Anda di halaman 1dari 12

DEWAN PERS

Disusun Oleh:
Ernawati : 190510047

ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
2021/2022
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hak atas informasi, sedari awal, telah diakui dalam tata hukum nasional
Indonesia. Dalam UUD Tahun 1945 sebelum amandemen, Pasal 28 UUD Tahun 1945
dengan tegas menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang”.
Amanah konstitusi inilah yang kemudian menjadi dasar dalam perumusan peraturan
perundang-undangan terkait pers.
Adanya jaminan konstitusional hak atas informasi dalam UUD Tahun 1945,
termasuk di dalamnya hak atas kemerdekaan dan kebebasan pers, ternyata tidak
diimplementasikan dengan baik oleh pemerintah Indonesia dalam sejarah yang panjang.
Pada zaman Orde Lama, hingga zaman Orde baru, kehidupan pers masih dikekang.
Lahirnya UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers yang
disahkan Presiden Soekarno pada tanggal 12 Desember 1966, belum memberikan
kemerdekaan kepada pers. Bahkan pers dijaikan sarana propaganda pemerintah. Di masa
Presiden Soeharto, lahirnya UU No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas UU No. 11
Tahun 1966 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 4 Tahun 1967, juga masih mendudukkan pers di bawah kekuasaan pemerintah.
Undang-undang itu bahkan memuat ketentuan soal perizinan pers dalam bentuk Surat
Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang ampuh menjadi instrumen pembredelan media
pers.
Kehadiran UU No. 40 Tahun 1999, pada dasarnya ditujukan untuk mewujudkan
kemerdekaan pers, terutama memberikan jaminan perlindungan bagi pers dari intervensi
apapun dalam melaksanakan perannya. Salah satu upaya untuk mencapai hal tersebut
adalah penguatan terhadap kelembagaan Dewan Pers. Jika peraturan perundang-
undangan sebelumnya menempatkan Dewan Pers di bawah kendali pemerintah, maka
dalam UU No. 40 Tahun 1999, Dewan Pers didudukkan sebagai lembaga independen.
Dewan Pers, tidak lagi didikte oleh pemerintah dengan cara mendudukan Menteri
Penerangan sebagai ketuanya. Pemerintah pun tak bisa lagi mencampuri soal
keanggotaan Dewan pers.
Pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan
pembentuk opini, harus dapat melaksanakan fungsi dan peranannya dengan sebaik-
baiknya, berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional. Untuk itulah, pers harus
mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan
dari manapun. Pasal 4 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan bahwa
"Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara", yang pada bagian
penjelasan pasalnya dimaknai sebagai “ pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan,
dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.
Intervensi terhadap independensi wartawan yang kian meresahakan, akhirnya
memunculkan pertanyaan terkait fungsi Dewan Pers. Itu sulit dihindari sebab Dewan Pers
menjadi satu-satunya lembaga yang diharapkan bisa menjaga independensi wartawan
sebagai esensi kemerdekaan pers. Tak pelak, muncul banyak tuntutan agar keberadaan
Dewan Pers kembali ditinjau. Yang diharapkan, tentu hadirnya Dewan Pers yang tangguh
sebagai pelindung kemerdekaan pers.
Perlunya pembenahan terhadap kedudukan, fungsi, dan kewenangan Dewan Pers,
juga menjadi perhatian Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Secara umum, status dan
kedudukan dewan pers dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, dinilai tidaklah
begitu jelas, apakah sebagai sebuah komisi khusus, atau semi komisi yang bersifat
regulatory body, atau lembaga internal masyarakat pers, atau sebuah paguyuban yang
terakreditasi oleh negara.9 Selain itu, kewenangan Dewan Pers dalam UU, juga sangat
minimalis. Fungsi dan kewenangan Dewan Pers lebih ditekankan sebagai humas dan
lembaga fasilitasi pers, termasuk penjaga etika, ketimbang menjadi pembela dan
pengawas kemerdekaan pers, yang memiliki kewenangan penegakan hukum pers atau
semi yudisial.

