Anda di halaman 1dari 12

PAPER TUGAS

HUKUM PIDANA DILUAR KUHP

Nama : Diniah Insan Fitria Ningsih


NIM : D1A020151
Kelas : Hukum Pidana Diluar KUHP B1

Dosen Pengampuh :
Taufan,SH.,MH

a. Perbuatan Pidana Dibidang Lingkungan Hidup ( Undang-Undang No.32 Tahun 2009


tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup )

Ditegaskan lebih jauh dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan memperhatikan permasalahan dengan kondisi sumber daya alam
dan lingkungan hidup dewasa ini.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup Pasal 1 angka 16 menyatakan bahwa :
Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau
tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Tindak pidana lingkungan hidup dikriminalisasi melalui perangkat hukum yang mengatur tentang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Undang-undang ini merupakan payung
hukum (umbrella act) dari undang-undang lain (sektoral) di bidang pelestarian lingkungan hidup.
Pengaturan menyangkut lingkungan hidup sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Terkait
kejahatan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 dapat dilihat dari perumusan Pasal 69 yang menyatakan bahwa:
(1) Setiap orang dilarang:
a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.
b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundangundangan ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
e. membuang limbah ke media lingkungan hidup.
f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup.
g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan.
h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.
i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal, dan/atau
j. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak
informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-
sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.

Dalam pelaksanaan penegakkan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang ini meliputi
prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola
pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen penanggulangan
dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan
keadilan. Melalui Peraturan Perundangan ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas
kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah
masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang 32 Tahun 2009 yakni tindak pidana
pencegahan pencemaran. Terkait tindak pidana lingkungan hidup undangundang merumuskan berupa:
1. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.
2. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang mengakibatkan orang mati atau luka berat.
3. melakukan perbuatan melanggar ketentuan perundang-undangan berupa: Pertama,
melepaskan atau membuang zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun
masuk di dan/atau ke dalam tanah, ke dalam udara, atau ke dalam air. Kedua, impor, ekspor,
memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan, menjalankan instalasi, yang dapat
menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan
kesehatan umum.
4. melakukan perbuatan berupa memberikan informasi palsu, atau menghilangkan informasi,
atau menyembunyikan informasi atau merusak informasi yang diperlukan (dalam kaitannya
dengan perbuatan angka 3 di atas), yang mana perbuatan ini dapat menimbulkan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain.
5. melakukan perbuatan pada angka 3 atau angka 4 yang mengakibatkan orang mati atau luka
berat.

Penerapan sanksi pidana penjara dan denda tersebut di atas bersifat komulatif bukan alternatif,
jadi sanksinya diterapkan keduanya yaitu sanksi pidana penjara dan pidana denda, bukan salah satu
dintaranya, pemberatan sanksi dapat dikenakn bagi pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana yaitu
diperberat sepertiga.
Selain ancaman pidana, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan
tata tertib berupa:
• perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
• penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
• perbaikan akibat tindak pidana;
• pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikantanpa hak; dan/atau
• penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. (Pasal 119 UU
No. 32/2009)
Dalam UUPPLH 2009 memang tidak disebutkan secara inplisit ancaman pidana bagi perbuatan
yang mengkibatkan pencemaran lingkungan hidup, ketentuan tersebut tidak dibuang, tetapi diperjelas
menjadi perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku
mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup implikasi hukumnya sama aja karena
pencemaran lingkungan hidup dan/atau perusakan lingkungan hidup sama dengan dilampauinya baku
mutu atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
b. Pertanggungjawaban Pidana Lingkungan Hidup

Asas kesalahan (asas culpabilitas) adalah bagian dari pertanggungjawaban pidana, yang pada
dasarnya memiliki keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang pada dasarnya memiliki nilai
keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan dengen nilai kepastian.
Walaupun konsep pertanggungjawaban pidana didasarkan dengan asas kesalahan, namun dalam beberapa
hal ini tidak menutupi adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan
pertanggungjawaban yang ketat (strict liability).
Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi sebelum seseorang melakukan tindak pidana. Hal
ini didasarkan pada asas legalitas yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.Peraturan Perundang-
undangan di luar KUHP serta UUPPLH mengatur tentang pidana lingkungan hidup.Bentuk system
hukum yang dapat diintergrasikan sebagai aturan hukum, dapat diketahui dan tersebar dalam berbagi
cabang ilmu dan alam berbagai peraturan perundang-undangan sebagai ketentuan hukum pidana guna
melindungi lingkungan hidup (Huda, 2006).
Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup berbunyi :
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum
berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada
orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan
tertentu.

Di bidang lingkungan hidup UUPPLH menempatkan dirinya sebagai umbrella act. Suatu badan
hukum dapat dikatakan melakukan tindak pidana didasarkan pada Pasal 116 ayat (1), (2) UUPPLH.
Berdasarkan doktrin “tiada pertanggungjawaban tanpa kesalahan”, pasal 87 ayat (1) UUPPLH
merumuskan tentang penuntutan sengketa lingkungan hidup, harus mengandung unsur-unsur sebagai
berikut:
Perbuatan melanggar hukum, Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan, Kerugian pada orang
lain atau lingkungan, Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan, dan Membayar ganti kerugian
dan/atau tindakan tertentu.

Jika ditemukan kerugian pada lingkungan, maka “penanggung jawab usaha dan atau kegiatan”
diharuskan membayarkan ganti rugi dan menerima keuntungan dan masyarakat sangat menderita
kerugian atas tindak pencemaran tersebut atau pelaku usaha melakukan tindakan tertentu karena mereka
merupakan pihak yang menimbulkan kerugian pada masyarakat, hewan ataupun lingkungan itu.
Hukum pidana tidak bisa dilepaskan dari adanya tindak pidana. Bentuk tindakan yang melanggar
Undang-undang pidana disebut dengan tindakan kejahatan pidana, yang dikatakan di dalam yuridis
formal.Tindak pidana yaitu prilaku manusia yang dirumuskan dalam undang-undang yang melawan
hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Bila seseorang melakukan suatu kesalahan
atau tindak pidana, yang dinilai sebagai pandangan normative mengenai perbuatan atau tindakan yang
dilakukannya, maka seseorang tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatan atau tindakannya
tersebut.
Mengenai pengertian pencemaran lingkungan hidup terdapat dalam Ketentuan Pasal 1 angka 14
Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
memberikan definisi Pencemaran Lingkungan Hidup sebagai “masuk atau dimasukkannya oleh makhluk
hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan”.
Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, ketentuan pidana diatur dari Pasal 97 sampai dengan
Pasal 120. Dari ketentuan tersebut secara umum rumusan delik lingkungan dikualifikasikan dalam delik
material dan formal. “delik lingkungan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan atau karena
kelalaiannya yang menyebabkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air
laut, dan atau criteria baku kerusakan lingkungan hidup” dirumurkan dalam pasal 98 dan 99 Undang-
undang No. 32 Tahun 2009. Selain itu, “delik lingkungan yang berakibat terjadinya pencemaran dan atau
kerusakan lingkungan yang menyebabkan hilangnya nyawa manusia dirumuskan dalam pasal 122
Undang-undang No. 32 Tahun 2009.
Berikut beberapa bentuk-bentuk tindak pidana yang berkaitan dengan perusakan dan pencemaran
lingkungan hidup, membuang sampah sembarangan, melakukan penelolaan limbah tanpa izin, melakukan
pembakaran lahan guna untuk membuka lahan baru, melakukan kegiatan usaha di bidang lingkungan
tanpa memiiki izin yang resmi, kurangnya pengawasan dari pemerintah terhadap pelaku usaha di bidang
lingkungan.
Dalam tindak pidana lingkungan hidup pertangnggunngjawaban pidana tidak hanya diberikan
kepada orang perseorangan namun badan hukum atau badan usaha pun dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana, berdasarkan pada pasal 116 sampai dengan 118 undang-undang No. 32
tahun 2009. Yang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana adalah orang yang memberikan perintah
dalam kegiatan korporasi, pertanggungjawaban pidana yang dapat dimintakan yaitu pidana denda dan
pidana penjara. Bagi mereka yang memiliki badan usaha bisa dikenakan pidana tambahan berupa
keuntungan dari badan usaha tersebut akan disita seluruhnya dan sampai hal yang terburuk adalah
penutupan badan usaha tersebut.
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan serta perlindungan
lingkungan hidup pada umumnya mengatur mengenai penerapan hukum tindak pidana pencemaran
lingkungan. Undangundang No. 32 Tahun 2009 mengatur tentang pencemaran lingkungan hidup.
Sedangkan pasal 97 sampai dengan 120 Undang-undang No.32 Tahun 2009 mengatur tentang sanksi
pidana tindak pidana pencemaran lingkungan hidup. Dengan sudah diaturmya Undang-undang mengenai
pencemaran lingkungan hidup serta Undang-undang mengenai sanksi pidana tindak pidana pencemaran
lingkungan hidup, maka para pihak baik perorangan maupun badan hukum apabila melakukan tindak
pidana mengenai pencemaran lingkungan hidup, dapat diberikan sanksi oleh pihak penegak hukum.
Bagi pemerintah dalam penerbitan dan pemberian perizinan yang kurang dikaji dengan cermat
dan baik dan tidak sesuai dengan tata ruang serta prosedur Akan sangat berdampak negative yang Akan
menyebabkan kerusakan dan pencemaran bagi lingkungan hidup. Pemerintah sebagai pihak yang
berwenang seharusnya lebih selektif dalam pemberian dan penerbitan perizinan, tetapi banyak penerbitan
perizinan yang menyalahi aturan, yang menyebabkan pencemaran lingkungan. Dalam hal seperti ini
pemerintah harus bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi akibat perizinan yang di terbitkannya.
Bagi penegak hukum diharapkan dapat memberikan sanksi pidana yang lebih tegas terhadap
pihak-pihak yang melakukan tindak pidana pencemaran lingkungan hidup agar tercapainya asas
kemanfaatan berupa efek jera bagi pihak-pihak yang melakukan tindak pidana pencemaran lingkungan
hidup.

