Anda di halaman 1dari 12

PENGENTASAN KEMISKINAN DI PEDESAAN

RIDHA WAHYUNI | 210002301048 | PENDIDIKAN IPS

A. Definisi Kemiskinan

Kemiskinan dalam masyarakat adalah suatu kondisi dimana masyarakat berada dalam situasi
rentan, tak berdaya, terisolasi dan tidak mampu untuk menyampaikan aspirasinya. Definisi lain
terkait kemiskinan yaitu dalam Bhinadi (2017) Kemiskinan menggambarkan kondisi ketiadaan
kepemilikan dan rendahnya pendapatan, atau secara lebih rinci menggambarkan suatu kondisi tidak
dapat terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, yaitu pangan, papan, dan sandang.

Dalam banyak kasus, kemiskinan telah diukur dengan terminologi kesejahteraan ekonomi,
seperti pendapatan dan konsumsi. Seseorang dikatakan miskin bila ia berada di bawah tingkat
kesejahteraan minimum tertentu yang telah disepakati.

Dalam Sukesi (2015) Kemiskinan merupakan persoalan struktural dan kultural yang multi-
dimensi yang didalamnya mencakup masalah politik, sosial, ekonomi, aset dan sumberdaya alam,
psikologi dan lain-lain. Dimensi Kemiskinan juga bersifat kompleks, oleh karena itu para ahli
mengklasifikasikannya dalam tiga jenis kemiskinan (Harniati, 2010), yaitu:

1. Kemiskinan alamiah, merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh kualitas sumber daya alam
dan sumber daya manusia yang rendah. Kondisi alam dan sumber daya yang rendah membuat
peluang produksi juga rendah. Khusus untuk sektor pertanian, kemiskinan yang terjadi lebih
diakibatkan kualitas lahan dan iklim yang tidak mendukung aktivitas pertanian. Dari seluruh
wilayah di Indonesia, lahan subur justru banyak dijumpai di pulau Jawa. Sedangkan di luar
Jawa, sumber daya alam yang subur jumlahnya terbatas, hal ini membuat petani hanya dapat
menanami lahan sewaktu ada hujan, keadaan ini menyebabkan hasil produksi hanya dapat
diperoleh sekali dalam satu tahun.
2. Kemiskinan kultural, kemiskinan yang terkait erat dengan sikap seseorang atau kelompok dalam
masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya, sekalipun ada usaha
untuk memperbaiki dari pihak lain yang membantunya. Kemiskinan ini dapat pula disebabkan
karena sebagian sistem dalam tradisi masyarakat berkontribusi dalam menyebabkan terjadinya
kemiskinan masyarakat. Sebagai contoh adalah sistem waris yang mengakibatkan pembagian
lahan, sehingga kepemilikan lahan per keluarga semakin lama menjadi semakin sempit.
3. Kemiskinan struktural, kemiskinan yang secara langsung maupun tidak disebabkan oleh tatanan
kelembagaan atau struktur sosial dalam masyarakat. Tatanan kelembagaan atau struktur sosial
disini dapat diartikan sebagai tatanan organisasi maupun aturan permainan yang diterapkan.
Kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah seringkali menyebabkan sebagian
kelompok dalam masyarakat mengalami kemiskinan. Kemiskinan yang terjadi lebih disebabkan
keterbatasan bahkan tidak dimilikinya akses kelompok miskin kepada sumber daya-sumber
daya pembangunan yang ada. Kemiskinan yang disebabkan oleh struktur sosial yang berlaku ini
telah menyebabkan terkurungnya kelompok masyarakat tertentu dalam suasana kemiskinan,
yang bahkan telah berlangsung secara turun temurun. Kemiskinan struktural hanya dapat diatasi
jika terjadi suatu proses perubahan struktur dalam masyarakat secara mendasar.