B. Rumusan Masalah
Merujuk pada latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik dua rumusan masalah,
yaitu:
1. Bagaimana kedudukan dan fungsi Dewan Pers dalam melindungi kemerdekaan pers?
2. Bagaimana memperkuat kedudukan dan fungsi Dewan Pers dalam melindungi
kemerdekaan pers?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi Dewan Pers dalam menjaga melindungi
kemerdekaan pers
2. Untuk mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan untuk memperkuat
kedudukan dan fungsi Dewan Pers dalam melindungi kemerdekaan pers.

PEMBAHASAN

A. Pers
1. Pengertian dan Fungsi Pers

Istilah pers yang dikenal saat ini, berasal dari bahasa Belanda, yaitu pers yang artinya
menekan atau mengepres. Kata pers itu sendiri merupakan padanan kata press dalam
bahasa Inggris yang juga berarti menekan. Jadi secara harfiah, kata pers atau press
mengacu pada pengertian komunikasi yang dilakukan dengan perantara barang cetakan.

Di dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid , pengertian pers itu dibedakan


dalam dua arti, yaitu dalam arti luas dan sempit. Pers dalam arti luas adalah media cetak
dan elektronik yang memuat laporan dalam bentuk fakta, pendapat, usulan, dan gambar
kepada masyarakat luas secara regular. Laporan yang dimaksud melalui beberapa proses,
mulai dari pengumpulan bahan, sampai penyiaran. Di dalam pengertian sempit atau
terbatas, pers adalah media tercetak seperti surat kabar harian, surat kabar mingguan,
majalah dan buletin.40 Pada sisi lain, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers memberikan
pengertian tersendiri tentang pers. Pasal 1 angka 1 UU tersebut menyatakan “Pers adalah
lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik
meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan
grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media
elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia”

Berangkat dari serangkaian definisi pers di atas, maka cakupan pers tidak hanya
sebatas pada media cetak, tetapi juga meliputi media elektronik, yaitu radio dan televisi.
Ruang lingkup pengertian pers tidak berdasarkan bentuk media, tetapi pada
berlangsungnya aktivitas jurnalistik. Selama insan pers melaksanakan kerja-kerja
jurnalistik secara menyeluruh, maka baik media cetak maupun elektronik, dapat
digolongkan sebagai pers.

Aktivitas jurnalistik di sebuah media, pada dasarnya ditujukan untuk


mengaktualisasikan fungsi pers yang tidak sekadar sebagai media komunikasi, tetapi juga
melaksanakan serangkaian fungsi lain, yaitu:

1. Fungsi informatif untuk menyalurkan informasi kepada khalayak


2. Fungsi kontrol untuk mengoreksi kebijakan para penguasa
3. Fungsi interpretatif dan direktif untuk menyajikan interpretasi dan bimbingan
kepada masyarakat atas sebuah peristiwa
4. Fungsi menghibur, semisal meyajikan tayangan humor dan musik
5. Fungsi regeneratif untuk menyajikan sejarah sebagai pedoman hidup masyarakat
di masa mendatang
6. Fungsi pengawalan hak-hak warga negara untuk menjaga kepentingan individu
dan sosial terpenuhi secara seimbang
7. Fungsi ekonomi untuk menyediakan wadah bagi aktivitas perdagangan, semisal
melaui penyediaan ruang iklan
8. Fungsi swadaya untuk mengupayakan kemandirian dalam soal permodalan yang
akan menyokong aktivitas jurnalistik.

Fungsi pers di atas, pada dasarnya mencakup fungi pers yang tercantum dalam
Pasal 3 UU No. Tahun 1999 tantang Pers, yaitu sebagai media informasi, pendidikan,
hiburan, kontrol sosial, serta lembaga ekonomi. Fungsi ekonomi di sini, ditujukan
agar kualitas pers dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya, semakin
meningkat, tanpa meninggalkan kewajiban sosialnya.
2. Sejarah Dewan Pers

Dewan Pers pertama kali dibentuk tahun 1968. Pembentukannya berdasarkan


Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan Pokok Pers. Dewan Pers kala itu,
sesuai Pasal 6 ayat (1) UU No. 11 Tahun 1966, berfungsi mendampingi pemerintah untuk
bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional. Karena itu, ketua
Dewan Pers dijabat oleh Menteri Penerangan sebagaimana ditetapkan Pasal 7 ayat (1)
UU No. 11 Tahun 1966.

