Anda di halaman 1dari 2

Review bab 2

Dalam bab 2 ini penulis membahas tentang Kerasidenan Surabaya Dalam Lintasan
Kekuasaan. Penulis juga membagi beberapa sub bab dengan rinci mulai dari Awal
Munculnya Kata Surabaya, Dari Tangan Mataram ke Tangan Kompeni, Dari Kompeni ke
Pemerintahan Belanda, Geografi Kerasidenan Surabaya, Kabupaten Surabaya, Afdeeling
Bawean, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sedayu, Kabupaten Lamongan, Kabupaten
Mojokerto, Penduduk dan Tenaga Kerja Periode 1830-1930. Dalam sub bab pertama buku
tersebut membahas tentang Awal Munculnya Kata Surabaya. Munculnya kata Surabaya
terdapat beberapa ahli yang berpendapat mulai dari ahli geografi belanda keturunan portugis,
kata Surabaya berasal dari kata portugis. Menurut orang-orang jawa diambil dalam Bahasa
sansekerta, pada umumnya orang-orang Surabaya kata Surabaya adalah asli dari jawa yakni
Sura (Hiu) dan Baya (Buaya). Beberapa sejarawan, dengan menggunakan dukungan berbagai
sumber arkeologis menginterpretasikan simbol ini sebagai simbol dari kemenangan pasukan
Jawa melawan pasukan Mongol, yang diabadikan dengan simbol pertarungan antara ikan
Sura melawan Buaya. Dari interpretasi ini dapat dikatakan bahwa ikan sura merupakan
simbol dari karakter orang Surabaya atau yang lebih dikenal arek Surabaya; sedang buaya
lebih menunjuk kepada keangkaramurkaan. Pada awal tahun 1620-an, wilayah Surabaya
meliputi daerah pesisir yakni Gresik, Jortan, Sedayu, dan Bawean serta daerah pedalaman
yakni Japan (Mojokerta), Wirasaba (Mojoagung), dan Kediri.
Dalam buku tersebut menjelaskan kondisi Surabaya dari tangan Mataram ke tangan
kompeni. Mataram menguasai Surabaya pada tahun 1625 kondisi politik dan ekonomi belum
stabil. Raja Amangkurat I memerintah dikerajaan Mataram secara sewenang-wenang dan
menundukkan segalanya dengan kekuasaannya yang mutlak. Terhitung ada empat kekuatan
utama telah bergabung untuk meruntuhkan Mataram, yakni Trunojoyo (seorang pangeran
dari Madura yang berkeinginan mendirikan Kerajaan Jawa Timur); Laskar Makassar; Raden
Kajoran di Jawa Tengah dan putra raja sendiri Pangeran Adipati Anom. Dalam keadaan tidak
menentu ini Surabaya dapat dikuasai oleh Trunojoyo. Pada tahun 1676 Kompeni mengutus
Cornelis Speelman untuk menjadi penengah antara Amangkurat I dengan vasal-vasalnya.
Langkah pertama yang ditempuh Speelman adalah melalui jalan damai, agar Trunojoyo mau
menyerah dan tunduk kembali di bawah panji-panji Kerajaan Mataram akan tetapi tidak
mendapat tanggapan yang serius akhirnya Speelman menggunakan aksi kekerasan terhadap
Trunojoyo. pada tahun 1682 keadaan pulau Jawa dapat dikatakan aman setelah beberapa
tahun dilanda peperangan. Untuk mencegah terulangnya kembali peristiwa Trunojoyo dan
gerombolan Makassar maka Kompeni merasa perlu untuk menempatkan sejumlah pasukan di
Surabaya. Secara resmi sejak tahun 1743 Surabaya berada di bawah kekuasaan Kompeni.
Kemudian kekuasaan di surabaya berpindah ke pemerintahan Belanda hal tersebut terjadi