Pendapat yang sama dari Yulianto (2005), bahwa kemiskinan alamiah dan ekonomi timbul
akibat keterbatasan sumber daya alam, manusia, dan sumberdaya lain sehingga peluang produksi
relatif kecil dan tidak dapat berperan dalam pembangunan. Kemiskinan struktural dan social
disebabkan hasil pembangunan yang belum merata, tatanan kelembagaan dan kebijakan dalam
pembangunan. Sedangkan kemiskinan kultural (budaya) disebabkan sikap atau kebiasaan hidup
yang merasa kecukupan sehingga menjebak seseorang dalam kemiskinan.

Menurut Chambers dalam Ali Khomsan dkk (2015) kemiskinan dapat dibagi dalam empat
bentuk, yaitu:

1. Kemiskinan absolut: bila pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum atau kebutuhan dasar termasuk pangan, sandang.
papan, kesehatan, dan pendikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
2. Kemiskinan relatif: kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum
menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan atau
dapat dikatakan orang tersebut sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih
berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya.
3. Kemiskinan kultural: mengacu pada persoalan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat
yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat
kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar.
4. Kemiskinan struktural: situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber
daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung
pembebasan kemiskinan, tetapi kerap menyebabkan suburnya kemiskinan.

Pendapat yang sama dengan pendapat Nano Prawoto (2009) yang mengemukakan definisi
kemiskinan dalam tiga pengertian yaitu kemiskinan absolute, kemiskinan relative dan kemiskinan
cultural. Golongan kemiskinan absolute adalah apabila tingkat pendapatan berada di bawah garis
kemiskinan sehingga tidak mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya seperti pangan, sandang,
papan dan lainnya. Golongan kemiskinan relative adalah apabila tingkat pendapatan berada di atas
garis kemiskinan akan tetapi masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitar. Golongan
kemiskinan cultural berkaitan dengan sikap/sifat seseorang atau kelompok masyarakat yang tidak
ingin memperbaiki kehidupannya walaupun ada pihak lain yang sudah membantu.

B. Penyebab Timbulnya Kemiskinan

Tingginya angka kemiskinan di Indonesia salah satunya disebabkan oleh pandemi Covid-19.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia turun tipis sebanyak
0,04% dari 27,55 juta pada September 2020 menjadi 27,54 juta. Angka tersebut naik jika
dibandingkan pada Maret 2020 yang sebesar 4,2%

Timbulnya kemiskinan berasal dari dalam dan luar penduduk miskin. Penyebab dari dalam
diantaranya rendahnya kualitas sumber daya manusia dan sikap individu tersebut. Sedangkan
penyebab dari luar adalah keterbatasan sumber daya alam, tatanan sosial dan kelembagaan dalam
masyarakat, kebijakan pembangunan, kesempatan kerja yang terbatas dan persaingan yang
menyebabkan terpinggirnya penduduk miskin.

Penyebab kemiskinan bersifat kompleks dan terbagi dalam beberapa dimensi penyebab
kemiskinan (Cox, 2004), yaitu :

1. Kemiskinan yang diakibatkan oleh globalisasi. Globalisasi melahirkan negara pemenang dan
negara kalah. Pemenang umumnya adalah Negara-negara maju, sedangkan negara negara
berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan
prasyarat globalisasi. Karena negara-negara berkembang terpinggirkan maka jumlah kemiskinan
di negara-negara berkembang jauh lebih besar dibandingkan negara-negara maju.
2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Pola pembangunan yang diterapkan telah
melahirkan beberapa bentuk kemiskinan, seperti kemiskinan perdesaan, adalah kondisi wilayah
desa yang mengalami kemiskinan akibat proses pembangunan yang meminggirkan wilayah
perdesaan; kemiskinan perkotaan, yaitu kondisi kemiskinan yang disebabkan oleh hakekat dan
kecepatan pertumbuhan ekonomi, dimana tidak semua kelompok memperoleh keuntungan.
3. Kemiskinan sosial, dimensi ketiga ini melihat pada kondisi sosial masyarakat yang tidak
menguntungkan beberapa kelompok dalam masyarakat. Misalnya kemiskinan yang dialami oleh
perempuan, anak-anak dan kelompok minoritas merupakan kemiskinan yang diakibatkan
kondisi sosial yang tidak menguntungkan kelompok tersebut. Kondisi sosial yang dimaksud
misalnya bias gender, diskriminasi, atau eksploitasi ekonomi.
4. Kemiskinan konsekuensial. Dimensi keempat ini menekankan faktor-faktor eksternal yang
menyebabkan kemiskinan. Faktor-faktor yang dimaksud adalah konflik, bencana alam,
kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk. Faktor-faktor tersebut lah yang
menyebabkan munculnya kemiskinan dalam masyarakat.

