh
kalangan dari umat islam,tidak ada yang tak mengetahuinya dalam kondisi wajar,dan
tidak ada uzur untuk tidak mengetahuinya.Seperti ijma’ tentang wajibnya salat lima
waktu dan haramnya minuman keras.
2. Ijma’ Dzanni,yaitu ijma’ yang tidaklah diketahui kecuali oleh para ulama.Karena
diperlukan pencarian dan pembedahan terhadap teks-teks kitab klasik dan ucapan-
ucapan ulama terdahulu.

6
Berdasarkan dari sgi terjadinya,ijma terbagi menjadi dua:
1. Ijma’ Sharih/qouli/bayani,yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas
dan tegas,baik berupa ucapan atau tulisan,seperti hokum masalah ini halal dan tidak
haram.
2. Ijma’ sukuti/iqrari,yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak
menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas,tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak
memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid
lain yang hidup di masanya.
Sebab-sebab terjadinya perbedaan adalah: keadaan diamnya sebagian mujtahid tersebut
mengandung kemungkinan adanya persetujuan atau tidak. Apabila kemungkinan adanya
persetujuan: maka hal ini adalah dalil qath’i, dan apabila ada yang tidak menyetujui: maka hal
itu bukanlah sebuah dalil, dan apabila ada kemungkinan memberi persetujuan tetapi dia tidak
menyatakan: maka hal ini adalah dalil dzhanni.
Berdasarkan dari segi keyakinan,ijma terbagi menjadi dua:
1. Ijma’ Qath’I,yaitu hokum yang berhasilkan ijma’ itu adalah sebagai dalil qath’I diyakini
benar terjadinya.
2. Ijma’ dzhanni,yaitu hokum yang dihasilkan ijma’ dzanni,masih ada kemungkinan lain
bahwa hokum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil
ijtihad orang lain atau dengan jhasil ima’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
Berdasarkan dari waktunya,ijma’ ada beberapa macam,yakni:

 Ijma’ ummah,yaitu kesepakatan eluruh mujtahid dalam sutau masalah pada suatu masa
tertentu.
 Ijma’ Shahaby,yaitu kesepakatan semua ulama’ sahabat suatu masalah.
 Ijma’ Ahli Madinah,yaitu kesepakatan ulam-ulama Madinah dalam suatu masalah.
 Ijma’ Ahli Kufah,yaitu kesepakatan ulama-ulama Kufah dalam suatu masalah.
 Ijma’ Khalifah,yaitu kesepakatan empat khalifah (Abu Bakar,Umaar,Utsman dan Ali)
dalam suatu masalah.
 Ijma’ Syaikhoni,yaitu kesepaktan pendapat antara Abu Bakar dan Umar Bin Khattab
dalam suatu masalah.
 Ijma’ Ahli Bait,yaitu kesepakatan pendapat dari ahli bait (keluarga Rasul).

7
B.Qiyas
2.5.Pengertian Qiyas
Secara bahasa qiyas berate ukuran,mengetahui ukuran sesuatu,membandingkan,atau
menyamakan sesuatu dengan yang lain.Sedangkan menurut istilah,qiyas adalah
memberlakukan hokum asal kepada hokum furu disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat
dicapai melalui pendekatan bahasa saja.
Menurut al-Amidi, qiyas adalah mempersamakan illat yang ada pada furu’ dengan illat
yang ada pada asal yang diistinbatkan dari hukum asal, yang terakhir menurut Wahbah az-
Zuhaili, qiyas yaitu menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan
sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat hukum antara
keduanya.
Pengertian Qiyas menurut para ulama ushul fiqh ialah menetapkan hukum suatu
kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada
suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash
karena ada persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
2.6.Dasar Hukum Qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat
bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam
ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-
macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya
dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas
apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan
dasar.
2.7.Rukun Qiyas
a. Al-ashlu (pokok).
Sumber hukum yang berupa nash-nash yang menjelaskan tentang hukum, atau wilayah
tempat sumber hukum.Yaitu masalah yang menjadi ukuran atau tempat yang menyerupakan.
Para fuqaha mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu
dikiaskan kepadanya (al-maqis ‘alaihi), dan musyabbah bih (tempat menyerupakan), juga
diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
Imam Al-Amidi dalam al-Mathbu’ mengatakan bahwa al-ashlu adalah sesuatu yang
bercabang, yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri.

8
Contoh, pengharaman ganja sebagai qiyâs dari minuman keras adalah keharamannya,
karena suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan selalu dibutuhkan Dengan demiklian maka
al-aslu adalah objek qiyâs, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya.
b. Al-far’u (cabang).
Al-far’u adalah sesuatu yang tidak ada ketentuan nash. Fara' yang berarti cabang, yaitu
suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan
sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau
mahmul (yang dibandingkan).
c. Al- Hukum
Al- Hukum adalah hukum yang dipergunakan Qiyas untuk memperluas hukum dari
asal ke far’ (cabang). Yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu
pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya.
d. Al-‘illah (sifat)
Illat adalah alasan serupa antara asal dan far’ ( cabang)., yaitu suatu sifat yang terdapat
pada ashl, dengan adanya sifat itulah , ashl mempunyai suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula,
terdapat cabang disamakan dengan hukum ashl. Contoh : Minum narkotik adalah suatu
perbuatan yang perlu ditetapkan hukumnya, sedang tidak ada satu nashpun yang dapat
dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas
dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash, yaitu
perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasarkan firman Allah Swt:

