Anda di halaman 1dari 8

1.

Makna Politik syar’I dalam Islam


Dalam Bahasa Arab, politik dikenal dengan istilah Siyasah yang merupakan
pengaturan terhadap sesuatu dan menegakkan segala perkara yang memperbaiki segala
sesuatu itu, adapanun menurut para ulama, politik (siyasah) adalah :

• Menurut Abdul Hamid Al Gozali, Siyasah (politik) adalah memperbaiki mahluk


dengan jalan mengajak mereka ke jalur yang menyelamatkan mereka di dunia dan
akhirat

• Menurut Ibnul Qayyim, yang menukil pendapat dari Abul Wafa Ibnu Aqil Al
Hanbali, yang menyatakan bahwa: siyasah (politik) adalah apa yang merupaka
perbuatan dan tindakan yang dengan hal tersebut manusia lebih dekat dengan
kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan, walaupun tindakan tersebut belum
pernah dilakukan Nabi dan tidak ada wahyu yang menjelaskannya

• Menurut Al Bujerami, Siyasah (politik) adalah memperbaiki perkara perkara rakyat


dan mengatur urusan urusan mereka

• Menurut Ibnu Abidin, Siyasah (politik) adalah memperbaiki mahluk dengan


menunjuki mereka ke jalan yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat

Dari penjelasna-penjelasna di atas, kita dapat mengetahui maksud siyasah (politik)


dalam Islam bukanlah politik yang biasa kita kenal yang mana secara lanjut kita ketahui
bahwa siyasah selalu ke makna yang positif, sedangkan makna politik, dapat dibedakan
atas politik yang baik dan politik yang buruk

2. Pondasi Dasar dan Kaidah Penting Politik (Siyasah) Syar’i


a. Dibangun di atas nash-nash dari Al-Qur’an dan sunnah, ijma’ dan sumber-sumber
pendalilan dalam syariat Islam
Oleh karenya, sesorang yang akan masuk ke dalam pembahasan politik Syar’i,
maka hendaklah ia menjadi seorang ulama terlebih dahulu yang dengan itu ia dapat
menegakkan keadilan dan dapat berjalan di atas siyasah syar’iyah. Karna dalam
bentuk siyasah syar’iyah ada yang sudah diatur dalam nash Al Qur’an, hadis
Rasulullah, kesepakatan para ulama, qiyas, yang juga terkadang digunakan marsalah
al mursalah, istihsan, urf atau adat istiadat, terkadang ditinjau dari sudut menutup
segala pintu kepada kejelekan, dibangun dalam pokok-pokok pensyariatan, dan
sebagainya.
b. Menurunkan dan menundukkan nash-nash tersebut terhadap perkara-perkara dan
realiatas yang baru terjadi
Untuk pondasi yang kedua ini, dapat menjelaskan masalah-masalah kekinian yang
baru terjadi yang dapat dilkukan dengan memahami fikih tentang realita atau kenyataan
yang terjadi, memahami fikih untuk mengukur kekuatan dan kelemahan, dan bisa
memperhitungkan akibat dari tindakan yang ia timbulkan
Kaidah penting dalam masalah politik syar’i ialah bahwa tidak ada yang berbicara
tentang masalah politik syar’i kecuali orang yang berilmu, sebagaimana potongan firman
Allah dalam Q.S An Nisa : 8, yang artinya:

“Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang
yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari
mereka (Rasul dan Ulil Amri).”
Ayat ini tegas menjelaskan bahwa perkara-perkara politik dikembalikan pada
orang-orang berilmu, karena mereka yang bias istinbat dalam perkara tersebut, oleh
karenya Ibnu Qoyyim, menyatakan:

“seorang mufti (ulama yang memberi fatwa) dan hakim (pemerintah atau hakim
pengadilan) tidak bias memberi fatwa atau menetapkan hukum dengan kebenaran kecuali
dia punya dua jenis pemahaman, pemahaman yang pertama yaitu memahami kejadian
dan punya fikih terhadapnya, serta pandai memahami hakikat yang terjadi dengan
indikasi-indikasi, tanda-tanda, atau alamat-alamat sampai ia tau masalah sebenarnya
apa, kemudian pemahaman yang kedua adalah dia memahami apa yang wajib untuk
realitas tersebut”

Dari perakataan Ibnu Qoyyim di atas, jelas bagi kita bahwa orang-orang yang
berbicara masalah politik hanyalah orang-orang yang berilmu yang mempunyai tugas dan
wewenang atasnya
Dan secara umum, siyasah syar’i merupakan bagian dari agama Islam, yang
merupakan ilmu khusus yang ditulis oleh para ulama dalam buku-buku mereka, yang
mengandung pelajaran-pelajaran tingkat tinggi dalam pembahasan ilmu agama, sehingga
terdapat pembahasan-pembahsan terkait perkara-perkara tersebut
3. Sumber-Sumber Pengambilan Politik (siyasah) Syar’i
a. Al Qur’an
Sumber pertama dalam politiksyar’I adalah Al Qur’an, hal ini sebagaimana
firman Allah Azza Wa Jalla dalam Al Qur’an surah An Nisa ayat 105, yang artinya:

“Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad)


membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah
diajarkan Allah kepadamu”

Al Qur’an merupakan sumber pokok politik syar’i, yang di dalamnya


diterangkan bagaiman islam secara umum mengatur kehidupan manusia, yang di
dalmnya berisi hukum-hukum penjelasan tentang kejadian-kejadian dan sanksi atas
kejadian kriminal, pebuatan kerusakan, pengaturan zakat, pengaturan keuangan,
pengaturan hubungan dalam negeri dan hubungan luar negeri, dan sebagainya

b. Hadis Nabi Shallallahu A’alaihi Wa Sallam


Sumber kedua dalam politik syar’i adalah hadis Nabi Shallallahu A’alaihi
Wa Sallam, hal ini sesuai dengan firman Allah Azza Wa Jalla dalam Al Qur’an
surah An Nisa ayat 65:

‫فَاَل َو َربِّكَ اَل ي ُْؤ ِمنُوْ نَ َح ٰتّى يُ َح ِّك ُموْ كَ فِ ْي َما َش َج َر بَ ْينَهُ ْم‬
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau
(Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan.”

Dalam hadis-hadis Rasulullah Shallallahu A’alaihi Wa Sallam terdapat


berbagai uraian tentang politik syar’i, sampai ke dalam bagaimana rincian-rincian
dalam peperangan yang sangat detail, yang dapat dilihat dari sejarah peperangan dan
hadis-hadis beliau.

c. Kesepakatan ummat/ijma’ (An Nisa : 115)


Sumber ketiga dalam pengambilan politik syar’i adalah dari kesepakatan
ummat, karena ummat tidak akan mungkin bersepakat dalam kesesatan, hal ini
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu A’alaihi Wa Sallam bersabda, yang
artinya:
“Ummatku tidak akan berkumpul di atas kesesatan”
Kemudian Allah Subhanahu Wata’ala berfirman dalam Al Qur’an surah An Nisa ayat
115, yang artinya:
“Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam
kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka
Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.”

d. Ijtihad, yang dilakukan jika tidak terdapat nas dan ijma.


Sumber keempat dalam politik syar’i adalah ijtihad, apabila tidak ada nash dan
ijma. Bagi orang yang instinabth maka boleh memberikan petikan hukum, dan
Rasulullah Shallallahu A’alaihi Wa Sallam bersabda, yang artinya:

“Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, makai a mendapatkan dua pahala, dan
jika seorang hakim berijtihad lalu salah, makai a mendapat satu pahala”

Dimana dalam berijtihad, seseorang kadang menggunakan qiyas, masolih al mursalah


(menimbang antara kemaslahatan-kemaslahatan), melihat maqasidussyar’iyah
(maksud pensyariatan) secara umum. Diama, dalam ber ijtihad ada syarat-syarat dan
ketentuannya, sehingga tidak sembarangan orang boleh berijtihad

4. Karakteristik umum politik syar’i:


a. Bersifat robbani
Sifat yang pertama adalah, politik syar’i datang untuk menata manusia,
merawat manusia, dan mengatur kebaikan unutk menusia. Oleh karenanya asas,
kaidah, dan hokum-hukum poltitik syar’i membawa kebaikan untuk manusia karena
berasal dari Allah Subahanahu Wata’ala yang menciptakan manusia dan mengetahui
apa yang paling terbaik untuk manusia, sebaga mana firman-Nya dalam Al Qur’an
Surah Al Mulk ayat 14, yang artinya:

“Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Maha
Halus, Maha Mengetahui.”