Cox mengemukakan dimensi yang cakupannya cukup luas, hal ini dikarenakan cox
memasukkan dimensi globalisasi sebagai salah satu dimensi diatas. Dimensi globalisasi
menjelaskan bahwa tingkat kemiskinan di suatu Negara salah satunya adalah disebabkan oleh pola
perekonomian dunia. Pola perekonomian dunia memberikan juga pengaruh bagi pola pembangunan
Negara atau wilayah. Dimana pembangunan itu sendiri dapat menjadi sumber penyebab kemiskinan
bila pola pembangunan di dalam suatu negara. Pola pembangunan itu sendiri dapat menjadi sumber
penyebab kemiskinan bila pola pembangunan yang diterapkan tidak seimbang untuk setiap wilayah
terutama wilayah pedesaan.

Menyadari bahwa kemiskinan absolut dan ketidakmerataan mempunyai dampak negatif


secara umum terhadap pembangunan dan integrasi nasional, pemerintah di tahun 1990-an melihat
perlu munculnya kembali program penanggulangan kemiskinan dan ketidakmerataan sebagai salah
satu isu sentral dari perspektif pembangunan nasional. Sehubungan dengan upaya terhadap
penanggulangan kemiskinan, sejak tahun 1993 sejumlah program ekstensif telah dilaksanakan oleh
pemerintah: penanggulangan kemiskinan melalui IDT, Tabungan Keluarga Sejahtera/Takesra, dan
Kredit Keluarga Sejahtera/Kukesra.

Program tersebut telah berhasil dalam menggalakkan upaya mengurangi jumlah orang
miskin di Indonesia. Data keluarga nasional yang dikumpulkan oleh Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional yang dilakukan pada akhir 1996 jumlah keluarga miskin di Indonesia adalah
7,19 juta. Jumlah tersebut telah berkurang dari sebanyak sekitar 10,85 juta keluarga pada 1995.
Data yang dikumpulkan oleh Biro Pusat Statistik juga menemukan bahwa jumlah orang miskin
telah turun dari 25,9 juta pada 1993 menjadi 22,6 juta di tahun 1996.

Krisis ekonomi yang menghantam Indonesia sejak bulan Juli 1997 menjadi sejarah terbesar
di Indonesia. Soemitro Remi (2002) mengemukakan bahwa pada bulan Agustus 1998, keseluruhan
CPI (Indeks Harga Konsumen) telah meningkat menjadi 189 dari angka dasar 100 di tahun 1996.
Peningkatan dalam CPI antara bulan Mei 1998 sampai bulan Agustus 1998 sangat luar biasa
disebabkan oleh keputusan pemerintah untuk mengurangi subsidi atas harga-harga bahan bakar
sebagai tanggapan atas persetujuan dengan IMF. Keseluruhan tingkat inflasi dari bulan Desember
1997 sampai bulan Juli 1998 adalah sebesar 59,1%. Tingkat inflasi yang tinggi membawa
penderitaan yang lebih jauh bagi kaum miskin dan bagi kaum yang baru miskin. Jumlah orang
miskin telah bertambah sekitar 80 juta orang pada pertengahan 1998. Data tentang jumlah keluarga
nasional menunjukkan pada September 1998, jumlah keluarga miskin di Indonesia adalah 17 juta
orang. Selain itu, fakta malnutrisi yang hebat terhadap anak-anak mulai terlihat di Pulau Jawa dan
bahkan lebih banyak di pulau-pulau terpencil dan wilayah-wilayah pegunungan.

