majelis yang ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis. Keputusan majelis tersebut menurut
Pasal 37 ayat (5) Kepmenperindag Nomor 350 Tahun 2001 dapat memuat sanksi administratif.
Namun berdasarkan penelitian lapangan, BPSK mengalami kendala dalam penetapan sanksi
administrasi tersebut, karena belum ada aturan yang mengatur mengenai tata cara penjatuhan
sanksi administratif. BPSK Kota Medan sampai saat ini dalam putusannya belum pernah
menyertakan sanksi administratif kepada pelaku usaha, putusan biasanya hanya mengenai ganti
kerugian. Majelis BPSK Kota Medan wajib menyelesaiakan sengketa konsumen selambat-
lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak persyaratan gugatan terpenuhi.
Putusan majelis merupakan putusan BPSK, dimana menurut Pasal 40 ayat (1) Kepmenperindag
Nomor 350 Tahun 2001 bahwa putusan BPSK dapat berupa: 1) Perdamaian; 2) Gugatan
ditolak;atau 3) Gugatan dikabulkan Selanjutnya dalam ayat (2) dikatakan, bilamana gugatan
dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku
usaha. Kewajiban tersebut berupa pemenuhan: 1) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (2); dan atau 2) Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah)
Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) Kepmenperindag Nomor 350 Tahun
2001 berupa: 1) Pengembalian uang; 2) Penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau
setara nilainya; atau 3) Perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan. Majelis BPSK harus
memutus sengketa dalam waktu 21 hari, namun tidak ada ketentuan mengenai akibat hukum apa
yang akan ditimbulkan apabila penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK Kota Medan
melebihi jangka waktu 21 hari. Prakteknya, pernah terjadi penyelesaian melebihi waktu 21 hari
di BPSK Kota Medan. Pemberitahuan dan pelaksanaan putusan menurut Pasal 41
Kepmenperindag Nomor 350 Tahun 2001 tertulis kepada alamat konsumen dan pelaku usaha,
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan dibacakan. Waktu 14 (empat belas) hari
kerja sejak putusan BPSK diberitahukan, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib
menyatakan menerima atau menolak putusan BPSK. Konsumen yang menolak putusan BPSK,
dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14
(empat belas) hari kerja sejak putusan BPSK diberitahukan. Pelaku usaha yang menyatakan
menerima putusan BPSK, wajib melaksanakan putusan tersebut selambat-lambatnya dalam
waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak menyatakan menerima putusan BPSK. Pelaku usaha yang
menolak putusan BPSK, tetapi tidak mengajukan keberatan setelah batas waktu dilampaui, maka
dianggap menerima putusan dan wajib melaksanakan putusan tersebut selambat-lambatnya
dalam waktu 5 (lima) hari kerja setelah batas waktu mengajukan keberatan dilampaui. Apabila
pelaku usaha tidak menjalankan kewajibannya, maka menurut Pasal 41 ayat (6) Kepmenperindag
Nomor 350 Tahun 2001, BPSK menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk
melakukan penyidikan. Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumenmengatakan
bahwa putusan BPSK bersifat final dan mengikat, kemudian dalam Pasal 42 ayat (1)
Kepmenperindag Nomor 350 Tahun 2001dikatakan bahwa putusan BPSK merupakan putusan
yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan Pasal 42 ayat (2)
Kepmenperindag Nomor 350 Tahun 2001, putusan BPSK sebagaimana pada ayat (1) dimintakan
penetapan eksekusinya oleh BPSK kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang
dirugikan. Namun pada prakteknya, konsumen lah yang harus mengajukan eksekusi terhadap
putusan BPSK Kota Medan kepada Pengadilan Negeri Medan. Putusan BPSK yang bersifat final
dan mengikat serta mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut, masih bisa diajukan upaya
keberatan kepada Pengadilan Negeri. Hal ini jelas diatur dalam Pasal 56 ayat (2) Undang-
Undang Perlindungan Konsumen dan Pasal 7 ayat (2) Kepmenperindag Nomor 350 Tahun 2001.
