Anda di halaman 1dari 23

FILSAFAT PENDIDIKAN

HAKIKAT MANUSIA

OLEH :

KELOMPOK 5

1. NUR ANISA SIMBOLON


2. RAMADANI SHOHIRO HASIBUAN
3. IRA SAFITRI
DOSEN MATA KULIAH : Dra. ROSDIANA, M.Pd

PRODI S1 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Assalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Puji syukur kami


ucapkan kepada Allah Swt. Yang mana Berkat dan Karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini sebagai salah satu syarat untuk memenuhi nilai tugas
mata kuliah Filsafat Pendidikan.

Kami tahu bahwasannya makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
karena tiada gading yang tak retak dan kami adalah manusia biasa yang memilki
banyak keterbatasan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun kami
harapkan dari semuanya agar kedepannya dapat lebih baik lagi.

Dan harapan kami untuk makalah ini adalah semoga dapat bermanfaat
bagi semuanya untuk mendukung serta menambah wawasan kita pada umumnya
dan menambah wawasan dalam belajar mata kuliah Filsafat Pendidikan pada
khususnya. Dengan demikian untuk perhatian, doa dan dukungan dari semuanya,
kami ucapkan terima kasih.

Kabupaten Batu Bara, 25 Oktober 2021

Kelompok 5
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 2
DAFTAR ISI....................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 5
2.1 Pengertian Hakikat Manusia ..................................................................................... 5
2.2 Aspek-aspek Hakikat Manusia.................................................................................. 5
2.4 Hubungan Hakikat Manusia dengan Pendidikan .................................................... 12
A. Asas-asas Keharusan atau Perlunya Pendidikan Bagi Manusia ........................... 12
B. Asas-asas Kemungkinan Pendidikan.................................................................... 14
2.4 Pendidikan, Martabat, dan Hak Asasi Manusia ...................................................... 16
A. Pendidikan Sebagai Humanisasi ....................................................................... 16
B. Pendidikan dan Hak Asasi Manusia.................................................................. 17
BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 20
3.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 20
3.2 Saran ................................................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 23
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dibekali dengan akal dan
pikiran. Manusia merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki derajat
paling tinggi di antara citaannya yang lain. Hal yang paling penting dalam
membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah bahwa manusia dilengkapi
dengan akal, pikiran, perasaan, dan keyakinan untuk mempertinggi kualitas
hidupnya di dunia. Karena manusia diciptakan oleh Tuhan dengan berbekal akal
dan pikiran maka manusia membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan
kehidupannya demi memuaskan rasa keingintahuannya.

Dimana Pendidikan adalah proses mengubah sikap dan perilaku seseorang


atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran
dan pelatihan. Jadi dalam hal ini pendidikan adalah proses atau perbuatan
mendidik. Pendapat lain mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau
pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk
mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap dalam
melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah pembahasan mengenai Hakikat Manusia dengan berbagai


aspek penjelasan di dalamnya ?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk membahas Hakikat Manusia
dengan berbagai aspek penjelasan di dalamnya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hakikat Manusia

Hakikat manusia adalah seperangkat gagasan atau konsep yang mendasar


tentang manusia dan makna eksistensi manusia di dunia. Pengertian hakikat
manusia berkenaan dengan “prinsip adanya” (principe de’etre) manusia. Dengan
kata lain, pengertian hakikat manusia adalah seperangkat gagasan tentang
“sesuatu yang olehnya” manusia memiliki karakteristik khas yang memiliki
sesuatu martabat khusus” (Louis Leahy, 1985). Aspek-aspek hakikat manusia,
antara lain berkenaan dengan asal-usulnya (contoh: manusia sebagai makhluk
Tuhan), struktur metafisikanya (contoh: manusia sebagai kesatuan badan-ruh),
serta karakteristik dan makna eksistensi manusia di dunia (contoh: manusia
sebagai makhluk individual, sebagai makhluk sosial, sebagai makhluk berbudaya,
sebagai makhluk susila, dan sebagai makhluk beragama).

2.2 Aspek-aspek Hakikat Manusia

1. Manusia sebagai Makhluk Tuhan

Manusia menjadi subjek yang mempunyai kesadaran dan penyadaran diri.