َ‫صابُ َواأْل َ ْزاَل ُم ِرجْ سٌ ِم ْن َع َم ِل ال َّش ْيطَا ِن فَاجْ تَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬
َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِنَّ َما ْال َخ ْم ُر َو ْال َم ْي ِس ُر َواأْل َ ْن‬
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. al-Ma’idah:
90) Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan ‘illat, yaitu sama-sama berakibat
memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan ‘illat
itu, ditetapkanlah hukum minum narkotik yaitu haram, sebagaimana haramnya minum khamr.

d.Macam-macam Qiyas
Pembagian qiyas dapat dilihat dari berbagai segi sebagai berikut:
1.Pembagian qiyas dari segi kekuatan illat yang terdapat pada furu, dibandingkan pada ilat yang
terdapat pada ashal.
9
 Qiyas awlawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu lebih kuat dari
pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan illat pada furu.
 Qiyas musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu sama keadannya dengan
berlakunya hukum pada ashal karena kekuatan illatnya sama.
 Qiyas adwan, yaitu yang yang berlakunya hukum pada furu lebih lemah dibandingkan
dengan berlakunya hukum pada ashal meskipu qiuas tersebut memenuhi persyaratan.
2.Pembagian qiyas dari segi kejelasan illatnya

 Qiyas jali, yaitu qiyas yang illlatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan
penetapan hukum ashal atau tidak ditetapkan illat itu dalam nash, namun titik
pembedaan antara ashal dengan furu dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya.
 Qiyas khafi, yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash. Maksudnya
diistinbatkan dari hukum ashal yang memungkinkan kedudukan illatnya bersifat zhanni.
3.Pembagian qiyas dari segi keserasian illatnya dengan hukum;

 Qiyas muatsir, yang diibaratkan dengan dua definisi Pertama, qiyas yang illat
penghubung antara ashal dan furu ditetapkan dengan nash yang syarih atau ijma.
Kedua,qiyas yang ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghuubungkan ashaldengan furu itu
berpengaruh terhadap ain hukum.
 Qiyas mulaim, yaitu qiyas yang illat hukum ashal dalam hubungannya dengan hukum
haram adalah dalam bentuk munasib mulaim.
4.Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas itu

 Qiyas ma’na atau qiyas dalam makna ashal, yaitu qiyas yang meskipun illatnya tidak
dijelaskan dalam qiyas namun antar ashal dengan furu tidak dapat dibedakan, sehingga
furu itu seolah-olah ashal itu sendiri.
 Qiyas illat, yaitu qiyas yang illatnya dijelaskan dan illat tersebut merupakan pendorong
bagi berlakunya hukum dalam ashal.
 Qiyas dilalah, yaitu qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi penerapan hukum itu
sendiri namun ia merupakan keharusan (kelaziman) bagi illat yang memberi petunjuk
akan adanya illat.

10
5.Pembagian qiyas dari segi metode (masalik) yang digunakan dalam ashal dan dalam furu.

 Qiyas ikhalah, yaitu qiyas yang illat hukumnya ditetapkan melalui metode munasabah
dan ikhalah.
 Qiyas syabah, yaitu qiyas yang hukum ashalnya ditetapkan melalui metode syabah.
 Qiyas sabru, yaitu qiyas yang illat hukum ashalnya ditetapkan melalui metode sabru wa
taqsim.
 Qiyas thard, yaitu qiyas yang illat hukum ashalnya ditetapkan melalui thard.

11
BAB III
PENUTUP
3.1Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah ditulis,dapat disimpulkan bahwa Ijma’ dan Qiyas
adalah suatu hukum yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif di bawah dalil-dalil
nash(Al-Qur’an dan Hadits).Dia merupakan dalil-dalil setelah Al-Qur’an dan Hadits yang
dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Pada masa Rasulullah SAW. Masih hidup,tidak pernah dikatakan Ijma’ dan Qiyas
dalam menetapkan suatu hukum,karena segala permasalahan dikembalikan kepada
beliau,apanila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.
Adapun dari Ijma’ dan Qiyas itu sendiri harus memenuhi syarat dan sesuai rukun-
rukunnya agar dalam kesepakatan dapat diterima dan dijadikan hujjah dan sumber
hukum.Serta dari Ijma’ dan Qiyas terdapat beberapa macam.

3.2 KRITIK & SARAN


Untuk itu, Kritik dan Saran yang mendukung dari semua pihak sangat kami
harapkan demi penyempurnaan pembuatan maklah ini

12
DAFTAR PUSTAKA

https://kumparan.com/berita-hari-ini/ijma-pengertian-rukun-dan-dalilnya-
1vCJoSOcoGF/full

https://muslim.or.id/19712-mengenal-ijma-sebagai-dasar-hukum-agama.html

https://suduthukum.com/2015/01/macam-macam-ijma.html

https://www.bacaanmadani.com/2017/09/pengertian-ijma-dasar-hukum-rukun-dan.html

https://www.bacaanmadani.com/2017/05/pengertian-qiyas-rukun-qiyas-dan-macam.html

https://www.tongkronganislami.net/contoh-qiyas-sebagai-sumber-hukum-islam-setelah-al-
quran-dan-hadis/

https://bincangsyariah.com/khazanah/empat-rukun-ijma/

https://www.seputarpengetahuan.co.id/2020/10/qiyas.html

12

Anda mungkin juga menyukai