Ketentuan pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK diatur dalam Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan
Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Perma Nomor 1 Tahun 2006).
Perma Nomor 1 Tahun 2006 ini diharapkan dapat menjawab permasalahan mengenai bagaimana
tata cara pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK yang tidak diatur dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen maupun Kepmenperindag Nomor 350 Tahun 2001. Keberatan dalam
Pasal 1 angka (1) Perma Nomor 1 Tahun 2006 diartikan sebagai upaya bagi pelaku usaha dan
konsumen yang tidak menerima putusan BPSK. Pengajuan keberatan ini hanya dapat diajukan
terhadap putusan arbitrase BPSK. Keberatan terhadap putusan BPSK dapat diajukan baik oleh
pelaku usaha dan/atau konsumen di tempat kedudukan konsumen. Sedangkan yang tidak
mempunyai tempat kedudukan hukum di Indonesia harus mengajukan keberatan di Pengadilan
Negeri dalam wilayah hukum BPSK yang mengeluarkan putusan. Keberatan diajukan dalam
waktu 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan putusan melalui kepaniteraan Pengadilan
Negeri sesuai dengan prosedur pendaftaran perkara perdata. Jika keberatan diajukan pelaku
usaha dan konsumen terhadap putusan BPSK yang sama, maka harus didaftarkan dengan nomor
yang sama.
Menurut H.M.N. Purwosutjipto mengatakan pengangkutan memiliki arti yaitu suatu perjanjian
timbal balik antara pihak pengangkut dengan penumpang atau pengirim barang dimana pihak
pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang/orang dari suatu
tempat ketempat tujuan tertentudengan selamat sedangkan pihak lainnya (pengirim, penerima,
dan penumpang) mengikatkan dirinya untuk berkewajiban untuk membayar sejumlah biaya
tertentu dalam penyelenggaraan pengengkutan tersebut.30 Berdasarkan UU No.1 Tahun 2009,
mengenai tentang pengertian pengangkut terdapat pada Pasal 1 angka 26 menjelaskan bahwa,
“Pengangkut adalah badan usaha angkutan udara niaga, pemegang izin kegiatan angkutan udara
bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan Undang-
Undang ini, dan/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga yang membuat
kontrak perjanjian angkutan udara niaga.” Proses pengangkutan adanya para pihak, pihak
pengangkut adalah pihak-pihak yang melakukan pengangkutan terhadap barang dan penumpang
(orang) yang mengikatkan diri untuk meneyelenggarakan pengangkutan baik dengan cara carter
menurut waktu perjalanan.31 Pada dasarnya fungsi pengangkutan adalah untuk memindahkan
barang atau orang dari suatu tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna
dan nilai. Jadi dengan pengangkutan maka dapat diadakan perpindahan barang-barang dari suatu
tempat yang dirasa barang itu kurang berguna ketempat dimana barang - barang tadi dirasakan
akan lebih bermanfaat.
Prinsip-prinsip tanggung jawab merupakan salah satu unsur penting dari segi perlindungan
hukum bagi konsumen jasa angkutan. Prinsip-prinsip tanggung jawab tersebut antara lain :
b. Prinsip tanggung jawab berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata Menurut prinsip ini, setiap
pengangkut harus bertanggung jawab atas kesalahannya dalam penyelenggaraan pengangkutan
dan membayar ganti rugi atas segala kerugian yang timbul akibat kesalahannya itu. Menurut
prinsip ini, beban pembuktian diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan kepada
pengangkut.
c. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) Menurut prinsip ini, pengangkut harus
bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang diselenggarakan
tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. Prinsip ini menitik beratkan
pada penyebab bukan kesalahannya. Mengenai konsep tanggung jawab PT.Garuda Indonesia
pada kehilangan dan kerusakan atas barang bagasi tercatat penumpang menggunakan prinsip
tanggung jawab praduga bersalah di mana menurut prinsip ini perusahaan penerbangan yaitu
PT.Garuda Indonesia Airlines dianggap bersalah sehingga pengangkut harus membayar ganti
kerugian yang diderita oleh penumpang dengan dibuktikan kesalahan terlebih dahulu.