BAPPENAS dalam Sahdan (2005) mengeluarkan beberapa indicator dalam kemiskinan dari
berbagai sisi kebutuhan hidup, yaitu keterbatasan kecukupandan mutu pangan, keterbatasan akses
dan rendahnya mutu layanan kesehatan, keterbatasan akses dan rendahnya mutu layaanan
pendidikan, keterbatasan kesempatan kerja dan berwirausaha, perlindungan terhadap asset usaha
yang lemah dan perbedaan upah disetiap daerah, keterbatasan akses layanan perumahan dan
sanitasi, keterbatasan akses terhadap air bersih di pelosok daerah, kepastian kepemilikan dan
penguasaan tanah yang lemah, memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam,
serta keterbatasan akses masyarakat terhadap sumber daya alam, jaminan rasa aman yang lemah,
lemahnya partisipasi, besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan
keluarga, tata kelola pemerintah yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam
pelayanan. publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.

C. Upaya Pengentasan Kemiskinan

Sebelum krisis ekonomi yang bermula pada pertengahan tahun 1997, Indonesia telah
berhasil melaksanakan berbagai adaptasi dan penyesuaian dalam upaya untuk mengurangi jumlah
penduduk miskin. Upaya mengurangi jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan dalam dua
dekade terakhir telah memperlihatkan keberhasilan yang luar biasa. Jumlah orang miskin di
Indonesia turun dari 70 juta di tahun 1979 menjadi hanya 22,6 juta pada akhir 1996.

Beberapa penyebab kondisi di atas antara lain adalah pertama, upaya untuk mengurangi
tingkat kemiskinan menghadapi tahapan kejenuhan sejak pertengahan 1980-an. Ini juga berarti
bahwa upaya untuk mengurangi jumlah orang miskin pada tahun 1970-an telah maksimal. Oleh
karena itu pada awal 1990-an, masih terdapat banyak orang miskin. Kedua, bertepatan dengan
kemandegan upaya di atas, terdapat kecenderungan ke arah ketidakmerataan pendapatan yang
melebar antara sektor-sektor, kelompok-kelompok, dan regional-regional. Yang terakhir, isu
kemiskinan yang akhir-akhir ini muncul adalah berhubungan dengan masih terdapatnya lebih dari
11,5 juta keluarga yang "hampir miskin" di tahun 1990. Diskusi mengenai keluarga yang hampir
miskin ini sangat meluas sekarang ini.

Masalah pengentasan kemiskinan sangat mendesak pada saat ini. Beberapa penyebab dari
kondisi tersebut antara lain adalah: Pertama, upaya mengurangi tingkat kemiskinan menghadapi
tahapan jenuh sejak pertengahan 1980-an. Ini juga berarti bahwa upaya mengurangi orang miskin di
tahun 1970-an tidaklah maksimal. Oleh karena itu pada awal 1990-an orang miskin masih tetap
berlimpah ruah. Kedua, secara bersamaan dengan kejenuhan upaya di atas, terdapat kecenderungan
ketidakmerataan pendapatan melebar yang mencakup antarsektor, antarkelompok, dan
ketidakmerataan antarwilayah.

Pemerintah pada dekade 1990-an memunculkan kembali program pengentasan kemiskinan


dan ketidakmerataan sebagai salah satu isu sentral dari perspektif pembangunan nasional.
Sehubungan dengan upaya pengentasan kemiskinan, terdapat dua program besar yang sedang
dilaksanakan oleh pemerintah yaitu pengentasan kemiskinan melalui inpres desa tertinggal (IDT),
Tabungan Keluarga Sejahtera (Takesra) dan Kredit Keluarga Sejahtera (Kukesra). Sebagai
tambahan berbagai kemitraan antara tiap kelas bisnis baik besar, menengah, dan kecil,
pemberdayaan koperasi dan desentralisasi adalah upaya yang diambil pemerintah untuk
memberdayakan kelompok ekonomi lemah dan mengurangi tingkat ketidakmerataan sekarang ini.

Keberhasilan program pengentasan kemiskinan, sama seperti program pembangunan yang


lain, terletak pada identifikasi akurat terhadap kelompok dan wilayah yang ditargetkan. Oleh karena
itu keberhasilan pengentasan kemiskinan terletak kepada beberapa langkah, yang dimulai dari
formulasi kebijaksanaan yaitu mengidentifikasi siapa yang miskin dan di mana mereka berada.
Kedua pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan mempertimbangkan: (1) Karakteristik ekonomi
penduduk, antara lain adalah: sumber-sumber pendapatan, pola-pola konsumsi dan pengeluaran,
tingkat ketergantungan, dll. (2) Karakteristik demografi sosial, di antaranya tingkat pendidikan, cara
memperoleh fasilitas kesehatan, jumlah anggota rumah tangga, dan lain-lain. Pertanyaan kedua
tentang bagaimana menemukan yang miskin, dapat dijawab dengan menguji karakteristik geografis,
yaitu di mana orang miskin tersebut terkonsentrasi, apakah mereka di wilayah pedesaan atau
perkotaan, atau apakah mereka berada di Pulau Jawa atau di luar Pulau Jawa dan lain lain.

Program IDT atau program Intruksi Presiden No.5/93 mengenai pengentasan kemiskinan
secara resmi dilaksanakan pada tanggal 1 April 1994, hari pertama dari dimulainya Rencana
Pembangunan Lima Tahun yang ke-6. Program IDT mempunyai tiga tujuan penting, pertama, untuk
memicu dan menggalakkan gerakan nasional bagi pengentasan kemiskinan, kedua, untuk
mengurangi disparitas sosial didalam masyarakat, dan ketiga, mengaktifkan kembali ekonomi
rakyat dengan memberdayakan kaum miskin. Program ini terdiri dari tiga komponen dasar, dimana
yang pertama adalah, hibah Pemerintah sebesar Rp.20 juta (US$ 9000) per tahun bagi setiap desa
untuk tiga tahun berturut-turut, kedua, provisi dari fasilitator untuk membantu kelompok "mandiri"
kaum miskin ngembangkan perusahaan kecil mereka, ketiga, membangun infrastruktur fisik
pedesaan dalam bentuk jalan pedesaan, jembatan, dll., berjumlah Rp.100 juta sampai Rp.130 juta
(US$ 40000 sampai US$60000) per desa yang dimulai pada tahun 1994 sampai dengan 2004, jika
diperlukan (Kartasasmita, 1997).

Selanjutnya pada tahun 2005 pemerintah mengimplementasikan Millenium Development


Goals (MDGs) hingga Sustainable Development Goals (SDGs) dalam proses pengentasan
kemiskinan. MDGs yang berjalan dari tahun 2005 hingga 2015 dengan target mengurangi masalah
sosial ekonomi 2015 hingga separuh dari kondisi kemiskinan tahun 2005. Dan berlanjut dengan
SDGs yang berjalan dari tahun 2016 hingga tahun 2030, dengan target menghilangkan masalah
sosial ekonomi untuk seluruh warga tanpa terkecuali, sehingga kemiskinan menghilang pada tahun
2030 yang akan datang.

Dalam Alawiyah (2021) dari pengimplementasian MDGs, Badan Pusat Statistik (BPS)
melaporkan pencapaian kemiskinan yang semula pada tahun 1990 adalah 20,60%, pada tahun 2008
turun sebanyak 5,90%. Dan pada tahun 2014 menunjukkan persentase penduduk mencapai 11,25%
berada di bawah garis kemiskinan secara nasional. Walaupun target belum tercapai, yaitu 7,55%
namun kerja keras tersebut perlu kita apresiasi. Dan pada tahun 2016 disepakati SDGs meneruskan
tujuan MDGs untuk kehidupan manusia lebih baik.

Pada laporan terbaru BPS (dalam Awaliyah, 2021), jumlah penduduk miskin di Indonesia
pada bulan Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Sedangkan Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) menyatakan jumlah penduduk Indonesia hingga 2021 mencapai 271.349.889 jiwa.
Itu artinya jika dipresentasikan kemiskinan di Indonesia pada tahun 2021 ini adalah 10,14 persen.
Ada penurunan kemiskinan jika dibandingkan tahun 2015 yang lalu.

Dalam memerangi kemiskinan dapat dilakukan srategi-strategi sebagaimana yang


dikemukakan oleh Gunnur Adler Karlsson yang meliputi:

1) Strategi jangka pendek, yaitu strategi dimana sumberdaya-sumberdaya dipindahkan kepada


kaum miskin dalam jumlah yang cukup memadai. Strategi dalam jangka pendek ini
memperbaiki keadaan kaum miskin seperti menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan
pendapatan, dan memperbaiki distribusi
2) Strategi jangka panjang, yaitu strategi dengan menumbuhkan swadaya setempat. Strategi dalam
jangka panjang ini mencakup perbaikan dan pemenuhan harkat hidup secara individual dan
martabat secara sosial

Maifizar (2016) mengemukakan bahwa kemampuan pemerintah sangat diperlukan dalam


penanganan kemiskinan dan membangun kerjasama dengan pihak lain baik itu dari pihak swasta,
dunia usaha, dan masyarakat hingga Negara lain yang telah berhasil dalam upaya pengentasan
kemiskinan. Partisipasi masyarakat sangat penting dan diperlukan dalam pengentasan kemiskinan,
sehingga modal social dan kearifan local masyatakat dapat mendukung penanganan kemiskinan

Pemerintah melaksanakan strategi pengentasan kemiskinan dengan melakukan upaya seperti


memberikan perlindungan kepada keluarga dan kelompok masyarakat yang mengalami kemiskinan
sementara, selain itu pemerintah memberikan bantuan kepada masyarakat yang yang mengalami
kemiskinan kronis dengan cara pemberdayaan dan pencegahan akan terjadinya kemiskinan baru.

Dalam Yulianto(2005) ada tiga program pemerintah dalam strategi pengentasan kemiskinan
yang langsung diarahkan pada penduduk miskin yaitu: (1) penyediaan kebutuhan pokok; 2)
pengembangan sistem jaminan sosial; dan 3) pengembangan budaya usaha. Selain itu penduduk
miskin mempunyai strategi sendiri untuk menanggulangi kemiskinannya. Strategi yang ditempuh
yaitu dengan pinjam dari lembaga informal, menambah jam kerja, anggota keluarga ikut bekerja,
merantau atau berhemat.

Selain itu ada pendapat dari Muhammad Taufik Anugerah Guntur Putra (2021) bahwa
Strategi pengentasan kemiskinan secara kontekstual di Indonesia dapat diambil melalui langkah-
langkah sebagai berikut:

1. Dari aspek individu sebagai seorang kepala keluarga, yang berusia lanjut:
a) Diberi kesempatan untuk berwirausaha, yakni terlebih dahulu menggali kebisaan mereka untuk
diberi pelatihan dan pendampingan terlebih dahulu.
b) Bekerjasama dengan kementrian ketenagakerjaan dan pihak perbankan untuk memberikan
permodalan kepada yang bersangkutan.
c) Setelah modal cair, maka kepala keluarga tersebut diberi bantuan modal fisik usaha misalnya
perangkat alat, rombong jualan, mesin jahit, yang bukan berbentuk dana.
2. Jika kepala keluarga masih dalam usia sekolah dan pendidikan dasar:
a) Tetap diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan dasar.
b) Diberi pelatihan dan pendampingan untuk bisa bekerja sambil sekolah, dengan memberi
bantuan modal usaha berupa modal dan perangkat fisik yang sesuai untuk menjalankan
usahanya.
c) Bagi para kepala keluarga yang mengalami PHK, diberi insentif oleh pemerintah jangan berupa
biaya hidup. Akan tetapi insentif untuk menciptakan sumber pendapatan baru, misalnya
bercocok tanam, berkebun, berternak, dan menjahit.
Dalam Lasmawan dan Suryadi (2012) mengemukakan bahwa dalam pemberdayaan
masyarakat miskin terdapat tiga pendekatan, antara lain: pendekatan terarah, pendekatan kelompok,
dan pendekatan pendampingan. Pendekatan terarah adalah pemberdayaan masyarakat yang terarah
dengan berpihak pada orang miskin. Sedangkan pendekatan kelompok dengan bersama-sama untuk
memudahkan pemecahan masalah yang dihadapi. Dan pendekatan pendampingan merupakan
pendampingan dari pendamping profesional sebagai fasilitator, komunikator, dan dinamisator
terhadap kelompok selama proses pembentukan dan penyelenggaraan kelompok masyarakat supaya
cepat dalam mencapai kemandinan

Pada prinsipnya kemiskinan adalah suatu kondisi dan situasi yang perlu diatasi oleh
pemerintah, karena fungsi pemerintah sebagai pengayomi dan juga sekaligus pelindung bagi warga
negara. Semakin sejahtera warga negara maka pembangunan akan semakin meningkat dan
memperkuat kedaulatan negara, terkhusus Indonesia yang tercinta ini.
DAFTAR PUSTAKA

Alawiyah, Setiawan. 2021. Pengentasan Kemiskinan Berbasis Kearifan Lokal pada Masyarakat
Desa. Jurnal Sosiologi USK

Bhinadi, Ardito. 2017. Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat. CV Budi


Utama

Cox, David. 2004. Outline of Presentation on Poverty Alleviation Programs in the Asia-Pacific
Region ” Makalah disampaikan pada International Seminar on Curricullum
Development for Social Work Education in Indonesia, Sekolah Kesejahtreaan Sosial
Bandung

Harniati. 2010. Program-program Sektor Pertanian yang Berorientasi Penanggulangan Kemiskinan.


Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian.

Kartasasmita, Ginanjar. 1997. Pemberdayaan Masyarakat : Konsep Pembangunan Yang Berakar


Pada Masyarakat. Yogyakarta:UGM.

Khomsan. dkk. 2015. Indikator Kemiskinan dan Misklasifikasi Orang Miskin. ed.1-Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Lasmawan, dkk. 2012. Pengembangan Model Pengentasan Kemiskinan Berbasis Nilai-Nilai


Nyamabraya (Ajaran Tatwamasi) Pada Masyarakat Perkotaan Di Provinsi Bali. Jurnal
Ilmu Sosial Dan Humaniora

Maifizar, Afriani. 2016. Karakteristik Dan Fenomena Kemiskinan Keluarga Miskin Pedesaan Di
Aceh. Jurnal Community

Maipita, Indra.2013.Memahami dan Mengukur Kemiskinan. Yogyakarta. Absolute Media

Prawoto, Nano. 2009. Memahami Kemiskinan Dan Strategi Penanggulangannya. Jurnal Ekonomi
Dan Studi Pembangunan

Putra. 2021. Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya. Program Pascasarjana Ilmu Administrasi

Remi, S. 2002. Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia. PT. Rineka Cipta

Sahdan, Gregorius. 2005. Menanggulangi Kemiskinan Desa. Artikel Ekonomi Rakyat Dan
Kemiskinan.
Sukesi, Keppi. 2015.Gender dan Kemiskinan di Indonesia.University of Brawijaya

Yulianto, Trimo. 2005. Memahami Kembali Strategi Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia.


Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI

Yunus R, Radjab M. 2018. Analisis Pengentasan Kemiskinan. CV Social Politik Genius


RIWAYAT HIDUP

Ridha Wahyuni lahir di Benteng, Babupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi

Selatan pada tanggal 16 Oktober 1998. Penulis lahir dari pasangan suami istri Bapak

Muhammad Ilham, S.Pd dan Ibu Sitti Sundariah S.Pd dan merupakan anak kedua dari

tiga bersaudara yakni Suharyadi dan Nur Fadilah Ilham. Pendidikan yang telah

ditempuh yakni SDN Benteng Tumur lulus tahun 2010, SMPN 1 Kepulauan Selayar

lulus tahun 2013, SMA Negeri 1 Selayar lulus tahun 2016 dan memulai kuliah pada

tahun 2016 di Program Studi Pendidikan Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Makassar.

Anda mungkin juga menyukai