Maka dari itu, manusia menjadi subjek yang menyadari akan
keberadaannya.Tidak hanya itu saja, manusia juga mampu untuk membedakan
dirinya dengan segala sesuatu yang ada di luar dirinya (objek) selain itu, yang
mana bukan saja memiliki kemampuan berpikir tentang diri dan alam di
sekitarnya, melainkan juga sekaligus sadar mengenai pemikirannya.Akan tetapi,
sekalipun manusia sadar perbedaannya dengan alam jika dalam konteks
keseluruhan alam semesta manusia menjadi bagian daripadanya.
Manusia berkedudukan sebagai makhluk Tuhan YME, maka dalam
pengalaman hidupnya terlihat bahkan bisa kita alami sendiri adanya fenomena
kemakhlukan (M.I. Soelaeman, 1998). Fenomena kemakhlukan ini antara lain
berupa pengakuan atas kenyataan adanya perbedaan kodrat dan martabat manusia
daripada Tuhannya. Manusia merasakan jika dirinya memang begitu kecil dan
rendah di hadapan Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Tinggi.

Manusia juga mengakui adanya keterbatasan dan ketidakberdayaan


dibandingkan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa. Manusia serba
tidak tahu, sedangkan Tuhan Serba Maha Tahu, namun manusia juga tahu betapa
pedih siksaan dari-Nya.

Semua melahirkan rasa cemas dan rasa takut dalam diri manusia sendiri
terhadap Tuhan. Akan tetapi, dibalik itu semua, diiringi juga dengan rasa hormat,
rasa kagum dan rasa segan karena Tuhan yang begitu luhur dan begitu suci.Semua
itu bisa menggugah kesediaan dari manusia untuk bisa bersujud dan berserah diri
kepada Sang Pencipta. Tidak hanya itu saja, menyadari akan Maha Kasih
SayangNya Sang Pencipta, maka kepadaNya-lah, manusia bisa berharap dan
berdoa. Dengan demikian, dibalik dari adanya rasa cemas dan takut yang muncul,
muncul juga adanya segenggam harapan yang bisa mengimplikasikan kesiapan
guna mengambil tindakan yang jauh lebih baik di dalam hidupnya.

2. Manusia sebagai Kesatuan Badan-Roh

Para filsuf berpendapat yang berkenaan terhadap struktur metafisik


manusia. Ada sebanyak 4 paham mengenai jawaban dari permasalahan yang
muncul itu, yakni Materialisme, Idealisme, Dualisme dan paham yang
mengungkap jika manusia menjadi kesatuan badan-roh.
Materialisme

Gagasan para penganut Materialisme, seperti Julien de La Mettrie dan


Ludwig Feuerbach bertolak dari realita, sebagaimana yang bisa diketahui berdasar
dari pengalaman diri atau observasi. Maka dari itu, alam semesta atau realitas ini
tiada lain ialah serba materi, zat atau bahkan benda.

Manusia menjadi bagian dari alam semesta, sehingga manusia tak berbeda
dari alam itu sendiri. Sebagai salah satu bagian dari alam semesta, manusia tetap
harus tunduk terhadap hukum alam, hukum kualitas, hukum sebab-akibat atau
stimulus-respon. Manusia dipandang sebagai hasil puncak mata rantai evolusi
alam semesta, sehingga mekanisme tingkah laku menjadi kian efektif.

Yang esensial dari manusia itu sendiri ialah badannya, bukan dari jiwa
atau rohnya. Manusia adalah apa yang nampak dari wujudnya, yang terdiri atas
zat (daging, tulang dan urat syaraf). Segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual
atau rohaniah pada diri manusia, dipandang hanya sebagai resonansi saja dari
berfungsinya badan atau organ tubuh.Pandangan hubungan antara badan dan jiwa
seperti itu dikenal sebagai Epiphenomenalisme (J.D. Butler, 1968).

Idealisme

Bertolak belakang dengan pandangan dari materialisme, penganut


Idealisme menganggap jika esensi diri manusia ialah jiwa atau spirit atau
rohaninya, hal ini sebagaimana yang dianut oleh Plato. Sekalipun Plato tak begitu
saja mengingkari aspek badan, namun menurut Plato, jiwa memiliki kedudukan
yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan badan. Dalam hubungannya
dengan badan, jiwa memiliki peran sebagai pemimpin badan dan jiwa yang
memiliki pengaruh terhadap badan karena badan memiliki ketergantungan
terhadap jiwa.
Jiwa menjadi asas primer yang menggerakkan semua aktivitas manusia, badan
tanpa adanya jiwa tak akan mempunyai daya. Pandangan mengenai hubungan
badan dan jiwa itu dikenal dengan nama Spiritualisme (J.D. Butler, 1968).