Konstruksi hukum yang menempatkan Dewan Pers sebagai domain pemerintah,


ditujukan untuk menghindari dualisme kepentingan dalam pengelolaan pers, sebagaimana
diinginkan pemerintah. Segala kebijakan terkait pers akan diambil setelah mufakat yang
dicapai sebagai hasil musyawarah di dalam tubuh Dewan Pers. Kesatuan suara itu, akan
mudah dicapai karena sedari awal, Dewan Pers memang hanya sebagai pendamping atau
pembantu pemerintah dalam membina pers nasional.

Pemerintah Orde Baru melalui UU No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas UU
No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 4 Tahun 1967, tidak banyak mengubah status Dewan Pers. Kedudukan
dan fungsinya tetap sama, yaitu menjadi penasehat pemerintah. Sedangkan Menteri
Penerangan tetap merangkap sebagai Ketua Dewan Pers. Bahkan perubahan tersebut
membuat kewenangan Dewan Pers semakin menciut. Indikasi itu dapat dilihat dari
diubahnya semua klausul "Pemerintah bersama-sama Dewan Pers" dalam UU No. 11
Tahun 1999 menjadi “Pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers".

Perubahan fundamental hukum pers terjadi setelah peralihan kekuasaan negara dari
Orde Baru ke Reformasi. Melalui UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang disahkan
Presiden B.J. Habibie tanggal 23 September 1999, Dewan Pers menjadi lembaga
independen. Pasal 15 ayat (1) UU tersebut menyatakan, “Dalam upaya mengembangkan
kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers
yang Independen.”

Fungsi Dewan Pers yang independen, membuatnya tidak lagi menjadi penasihat
pemerintah, tetapi pelindung kemerdekaan pers. Hubungan struktural antara Dewan Pers
dan Pemerintah diputus, apalagi setalah dibubarkannya Departemen Penerangan oleh
Presiden Abdurrahman Wahid. Tidak ada lagi unsur pemerintah dalam keangggotaan
Dewan Pers, meski formalitas pengangkatan anggotanya tetap dengan Keputusan
Presiden. Soal jabatan ketua Dewan Pers, juga tidak lagi direcoki pemerintah, namun
diputuskan sendiri oleh seluruh anggota Dewan Pers dalam rapat pleno.

3. Kedudukan Dewan Pers

Menurut Asimov, lembaga negara ataupun diistilahkan komisi negara dapat


dibedakan dalam dua kategori: pertama, komisi negara independen, yaitu organ negara
(state organs) yang diidealkan independen dan kerenanya berada di luar cabang
kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudisial. Organ negara itu, lazimnya memiliki
fungsi campuran dari cabang kekuasaan yang ada; Kedua, komisi negara biasa (state
commissions), yaitu komisi negara yang merupakan bagian kekuasaan eksekutif, dan
tidak mempunyai peran yang terlalu penting.

Dewan Pers sebagai lembaga negara yang berfungsi untuk melindungi kemerdekaan
pers, didesain agar bebas dari cabang kekuasaan manapun. Kedudukan Dewan Pers
semakin kokoh sebagai lembaga negara independen, mengingat dasar pembentukannya
adalah undang-undang, yaitu UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Independensi Dewan
Pers, kemudian ditopang oleh desain kelembagaan yang unik. Salah satunya adalah
keanggotaanya yang dipilih secara mandiri oleh organisasi pers, yaitu organisasi
wartawan dan organisasi perusahaan pers. Pasal 15 ayat (3) UU No. 40 Tahun 1999
menggariskan bahwa Anggota Dewan Pers terdiri dari

a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan

b. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers

c. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya
yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers

Dalam upaya menjaga independensinya, sumber dana untuk pembiayaan lembaga


Dewan Pers, juga tidak ditumpukan sepenuhnya pada anggaran negara. Pasal 15 ayat (7)
UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers menyatakan bahwa sumber pembiayaan Dewan Pers
berasal dari organisasi pers, perusahaan pers, serta bantuan dari negara dan bantuan lain
yang tidak mengikat.