c. Pemidanaan Dalam Perbuatan Pidana Lingkungan Hidup

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dalam pasal 98 sampai dengan pasal 115 yang
menyangkut kriminalisasi kejahatan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, ketentuan
yang dimaksud adalah :
Pasal 98: (1)“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)
dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”. (2) “Apabila perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan
manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling
banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”. (3) “Apabila perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) dan denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah)”.

Pasal 99: (1)“Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu
udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”. (2)”Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah)”. (3)“Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka
berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9
(sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling
banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah)”.

Pasal 100: (1)“Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku
mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administrative yang telah di jatuhkan tidak
dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali”.

Pasal 101: “Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke
media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah)”.

Pasal 102: “Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
Pasal 103: “Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

Pasal 104: ”Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan
hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

Pasal 105: ” Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp
4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas
miliar rupiah)”.

Pasal 106: ” Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah)”.

Pasal 107: “Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang–
undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)”.

Pasal 108: “Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.
Pasal 109: ” Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah)”.

Pasal 110: ” Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun
amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

Pasal 111: (1) “Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan ijin lingkungan tanpa
dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada pasal 37 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah)”. (2) “ Pejabat pemberi ijin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan ijin
usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada
pasal 40 ayat (1) di dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

Pasal 112: “ Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan
terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-
undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 dan pasal 72, yang
mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan
hilangnya nyawa manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.

Pasal 113: “ Setiap orang yang memberikan informasi palsu, mennyesatkan, menghilangkan
informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan
dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat (1) huruf j
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Pasal 114: “ Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan
pemerintah dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Pasal 115:” Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalanghalangi, atau
menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik
pegawai negri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.

Ancaman/sanksi dalam hukum yang terdiri dari pidana (straafblad) dan (Maatregel Bld)
tindakan/pemidanaan.
a. Pidana
Menurut pasal 10 KUHPidana, pidana terdiri atas :
a) Pidana Pokok
1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Pidana kurungan
4. Pidana denda
b) Pidana Tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim

Tindak pidana bidang lingkungan hidup dilakukan dengan tujuan bukan untuk memperoleh
keuntungan sanksi apa yang tepat untuk dikenakan kepada pelaku tanpa mengesampingkan pelaksanaan
konservasi lingkungan hidup? Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pidana harus berupa tindakan nyata
yang dapat menjadikan pelaku tindak pidana menyadari kesalahannya dan mengetahui dampak dari
perbuatannya tersebut. Sanksi tindakan sebagai bagian dari system sanksi dalam hukum pidana
merupakan sanksi yang tepat untuk dikenakan kepada pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup.
Secara teoritik, sanksi tindakan beratlah dari ide dasar untuk apa diadakan pemidanaan itu
sehingga sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku kejahatan. Fokus sanksi tindakan lebih
terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku kejahatan. Fokus sanksi tindakan lebih terarah pada
upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah. Ia bersumber dari ide dasar perlindungan
masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat. Singkatnya, sanksi tindakan tujuannya lebih
bersifat mendidik.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
sanksi tindakan ditempatkan sebagai pidana tambahan. Konsekuensinya, ia tidak dapat dijatuhkan
tersendiri tanpa berbarengan dengan pidana pokok. Selain itu, penjatuhan pidana tambahan pada dasarnya
adalah fakultatif, dalam arti pidana ini dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-
undang, tetapi hal itu bukan suatu keharusan.
Sanksi tindakan yang bersifat fakultatif tersebut dapat menghambat pelaksanaan konservasi
lingkungan hidup. Hal ini disebabkan karena sanksi tindakan tidak selalu dijatuhkan kepada pelaku tindak
pidana lingkungan hidup. Padahal eksistensinya justru termasuk sanksi yang seharusnya diutamakan
untuk diterapkan karena bentuknya berupa perbuatan yang bertujuan langsung untuk memperbaiki
dan/atau memulihkan lingkungan hidup ke keadaan semula sebelum terjadinya tindakan sehingga dapat
mewujudkan konsentrasi lingkungan hidup.
Sanksi tindakan yang diatur dalam undangundang bidang lingkungan hidup seharusnya bersifat
imperatif demi terwujudnya sistem pemidanaan berbasis konservasi lingkungan hidup. Sanksi ini juga
tidak hanya dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana berupa korporasi tapi juga manusia. Sebab,
pelaku tindak pidana berupa orang dapat melakukan tindak pidana di bidang lingkungan hidup
dampaknya sama dengan tindak pidana yang sama yang dilakukan oleh korporasi. Dalam beberapa
undang-undang bidang lingkungan hidup, hakim dapat menjatuhkan tindakan langsung kepada pencemar
yang dihukum, seperti kewajiban memperbaiki kerusakan yang telah dilakukannya. Tujuannya adalah
agar ia menyadari kesalahannya dan dapat memperbaiki diri sehingga menjadi warga negara yang taat
hukum. Pelaku tindak pidana yang dihukum untuk memperbaiki lingkungan hidup yang telah tercemar
dan/atau rusak akibat perbuatannya dapat mengetahui secara langsung sulitnya pemulihan lingkungan
hidup ke kondisi semula sebelum terjadinya tindak pidana serta dampak negative dari perbuatannya
tersebut.
Pelaku tindak pidana pencemaran air sungai jika dijatuhi pidana berupa memulihkan air sungai ke
kondisi semula sebelum terjadinya pencemaran, ia dapat mengetahui betapa sulitnya mengembalikan
kondisi air sungai ke keadaan semula. Ia juga dapat mengetahui rusaknya ekosistem air sungai secara
langsung, seperti banyak ikan yang merupakan sumber penghasilan warga mati.
d. Perbedaan Pidana Lingkungan Hidup dengan Pidana Umum

Hukum lingkungan hidup merupakan instrumen yuridis yang memuat kaidah-kaidah tentang
pengelolaan lingkungan hidup. Hukum lingkungan hidup bertujuan untuk mencegah penyusutan dan
kemerosotan mutu lingkungan.
Karateristik Penegakan hukum pindana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan ancaman
hukuman pidana minimun disamping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran
baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan
hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan
penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi
dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil
tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.
Sedangkan Tindak Pidana Umum mempunyai tugas melaksanakan dan mengendalikan
penanganan perkara tindak pidana umum yang meliputi prapenuntutan, pemeriksaan tambahan,
penuntutan, penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan pidana
bersyarat, pidana pengawasan, pengawasan terhadap pelaksanaan putusan lepas bersyarat dan tindakan
hukum lainnya.
Dalam melaksanakan tugasnya, Seksi Tindak Pidana Umum menyelenggarakan fungsi :
1. Penyiapan rumusan kebijaksaan teknis kegiatan yustisial pidana umum di bidang tindak
pidana umum berupa pemberian bimbingan, pembinaan dan pengamanan teknis.
2. Perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan pra penuntutan, pemeriksaan tambahan,
penuntutan dalam perkara tindak pidana terhadap keamanan negara dan ketertiban umum,
tindak pidana terhadap orang dan harta benda serta tindak pidana umum yang diatur diluar
kitab undang-undang hukum pidana.
3. Pengendalian dan pelaksanan penetapan hakim serta putusan pengadilan pengawasan
terhadap pelaksanaan pidana bersyarat, pidana pengawasan, pengawasan terhadap
pelaksanaan putusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lain dalam perkara tindak pidana
umum serta pengadministrasiannya.
4. Pembinaan kerjasama dan koordinasi dengan instansi serta pemberi bimbingan dan petunjuk
teknis dalam penanganan perkara tindak pidana umum kepada penyidik.
5. Penyiapan sarana, konsepsi tentang pendapat dan pertimbangan hukum Jaksa Agung
mengenai perkara tindak pidana umum dan masalah hukum lainnya dalam kebijaksanaan
penegakan hukum.

Anda mungkin juga menyukai