Dualisme

Dalam uraian yang terdahulu, nampak adanya 2 pandangan yang saling


bertolak belakang. Pandangan dari pihak pertama bersifat monis-materialis,
sementara untuk pandangan pihak kedua bersifat monis-spiritualis. C.A. Van
Peursen (1982) mengemukakan paham lain yang secara tegas memiliki sifat
dualistik, yaitu pandangan dari Rene Descartes. Menurut dari Descartes, esensi
diri manusia terdiri atas 2 substansi, yakni badan dan jiwa.

Maka dari itu, manusia terdiri atas 2 substansi yang berbeda (badan dan
jiwa) maka antara keduanya itu tak terdapat hubungan yang bisa saling
mempengaruhi satu sama lain (S.E. Frost Jr., 1957), namun demikian jika di
setiap peristiwa kejiwaan selalu paralel dengan peristiwa badaniah atau justru
sebaliknya. Contoh jika jiwa sedang sedih, maka secara paralel, badan juga
tampak murung atau malah menangis. Pandangan yang terjadi hubungan antara
badan dan jiwa itu dikenal sebagai Paralelisme (J.D. Butler, 1968).

Sebagai kesatuan badan-rohani, manusia hidup di dalam ruang dan waktu,


sadar akan diri dan lingkungannya, yang memiliki berbagai macam kebutuhan,
insting, nafsu dan memiliki tujuan.Tidak hanya itu saja, manusia juga memiliki
potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan potensi
dalam berbuat baik, potensi untuk bisa berpikir (cipta), potensi berperasaan (rasa),
potensi dalam berkehendak (karsa) dan memiliki potensi untuk bisa berkarya. Ada
juga dalam eksistensinya, manusia mempunyai aspek indivualitas, sosialitas,
moralitas, keberbudayaan dan keberagaman. Implikasinya, maka manusia tersebut
berinteraksi atau berkomunikasi, mempunyai historistas dan dinamika.
3. Manusia sebagai Makhluk Individu

Sebagaimana yang sudah Anda alami jika memang manusia sadar akan
keberadaan dirinya sendiri, kesadaran manusia akan dirinya sendiri juga menjadi
suatu bentuk perwujudan individualitas manusia. Manusia sebagai individu atau
sosok pribadi yang menjadi kenyataan paling riil dalam kesadaran manusia.
Sebagai makhluk individu, manusia menjadi satu kesatuan yang tak bisa dibagi,
mempunyai perbedaan dengan manusia yang lain, sehingga memiliki karakteristik
atau sifat yang unik dan menjadi subjek yang otonom.

Setiap manusia memiliki dunianya sendiri dan tujuan hidupnya sendiri.


Masing-masing tentu sudah secara sadar memiliki upaya atau keinginan yang kuat
guna menunjukkan eksistensinya, ingin menjadi dirinya sendiri atau bebas bercita-
cita untuk menjadi seseorang tertentu dan masing-masing bisa mengungkapkan
jika, "inilah aku" di tengah segala kehidupan yang dijalaninya. Setiap manusia
bisa mengambil distansi, menempati posisi, berhadapan, menghadapi, memasuki,
memikirkan, bebas dalam mengambil sikap, hingga bebas dalam mengambil suatu
tindakan atas tanggung jawabnya sendiri atau otonom. Maka dari itu, manusia
menjadi subjek dan tidak sebagai objek.

4. Manusia sebagai Makhluk Sosial

Manusia menjadi makhluk individual, melainkan juga manusia tak hidup


serta-merta secara sendirian saja, karena tidak mungkin hidup sendirian dan tidak
pula hidup untuk dirinya sendiri saja. Manusia hidup di dalam keterpautan atau
kesinambungan terhadap sesama. Di dalam hidup bersama dengan antar sesama,
setiap individu mampu menempati kedudukan atau status tertentu. Di samping itu
juga, setiap individu memiliki dunia dan tujuan hidupnya masing-masing, yang
mana juga memiliki dunia bersama dan tujuan hidup bersama dengan sesama.
Selain dengan adanya rasa kesadaran diri yang tercipta, ada juga kesadaran
sosial pada manusia. Melalui hidup dengan sesama inilah, manusia bisa
mengukuhkan eksistensinya. Sehubungan dengan hal ini, Aristoteles mengungkap
jika manusia menjadi makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat. Setiap
manusia merupakan pribadi (individu) dan adanya hubungan pengaruh timbal
balik yang terjadi antara individu dengan sesama, maka idealnya menjadi situasi
hubungan yang terjadi antara individu dan terhadap sesama, tidak menjadi
hubungan antara subjek dan objek, melainkan hubungan yang terjalin atas subjek
dengan subjek.

5. Manusia sebagai Makhluk Berbudaya

Manusia memang mempunyai inisiatif dan kreativitas tersendiri untuk


menciptakan suatu kebudayaan, hidup yang berbudaya dan membudaya.
Kebudayaan bukanlah suatu hal yang ada di luar manusia, melainkan hakikatnya
itu sendiri juga meliputi perbuatan manusia. (Baca juga : 4 Dimensi Hakikat
Manusia dan Pengembangannya).Manusia tak akan terlepas dari yang namanya
kebudayaan, bahkan manusia juga baru menjadi manusia karena dan bersama
dengan kebudayaannya (C.A. Vanpeursen, 1957). Kebudayaan tidak memiliki
sifat yang statis, melainkan memiliki sifat dinamis. Kodrat dinamika yang ada di
dalam diri manusia mengimplikasikan adanya perubahan dan pembaharuan
terhadap kebudayaan. Hal ini tentu saja didukung oleh adanya pengaruh
kebudayaan masyarakat atau dari bangsa lain terhadap kebudayaan masyarakat
yang saling bersangkutan.

Selain itu, mengingat adanya dampak positif dan dampak negatif dari
kebudayaan terhadap manusia, kadang masyarakat terombang-ambing diantara
adanya 2 relasi kecenderungan. Di satu pihak ada yang melestarikan bentuk lama
atau disebut juga dengan tradisi, sementara untuk di lain sisi ada yang terdorong
untuk menciptakan hal yang baru atau disebut juga dengan inovasi.
6. Manusia sebagai Makhluk Susila

Dalam uraian yang terdahulu, sudah dikemukakan jika manusia sadar akan
diri dan lingkungannya, memiliki potensi dan kemampuan untuk bisa berpikir dan
berkehendak dengan bebas, bertanggung jawab, hingga memiliki potensi untuk
berlaku atau berbuat baik. Maka dari itulah, eksistensi manusia mempunyai aspek
kesusilaan. Sebagai makhluk yang otonom atau makhluk yang mempunyai
kebebasan, manusia selalu dihadapkan pada suatu alternatif tindakan yang harus
dipilih.

Adapula kebebasan berbuat ini juga selalu memiliki hubungan dengan


norma moral dan nilai moral yang harus dipilih. Karena memang manusia
memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan perbuatannya secara otonom,
maka selalu ada penilaian moral atau tuntutan pertanggung jawaban atas segala
perbuatan yang sudah dilakukan.

7. Manusia sebagai Makhluk Beragama

Aspek keberagaman menjadi salah satu karakteristik yang cukup esensial,


eksistensi manusia yang terungkap di dalam bentuk pengakuan atau keyakinan
atas kebenaran dari agama yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Hal ini ada
dalam diri manusia manapun, baik itu dalam rengant waktu yang dulu -sekarang,
atau yang akan datang, maupun dalam rentang geografis, di mana manusia itu
berada. Keberagaman menyiratatkan adanya pengakuan dan pelaksanaan yang
sungguh dari suatu agama.

Di lain pihak, Tuhan juga sudah menurunkan wahyu melalui utusanNya


dan sudah menggelar tanda di alam semesta untuk bisa dipikirkan oleh manusia,
sehingga manusia menjadi beriman dan bertaqwa kepadaNya. Manusia hidup
beragama karena agama itu bisa menyangkut mengenai berbagai macam masalah
yang bersifat mutlak, maka pelaksanaan keberagaman akan tampak di dalam
kehidupan, sesuai agama yang dianut oleh masing-masing individu tersebut.
Hal ini baik berkenaan dengan sistem keyakinan, sistem peribadatan,
ataupun berkenaan dengan pelaksanaan tata kaidah yang bisa mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan
manusia dengan alam.

2.4 Hubungan Hakikat Manusia dengan Pendidikan

A. Asas-asas Keharusan atau Perlunya Pendidikan Bagi Manusia

Manusia sebagai Makhluk yang Belum selesai.Manusia tidak bisa


menciptakan dirinya sendiri, beradanya manusia di dunia bukan juga karena hasil
evolusi tanpa Pencipta sebagaimana diyakini penganut Evolusionisme, melainkan
sebagai ciptaan Tuhan. Manusia bereksistensi di dunia. Artinya, manusia secara
aktif “mengadakan” dirinya, tetapi bukan dalam arti menciptakan dirinya
sebagaimana Tuhan menciptakan manusia, melainkan manusia harus bertanggung
jawab atas keberadaan dirinya, ia harus bertanggung jawab menjadi apa atau
menjadi apa nantinya. Berinteraksi berarti merencanakan, berbuat, dan menjadi
sehingga dengan demikian setiap manusia dapat menjadi lebih atau kurang dari
keadaannya. Dalam kalimat lain dapat dinyatakan bahwa manusia bersifat
terbuka, manusia adalah makhluk yang belum selesai mengadakan” dirinya.

