Anda di halaman 1dari 11

Politik Hukum Pemberantasan Prostitusi Online Terkait Kriminalisasi

Pekerja Seks Komersial dan Pengguna


I Dewa Gede Dana Sugama* dan Diah Ratna Sari Hariyanto
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Bali-Indonesia
dewasugama@ymail.com
Published: 25/07/2021
How To Cite:
Sugama, I. D. G. D., & Hariyanto, D. R. S. (2021). Politik Hukum Pemberantasan Prostitusi Online Terkait
Kriminalisasi Pekerja Seks Komersial dan Pengguna. KERTHA WICAKSANA: Sarana Komunikasi Dosen
dan Mahasiswa. 15(2). Pp 158-168. https://doi.org/10.22225/kw.15.2.2021.158-168
Abstrak
Kasus prostitusi menjadi fenomena yang selalui mewarnai penegakan hukum di Indonesia. Modus operandinyapun
kian berkembang, yang saat ini marak adalah prostitusi online. Meskipun prostitusi telah diatur dalam KUHP dan
terkait transaksi online bisa ditemukan dalam UU ITE namun, faktanya kasus prostitusi online sulit untuk
diberantas. Hal ini dikarenakan hanya mucikari yang bisa dipertanggungjawabkan secara pidana, sedangkan PSK
(Pekerja Seks Komersial) dan pengguna jasa prostitusi online tidak bisa dipertanggungjawabkan secara pidana. Hal
ini tentu perlu direkonstruksi kembali sehingga penting untuk dikaji mengenai pengaturan prostitusi online dan
politik hukum pemberantasan prostitusi, khususnya terkait kriminalisasi PSK (Pekerja Seks Komersial) dan
pengguna jasa prostitusi online. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Hasil studi
menunjukkan bahwa KUHP tidak mengatur pemidanaan terhadap PSK dan Pengguna jasa prostitusi online,
sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan secara pidana. Apabila dikaji peraturan di luar KUHP terkait prostitusi
online, PSK dan pengguna jasa dapat dijerat dengan menggunakan UU ITE, namun aturan ini masih bersifat umum
yang mengatur larangan yang melanggar kesusilaan. Pengaturan prostitusi juga dapat ditemukan dalam Peraturan
Daerah (Perda), namun tidak semua daerah memiliki atau mengeluarkan Perda tentang Prostitusi, sehingga
keberlakuannya terbatas pada territorial. Politik hukum yang dapat diambil adalah dengan pembaharuan hukum
pidana dengan mensinergikan konsep rancangan KUHP yakni dengan mengkriminalisasi dan mengatur pemberian
ancaman pidana terhadap PSK dan pengguna jasa prostitusi online agar bisa dipertanggungjawabkan secara pidana
(penalisasi).
Kata Kunci: Politik Hukum; Prostitusi Online; Kriminalisasi

Abstract
Prostitution cases have emerged as a phenomenon having continuously loaded with law enforcement actions in
Indonesia; the modus operandi is getting developed over time. The case that is currently trending is the case of
online prostitution. Although prostitution cases have been set forth in the Criminal Code and online transaction-
related legal provisions can be found in the Electronic Information and Transaction Law (ITE Law), however,
online prostitution cases are in fact difficult to eradicate. This is due to the condition that only the procurers or
procuresses can be held liable for the acts, while sex workers (commercial sex workers) and the online prostitution
service users cannot. This indicates that the prostitution-related legal arrangement needs to be reconstructed, and
for that, the present study has an urgent force to be carried out to review the online prostitution regulations as well
as the legal politics to eradicate prostitution, particularly regarding the criminalization of sex workers
(commercial sex workers) and the online prostitution service users. This study applies a normative law research
method design. The results of the study show that the Criminal Code does not regulate the conviction of
commercial sex workers and online prostitution service users, so they cannot be held criminally liable for the act.
If the online prostitution-related regulations outside those in the Criminal Code are examined further, sex workers
and their service users can be charged with the ITE Law, but the rule is still general in nature - regulating
prohibitions that violate decency. Regulations on prostitution can also be found in Regional Regulations (Perda),
but not all regions have or issue the regulations on Prostitution, so their enforcement is limited to the territory.
The political law that can be learned from this fact is the reform of criminal law through the synergy of the draft of

KERTHA WICAKSANA: Sarana Komunikasi Dosen dan Mahasiswa Volume 15, Nomor 2 2021 — CC-BY-SA 4.0 License Halaman 158
Politik Hukum Pemberantasan Prostitusi Online Terkait Kriminalisasi Pekerja Seks Komersial dan Pengguna

Criminal Code concept through criminalization and the provision of criminal threats against commercial sex
workers and the online prostitution service users so that they can be held criminally liable for (penalization).
Keywords: Political Law; Online Prostitution; Criminalization
I. PENDAHULUAN harus dilakukan mengingat prostitusi kini menjadi
ancaman bagi masyarakat di Indonesia.
Kasus prostitusi, pelacuran, atau persundalan
telah menjadi fenomena yang selalu mewarnai Prostitusi dikaji dari budaya masyarakat
penegakan hukum di Indonesia. Frank E. Hagan Indonesia tentu menjadi perbuatan yang dicela.
menyatakan bahwa prostitusi adalah praktik Tidak hanya dari aspek kesusilaan, prostitusi juga
hubungan seksualitas dengan pengabaian situasi dianggap meresahkan masyarakat karena banyak
emosional yang dilakukan dengan siapapun dan dampak atau kerugian yang dirasakan. Salah satu
secara berbayar (Hagan, 2013). Penegakan yang membahayakan adalah dapat menimbulkan
hukum pemberantasan prostitusi telah dilakukan, berbagai macam penyakit kelamin, yang paling
namun sampai saat ini kasus prostitusi masih ditakuti adalah HIV AIDS yang menular dan
kerap terjadi dan meresahkan masyarakat mengakibatkan banyaknya kematian. Peraturan
Indonesia. Modus operandinya pun kian terkait prostitusi masih lemah sehingga perlu
berkembang, yang marak saat ini adalah prostitusi dilakukan rekonstruksi hukum berupa
online. Banyak kasus prostitusi online yang pembaharuan hukum pidana yang mengatur
terjadi di Indonesia, seperti misalnya kasus VA prostitusi online, sebagaimana yang menjadi
pada tahun 2019, kasus VS tahun 2020 dan kasus- tujuan utama dalam studi ini. Hal inilah yang
kasus lainnya yang bisa ditemukan disemua menjadi studi ini urgen untuk dilakukan sehingga
kalangan. Kasus ini menunjukkan bahwa prostitusi online bisa diberantas.
pemberantasan prostitusi belum berhasil PSK dan pengguna jasa prostitusi perlu
dilakukan. dikriminalisasikan untuk memberikan efek jera,
Penegak hukum kerap menggunakan pasal sehingga penelitian ini penting yang bermanfaat
dalam KUHP dan dihubungkan dengan UU No. untuk merumuskan politik hukum ke depan.
19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang- Penelusuran pengaturan prostitusi online di
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Indonesia bermanfaat untuk mengetahui hukum
Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU yang berlaku dalam pemberantasan prostitusi
Perdagangan orang. KUHP tidak mengatur secara online di Indonesia. Politik hukum berupa
khusus tentang prostitusi. UU ITEpun hanya pembaharuan hukum merupakan langkah yang
mengatur mengenai perbuatan yang melanggar tepat dilakukan sebagai langkah pemberantasan
kesusilaan melalui transaksi elektronik, UU prostitusi online. Hasil penelitian ini dapat
Perdagangan orang juga tidak tepat menghasilkan rumusan pengaturan mengenai
penggunaannya. Meskipun prostitusi telah diatur prostitusi online yang dapat menjerat PSK dan
dalam KUHP dan transaksi online bisa ditemukan pengguna jasa prostitusi, sehingga pemberantasan
dalam UU ITE, namun faktanya kasus prostitusi prostitusi online dapat efektif dilakukan.
online sulit untuk diberantas. Hal ini dikarenakan Penelitian dengan upaya pemberantasan prostitusi
dalam KUHP hanya mucikari yang bisa online ni akan sangat bermanfaat sebagai upaya
dipertanggungjawabkan secara pidana, sedangkan perlindungan bagi masyarakat dan membantu
PSK (Pekerja Seks Komersial) dan pengguna jasa penegak hukum dalam penegakan hukum
prostitusi online tidak bisa prostitusi online.
dipertanggungjawabkan secara pidana. Hal ini Fenomena bahwa prostitusi kian marak terjadi
tentu perlu direkonstruksi. dan lemahnya perangkat hukumnya menjadikan
Politik hukum sebagai kebijakan tulisan ini urgen dan menarik untuk dikaji
penyelenggara negara yang bersifat mendasar sehingga penulis menulis artikel yang berjudul,
dalam menentukan arah, bentuk, maupun isi dari “Politik Hukum Pemberantasan Prostitusi Online
hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang Terkait Kriminalisasi Pekerja Seks Komersial dan
dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu Pengguna”. Tulisan ini mengkaji permasalahan
perlu dilakukan (Syaukani, 2010). Hal ini penting terkait pengaturan prostitusi online dan politik
dalam konteks pembaharuan hukum pidana hukum pemberantasan prostitusi, khususnya
kedepan, sehingga pemberantasan prostitusi terkait kriminalisasi PSK (Pekerja Seks
online dapat efektif dilakukan. Politik hukum Komersial) dan pengguna jasa prostitusi online di

