Anda di halaman 1dari 2

Review hal 268-272

Sikap terhadap pembangunan

Dalam industry karet sangat penting bagi perekonomian Indonesia dan Malaya karena
berpengaruh terhadap kegiatan niaga. Harga karet yang naik maupun turun berdampak besar
terhadap masyarakat, turunnya harga karet mengakibatkan terhambatnya arus dana tunai,
berkurangnya kegiatan perdagangan ,dan kesulitan pembayaran hutang bagi petani kecil.
Sebaliknya melonjaknya harga karet mengakibatkan hasil pendapatan ekspor meningkat,
meningkatnya pendapatan perorangan dan pendapatan pemerintah, serta kondisi niaga yang
membaik. Menguntungkannya industry budidaya karet karena di dorong oleh motivasi
dengan tujuan menciptakan peluang niaga yang baik. Pemerintah colonial di Indonesia
mengambangkan industry bersifat relative simplistic karena timbul dari asumsi bahwa yang
diperlukan untuk “pembangunan” ialah dengan mengeksploitasi sumber daya alam oleh
perusahaan kapitalis berskala besar yang berasal dari Eropa.

Pertumbuhan pesat dari sector perkebunan didalamnya hanya lahan saja yang mempunyai
sifat bumiputera murni sementara modal, para manajer, dan pegawainya berasal dari Eropa.
Sedangkan perkerjannya terdiri dari kaum pendatang. Hal tersebut dilatar belakangi
beralihnya kebijakan tanam paksa ke politk liberal/ekonomi liberal. Pada tahun 1900-1940
Belanda beralih ke kebijakan politik etika, yang bertujuan menahan aliran ke arah kurangnya
kesejahteraan penduduk bumiputera, terutama dipulau Jawa. Dengan dikeluarkannya
kebijakan tersebut mengakibatkan kaum modal Cina di Indonesia mengalami berbagai
hambatan, berkenaan dengan kepemilikan tanah maupun kebebasan bergerak di daerah
pedesaan. Pemerintah juga mempermudah pengadaan tenaga buruh untuk keperluan
perkebunan di Sumatera Timur dan mengadakan usaha untuk awal penelitian karet.

Dalam industry karet kaum petani kecil tidak ditopang atau didukung oleh kebijakan
pemerintah colonial dan kebanyakkan terdapat di pulau Jawa. Sebaliknya penalaran dasar
yang diajukan oleh pihak Inggris berkenaan dengan kebijakannya ialah kedudukannya
sebagai “perwalian” bagi penduduk melayu, dipandang lebih cocok menyelenggarakan
ekonomi tradisional seperti bertanam padi daripada menghasilkan budidaya komersial seperti
karet.

Setelah terjadinya Perang Dunia I pemerintah Belanda dilema apakah harus membatasi
ekspor sebagai upaya menaikan harga pasar atau membiarkan tanaga pasaran bebas
melaksanakan “survival of the fittest” (kelangsungan hidup bagi yang terkuat) dengan
Indonesia dan Malaya. Namun pemerintah Malaya dan Inggris sebagi yang memimpin
Malaya beranggapan bahwa karet terlalu vital bagi perekonomian negara untuk dibiarkan
mengadapi situasi tersebut oleh karena itu dilaksanakan rencana Stevenson. Pihak Belanda
enggan untuk ikut serta, pada akhirnya Belanda setuju menadatangani Perjanjian Pengaturan
Karet Internasional. Kedua pemerintahan Belanda maupun Malaya bertolak balik dari sikap
awal mengenai pembangunan (khusus mengenai perusahaan perkebunan) beralih ke sikap
oleh Rudner yaitu sebagai kedudukan perwalian (custodial). Dan berusaha memelihara status
quo, khususnya untuk menghambat pertumbuhan dari sector petani kecil.

Anda mungkin juga menyukai