4. Fungsi dan Kewenangan Dewan Pers

Pada saat UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers masih
berlaku, Dewan Pers hanya bertugas mendampingi pemerintah dalam membina
pertumbuhan dan perkembangan pers nasional. Tugas Dewan Pers itu di antaranya:
memberikan pertimbangan terkait boleh tidaknya sebuah perusahaan pers menerima atau
memberi bantuan kepada pihak asing; bersama pemerintah merumuskan syarat-syarat
lebih lanjut untuk menjadi Pemimpin Umum, pemimpin Redaksi dan Pemimpin
Perusahaan di sebuah lembaga pers; bersama pemerintah merumuskan ketentuan-
ketentuan lebih lanjut mengenai wartawan; dan bersama pemerintah merumuskan
ketentuan mengenai Surat Izin Terbit dalam masa peralihan, serta mendaftar perusahaan
pers.

Fungsi dan kewenangan Dewan Pers dalam UU No. 11 Tahun 1966, jelas tak bisa
dilaksanakan secara mandiri dan otonom. Dewan pers hanya didudukkan sebagai partner
pemerintah dalam merumuskan kebijakan pers, juga melaksanakan fungsi lain yang
bersifat administratif. Dengan demikian, fungsi itu bisa dikatakan tak berarti, sebab
Dewan Pers tak ubahnya lembaga perpanjangan tangan dan pembantu pemerintah.

Setelah disahkannya UU No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas UU No. 11


Tahun 1966 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 1967, fungsi dan
kedudukan Dewan Pers tak banyak berubah, kecuali bahwa Dewan Pers juga turut dalam
perumusan aturan terkait SIUPP, hak tolak, dan hak jawab. Pengaturan lebih rinci terkait
kedudukan, tugas, fungsi, dan wewenang Dewan Pers dalam Peraturan Pemerintah No. 1
Tahun 1984 tentang Dewan Pers, juga tetap dalam kerangka kelembagaan Dewan Pers
sebagai subordinasi pemerintah.

Memasuki era Reformasi, persoalan kebebasan pers menjadi salah satu tuntutan
masyarakat. Hal itu seiring dengan harapan akan terwujudnya pemerintahan yang
akuntabel, penyelenggaraan negara yang transparan, serta terwujudnya keadilan. Dalam
hal itu, pers yang merdeka dan bertanggung jawab, jelas dibutuhkan. Hingga akhirnya,
pada tanggal 23 September 1999, Presiden B.J. Habibie pun mengesahkan UU No. 40
Tahun 1999 tentang Pers yang menggantikan UU No. 11 Tahun 1966 beserta
perubahannya.

Revitalisasi fungsi Dewan Pers, menjadi salah hal yang menggembirakan dalam UU
No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Paling tidak, Dewan Pers telah diberikan fungsi lebih
memadai, sesuai dengan semangat kemerdekaan pers yang menghendaki pers terbebas
dari campur tangan pihak manapun, termasuk dari pemerintah. Serangkain fungsi itu,
terurai di Pasal 15 ayat (2) UU tersebut, yaitu:

a. melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain


b. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers
c. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik
d. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan
masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan
pers
e. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah
f. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-
peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi
kewartawanan
g. mendata perusahaan pers

Demi menunjang pelaksanaan fungsinya, Dewan Pers pun dapat membentuk organ
penunjang. Statuta Dewan Pers menyatakan bahwa anggota Dewan Pers dapat
membentuk Badan Pertimbangan yang beranggotakan lima orang. Tugas dan fungsinya
adalah memberikan pertimbangan kepada Dewan Pers atau melaksanakan tugas khusus
yang diberikan Dewan Pers. Dewan Pers juga dapat membentuk satuan kerja, misalnya
dalam bentuk Komisi. Komisi Dewan Pers saat ini, terdiri atas Komisi Pengaduan
Masyarakat, Komisi Hukum, Komisi Hubungan Antarlembaga dan Luar Negeri, serta
Komisi Pengembangan Profesi Wartawan, Penelitian dan Pendataan Perusahaan Pers.
Setiap komisi tersebut, fokus menunjang pelaksanaan fungsi tertentu dari Dewan Pers
PENUTUP