Halaman 159 KERTHA WICAKSANA: Sarana Komunikasi Dosen dan Mahasiswa Volume 15, Nomor 2 2021 — CC-BY-SA 4.0 License
Politik Hukum Pemberantasan Prostitusi Online Terkait Kriminalisasi Pekerja Seks Komersial dan Pengguna

Indonesia, dengan tujuan mengetahui, Pasal 296 KUHP merupakan pasal yang
menganalisis, dan menemukan pengaturan dan mengatur tentang kejahatan kesusilan sebagai
politik hukum pemberantasan prostitusi online kejahatan yang dengan kesengajaan menyebabkan
dengan upaya kriminalisasi. atau memudahkan dilakukannya tindakan-
II. METODE tindakan melanggar kesusilaan dengan orang
ketiga sebagai mata pencaharian atau kebiasaan
Studi ini adalah penelitian hukum normatif yang sering disebut persundalan atau prostitusi.
yang mengkaji mengenai Politik Hukum Secara substantif, ketentuan pasal 296 KUHP ini
Pemberantasan Prostitusi Online Terkait ditujukan oleh mucikari sebagai penyedia jasa
Kriminalisasi PSK (Pekerja Seks Komersial) dan (Mucikari menurut KBBI berarti induk semang
Pengguna Jasa Prostitusi di Indonesia, yang bagi seorang perempuan yang melacur; germo).
berawal dari permasalahan norma terkait (kamuslengkap.com).
pertanggungjawaban pidana terhadap PSK dan
pengguna jasa prostitusi. Penelitian ini Berdasarkan hal ini mucikari atau yang
menggunakan pendekatan kasus, pendekatan dikenal dengan germo sebagai penyedia jasa
perundang-undangan, konseptual, pendekatan prostitusilah yang dapat dijerat dengan Pasal 296
sejarah, dan perbandingan. Bahan hukum primer, KUHP.
sekunder, dan tersier/tertier yang digunakan Soesilo menyatakan bahwa Pasal 296 KUHP
dalam penelitian ini kemudian diidentifikasi, digunakan untuk memberantas kejahatan yang
diklasifikasi dan dikumpulkan secara sistematis dilakukan oleh orang-orang yang mengadakan/
dengan menggunakan metode bola salju (snow menyediakan atau menjalankan bordil atau
ball method). Bahan hukum selanjutnya dianalisis tempat-tempat pelacuran. Pasal ini dapat
dengan menggunakan teknik deskripsi/deskriptif, dikenakan jika dapat dibuktikan bahwa
teknik komparatif, teknik evaluasi/evaluatif, perbuatannya tersebut telah menjadi mata
teknik interpretasi, teknik konstruksi, dan teknik pencaharian (dengan adanya pembayaran) atau
argumentasi/argumentatif. kebiasaan (dilakukan lebih dari satu kali).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Perbuatan cabul dalam pasal 296 KUHP ini
termasuk kegiatan atau perbuatan persetubuhan.
Pengaturan Prostitusi online di Indonesia Orang yang dapat dikenakan pasal ini adalah
Setelah diidentifikasi, diklasifikasi dan orang yang menyediakan rumah atau kamar
diinventarisasi dapat ditemukan beberapa (dengan pembayaran atau yang lebih dari satu
peraturan perundang-undangan dari KUHP kali) kepada perempuan dan laki-laki untuk
sampai aturan yang lebih rendah yakni perda melacur (bersetubuh atau melepaskan nafsu
yang mengatur mengenai prostitusi (prostitusi kelaminnya dengan orang lain) ditempat tersebut.
online). Peraturan Perundang-undangan yang Pada umumnya disediakan pula tempat tidur.
mengatur mengenai prostitusi online di Indonesia (Soesilo, 1976).
diantaranya yakni: Orang yang menyediakan rumah bordil atau
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tempat pelacuran ini dapat disebut dengan
mucikari atau germo. Dalam perkembangannya
Ketentuan terkait prostitusi dapat ditemukan saat ini, mucikari atau germo tidak harus
dalam Pasal 296 KUHP dan Pasal 506 KUHP. menyediakan tempat pelacuran. Ketika seseorang
Pasal 296 KUHP pada intinya mengatur orang dengan sengaja sudah menghubungkan atau
yang dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul dan juga
memudahkan perbuatan cabul dan dijadikan persetubuhan oleh orang lain dengan orang lain,
sebagai pekerjaan atau kebiasaan, yang sering dan menjadikannya sebagai pencarian atau
kita sebut dengan mucikari/germo. Pasal 296 kebiasaan dengan mendapat imbalan atau
KUHP memberikan ancaman pidana penjara pembayaran maka ia sudah disebut mucikari atau
maksimal 1 tahun 4 bulan dan denda paling germo.
banyak seribu rupiah (dengan penyesuaian mata
uang) bagi para pelanggarnya. Pasal 506 KUHP Pasal 506 KUHP adalah pasal yang mengatur
mengatur tentang orang yang menarik tentang pelanggaran ketertiban umum. Dalam
keuntungan dari wanita yang melakukan cabul penjelasannya R. Soesilo dalam pasal ini
sebagai mata pencarian dengan ancaman pidana menyatakan bahwa mucikari (souteneur) adalah
maksimal 1 tahun kurungan. makelar cabul, sebagai yang menolong,
mencarikan pelanggan dan mucikari akan

KERTHA WICAKSANA: Sarana Komunikasi Dosen dan Mahasiswa Volume 15, Nomor 2 2021 — CC-BY-SA 4.0 License Halaman 160
Politik Hukum Pemberantasan Prostitusi Online Terkait Kriminalisasi Pekerja Seks Komersial dan Pengguna

mendapatkan bagian (pembayaran) dari hasil 506 KUHP dapat diketahui bahwa Pasal 296 dan
pelacuran tersebut. (Ibid:259) Pasal 506 KUHP 506 KUHP hanya dapat menjerat atau dikenakan
ini jika dikaji hanya dapat dikenakan kepada kepada mucikari atau germo sebagai penyedia
mucikari atau germo saja sebagai pihak atau jasa prostitusi. PSK dan pengguna jasa prostitusi
orang yang menarik keuntungan dari perbuatan tidak dapat dijerat atau dikenakan Pasal 296 dan
cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai 506 KUHP, sehingga dapat dikatakan bahwa
mata pencarian. KUHP tidak mengatur terkait
pertanggungjawaban prostitusi terhadap PSK dan
(Sianturi, 1983) juga menegaskan bahwa
pelanggan atau pengguna jasa prostitusi. Hanya
apabila pasal 285-294 KUHP kecuali pasal 290
mucikari yang bisa dipertanggungjawabkan
ke-3 KUHP adalah kejahatan yang subyeknya
secara pidana. Secara substantif, KUHP juga
langsung terlibat sebagai pelaku pencabulan,
hanya mengatur terkait perbuatan prostitusi dalam
maka pasal 295-297 dan 506 subyeknya tidak
bentuk pokok, tidak mengatur mengenai cara atau
terlibat langsung melainkan hanya sebagai
sarana prostitusi. KUHP tidak mengatur
penghubung saja. Pasal 296 KUHP diatur untuk
mengenai prostitusi online, namun Pasal 296 dan
memerangi pencabulan (termasuk persetubuhan
506 KUHP dapat dikenakan kepada mucikari
tercela) karena dalam prakteknya terutama di kota
yang menyediakan jasa prostitusi yang dilakukan
-kota besar apalagi yang terletak di daerah tempat
secara online. Mucikari dapat
-tempat maksiat dan membatasi tempatnya saja.
dipertanggungjawabkan secara pidana ketika
Apabila tempat-tempat ini ditiadakan maka
melakukan atau menyediakan, menghubungkan,
tempat maksiat itu akan menyebar dimana-mana
atau memudahkan perbuatan prostitusi online.
sehingga lebih merusak ingkungan, disamping
sulit untuk mengawasi dan menanggulangi Dalam prakteknya PSK dan pengguna jasa
penyakit yang dibawanya. Si petindak dalam prostitusi sering dikenakan atau dijerat dengan
pasal 296 KUHP ini dapat laki-laki maupun pasal 284 KUHP yang mengatur tindak pidana
perempuan yang sering disebut germo, sedangkan perzinahan jika pengguna jasa prostitusi online
pelaku pencabulan yang juga mencakup berstatus telah menikah. Pasal 284 KUHP ini
persetubuhan dalah orang dewasa. bukanlah pasal tentang prostitusi, namun
merupakan pasal perzinahan sehingga tidak tepat
Delik dalam pasal 296 KUHP ini adalah delik
dikatakan sebagai dasar hukum prostitusi dalam
dengan kesengajaan, karena menjadikannya
KUHP. KUHP hanya mengatur terkait prostitusi
sebagai pencaharian atau kebiasaan. Unsur
yang hanya dapat dipertanggungjawabkan secara
tindakannya adalah menjadikannya penghubung
pidana oleh mucikari saja, sedangkan PSK dan
pencabulan antara sesama dewasa sebagai
pengguna jasa tidak dapat
pencaharian atau kebiasaan. Penghungan
dipertanggungjawabkan secara pidana dalam
pencabulan ini dapat dilakukan dengan
kasus prostitusi atau prostitusi online.
menggerakkan atau memudahkan dilakukannya
perbuatan cabul antara orang dewasa dengan Oksidelfa Yanto menulis bahwa sebenarnya
orang dewasa lainnya. Pegertian memudahkan Indonesia tela memiliki aturan untuk melarang
dalam hal ini termasuk juga menyediakan tempat kegiatan prostitusi, hanya saja aturan-aturan
rendevouz (jumpa/bertemu) misalnya hotel, tersebut belum memberikan ketegasan, khususnya
motel, dan lain-lain yang oleh pemilik atau penindakan bagi PSK dan pengguna jasa
pengusaha hotel tersebut mengetahui bahwa telah prostitusi itu sendiri. Tidak ada pasal dalam
terjadi pencabulan di hotel tersebut. Perbedaan KUHP untuk menjerat PSK maupun pengguna.
hotel dengan tempat rendevouz adalah bahwa di Penindakan terhadap tindak pidana prostitusi
tempat bordil disediakan beberapa wanita (atau hanya dapat diberikan untuk menjerat muncikari,
mungkin juga banci/gigolo) untuk melayani tamu yakni Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP. Pasal 296
yang datang, sedangkan tempat rendevouz tidak dan Pasal 506 KUHP jika dicermati hanya
menyediakan seseorang untuk melayani tamu mengatur mengenai tindak pidana dalam hal
tersebut melainkan tamu itu datang dengan seseorang mengambil keuntungan ataupun
membawa pasangannya sendiri. Delik ini menghubungkan seseorang dengan orang lain
dipandang sempurna (voltooid) apabila yang untuk melakukan prostitusi. Pasal ini adalah pasal
digerakkan atau dimudahkan itu sudah mulai yang mengatur tindakan yang dilakukan oleh
melakukan pencabulan. (Ibid) muncikari, bukan PSK atau bahkan penggunanya.
(Yanto, 2016) Hal-hal ini menunjukkan bahwa
Berdasarkan kajian terhadap Pasal 296 dan
KUHP belum mampu memberantas prostitusi

Halaman 161 KERTHA WICAKSANA: Sarana Komunikasi Dosen dan Mahasiswa Volume 15, Nomor 2 2021 — CC-BY-SA 4.0 License
Politik Hukum Pemberantasan Prostitusi Online Terkait Kriminalisasi Pekerja Seks Komersial dan Pengguna

online karena hanya mengatur pemidanaan Pengaturan prostitusi juga dapat ditemukan
terhadap mucikari saja. dalam Peraturan Daerah (Perda), namun tidak
semua daerah memiliki atau mengeluarkan Perda
Undang-Undang ITE Yakni UU No. 11 Tahun 2008 tentang Prostitusi. Hal ini tergantung dari
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo.
Undang-Undang RI No. 19 Tahun 2016 Tentang
kebijakan masing-masing daerah untuk
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun mengaturnya. Beberapa contoh perda yang
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur mengenai prostitusi adalah:
Prostitusi online tentunya dapat dijerat atau Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
dikenakan dengan pasal yang diatur dalam UU Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 Tentang Ketertiban
No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Umum
Transaksi Elektronik jo. Undang-undang RI No. Pasal 42 Ayat (2) Peraturan Daerah Provinsi
19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang- Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang 2007 Tentang Ketertiban Umum mengatur bahwa
Informasi dan Transaksi Elektronik (Selanjutnya menjadi Penjaja Seks Komersial, Menyuruh,
disebut UU ITE) karena dalam sistem online memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain
digunakan sarana atau media elektronik. menjadi penjaja seks komersial, memakai Penjaja
Prostitusi online dapat dikenakan atau dijerat Seks Komersial dilarang dan diancam dengan
dengan menggunakan Pasal 45 Ayat (1) UU ITE pidana kurungan paling singkat 20 hari dan paling
dengan pidana penjara maksimal 6 (enam) tahun lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp.
penjara dan/atau denda maksimal satu miliar 500.000 dan paling banyak Rp. 30.000.000
rupiah bagi orang yang sengaja dan tanpa hak sebagaimana diatur dalam Pasal 61 Ayat (2)
melakukan pendistribusian dan/atau Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus
mentransmisikan dan/atau menjadikan/membuat Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 Tentang
dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Ketertiban Umum.
Dokumen Elektronik yang bermuatan melanggar
kesusilaan yang sebagaimana diatur dalam Pasal Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun
27 ayat (1) UU ITE. Aturan ini memang bukan 2005 Tentang Pelarangan Pelacuran
spesifik mengatur tentang prostitusi online namun Pasal 2 Peraturan Daerah Kota Tangerang
dapat digunakan sebagai dasar hukum prostitusi Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan
online, karena prostitusi adalah perbuatan atau Pelacuran yang mengatur larangan mendirikan
kejahatan kesusilaan. atau mengusahakan tempat dan/atau orang untuk
melakukan pelacuran, melarang perbuatan
Apabila dikaji secara substantif dan kajian
pelacuran yang berlaku juga bagi tempat hiburan,
unsur-unsur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE
hotel, penginapan atau tempat lainnya. Apabila
dapat diketahui bahwa pasal ini berlaku secara
dilanggar dapat dikenakan pidana kurungan
umum dan tanpa diskriminasi yang dapat berlaku
paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp
atau dikenakan terhadap semua orang yang
15.000.000,- sebagaimana yang diatur dalam
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
pasal 9 Perda ini. Pasal 3 dalam Perda ini juga
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
mengatur larangan membujuk atau memaksa
dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
orang lain untuk melacur.
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan. Aturan ini nampaknya Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 8 Tahun 2005
hanya dapat berlaku terbatas hanya bagi orang tentang Larangan Tempat Pelacuran dan Perbuatan
yang sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, Cabul
mentransmisikan, menjadikan/membuat dapat Pasal 2 Peraturan Daerah Kota Malang Nomor
diaksesnya perbuatan prostitusi melalui informasi 8 Tahun 2005 tentang Larangan Tempat
elektronik/dokumen elektronik saja, sehingga Pelacuran dan Perbuatan Cabul mengatur
bagi PSK, Mucikari, dan pengguna jasa yang larangan tempat-tempat pelacuran dan perbuatan
tidak mendistribusikan, mentransmisikan, cabul yang dilakukan perorangan maupun yang
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik/ dikoordinir oleh beberapa orang atau kelompok.
dokumen elektronik yang merupakan perbuatan Pasal 3 dalam Perda ini juga melarang
prostitusi maka tidak dapat dipidana berdasarkan menjajakan perzinahan atau pencabulan,
UU ITE. melakukan perbuatan cabul, menjadi mucikari,
Peraturan Daerah dan menjadi beking yang melindungi pelacur,

KERTHA WICAKSANA: Sarana Komunikasi Dosen dan Mahasiswa Volume 15, Nomor 2 2021 — CC-BY-SA 4.0 License Halaman 162
Politik Hukum Pemberantasan Prostitusi Online Terkait Kriminalisasi Pekerja Seks Komersial dan Pengguna

memberikan sarana dan prasarana untuk lain untuk melakukan Prostitusi. Pasal 6 Perda ini
melakukan perbuatan zinah atau cabul. Apabila juga menegaskan larangan kegiatan bagi pelacur.
larangan ini dilakukan maka sesuai Pasal 4 dan 5 Pasal 7 juga menegaskan bahwa pelaku prostitusi
Peraturan Daerah ini maka perizinan tempat dalam Perda ini adalah baik laki-laki maupun
usaha dapat dicabut dengan segala akibat perempuannya dikenakan sanksi sesuai dengan
hukumnya dan Pelanggaran terhadap Pasal 2, Pasal 9 Peraturan Daerah ini. Ketentuan pidana
Pasal 3 dan Pasal 4, diancam pidana kurungan diatur dalam pasal 9 yang mengancam dengan
maksimal 3 (tiga) bulan atau denda maksimal Rp. pidana bagi yang melanggar Pasal 2,3,4,5,6 dan 8
10.000.000,00. ayat (1) Peraturan Daerah ini dengan Hukuman
Kurungan maksimal 6 (enam) bulan atau Denda
Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 5 Tahun sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000.
2007 Tentang Larangan Pelacuran Di Kabupaten
Bantul Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 1 Tahun
Pasal 3 Peraturan Daerah Kabupaten Bantul 2015 Tentang Ketertiban Umum
Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Larangan Pasal 39 Ayat (1) Peraturan Daerah Kota
Pelacuran di Kabupaten Bantul mengatur Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 Tentang
larangan pelacuran dan menjadi mucikari. Pasal 4 Ketertiban Umum melarang perbuatan prostitusi,
Perda ini juga melarang menyediakan tempat/ menawarkan dan/menyediakan diri sendiri untuk
bangunan untuk pelacuran. Pasal 5 Perda ini juga perbuatan prostitusi, menyuruh, memfasilitasi,
mengatur larangan melindungi kegiatan membujuk, memaksa, menawarkan orang lain
pelacuran. Terkait dengan sanksinya, Pasal 6 untuk melakukan prostitusi, dan memakai jasa
Perda ini mengatur penutupan kegiatan usaha prostitusi. Pasal 39 Ayat (3) Perda ini juga
yang terbukti melakukan pelacuran dan ancaman melarang menyediakan/mengusahakan tempat
pidana berupa pidana kurungan maksimal 3 (tiga) asusila dan/prostitusi. Apabila ketentuan dalam
bulan atau denda paling banyak Rp.10.000.000,00 pasal 39 ini dilanggar maka diancam dengan
bagi yang melanggar ketentuan Pasal 3 dan/atau pidana kurungan makdimsl 6 (enam) bulan atau
Pasal 4 dan atau Pasal 5 terkait dengan perbuatan denda maksimal Rp. 50.000.000 sebagaimana
pelacuran/prostitusi. diatur dalam pasal 58 Perda ini.
Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 3 Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 7 Tahun
Tahun 2003 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan 2016 Tentang Ketertiban Umum dan Ketenteraman
Pelacuran di Kabupaten Jembrana Masyarakat
Pasal 6 Ayat (1) Peraturan Daerah Kabupaten Pasal 26 Peraturan Daerah Kabupaten Badung
Jembrana Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Ketertiban Umum
Pencegahan dan Pemberantasan Pelacuran di dan Ketenteraman Masyarakat melarang
Kabupaten Jembrana mengatur larangan menawarkan dan/atau menyediakan diri sendiri
perbuatan cabul dengan ancaman pidana untuk perbuatan prostitusi, menyuruh,
kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain
Rp 5.000.000,-. Pasal 6 Ayat (2) Perda ini juga untuk melakukan perbuatan prostitusi, dan
mengatur larangan menyediakan tempat-tempat memakai jasa prostitusi. Bagi pelanggarnya akan
pelacuran atau menampung pelacur dengan dipidana dengan pidana kurungan maksimal 6
ancaman pidana kurungan maksimal 3 (tiga) (enam) bulan atau pidana denda maksimal Rp.
bulan atau denda maksimal Rp 5.000.000,-. 50.000.000,00 sebagaimana diatur dalam Pasal 32
Perda ini.
Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II
Indramyu Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Prostitusi Aturan dalam beberapa Peraturan Daerah di
Pasal 2 Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Indonesia menunjukkan bahwa perbuatan
Tingkat II Indramyu Nomor 7 Tahun 1999 prostitusi dilarang dan diancam dengan sanksi
Tentang Prostitusi mengatur larangan mendirikan pidana di beberapa daerah di Indonesia.
dan atau mengusahakan serta menyediakan Pemerintah daerah melalui Perda juga nampaknya
tempat Prostitusi. Pasal 3 Perda ini juga mengatur berupaya memberantas prostitusi dengan
larangan melakukan, menghubungkan, mengancam pidana bagi tidak hanya mucikari
mengusahakan dan menyediakan orang untuk tapi juga PSK dan pengguna jasa prostitusi.
melakukan Perbuatan Prostitusi. Pasal 5 Perda ini Oksidelfa Yanto menyatakan bahwa beberapa
mengatur larangan membujuk/memaksa orang daerah mengeluarkan Perda (Peraturan Daerah)

Halaman 163 KERTHA WICAKSANA: Sarana Komunikasi Dosen dan Mahasiswa Volume 15, Nomor 2 2021 — CC-BY-SA 4.0 License
Politik Hukum Pemberantasan Prostitusi Online Terkait Kriminalisasi Pekerja Seks Komersial dan Pengguna

mengenai kegiatan prostitusi, namun minim mucikari dalam kasus tersebut dapat dijerat
implementasi membuat Perda tersebut hanya dengan undang-undang perdagangan orang.
menjadi hiasan kertas. Penyebab lainnya ialah Apabila korbannya adalah seorang anak, mucikari
tidak konsistennya dalam perapannya. Contoh juga dapat dijerat dengan undang-undang
Perda yang dapat menjerat pidana PSK maupun perlindungan anak, namun perlu ditegaskan
pemakai jasanya misalnya pasal 42 ayat (2) Perda bahwa undang-udang perdagangan orang dan
DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 Tentang perlindungan hanya mengatur terkait mucikari
Ketertiban Umum, “Setiap orang dilarang: 1) yang memperdagangkan orang dan
menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa memprostitusikan anak dibawah umur. Perda
orang lain untuk menjadi penjaja seks komersial; yang mengatur pemidanaan terhadap prostitusi
2) menjadi penjaja seks komersial; c) memakai juga berlaku terbatas pada daerah yang mengatur
jasa penjaja seks komersial. “Orang yang prostitusi saja sehingga dapat diketahui bahwa
melanggar ketentuan ini di-kenakan ancaman aturan prostitusi di Indonesia masih lemah
pidana kurungan paling singkat 20 hari dan paling terutama terkait pemidanaan PSK dan
lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp penggunajasa prostitusi.
500.000,00 dan paling banyak Rp 30 juta (pasal
61 ayat (2) Perda DKI 8/2007). Praktiknya, para Politik Hukum Pemberantasan Prostitusi,
Khususnya Terkait Kriminalisasi PSK (Pekerja Seks
PSK yang beroperasi di panti pijat dan hiburan Komersial) dan Pengguna Jasa Prostitusi Online di
malam justru banyak tidak ditindak. (Ibid:195) Indonesia
Perda sebagai peraturan daerah tentu memiliki Politik hukum dalam pemberantasan kejahatan
keberlakuan tersendiri yang hanya berlaku di tentu memiliki peranan yang sangat besar, karena
daerahnya saja. Penanganan prostitusi pemberantasan kejahatan melalui penegakan
berdasarkan aturan Perda tentunya sangat hukum harus berdasarkan hukum yang sesuai
bergantung kepada lokasi daerah yang menjadi dengan asas legalitas. Begitupula dalam kasus
tempat perkara, karena tidak semua daerah prostitusi online di Indonesia. Sebagaimana yang
memiliki Perda tentang prostitusi. Penegakan disebutkan oleh Frank E. Hagan bahwa prostitusi
hukum terhadap prostitusi melalui aturan Perda disebut dengan profesi tertua di dunia. Kejahatan
hanya bersifat territorial, sehingga tidak jarang prostitusi memang telah ada sejak dulu, namun
dapat menimbulkan diskriminasi dan hingga kini belum bisa diberantas. Kejahatan ini
ketidakdilan, karena tiap daerah memiliki budaya terus berkembang dan hingga kini seiring dengan
hukum yang berbeda, baik dalam hal perkembangan teknologi dapat sangat mudah
pertanggungjawaban pidana prostitusi maupun dilakukan melalui media online. Pemberantasan
pemidanaan pelaku prostitusi. (Trias Palupi kejahatan tentu harus dilakukan sampai pada akar
Kurnianingrum, 2019:4). Sebagaimana yang telah -akarnya. Dalam hal ini pemberantasan atau
diuraikan Perda juga dapat bertentangangan penegakan hukum prostitusi online tidak tepat
dengan KUHP yang tidak mengatur mengenai jika hanya mempidana mucikari saja.
pemidanaan terhadap PSK dan Pengguna jasa Pemberantasan kejahatan dapat efektif ketika
prostitusi. semua pihak dalam kejahatan itu dapat dipidana
KUHP tidak mengatur pertanggungjawaban sehingga dapat memberikan efek jera dan fungsi
pidana terhadap PSK dan pengguna jasa prostitusi pencegahan.
online. KUHP hanya mengatur prostitusi dalam KUHP tidak mengatur tentang pemidanaan
Pasal 296 KUHP dan Pasal 506 KUHP, namun PSK dan pengguna jasa prostitusi. KUHP hanya
hanya dapat dikenakan terhadap mucikari. mengatur tentang pemidanaan mucikari saja,
Apabila dikaji peraturan di luar KUHP terkait sehingga dalam konteks ini PSK dan pengguna
prostitusi online, PSK dan pengguna jasa dapat jasa prostitusi tidak dapat dipertanggungjawabkan
dijerat dengan menggunakan Pasal 45 Ayat (1) secara pidana dengan KUHP. Pasal perzinahan
UU ITE, namun berlaku terbatas hanya jika PSK/ dalam KUHP juga bukan merupakan undang-
Pengguna jasa mendistribusikan, undang yang tepat. Ketika prostitusi dilakukan
mentransmisikan, menjadikan/membuat dapat dengan media online (prostitusi online) dapat
diaksesnya perbuatan prostitusi melalui media/ digunakan UU ITE, meskipun pengaturan dalam
informasi elektronik. hal ini sangat umum yakni mengancam perbuatan
Dalam prakteknya, kasus prostitusi online yang mengandung muatan kesusilaan yang
yang berkaitan dengan perdagangan orang, dilakukan secara online. Sebaliknya kejahatan

KERTHA WICAKSANA: Sarana Komunikasi Dosen dan Mahasiswa Volume 15, Nomor 2 2021 — CC-BY-SA 4.0 License Halaman 164
Politik Hukum Pemberantasan Prostitusi Online Terkait Kriminalisasi Pekerja Seks Komersial dan Pengguna

prostitusi yang tidak dilakukan secara onlinetentu berbagai bidang hukum, salah satunya yakni di
tidak bisa dijerat dengan pasal ini. bidang hukum pidana untuk mengatasi kasus
prostitusi yang hingga saat ini masih marak
Beberapa perda di Indonesia juga telah
terjadi di Indonesia.
memuat tentang pengaturan larangan prostitusi
namun pengaturannya bersifat territorial saja Yesmil Anwar menyatakan bahwa kebijakan
karena tidak semua daerah mengeluarkan atau yang dapat dilakukan untuk mengatasi prostitusi
membuat perda ini. Prakteknya prostitusi secara garis besar terdiri dari legalisasi yakni
onlinejuga dapat dijerat dengan pasal dalam UU penutupan praktik prostitusi, kriminalisasi yakni
Perdagangan orang dan UU Perlindungan anak mengkriminalkan pelaku prostitusi, dan abolisi
namun hanya dapat digunakan jika PSK dalam yakni menghapus sampai ke akar-akarnya praktik
kasus prostitusi tersebut diperdagangkan atau jika prostitusi, karena prostitusi dianggap sebagai
korban yang dijadikan PSK adalah anak dibawah perbudakan. Indonesia termasuk negara yang
umur. Hal ini sebagaimana yang telah diuraikan menerapkan kebijakan kriminalisasi, meskipun
dalam uraian 4.1 menunjukkan bahwa pengaturan pada praktiknya prostitusi tidak pernah habis dan
prostitusi onlinebelum tegas sehingga perlu bahkan kian hari tumbuh subur (Anwar, 2009).
dilakukan politik hukum pidana atau kebijakan Hal ini menunjukkan bahwa perlu dilakukan
hukum pidana dalam mengkriminalisasi PSK dan pengaturan untuk penegakan hukum pidana, salah
pengguna jasa prostitusi khususnya dalam tulisan satunya melakukan pembaharuan hukum pidana.
ini adalah prostitusi onlinesehingga prostitusi
Pembaharuan hukum terhadap produk hukum
khususnya prostitusi onlinebisa diberantas.
berupa perundang-undangan yang telah usang,
Kriminaliasi PSK dan pengguna jasa prostitusi tidak sesuai dan tidak mencerminkan hukum yang
khususnya dalam tulisan ini adalah prostitusi responsif tentu perlu diadakan perubahan
onlinesangat diperlukan karena pelaku kejahatan sebagaimana yang menjadi lingkup dari politik
ini merupakan sebuah sistem. Mucikari, PSK, dan hukum, demikian halnya terhadap KUHP
pengguna jasa prostitusi adalah pelaku. PSK dan Indonesia. Searah dengan pandangan Mochtar
pengguna jasa juga memiliki andil yang besar Kusumaatmadja yang menyebutkan bahwa politik
sehingga dapat terwujudnya delik prostitusi hukum adalah kebijakan hukum dan perundang-
onlineini. Terdapat pandangan bahwa prostitusi undangan, dalam rangka pembaruan hukum, serta
onlineadalah kejahatan tanpa korban. Hal ini pandangan dari Bellefroid yang menyatakan
tentu tidaklah tepat karena korban utama adalah bahwa politik hukum menyelidiki perubahan-
masyarakat. Pelaku terkait konteks ini juga perubahan yang harus diadakan pada hukum yang
menjadi korban, terutama PSK. ada saat ini. Pembaharuan hukum dalam konteks
ini penting dilakukan.(Latif & Ali, 2011)
Pemberantasan prostitusi onlineharus dimulai
dari substansi hukumnya dahulu, lalu selanjutnya Dalam perkembangan hukum pidana seiring
dari struktur hukum dan budaya hukum dengan perkembangan teknologi, pembaharuan
sebagaimana teori sistem hukum dari Lawrence hukum pidana menjadi hal yang penting dalam
M. Friedman. Substansi hukum berupa peraturan reformasi dan pembangunan hukum pidana ke
perundang-undangan yang mengatur prostitusi arah yang lebih baik. Pembaharuan hukum ini
onlineharus diperkuat, terutama dalam KUHP diperlukan sebagai suatu upaya dalam reorientasi
sebagai hukum pidana nasional Indonesia dan dan reformasi hukum pidana yang juga meliputi
sumber hukum utama di bidang hukum pidana. nilai-nilai yang ada dalam masyarakat yang sesuai
Politik hukum, khsusnya politik hukum pidana dengan volk geist (jiwa bangsa) yang
sangat diperlukan dalam hal ini. mencerminkan keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum. Sebagaimana yang telah kita
Pembentukan hukum dalam hal ini dapat ketahui KUHP Indonesia yang hingga kini masih
berupa pembentukan atau pembuatan hukum baru
berlaku di Indonesia, sebagai warisan zaman
dan dapat pula berupa penggantian hukum lama
kolonial tentu tidak sesuai dengan kepribadian
(revisi). Pembentukan hukum ini pada dasarnya
bangsa Indonesia. Prostitusi tentu sangat
tetap harus berpijak, berlandaskan, dan bertentangan dengan budaya Indonesia.
dilaksanakan dalam kerangka politik hukum
nasional, yang sesuai dengan pancasila dan Prostitusi sangat berlawanan dengan budaya
konstitusi Negara Republik Indonesia. Politik adat ketimuran yang sangat menghormati
hukum sangat perlu diterapkan dalam kedudukan perempuan dan sangat menyoroti
pembentukan peraturan perundang-undangan di kesusilaan dan kesopanan dalam kehidupan

Halaman 165 KERTHA WICAKSANA: Sarana Komunikasi Dosen dan Mahasiswa Volume 15, Nomor 2 2021 — CC-BY-SA 4.0 License
Politik Hukum Pemberantasan Prostitusi Online Terkait Kriminalisasi Pekerja Seks Komersial dan Pengguna

bermasyarakat. Dalam rangka untuk mencapai ius kebijakan/politik hukum pidana (penal policy)
constituendum, pembaharuan hukum pidana dengan membentuk peraturan yang baik. (Arief,
(KUHP) sangat penting untuk dilakukan untuk 2008) Pembaharuan KUHP Indonesia harus
menghasilkan hukum yang efektif dan responsif. berpijak dan dibentuk berdasarkan politik hukum
yakni politik hukum pidana. Pembaharuan KUHP
Saat ini KUHP dan Undang-undang diluar
Indonesia menemui berbagai kendala yang
KUHP hanya dapat menjerat penyedia tempat dan
menyebabkan hingga saat ini rancangan tersebut
atau mucikarinya saja sedangkan untuk pengguna
belum disahkan dan diberlakukan. Rancangan
dan untuk pekerjanya tidak dapat dipidana. Perda
KUHP ini terus diperbaharui dengan berbagai
yang mengatur tentang larangan praktek prositusi
konsep yang diharapkan mampu efektif
juga tidak efektif, karena tidak semua daerah
menanggulangi kejahatan serta memberikan
memiliki perda ini. Penegakan hukum terhadap
keadilan dan perlindungan.
pelacuran melalui peraturan daerah hanya bersifat
teritorial karena pengaturannya berada pada Melalui politik hukum, badan legislatif/
peraturan daerah masing-masing. legislator memilih dan menentukan pilihan
terhadap berbagai hal/tindakan/perbuatan/
Adapun dalam menanggulangi pelacuran,
keputusan dalam berbagai alternatif-alternatif
pemerintah daerah menggunakan kebijakan
yang ada dalam proses pembentukan hukum yang
pengaturan yang diwujudkan dalam bentuk
sesuai dengan konstitusi dan pancasila sebagai
lokalisasi atau tempat pelacuran legal. Lokalisasi
dasar negara Indonesia. Tindakan memilih ini
ini bertujuan untuk mengumpulkan tempat
juga harus disertai pertimbangan untuk
kegiatan pelacuran beserta dampak negatifnya
kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan
dalam suatu tempat. Kebijakan lokalisasi ini
politik kelompok tertentu. Sangat diharapkan
secara tidak langsung memuat pemahaman bahwa
dengan pembaharuan hukum yang berdasarkan
pemerintah melegalkan praktek pelacuran yang
kepentingan rakyat, hukum yang dibentuk dapat
bertentangan dengan norma agama, perdagangan
mencerminkan perasaan hukum masyarakat
orang khususnya wanita dan juga Pasal 296
sehingga pembangunan hukum nasional tercapai
KUHP terkait tempat pelacuran. Kebijakan
sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
lokalisasi ini sama saja memberikan seseorang
kesempatan untuk melakukan perzinahan yang Pembentukan hukum atau pembaharuan
legal menurut hukum, sehingga sudah seharusnya hukum dalam kerangka politik hukum juga harus
setiap subyek dalam pelacuran yang memiliki diterapkan sesuai dengan konstitusi dan pancasila
keterkaitan dapat mempertanggungjawaban sebagai dasar negara Indonesia. Pancasila sebagai
perbuatannya. Hal ini perlu ditindak dengan paradigma pembangunan hukum yang
merumuskan aturan pidana tentang pelarangan menentukan kaidah penuntun tertentu dalam
prostitusi bagi mucikari, PSK dan pengguna jasa pembentukan hukum. Hal ini juga sebagai sebuah
prostitusi. (Anindia & Sularto, 2019) konsekuensi bahwa pancasila merupakan sumber
di dalam berbagai hukum yang ada. Mengenai
Peraturan prostitusi yang diatur dalam KUHP
kedudukannya, pancasila memiliki kedudukan
masih bersifat diskriminasi karena hanya
yang paling tinggi, yakni sebagai cita-cita serta
mengatur pemidanaan mucikari saja. Pengaturan
pandangan hidup bangsa dan pandangan hidup
ini juga tidak efektif karena sebagai sebuah
Negara Republik Indonesia.
sistem, PSK dan pengguna jasa prostitusi juga
harus dipertanggungjawabkan secara pidana. Dalam kerangka politik hukum,
Sebagai sebuah sistem, jika PSK dan pengguna pemberantasan prostitusi online perlu dilakukan
prostitusi dikriminalisasikan atau dipenalisasikan pembaharuan hukum pidana dengan
dengan memberikan anacaman pidana maka mensinergikan dengan Konsep rancangan KUHP
prostitusi onlinedapat diberantas. Tanpa PSK dan yakni dengan mengkriminalisasi atau membuat
pengguna jasa prostitusi akan lebih aturan atau mengatur pemberian ancaman pidana
mengefektifkan pemeberantasan prostitusi terhadap PSK dan pengguna jasa prostitusi online
termasuk prostitusi onlinedi Indonesia. (penalisasi) agar bisa dipertanggungjawabkan
Pembaharuan KUHP dengan mengkriminalisasi secara pidana.
PSK dan pengguna prostitusi, khususnya
Dalam perkembangan hukum pidana, seiring
prostitusi online urgen untuk dilakukan.
dengan perkembangan teknologi serta kebutuhan
Menurut Barda Nawawi Arief pembaharuan hukum yang kian meningkat, pembaharuan
hukum pidana (penal reform) adalah bagian dari hukum pidana menjadi hal yang penting dalam

KERTHA WICAKSANA: Sarana Komunikasi Dosen dan Mahasiswa Volume 15, Nomor 2 2021 — CC-BY-SA 4.0 License Halaman 166
Politik Hukum Pemberantasan Prostitusi Online Terkait Kriminalisasi Pekerja Seks Komersial dan Pengguna

reformasi dan pembangunan hukum pidana ke KUHP merupakan suatu sistem hukum,
arah yang lebih baik. Pembaharuan hukum ini khususnya merupakan sistem hukum pidana
diperlukan sebagai suatu upaya dalam reorientasi (penal sistem) atau sistem pemidanaan (sentecing
dan reformasi hukum pidana yang juga meliputi sistem). Oleh karena itu pembaharuan KUHP
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat yang sesuai pada hakikatnya adalah pembaharuan sistem
dengan volk geist (jiwa bangsa) yang hukum pidana/sistem pemidanaan.
mencerminkan keadilan, kemanfaatan, dan
KUHP Pada hakikatnya merupakan
kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia.
pembaharuan nilai budaya hukum/ide dasar.
Mengingat bahwa teknologi semakin canggih dan
(Arief, 2008)
berkembang salah satunya dengan adanya media
kejahatan dengan online ini, maka hukum Hal ini menunjukkan bahwa, pembaharuan
haruslah dinamis dengan melakukan perubahan- hukum tidak hanya merupakan pembaharuan
perubahan sejalan dengan perkembangan zaman, secara substantif, tapi merupakan pembaharuan
teknologi, kebutuhan hukum, dan dinamika sistem hukum, yang juga meliputi pembaharuan
kehidupan masyarakat. struktur hukum dan budaya hukum.
Pembaharuan hukum pidana khususnya Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa
mengenai hukum pidana materiil (substantif) terdapat 3 (tiga) masalah pokok dalam hukum
merupakan hal yang penting dan mendasar, pidana, yaitu tindak pidana, kesalahan, dan
karena KUHP sekarang tidak dapat lagi pidana, jika dikaji 3 masalah pokok inilah yang
memenuhi kebutuhan hukum dan rasa keadilan kemudian menjadi fokus dalam Rancangan
masyarakat Indonesia. KUHP Indonesia. Barda Nawawi Arief
menyatakan bahwa :
Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum
nasional yang berjalan sangat lamban mengarah Konsep rancangan KUHP Baru disusun
pada anggapan bahwa, pembaharuan hukum dengan bertolak pada tiga materi/substansi/
pidana Indonesia khususnya sistem hukum masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu :
nasional yang berlandaskan aspek ke Indonesiaan
bukanlah hal yang mudah. Perlu dipahami bahwa, Masalah tindak pidana;
menurut Barda Nawawi Arief, membangun atau Masalah kesalahan atau pertanggungjawaban
melakukan pembaharuan hukum (law reform, pidana, dan
khususnya “penal reform”) pada hakikatnya
adalah “membangun/memperbaharui pokok- Masalah pidana dan pemidanaan (Arief 2005).
pokok pemikiran/konsep/ide dasarnya”, bukan Prostitusi dalam fokus rancangan tersebut
sekedar memperbaharui/mengganti perumusan adalah terkait dengan masalah tindak pidana yang
pasal (undang-undang) secara tekstual. Oleh perlu direkonstruksi kembali dengan
karena itu, kajian atau diskusi tekstual mengenai mengkriminalisasi dan penalisasi PSK dan
konsep RUU KUHP harus disertai dengan diskusi pengguna jasa prostitsui. Pembaharuan hukum
konseptual.(Ibid:1) Berdasarkan hal ini dapat pidana juga meliputi 3 sub sistem yakni substansi
diketahui bahwa, pembaharuan hukum pidana hukum, struktur hukum, dan budaya hukum
dilakukan secara total, bukan merupakan tambal sebagaimana dalam teori sistem hukum dari
sulam dengan hanya mengganti secara tekstual Lawrence Friedman. Sebagaimana yang telah
(substansi) dari Undang-Undang. Secara total diraikan di dalam Bab II dapat diketahui bahwa
disini artinya yakni, bahwa yang diperbaharui berdasarkan uraian dari Lawrence M. Friedman
adalah konsepnya, ide-idenya, pokok pikirannya, terkait sistem hukum tersebut (substansi hukum,
gagasan, pandangan, nilai-nilainya yang struktur hukum, dan budaya hukum) dapat
diarahkan pada karakter, kepribadian bangsa diketahui bahwa sistem hukum terdiri dari sub
Indonesia dan tetap mengacu pada Pancasila. sistem-sub sistem hukum yang saling berinteraksi
Pembaharuan hukum dalam hal ini untuk antara substansi hukum (legal substance),
mengefektifkan penegakan hukum maka dapat Struktur hukum (legal structure) dan Budaya
dimaknai sebagai kebijakan untuk hukum (legal culture). Ketiga sub sistem ini harus
memperbaharui substansi hukum. bersinergi dalam melakukan penegakan hukum
Barda Nawawi Arief juga menyatakan bahwa, terkait prostitusi online.
makna dan hakikat reformasi atau pembaharuan Terkait dengan substansi hukum, perumusan
KUHP : norma terkait prostitusi online perlu dituangkan

Halaman 167 KERTHA WICAKSANA: Sarana Komunikasi Dosen dan Mahasiswa Volume 15, Nomor 2 2021 — CC-BY-SA 4.0 License
Politik Hukum Pemberantasan Prostitusi Online Terkait Kriminalisasi Pekerja Seks Komersial dan Pengguna

dalam Rancangan KUHP yang pada intinya mensinergikan dengan Konsep rancangan KUHP
mengatur sanksi pidana terhadap PSK dan yakni dengan mengkriminalisasi atau membuat
pengguna jasa prostitusi. Tindakan ini perlu aturan atau mengatur pemberian ancaman pidana
dilakukan untuk memberantas prostitusi online di terhadap PSK dan pengguna jasa prostitusi
Indonesia. Perumusan norma dalam konteks PSK onlineagar bisa dipertanggungjawabkan secara
yang melakukan prostitusi onlinedapat pidana (penalisasi).
dirumuskan bahwa, “Barang siapa yang DAFTAR PUSTAKA
melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan
dengan orang lain dan menerima pembayaran Anindia, I. A., & Sularto, R. B. (2019). Kebijakan
dengan persetujuannya serta bertransaksi melalui Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan
media atau informasi elektronik diancam dengan Prostitusi Sebagai Pembaharuan Hukum
Pidana. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia,
pidana pidana penjara selama ……… dan denda 1(1). Retrieved from https://doi.org/10.14710/
sebesar………”. Perumusan norma bagi jphi.v1i1.18-30
pengguna jasa prostitusi dapat diatur atau Anwar, Y. (2009). Saat menuai kejahatan: sebuah
dirumuskan sebagai berikut, “Barang siapa yang pendekatan sosiokultural kriminologi, hukum,
memanggil, mengajak, memesan, menerima dan HAM. Bandung: Refika Aditama.
seseorang secara online melalui media elektronik Arief, B. N. (2008). Bunga rampai kebijakan hukum
untuk melakukan perbuatan cabul atau pidana: Perkembangan penyusunan konsep
persetubuhan secara komersial diancam dengan KUHP baru. Jakarta: Kencana.
pidana penjara selama ………… dan denda Arief, B. N. (2005). Pembaharuan hukum pidana
sebesar………”. dalam perspektif kajian perbandingan.
Bandung: Citra Aditya Baktim.
Kriminalisasi ini penting dilakukan dengan
mengaturnya di dalam Rancangan KUHP karena Hagan, F. E. (2013). Kriminologi (Teori, Metode, dan
Perilaku Kriminal). Terj. AK Anwar. Jakarta:
KUHP yang berlaku saat ini adalah peninggalan Kencana
Kolonial Belanda yang tentu tidak sesuai dengan
Kurnianingrum, T. P. (2019). Politik Hukum Terhadap
adat, budaya bangsa Indonesia. Kriminalisasi Tindak Pidana Prostitusi. Bidang Hukum Info
perlu dilakukan di dalam KUHP karena KUHP Singkat Kajian Singkat Terhadap Isu Aktual
adalah hukum pidana material yang menjadi dan Strategis. 9(1). Retrieved from https://
sumber dari undang-undang lainnya. KUHP juga berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%
memiliki nilai keberlakuan yang tinggi sebagai 20Singkat-XI-1-I-P3DI-Januari-2019-214.pdf
undang-undang jika dibandingkan dengan Latif, A., & Ali. H. (2011). Politik Hukum. Jakarta:
membentuk Perda yang tidak efektif dan nantinya Sinar Grafika.
akan bertentangan dengan KUHP. Sianturi, S. R. (1983). Tindak Pidana di KUHP berikut
IV. SIMPULAN uraiannya. Bandung: Alumni.
Soesilo (R.). (1976). Kitab undang-undang hukum
KUHP tidak mengatur pemidanaan terhadap pidana (KUHP): serta komentar-komentarnja
PSK dan Pengguna jasa prostitusi online, lengkap pasal demi pasal. Politeia.
sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan Syaukani, I. (2010). A. Ahsin Thohari. Dasar-Dasar
secara pidana. Apabila dikaji peraturan di luar Politik Hukum.
KUHP terkait prostitusi online, PSK dan Yanto, O. (2016). Prostitusi Online sebagai Kejahatan
pengguna jasa dapat dijerat dengan menggunakan Kemanusiaan terhadap Anak: Telaah Hukum
Pasal 45 Ayat (1) Undang- undang RI No. 19 Islam dan Hukum Positif. AHKA M: Jurnal
Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang- Ilmu Syariah, 16(2). Retrieved from http://
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang dx.doi.org/10.15408/ajis.v16i2.4449
Informasi dan Transaksi Elektronik, namun
aturan ini masih bersifat umum yang mengatur
larangan yang melanggar kesusilaan. Pengaturan
prostitusi juga dapat ditemukan dalam Peraturan
Daerah (Perda), namun tidak semua daerah
memiliki atau mengeluarkan Perda tentang
Prostitusi, sehingga keberlakuannya terbatas pada
territorial.
Politik hukum yang dapat diambil adalah
dengan pembaharuan hukum pidana dengan

KERTHA WICAKSANA: Sarana Komunikasi Dosen dan Mahasiswa Volume 15, Nomor 2 2021 — CC-BY-SA 4.0 License Halaman 168

Anda mungkin juga menyukai