akibat VOC dinyatakan pailit pada tahun 1799. Pada masa pemerintahan Daendels, Kota
Surabaya dijadikan sebagai pusat pertahanan terhadap kemungkinan serangan bangsa
asing (Inggris). Untuk ini di Surabaya dibangun pabrik senjata (altellerie constructie winkel),
serta benteng Lodewijk. Pembangunan jalan raya dari Anyer-Panarukan, membuat Surabaya
terhubung dengan kota-kota pantai pulau Jawa. Pada tahun 1811 Jawa termasuk
Surabaya dinyatakan ditaklukkan oleh Inggris. Penaklukkan ini bukan hanya atas
penduduk pribumi melainkan juga atas pemilikan tanah.
Kondisi geografi kerasidenan Surabaya meliputi Kabupaten Surabaya, Afdeeling
Bawean, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sedayu, Kabupaten Lamongan, dan Kabupaten
Mojokerto. Wilayah administrasi Karesidenan Surabaya pada awal abad ke-20 an mengalami
beberapa perubahan lagi yakni dengan masuknya kabupaten Jombang, leburnya kabupaten
Sedayu ke dalam Gresik; Sidoarjo yang dulu merupakan salah satu afdeeling dari kabupaten
Surabaya berdiri sendiri sebagai sebuah kabupaten, serta kabupaten Lamongan. Batas-batas
Karesidenan Surabaya pada masa ini di sebelah utara adalah Laut Jawa; sebelah timur adalah
Selat Madura; sebelah barat adalah Karesidenan Kediri dan Rembang, serta batas sebelah
selatan adalah Karesidenan Pasuruan. Akhirnya di sebelah barat Karesidenan Surabaya
ditutup dengan rangkaian gunung berapi yakni Gunung Arjuna, Gunung Anjasmara, Gunung
Penanggungan, Gunung Welirang dan Gunung Kembar yang masih aktif. Karesidenan
Surabaya cukup potensial bagi suatu perkembangan ekonomi daerah itu, karena di samping
memiliki pelabuhan yang aman, Karesidenan Surabaya juga daerah pedalaman yang subur,
terutama daerah Delta Surabaya, Mojokerto, dan Jombang. Penduduk dan tenaga kerja di
Karesidenan Surabaya periode 1830-1930 pasokan tenaga kerja per satuan lahan dapat
dikategorikan sebagai sangat tinggi dikarenakan pertumbuhan jumlah penduduk di
Karesidenan Surabaya yang tinggi. Dalam buku tersebut dijelaskan dalam bentuk tabel
jumlah penduduk di Karesidenan Surabaya. Dijelaskan bahwa pertumbuhan penduduk
Surabaya pada tahun 1815 adalah 154.512 jiwa, pada tahun 1900 sudah mencapai 2.320.869
jiwa. Hal ini berarti rata–rata pertumbuhan pertahunnya melebihi rata-rata Jawa yang hanya
2,2%. Penduduk Karesidenan Surabaya dari tahun 1826-1830 meningkat pesat. Tahun 1826
ke 1827 naik 7,3%; 1827-1828 meningkat 7,15 %; 1828-1829 naik 5%; 1829-1830 naik 6 %;
dan pada tahun 1830-1831 tetap [sic]. Dengan demikian rata-rata peningkatannya adalah 5,1
%. rata-rata kenaikan penduduk Surabaya pada tahun 1826-1831, lebih tinggi dari rata-rata
Jawa. Selama kurun 1850-1928 penduduk di Karesidenan Surabaya mengalami kenaikan
pesat. Pada periode 1929-1930 jumlah penduduk Karesidenan Surabaya mengalami
penyusutan, hal ini dikarenakan terjadi perubahan batas karesidenan. Pada masa ini wilayah
Karesidenan Surabaya meliputi dua kabupaten saja, yakni Kabupaten Surabaya dan
Kabupaten Gresik. Dalam riset jumlah penduduk tersebut dilakukan oleh Raffles dan Bleeker

Anda mungkin juga menyukai