Kesimpulan

1. Dalam melindungi kemerdekaan pers, utamanya dari pihak internal perusahaan


pers sendiri, maka penguatan kedudukan Dewan Pers perlu dilakukan, di
antaranya melalui reformulasi kelembagaan, khususnya soal keanggotaan. Perihal
keanggotaan Dewan Pers yang unik dibanding lembaga negara lain, yaitu dengan
tidak melibatkan campur tangan DPR maupun presiden, memang patut
dipertahankan. Namun di sisi lain, perbaikan tetap perlu dilakukan. Jika jumlah
anggota Dewan Pers saat ini didominasi unsur organisasi pers, maka ke depan, hal
itu perlu diimbangi dengan penambahan jumlah unsur masyarakat. Pemilihan
anggota dari unsur masyarakat, juga sebaiknya diserahkan langsung kepada
komponen masyarakat, misalnya melalui organisasi pemantau media yang
terdaftar di Dewan Pers.
2. Desain kelembagaan Dewan Pers yang menjadi domain organisasi pers dan
masyarakat ke depan, akan menjamin posisi Dewan Pers dalam melaksanakan
fungsi sebagai perlindungan kemerdekaan pers, sekaligus perlindungan
kepentingan publik atas pers. Perbaikan format kelembagaan Dewan Pers,
selanjutnya perlu dibarengi dengan memberikan fungsi dan kewenangan yang
memadai. Dewan Pers perlu diberikan kewenangan quasi yudisial, yaitu untuk
memeriksa, memutuskan, dan memberikan sanksi atas pelanggaran di ranah pers.
Kewenangan itu kemudian harus disokong dengan kewenangan membentuk
peraturan terkait tugas dan tanggung jawabnya secara mandiri, yang mengikat
bagi organisasi dan insan pers. Dengan begitu, Dewan Pers akan bisa membuat
peraturan, misalnya soal struktur dan tata kerja sebuah perusahaan pers pers, demi
menjamin terwujudnya kemerdekaan pers untuk kepentingan publik.

Saran

1. Dewan Pers harus diformat ulang dan diberdayakan agar mampu melindungi
kemerdekaan pers demi kepentingan masyarakat, terutama menangkal penyalahgunaan
media pers untuk kepentingan pemilik perusahaan pers semata. Penguatan Dewan Pers
tersebut, tidak hanya untuk mengokohkan kemerdekaan pers, tetapi juga demi menjamin
terwujudnya fungsi publik pers.
2. Atas maraknya aksi kapitalisasi dan politisasi media pers oleh pemilik perusahaan pers
sebagai bentuk pelanggaran atas kemerdekaan pers, maka kajian terkait penataan
kehidupan pers, perlu dilakukan. Semua pihak harus berperan dalam upaya mendudukkan
pers pada posisinya yang sejati, yaitu sebagai sarana bagi kultur demokrasi. Pers harus
dihadirkan untuk 121 kepentingan masyarakat secara umum, bukan untuk kepentingan
kelompok tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Anett Keller. 2009. Tantangan Dari Dalam: Otonomi Redaksi di 4 Media Cetak Nasional:
Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika. Cetakan I. Friedrich Ebert
Stiftung (FES) Indonesia Office: Jakarta.
Armansyah. 2015. Pengantar Hukum Pers. Cetakan I. Gramata Publishing: Bekasi.
Asep Syamsul M. Ramli. 2009. Jurnalisme Praktis: Untuk Pemula. Cetakan VIII. PT.
Remaja Rosdakarya: Bandung.
Bagir Manan. 2012. Politik Publik Pers. Cetakan I. Dewan Pers: Jakarta. ______2016.
Pers, Hukum dan Hak Asasi Manusia. Cetakan I. Dewan Pers: Jakarta.
Bahder Johan Nasution. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Cetakan I. CV. Mandar
Maju: Bandung
Edy Susanto, dkk. 2014. Hukum Pers di Indonesia. Cetakan I. PT. Rineka Cipta: Jakarta.
Amir Effendi Siregar, dkk.. Menakar Independensi dan Netralitas Jurnalisme dan Media
di Indonesia, Jurnal Dewan Pers (Mengungkap Independensi Media), Edisi No. 9,
Juni 2014, Dewan Pers, Jakarta.
Bagir Manan. Kemerdekaan Pers dalam Perspektif Pertanggungjawaban Hukum, Jurnal
Dewan Pers (Ancaman Perundang-undangan terhadap Kemerdekaan Pers), Edisi
No. 8, Desember 2013, Dewan Pers, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai