Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Masalah kesehatan memang menjadi fenomena yang sangat serius,

terutama di negara miskin dan negara berkembang. Ironisnya, masalah kesehatan

tersebut tidak hanya menimpa orang-orang dewasa saja melainkan juga terjadi

kepada kelompok anak-anak (Fida & Maya, 2012).

Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan

perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Usia prasekolah merupakan

populasi yang sangat rentan terutama ketika menghadapi situasi yang membuat

stress dan ketakutan selama sakit dan dirawat inap dirumah sakit. Hal ini

dikarenakan anak kurang mampu berpikir tentang suatu peristiwa secara

keseluruhan, belum bisa menentukan prilaku yang dapat mengatasi distress dan

koping yang digunakan oleh anak belum berkembang dengan sempurna seperti

orang dewasa (Diah, 2018).

Kemampuan koping anak yang belum terbentuk secara sempurna akan

mempengaruhi proses tumbuh kembangnya terutama dari aspek psikologis. Anak-

anak dibawah usia 6 tahun kurang mampu berpikir tentang suatu peristiwa secara

keseluruhan, belum bisa mengatasi ketakutan saat mengalami ancaman, biasanya

anak akan minta dukungan kepada orang terdekatnya misalnya orangtua atau

saudaranya. Dukungan ini biasanya ditandai dengan permintaan anak untuk

dipeluk, di dekap saat merasa ketakutan, cemas, saat merasa kesakitan dan minta

didampingi pada saat perawatan (Soetjiningsih, 2014).

1
2

Anak-anak sangat rentan mengalami sakit pada tahun kehidupannya,

sehingga mengharuskan anak untuk tinggal dan di rawat dirumah sakit.

Lingkungan rumah sakit akan menjadi tempat yang menakutkan bagi anak-anak,

suasana rumah sakit yang tidak familiar, wajah-wajah asing, berbagai macam

bunyi dan bau yang khas dapat membuat anak mengalami traumatik dan

menimbulkan gejala berupa respon regresi, cemas terhadap perpisahan, gangguan

tidur dan penuh ketakutan. Anak akan mengalami masa yang sulit karena tidak

dapat terpenuhinya kebutuhannya seperti halnya dirumah. Keadaan seperti ini di

sebut dengan Hospitalisasi (Ramadini, 2015).

Hospitalisasi merupakan pengalaman yang mengancam. Ketika anak

menjalani Hospitalisasi akan menimbulkan perasaan tidak aman. Hal ini akan

menyebabkan anak mengalami trauma baik jangka pendek maupun jangka

panjang. Anak akan terus tinggal dan dirawat dirumah sakit sampai batas yang

telah ditentukan untuk memperoleh tindakan pengobatan dan perawatan sesuai

dengan penyakit dan kebutuhannya. Pada saat dilakukan perawatan, Anak-anak

sangat rentan mengalami stress sebagai akibat perubahan keadaan sehat dan

rutinitas lingkungan dirumah sakit, hal ini terjadi akibat keterbatasan anak dalam

mekanisme pertahanannya untuk menghadapi stressor, Anak juga sering kali

merasa takut apabila menghadapi sesuatu yang dapat mengancam integritas diri

dan tubuhnya sehingga cenderung membuat anak menjadi stress atau distress

(WHO dalam Nyimas & Yeni, 2010).

Stress atau distress merupakan stress yang negatif. Distress dihasilkan dari

sebuah proses yang memaknai sesuatu dengan hal yang buruk, respon yang
3

digunakan selalu negatif dan ada indikasi mengganggu integritas diri sehingga

menjadi sebuah ancaman. Respon distress pada anak di tujukan dengan rasa

ketakutan, menarik diri, menolak ketemu dengan orang lain, menempel terus ke

orang yang dia kenal, gangguan tidur, agresif, marah, cenderung berkelakukan

kekerasan (UNICEF, 2009). Distress yang di rasakan akan membuat anak menjadi

kelelahan akibat menangis terus, tidak mau berinteraksi dengan perawat, rewel,

menangis ingin pulang, menolak makan, tidak kooperatif dengan perawat

sehingga akan memperlambat proses penyembuhan dan perawatannya (Febriana

& Madyo, 2012).

Selama menjalani perawatan dirumah sakit, anak akan mengalami rasa

tidak nyaman terhadap tindakan perawatan dirumah sakit diantaranya adalah

tindakan penyuntikan, pengambilan sampel darah, dan pemasangan infus.

Tindakan Pemasangan infus merupakan salah satu perawatan yang sering

dilakukan oleh tenaga kesehatan. Prosedur tindakan pemasangan infus

berdasarkan rekomendasi The Center of Disease Control (CDC), di anjurkan

harus mengganti line setiap 72-96 jam, akan tetapi tidak semua pemasangan infus

dapat bertahan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan (Alexander et al, 2010).

Tindakan pemasangan infus dilakukan dengan menusukkan jarum atau

abocate melalui transkutan pinset tajam yang steril dan disambungkan dengan

spuit untuk memasukkan obat atau cairan langsung ke pembuluh darah vena

sehingga anak cenderung merasa dilukai. Tindakan ini.dapat menimbulkan rasa

nyeri bagi pasien termasuk anak-anak, sehingga dapat membuat anak menjadi

distress dan merasa ketakutan (Kemenkes, 2011).