Tugas dan Tujuan Manusia adalah Menjadi Manusia.Sejak kelahirannya


manusia memang adalah manusia, tetapi tidak secara otomatis menjadi manusia
dalam arti dapat memenuhi dalam berbagai aspek hakikat manusia. Sebagai
individu atau pribadi, manusia bersifat otonom, ia bebas menentukan pilihannya,
tetapi bahwa bebas itu selalu berarti terikat pada nilai-nilai tertentu yang menjadi
pilihannya dan dengan kebesan itulah seseorang pribadi wajib bertanggung jawab
serta akan diminta pertanggungjawabannya.
Sebab itu, tiada makna lain bahwa berada sebagai manusia adalah mengemban
tugas dan mempunyai tujuan untuk menjadi manusia, atau bertugas mewujudkan
berbagai aspek hakikat manusia. Karl Jaspers menyatakan dalam kalimat: “ to be a man
is to become a man”, ada sebagai manusia adalah menjadi manusia (Fuad Hasan,1973).
Implikasinya jika seseorang tidak selalu berupaya untuk menjadi manusia maka ia
tidaklah berada sebagai manusia.

Perkembangan Manusia Bersifat Terbuka.Manusia dilahirkan ke dunia


dengan mengemban suatu keharusan untuk menjadi manusia, ia diciptakan dengan
susunan yang baik dan berbagai potensial untuk menjadi manusia. Namun
demikian, dalam kenyataan hidupanya, perkembangan manusia bersifat terbuka
atau mengandung berbagai kemungkinan. Manusia mungkin berkembang menjadi
manusia yang sesuai kodrat dan martabat kemanusiaannya atau sebaliknya
mungkin pula ia berkembang ke arah yang kurang sesuai bahkan tidak sesuai
dengan kodrat dan martabat kemanusiaannya.

Anne Rollet mengemukakan bahwa bahwa sampai tahun 1976 para


etnolog telah mencatat kira-kira 60 anak-anak buas di seluruh dunia. Tidak
diketahui bagaimana asalnya anak-anak tersebut hidup dan dipelihara oleh
binatang. Ada yang hidup dengan serigala, kijang, kera. Anak-anak tersebut
berperilaku layaknya hewan tidak berpakaian, agresif untuk menyerang dan
menggigit, tidak dapat tertawa, ada yang tidak dapat berjalan tegak dan tidak
berbahasa layaknya manusia.Jadi kemampuan berjalan dengan dua kaki,
kemampuan berbicara,kemampuan berperilaku lainnya yang lazim dilakukan
manusia yang berkebudayaan, tidak di bawa manusia sejak kelahirannya.

Demikian halnya dengan kesadaran akan tujuan hidupnya, kemampuan


hidup sesuai individualitas, sosialitasnya, tidak di bawa manusia sejak
kelahirannya, melainkan harus diperoleh manusia melalui belajar, melalui bantuan
berupa pengajaran, bimbingan, latihan, dan kegiatan lainnya yang dapat
dirangkum dalam istilah pendidikan. “ Man can become man through education
only”, demikian pernyataan Immanuel Kant dalam teori pendidikannya.
B. Asas-asas Kemungkinan Pendidikan

Atas dasar studi fenomenologis yang dilakukannya, M.J. Langeveld


(1980) menyatakan bahwa “manusia itu sebagai animal educandum, dan ia
memang adalah animal educabile. Jika kita mengacu kepada uraian terdahulu
tentang sosok manusia dalam berbagai dimensinya,ada & asas antropologi yang
mendasari kesimpulan bahwa manusia mungkin dididik yaitu :

1. Asas Potensialitas

Telah dikemukakan berbagai potensi yang dimiliki oleh manusia yang


memungkinkan mampu menjadi manusia, tetapi itu memerlukan suatu sebab,
yaitu pendidikan. Contohnya, dalam aspek kesusilaan, manusia diharap mampu
berperilaku sesuai dengan norma-norma moral dan nilai-nilai moral yang diakui.
Ini adalah salah satu tujuan pendidikan atau sosok manusia ideal berkenaan
dengan dimensi moralitas. Apakah manusia dapat atau mungkin dididik untuk
mencapai tujuan tersebut? Jawabannya adalah dapat atau mungkin, sebab manusia
memiliki potensi untuk berbuat baik.

2. Asas Dinamika

Manusia selalu aktif baik dalam aspek fisiologik maupun spiritualnya. Ia


selalu ingin mengejar segala hal yang lebih dari apa yang telah mereka dapatkan.
Ia berusaha mengaktualisasikan diri menjadi manusia yang ideal, baik dalam
rangka interaksi atau komunikasinya. Jadi tujuan dari sudut pendidik, pendidikan
dilakukan dalam rangka membantu manusia (peserta didik) agar menjadi manusia
ideal. Di pihak lain manusia itu sendiri memiliki dinamika untuk menjadi manusia
ideal. Karena itu, dimensi dinamika mengiplikasikan bahwa manusia akan mampu
untuk dididik.
3. Asas Individualitas

Individu antara lain memiliki kesendirian, ia berbeda dengan yang lainnya


yang memiliki keinginan untuk menjadi dirinya sendiri. Pendidikan dilaksanakan
untuk membantu manusia dalam mengaktualisasikan atau mewujudkan dirinya.

4. Asas Sosialitas

Manusia itu makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain. Dengan
kehidupan bersama dengan sesamanya akan terjadi hubungan timbal baalik.
Kenyataan ini memberikan kemingkinan manusia untuk dapat dididik. Sebab,
pendidikan itu dapat disampaikan melalui interaksi antar sesama manusia dan dari
interaksi itulah manusia dapat belajar secara langsung.

5. Asas Moralitas

Manusia memiliki kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk, karena pada dasarnya manusia memiliki potensi untuk berperilaku
baik atau buruk. Pendidikan hakikatnya bersifat normatif, artinya dilaksanakan
dalam nilai dan sistem tertentu serta diarahkan untuk menjadi manusia yang ideal,
yaitu manusia yang sesuai dengan nilai atau norma yang bersumber dari agama
maupun budaya yang diakui.
2.4 Pendidikan, Martabat, dan Hak Asasi Manusia

Pendidikan adalah proses mengubah sikap dan perilaku seseorang atau


kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan
pelatihan. Jadi dalam hal ini pendidikan adalah proses atau perbuatan mendidik.
Pendapat lain mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pertolongan
yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai
kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap dalam melaksanakan tugas
hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain.

Martabat berarti derajat atau pangkat manusia sebagai manusia. Dengan


kata lain martabat manusia mengungkapkan apa yang meru-pakan keluhuran
manusia yang membedakannya dari mahluk-mahluk lain di burni
(FranzMagnis,1991). Pengakuan atas martabat manusia merupakan keyakinan dan
keterlibatan dasar, sarnahalnya dengan pengakuan bahwa manusia mempunyai
hati nurani dan wajib memper-tanggungjawabkan perbuatannya. Pembicaraan
tentang martabat manusia tidak dapat dipakai pembuktian secarama tematis-
kuantitatif, karena ini menyangkut nilai-nilai (values). Masalah nilai bersangkutan
dengan pemahaman dan penghayatan.

Hak-hak Asasi Manusia adalah sejumlah hak yang berakar dalam kodrat
setiap pribadi manusia yang justru karena kemanusiaannya yang tidak dapat
dicabut oleh siapapun juga, karena kalau dicabut hilang pula kemanusiaannya

A. Pendidikan Sebagai Humanisasi

Dalam konteks ini, pendidikan dapat didefinisikan sebagai humanisasi (upaya


memanusiakan manusia), yaitu suatu upaya dalam rangka membantu manusia
(peserta didik) agar mampu hidup sesuai dengan martabat kemanusiaannya.
Selanjutnya, mengingat bahwa manusia menjadi manusia yang sebenarnya jika ia
dapat merealisasikan hakikatnya secara total maka pengertian pendidikan sebagai
upaya membantu manusia agar ia mampu hidup sesuai dengan martabat
kemanusiaannya.Dan pendidikan adalah proses memanusiakan manusia juga
merupakan pendidikan mengantarkan peserta didik menuju kematangan dan
kedewasaan rohani dan jasmani, sehingga peserta didik dapat menjadi manusia
yang benar-benar sempurna (manusia seutuhnya) baik dari aspek kecerdasan,
emosional, spiritual, sikap, dan sebagainya.