b. Menjunjung ahlak yang tinggi dan mulia,


Sifat yang kedua dari politik syar’i ialah politik syar’i menjunjung ahlak yang
tinggi dan mulia karena berisi penjagaan janji-janji, penjagaan hak-hak manusia,
penjagaan atas utusan-utusan, dll.
c. Menjunjung nilai-nilai aqidah Islamiyah
Pembahasna politik syar’i di bangun di atas pembahasan aqidah. Jadi ketika
para sahabat melakukan sesuatu, maka itu memang karena syariat memerintahkannya,
yang dibangun di atas keimanan kepada Allah dan rasul-Nya, bukan untuk
mendapatkan hal yang menguntungkan mereka dari dunia, namun karena memang di
dalam syariat diperintahkan seperti itu

d. Memiliki cakupan universal


Politk syar’i merupakan politik yang cakupannya universal, lengkap tanpa
kekurangan, dengan segala kaidah dan pijakan yang membahas segala sesuatu untuk
menciptakan kemaslahatan bagi manusia, karena Allah telah menyempurnakan agama
ini, yang ditegaskan melalui firman-Nya dalam Al Qur’an surah Al Maidah ayat 3:

‫يت لَ ُك ُم اإْل ِسْ اَل َم دِي ًنا‬ ُ ْ‫ت لَ ُك ْم دِي َن ُك ْم َوأَ ْت َمم‬
ُ ِ‫ت َعلَ ْي ُك ْم نِعْ َمتِي َو َرض‬ ُ ‫ْال َي ْو َم أَ ْك َم ْل‬

“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu
…” [Al-Maa-idah: 3]

e. Menegakkan keadilan
Kata adil bermakna meletakkan sesuatu pada tempatnya, dan dalam syariat
Islam sangat menju njung titinggi keadilan, contohnya adalah masalah warisan,
dimana jata laki-laki dua kali jatah perempuan karena perempuan dinikahi oleh laki-
laki, ada mahar yang dibayar kepadanya, dan kehidupannya ditanggung oleh
suaminya sedangkan laki-laki ialah yang akan melamar dan mengeluarkan biaya dan
nantinya akan menafkahiu keluarganya

f. Bersifat cocok untuk segala waktu dan tempat


Politik syar’i cocok untuk segala masa dan tempat, baik di zaman nabi, zaman
para sahabat, zaman para tabi’in, dan untuk segala zaman dan tempat karena politik
syar’i karena merupakan syariat yang diteteapkan oleh Allah untuk kebaikan manusia

5. Tujuan Politik Syar’i:


a. Mewujudkan penghambaan kepada Allah dan menegakkan agama Islam
Tujuan pokok dari politik syar’i adalah untuk mewujudkan penghambaan
kepada Allah dan menegakkan agama Islam, oleh karenanya As syaukani
Rahimahullah, maksud syariat dengan adanya pemimpin ada dua, yang pertama
adalah menegakkan menara agama agar para hamba teguh di atas jalan yang lurus dan
tidak terjatuh dalam larangan-larangan. Kemudian maksud yang kedua adalah
mengatur perkara kaum muslimin dalam memperoleh kemaslahatan-kemaslahatan
dan meolak bahaya-bahaya bagi mereka
b. Menegakkan keadilan
Keadilan yang dimaksud adalah keadilan dalam makna yang luas dan
universal, terhadap segala bidang atau aspek yang dibutuhkan dalam kehidupan
seperti aspek sosial, perekonomian, peradilan, tatanegara, maupun dalam hal-hal
lainnya
c. Memperbaiki kehidupan dunia manusia
Hal ini terjadi karena di bawah pengaturan politik syar’iyah, terdapat
pelindungan terhadap semua hak-hak manusia

6. Kaidah (sumber acuan dan panduan pemahaman) Politik Syar’i:

a. As-syuura (permusyawarahan)

Permusyawarahan merupakan jalan tertinggi dan terindah bagi pemimpin demi


mendapatkan solusi dan pendapat orang lain, hal ini sesuai dengan firman Allah
Subhanahu Wata’ala dalam Al-Qur’an surah Ali Imran: 159 dan surah As Syuura: 38,

b. Dibangun di atas ketaatan pada pemimpin serta terikat pada peraturan-peraturan serta
kesepakatan dalam negeri tersebut

Politik syar’i dibangun di atas ketaatan dengan pemimpin dan terikat dengan
aturan dan kesepakatan dalam negeri tersebut, namun ketaatan kepada pemimpin
adalah dalam perkara yang ma’ruf dan tidak menaati pemimpin jika yang
diperintahkan adalah kemaksiatan, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al
Qur’an surah An Nisa : 59, yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad),
dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu….”