4

Distress yang terjadi dapat menimbulkan masalah baru akibat perasaan

yang tidak menyenangkan dan ketidaknyamanan, sehingga dalam melakukan

tindakan invasif ini di butuhkan terapi untuk meminimalkan rasa distress pada

anak. Terapi yang bisa digunakan untuk meminimalkan rasa ketakutan pada saat

prosedur pemasangan infus salah satunya adalah terapi dekapan (Boundding).

Terapi ini biasanya dilakukan dengan bantuan pihak keluarga, misalkan ibu,

pengasuh anak maupun orang terdekat menurut anak. Terapi ini menimbulkan

dampak positif bagi anak pada saat melakukan prosedur perawatan pemasangan

infus, anak merasa lebih nyaman saat di dekap, ketakutan mulai menurun terapi

ini juga dapat mencegah perilaku anak yang tidak terkontrol pada saat tindakan.

(Ethyca Sari, 2012).

Berdasarkan data UNICEF jumlah anak prasekolah di 3 negara terbesar

dunia mencapai 148 juta 958 anak dengan insiden anak yang dirawat dirumah

sakit 57 juta anak setiap tahunnya dimana 75 % mengalami trauma berupa

ketakutan dan stress saat menjalani perawatan (Heri & Intan, 2017). Di Amerika

serikat, di perkirakan lebih dari 5 juta anak menjalani hospitalisasi karena

prosedur tindakan invasive dan lebih dari 50% dari jumlah tersebut mengalami

kecemasan dan stress (Disease Control, National Hospital Discharge Survei

(NHDS, 2014). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di

Subi kecil Rumkital Dr. Midiyato Suratani Tanjungpinang didapatkan jumlah

anak prasekolah yang dirawat inap pada Juni-Agustus 2019 sebanyak 120 0rang

(Rekam medik, 2019).


5

Hasil penelitian sebelumnya Kustati Budi Lestari (2013) didapatkan rata-

rata skor distress pada anak usia 3-12 tahun setelah dilakukan dekapan keluarga

dan pemberian posisi duduk saat dilakukan pemasangan infus lebih rendah dari

pada anak yang tidak diberikan dekapan. P <0,05 (p= 0,025). Pengukuran

menggunakan penilaian Distress Children Fear’s Score (CFS).

Hasil penelitian yang dilakukan Tri Purnamawati (2016). Berdasarkan

proporsi skor distress pada kelompok control mempunyai rerata 3,70 dengan

standard deviasi 0,483 dengan skor terendah 3 dan skor tertinggi adalah 4. Hasil

analisis skor Distress anak saat dilakukan pemasangan infus menunjukan bahwa

nilai p skor Distress sebesar 0,00001 (p < 0,05) sehingga dapat disimpulkan ada

perbedaan skor Distress pada kelompok control dan intervensi.

Berdasarkan penelitian dari Ethyca Sari (2012). Penelitian menunjukan

nilai p < 0, 05 maka hasil tersebut menunjukan bahwa terjadi perubahan respon p=

(0,000) nyeri pada kelompok bounding rata-rata 2,60 (1,06) berbeda dengan

perubahan respon pada kelompok stimulus kutaneus rata-rata 7,53 (1,06).

Berdasarkan hasil tersebut dapat di simpulkan tindakan bounding lebih efektif

dilakukan untuk mengatasi nyeri dari pada stimulus kutaneus, meskipun kedua

tindakan tersebut sama sama membantu mengurangi rasa nyeri.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti

’’Pengaruh Dekapan Keluarga terhadap Distress Anak Usia Prasekolah saat

dilakukan Pemasangan Infus di Rumkital Dr. Midiyato Suratani Tanjungpinang’’.


6

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan

dalam penelitian ini adalah “Apakah ada pengaruh dekapan keluarga terhadap

distress anak usia prasekolah saat dilakukan pemasangan infus di Rumkital Dr.

Midiyato Suratani Tanjungpinang?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui

Pengaruh dekapan keluarga terhadap distress anak usia prasekolah saat

dilakukan pemasangan infus di ruang Subi kecil Rumkital Dr. Midiyato

Suratani Tanjungpinang.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui frekuensi karakteristik jenis kelamin, usia dan pengalaman rawat

inap responden pada penelitian di ruang Subi kecil Rumkital Dr. Midiyato

Suratani Tanjungpinang.

b. Diketahui distress anak saat akan dilakukan pemasangan infus sebelum dan

sesudah intervensi.

c. Diketahui perbedaan distress Anak saat akan dilakukan pemasangan infus

sebelum dan sesudah intervensi.


7

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat kepada berbagai pihak.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Aplikasi

a. Bagi Ilmu Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai panduan

dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang keperawatan,

khususnya Keperawatan Anak.

b. Bagi Pelayanan Keperawatan Rumah Sakit

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu

acuan untuk menurunkan distress anak pada saat akan dilakukan

pemasangan infus.

c. Bagi Peneliti

Hasil penelitian diharapkan menjadi perbandingan untuk

penelitian-penelitian selanjutnya yang ingin melakukan penelitian

tentang “Pengaruh dekapan keluarga terhadap distress anak usia

prasekolah saat dilakukan pemasangan infus di Rumah sakit”.

2. Manfaat Akademik

a. Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian bermanfaat sebagai sumber pustaka tentang “Pengaruh

dekapan keluarga terhadap distress anak usia prasekolah saat dilakukan

pemasangan infus di Rumah sakit”.

Anda mungkin juga menyukai