B. Pendidikan dan Hak Asasi Manusia

Pendidikan adalah proses mengubah sikap dan perilaku seseorang atau


kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan
pelatihan. Jadi dalam hal ini pendidikan adalah proses atau perbuatan mendidik.
Pendapat lain mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pertolongan
yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai
kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap dalam melaksanakan tugas
hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain.

Hak-hak Asasi Manusia adalah sejumlah hak yang berakar dalam kodrat setiap
pribadi manusia yang justru karena kemanusiaannya yang tidak dapat dicabut oleh
siapapun juga, karena kalau dicabut hilang pula kemanusiaannya.

Dimana Pendidikan sebagai upaya agar manusia memperoleh hak-haknya


yang asasi. Menurut sejarah, di negara-negara Eropa mula-mula muncul masalah
mengenai hak-hak manusia yang telah diinjak-injak oleh pemerintahan monarki
atau absolutisme sebab pada mulanya yang menjadi masalah pokok mengenai
pendidikan ialah bagaimana individu itu memperoleh hak-haknya yang asasi.
Oleh karena itu pula, tugas negara adalah menjamin berkembangnya hak-hak
individu tersebut. Dengan diperolehnya kesempatan tersebut maka warga negara
itu mempunyai kesamaan yang aktual dan oleh sebab itu, dia dapat memberikan
kemampuannya kepada negara. Menurut Condorcet, inilah tujuan pokok
pendidikan nasional, dan dilihat dari segi ini, pendidikan merupakan tugas
pemerintah yang adil (H.A.R., Tilaar: 1995).
Dan di Indonesia sendiri, Pendidikan sebagai Hak Setiap Warga Negara yaitu
Hak untuk mendapatkan pendidikan bagi setiap warga negara tertuang dalam
Pasal 31 UUD Rl 1945, sebagai berikut.

1. Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.

3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan


nasional, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang.

4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari


anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah, untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasionaldinyatakan
bahwa "pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural, dan kemajemukan bangsa" (ayat I, Pasal 4). Selanjutnya, ayat (1) Pasal 5
menyatakan: "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu".

Berkenaan dengan hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan


sebagaimana dikemukakan di atas, terdapat kewajiban dari pihak orang tua,
masyarakat, dan pemerintah untuk dapat mewujudkannya. Sebagai jaminan atas
hak tersebut, dalam Pasal 7 UU RI Nomor 20 Tahun 2003 ditegaskan: "Orang tua
dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada
anaknya", sedangkan "masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber
daya dalam penyelenggaraan pendidikan" (Pasal 9). Adapun kewajiban
pemerintah diatur dalam Pasal 11 sebagai berikut.
1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,
serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga
negara tanpa diskriminasi.

2. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna


terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai
dengan lima belas tahun.

Hak untuk mendapatkan pendidikan bagi warga negara telah dinyatakan


sejak tanggal 18 Agustus 1945 ketika PPKI menetapkan UUD 1945 sebagai dasar
konstitusional negara Indonesia. Adapun kewajiban belajar telah dinyatakan sejak
1950 hingga sekarang, sekalipun terdapat berbagai kendala dan pelaksanaannya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hakikat manusia adalah seperangkat konsep yang menjelaskan tentang


manusia serta eksistensi nya di dunia ini dengan mengacu prinsip adanya
manusia tersebut. Dan aspek-aspek hakikat manusia itu meliputi : 1. Manusia
sebagai Makhluk Tuhan, 2. Manusia sebagai Kesatuan Badan-Roh (
Materialisme, Idealisme, Dualisme dan paham yang mengungkap jika manusia
menjadi kesatuan badan-roh.), 3. Manusia sebagai Makhluk Individu, 4.
Manusia sebagai Makhluk Sosial, 5. Manusia sebagai Makhluk Berbudaya, 6.
Manusia sebagai Makhluk Susila, dan 7. Manusia sebagai Makhluk Beragama.

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang diberikan akan dan potensi
di dalam dirinya. Dimana saat kelahirannya, manusia tidak dapat secara
langsung dapat mengembangkan potensi yang Ia miliki dan Ia juga belum bisa
secara pribadi menjadi manusia seutuhnya. Dimana dengan adanya potensi
serta akan menjadi manusia yang seutuhnya, Ia perlu dididik dan mendidik
diri.