Kemudian Rasulullah Shallallahu A’laihi Wa Sallam bersabda dalam hadisnya dari


Hudzaifah bin Al Yaman.
“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku
(dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen). Nanti
akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan,
namun jasadnya adalah jasad manusia. “

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui
zaman seperti itu?”

Beliau bersabda,”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka


menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at
kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1847. Lihat penjelasan hadits ini dalam Muroqotul
Mafatih Syarh Misykah Al Mashobih, 15/343, Maktabah Syamilah)

Selain itu, dalam politik syar’I kita diajarkan untuk menasehati pemimpin
secara rahasi, hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu A’laihi Wa Sallam
dalam hadisnya:

“Barang siapa ingin menasihati seorang penguasa maka jangan ia tampakkan


terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia mengambil tangan penguasa tersebut dan
menyendiri dengannya. Jika dengan itu, ia menerima (nasihat) darinya maka itulah
(yang diinginkan, red.) dan jika tidak menerima maka ia (yang menasihati) telah
melaksanakan kewajibannya.” (Sahih, HR. Ahmad, Ibnu Abu ‘Ashim dan yang
lain, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah, no. 1096—1098,
lihat pula takhrijnya dalam kitab Mu’amalatul Hukkam, hlm. 143—151)

c. Dibangun di atas keadilan

Keadilan yang dimaksud adalah keadilan dalam makna yang luas dan
universal, terhadap segala bidang atau aspek yang dibutuhkan dalam kehidupan
seperti aspek sosial, perekonomian, peradilan, tatanegara, maupun dalam hal-hal
lainnya

d. Dibangun di atas kebebasan yang sesuai fitrah

Kebebasan yang sesuai fitrah tidak akan bertentangan dengan Al Qur’an dan
Sunnah, karena jika keluar dari keduanya maka pada hakekatnya sudah keluar dari
kebebasan menjadi budak syaitan atau budak dirinya sendiri, karena pada dasarnya
dalam dunia ini tidak ada kebebasan mutlak melainkan perbudakan, jika bukan budak
atau hamba Allah maka budak atau hamba syaitan atau diri sendiri dengan mengikuti
hawa nafsu
e. Mewujdudkan kemaslahatan atau menyempurnakannya, dan mengurangi kerusakan
atau menghilangkannya

Oleh karenanya dalam syariat Islam, terdapat kaidah: menutup segala pintu
yang mengarah pada kejelekan dan kaidah: pada setiap wilayah diangkat yang paling
maslahat untuknya. Dan kemaslahatan umum wajib dijaga, dimana tidak akan tercipta
kemaslahatan umum jika mengagungkan dan menghormati pemerintah

f. Tidak boleh ada bahaya dan pembahayaan

Oleh karenanya dalam politik syar’I dilarang dilarang adanya bentuk


mendzolimi orang, membuat kerusakan di tengah manusia, membawa hal-hal yang
bisa membahayakan manusia, menjatuhkan manusia ke dalam dosa-dosa dan
kemaksiatan, dan hal-hal lainnya

g. Mempertimbangkan maksud pensyariatan dan akibat perbuatan

Orang yang masuk ke dalam poltik syar’I harus mempunyai pertimbangan


yang jauh terhadap hal yang akan ia lakukan. Oleh karenanya, setiap agama yang
diturunkan oleh Allah menjaga lima hal pokok, yaitu:

 Menjaga agama
 Menjaga nyawa
 Menjaga akal
 Menjaga kehormatan
 Menjaga harta

dimana, kelima hal tersebut harus dipertimbangkan dan dijaga oleh seseorang yang
akan bertindak terhadap sesuatu hal dalam politik syar’i. Kemudian, seseorang pandai
mempertimbangkan hal yang ia lakukan.

https://quran.kemenag.go.id/sura/4

https://almanhaj.or.id/2043-islam-adalah-agama-yang-sempurna.html
https://rumaysho.com/3111-taat-pada-pemimpin-yang-zalim.html

https://asysyariah.com/cara-menasehati-penguasa/

https://www.youtube.com/watch?v=xNBtV6LPC1c&t=7168s

Anda mungkin juga menyukai