Penumpang yang mengalami kerugian atas barang bagasi tercatatnya harus membuktikan
kesalahan pengangkut, cukup memberi tahu adanya kerugian yang terjadi pada penumpang.
karena pengangkut dianggap bersalah, maka pengangkut menerapkan tanggung jawab batas
maksimum (Limited liabilty), dimana ganti kerugian tersebut telah diatur dalam Peraturan
Menteri Perhubungan No.77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Angkutan Udara.
Terjadinya pengangkutan penumpang yang tidak sempurna terhadap barang bagasi tercatat
penumpang yang diangkut sampai ke tempat tujuan, maka pada saat itu penumpnag, dapat
menuntut ganti rugi kepada pihak pengangkut berdasarkan Pasal 144 UU No.1 Tahun 2009 Akan
tetapi pihak penumpang hanya dapat menuntut ganti rugi yang nyata terjadi pada saat itu.
Pemeriksaan terhadap barang bagasi tercatat penumpang dapat dilakukan ketika barang itu
diturunkan dari pesawat udara, apakah barang bagasi tercatat penumpang itu lengkap atau ada
yang rusak, maka dapat diketahui secara bersama-sama antara pengangkut dengan penumpang,
apabila adanya kerusakan atau hilangnya barang penumpang yang diangkut pada saat dilakukan
penyerahan barang, sedangkan kerusakan, kehilangan atau tertukarnya barang, maka penumpang
dapat mengajukan ganti rugi kepada pihak pengangkut.33 Untuk adanya suatu tuntutan ganti rugi
tentunya didahului adanya suatu peristiwa hukum yang mengakibatkan kerugian pihak lain.34
Dalam melakukan penyelesaian sengketa antar pengangkut dan penumpang dapat dilakukan
melalui :
sehubungan dengan hal tersebut dalam acara pra sidang, Pemohon Keberatan telah
MEMILIH PROSEDUR MEDIASI dan tidak pernah menyetujui agar sengketa
diselesaikan melalui cara arbitrase. Pasal 5 ayat (2) Permenrindag menyatakan bahwa
“Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak
yang bersengketa secara MEDIASI, dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa
dengan didampingi oleh Majelis yang bertindak aktif sebagai mediator”
berdasarkan bunyi pasal Permemenrindag di atas yang berlaku sebagai hukum acara yang
berlaku di BPSK, maka jelas penyelesaian sengketa ini didasarkan pada pilihan dan
persetujuan para pihak dan tidak dapat dipaksakan. Oleh karena itu Pemohon Keberatan
memilih penyelesaian sengketa secara MEDIASI yang sifatnya tidak berjenjang;
dengan diputusnya perkara aquo dengan prosedur arbitrase secara sepihak dan dipaksakan,
maka jelas Majelis Pemeriksa perkara aquo (Majelis pada BPSK Kota Medan) telah
bersikap tidak netral dan bahkan telah menyampingkan prinsip audi et alteram partem
(tidak mendengarkan permohonan Pemohon Keberatan agar sengketa diselesaikan dengan
prosedur mediasi). Dan dengan diperiksanya sengketa oleh BPSK melalui cara arbitrase
tanpa persetujuan para pihak sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 4 ayat 1
Permenrindag 350/2001), maka kepentingan Pemohon Keberatan sangat dirugikan karena
putusan arbitrase BPSK hanya dapat diajukan keberatannya berdasarkan alasan-alasan
limitatif yang ditentukan dalam Pasal 6 Peraturan Mahkamah Agung RI No.1 Tahun 2006
Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen, berbeda halnya jika sengketa diselesaikan dengan mediasi dimana
produknya berupa perjanjian yang disepakati para pihak dan disahkan oleh BPSK Medan,
hal mana lebih menguntungkan kedua belah pihak ;