Sehubungan dengan ini, M.J. Langeveld menyebut manusia sebagai


Animal Educandum. Terdapat 3 asas antropologis yang mengimplikasikan
bahwa manusia perlu dididik dan mendidik diri, yaitu (1) manusia adalah
makhluk yang belum selesai menjadi manusia, (2) tugas dan tujuan manusia
adalah menjadi manusia, dan (3) bahwa perkembangan manusia bersifat
terbuka.
Dalam pernyataan manusia perlu dididik dan mendidik diri tersirat makna
bahwa manusia dapat dididik. M.J. Langeveld menyebutnya sebagai Animal
Educable. Terdapat 5 asas antropologis yang mengimplikasikan kemungkinan
manusia untuk dapat dididik, yaitu (1) asas potensialitas, (2) asas sosialitas,
(3) asas individualitas, (4) asas moralitas, dan (5) asas dinamika.

Pendidikan adalah proses mengubah sikap dan perilaku seseorang atau


kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan
pelatihan. Jadi dalam hal ini pendidikan adalah proses atau perbuatan
mendidik. Pendapat lain mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan
atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan
anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap
dalam melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain.

Martabat berarti derajat atau pangkat manusia sebagai manusia. Dengan


kata lain martabat manusia mengungkapkan apa yang meru-pakan keluhuran
manusia yang membedakannya dari mahluk-mahluk lain di burni
(FranzMagnis,1991). Pengakuan atas martaba tmanusia merupakan keyakinan
dan keterlibatan dasar, sarnahalnya dengan pengakuan bahwa manusia
mempunyai hati nurani dan wajib memper-tanggung jawabkan perbuatannya.
Pembicaraan tentang martabat manusia tidak dapat dipakai pembuktian
secarama tematis-kuantitatif, karena ini menyangkut nilai-nilai (values).
Masalah nilai bersangkutan dengan pemahaman dan penghayatan.

HakhakAsasiManusiaadalahsejumlahhakyangberakardalamkodratsetiappri
badimanusiayangjustrokarenakemanusiaannyayangtidakdapatdicabutolehsiapa
punjuga,karenakalaudicabuthilangpulakemanusiaannya.Dan salah satu dari
hak manusia yaitu Hak hidup bagi manusia mengimplikasikan hak untuk
mendapatkan pendidikan. Hak inilah yang diperjuangkan berbagai organisasi
internasional belakangan ini untuk dimasukkan sebagai tambahan daftar hak
asasi manusia.
Hak asasi manusia diinjak-injak oleh penguasa pemerintahan monarki dan
absolutisme, tercatat dalam sejarah di Eropa. Pada awalnya, melalui
pendidikan hak asasi diupayakan agar diperoleh setiap individu warga negara.
Selanjutnya, hak asasi manusia mengimplikasikan hak pendidikan dan
demokrasi pendidikan. Pendidikan harus bersifat demokratis, dan
dilaksanakan kewajiban belajar. Mengenai hal ini, sehari setelah proklamasi
kemerdekaannya, bangsa Indonesia telah menyatakan bahwa pendidikan
adalah hak setiap warga negara. Sekalipun menghadapi berbagai kendala,
program wajib belajar telah dimulai sejak tahun 1950 dan sampai kini terus
diupayakan. Orang tua, masyarakat, pemerintah, dan pemerintah daerah
mempunyai hak dan kewajiban dalam bidang pendidikan sebagai jaminan
akan hak pendidikan bagi setiap individu atau warga negara. Hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam UU Rl No. 20 Tahun 2003.

3.2 Saran

Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia pasti memiliki potensi yang ada
pada dirinya. Dimana potensi ini harus digali agar dapat menjadi manusia
yang sesuai dengan hakikatnya sebagai manusia, salah satu nya dengan
melaksanakan pendidikan. Dimana untuk pendidikan sendiri, khususnya di
Indonesia sudah ada undang-undang yang mengatur nya yaitu UU Rl No. 20
Tahun 2003. Sehingga dengan adanya penjaminan tersebut, manusia atau
masyarakat Indonesia diharapkan dapat menjadi manusia atau masyarakat
yang sejalan dengan hakikat nya dan menjadi manusia yang berkualitas yang
dapat mengembangkan serta memajukan diri sendiri dan negara nya ke arah
yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Al- Faruq, H. (2018, Februari). Retrieved from


http://www.habibullahurl.com/2018/02/pengertian-dan-aspek-hakikat-
manusia.html?m=1

hasanbasri748. (2016, Desembar). Retrieved from


https://hasanbasri748.wordpress.com/2016/12/07/hubungan-hakekat-
manusia-dengan-pendidikan/

Mudhofir, A. (2017). NILAI, MARTABAT DAN HAK-HAK ASASI MANUSIA. JURNAL


FILSAFAT, 23 dan 25.

Sumantri, M. S. (2015). Hakikat Manusia dan Pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai