Anda di halaman 1dari 3

Dalam Bab 3 yang berjudul “Pertumbuhan Ekonomi Karisedinan Surabaya”, penulis

menjelaskan secara rinci tentang kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah colonial
Belanda di Surabaya sejak 1830, hasil produksi, kebijakan ekspor-impor, dan pembangunan
infrastruktur di Surabaya.
Di awal bab, penulis merinci kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah colonial
sejak 1830. Setelah bangkrutnya VOC dan diambil alihnya Hindia Belanda oleh pemerintah
Belanda, kebijakan ekonomi yang dianut masih menggunakan kebijakan yang dilakukan VOC.
Dari hasil penelitian penulis, kegiatan ekonomi di Hindia Belanda pada saat itu masih
bergantung terhadap para peranan bupati karena hanya bupati yang dapat memerintah rakyat
untuk melakukan penanaman tanaman ekspor. Penulis juga membahas tentang kebijakan-
kebijakan yang dilakukan oleh Gubernur Jendral di Hindia Belanda dan menjelaskan secara hasil
ekspor Hindia Belanda tahun 1825-1830.
Di Surabaya tanah dibagi menjadi dua jenis, yakni sawah dan tegal (tanah kering) yang
dimiliki secara perorangan, milik komunal, dan tanah milik pamong desa. Pada penanaman
tanaman ekspor penulis menjelaskan bahwa penyerahan sebagian sawah kepada petani terlebih
dahulu melalui perjanjian. Tetapi dalam prakteknya perjanjian tersebut menggunakan unsur
paksaan. Penulis dalam bukunya juga menyajikan tabel hak milik atas tanah pada masa tanam
paksa secara rinci. Tanaman ekspor yang di tanam di karesidenan Surabaya antara lain kopi, teh,
tembakau, dan gula (tanaman ekspor utama).
Tebu yang ditanam di karesidenan Surabaya memiliki beberapa jenis tebu, yaitu tebu
Jepara, tebu Bali, tebu Jepara Bima, dan tebu Nyamplung yang banyak dijumpai di karesidenan
Surabaya. Sejak penerapan sistem tanam paksa di Surabaya, hasil panen tebu tahun 1835 hanya
menghasilkan 15.000 pikul yang menghasilkan 31.098 pikul gula, dua kali lipat dari hasil tahun
1830. Penulis juga menjelaskan upaya pemerintah Belanda untuk mencegah kerugian setiap
tahun di karesidenan Surabaya, seperti penanggulangan banjir, pembangunan pemukiman gula
dengan mesin eropa, dll. Upaya tersebut membuahkan hasil seperti yang telah disajikan penulis
melalui beberapa tabel pada bukunya.
Untuk kopi sendiri, penanaman kopi dipromosikan secara besar-besaran di Jawa karena
produk yang dihasilkan berbeda dengan gula yang masih harus membutuhkan sarana
manufaktur. Di karesidenan Surabaya, tanah yang cocok untuk penanaman kopi hanya bisa di
dataran tinggi afdeeling Mojokerto yaitu di lereng pegunungan Welirang dan Penanggungan.
Penulis juga menyajikan secara rinci perkembangan industri kopi di karesidenan Surabaya dan
wilayah lain di Jawa serta upah pekerjanya dalam bentuk tabel. Tidak hanya tebu dan kopi,
dalam bukunya penulis menyajikan tabel hasil produksi teh dan tembakau di karesidenan
Surabaya tetapi hasil dari perkebunan teh dan tembakau tidak banyak dan area penanaman tidak
seberapa dibandingkan perkebunan tebu dan kopi.
Tidak hanya produk tanaman saja, ada beberapa produk lain yang diperoleh pemerintah
colonial Belanda di karesidenan Surabaya yaitu tambak garam dan peternakan. Tambak garam di
karesidenan Surabaya berpusat di Gresik dan sepanjang Pantai Selatan Sumenep dengan hasil
total di dua wilayah tersebut tahun 1841 yaitu 483.028 pikul dilanjutkan dengan penurunan pada
tahun 1842 yaitu mendapat hasil 340.125 pikul lalu mendapat kenaikan hasil produksi ditahun-
tahun selanjutnya hingga mendapat 642.824 pikul di tahun 1845. Untuk peternakan sendiri
hewan yang di ternak kebanyakan kuda, kerbau, dan sapi di wilayah kabupaten Surabaya,
Mojokerto, Gresik, Lamongan, dan Sedayu yang disajikan dalam bentuk tabel oleh peneliti. Pada
periode itu, masalah yang kebanyakan dialami oleh peternah adalah kematian ternak yang
diakibatkan oleh penyakit.
Selanjutnya penulis menjelaskan tentang ekspor-impor yang ada di Surabaya, data dalam
bentuk tabel yang disajikan penulis menunjukkan nilai ekspor-impor yang cukup tinggi di
Surabaya pada tahun 1851 hingga 1856. Penulis juga merinci tentang naik turunnya nilai ekspor-
impor yang ada di Surabaya. Impor di Surabaya kebanyakan terdiri atas berbagai macam
peralatan rumah tangga, makanan dan minuman, dan peralatan yang berbahan besi, perak, batu,
kayu, dan tanah. Untuk ekspornya sendiri penulis menjelaskan bahwa barang ekspor kebanyakan
terdiri dari hasil bumi yang disajikan dalam bentuk tabel oleh penulis dari tahun 1850-1857.
Pada tahun 1870 hingga 1930, di Surabaya sudah banyak dibangun infrastruktur-
infrastruktur yang memadai oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai alat penunjang aktifitas
ekonomi. Hasil produksi tanaman ekspor tidak hanya diangkut melalui jalur sungai tetapi juga
melalui jalur darat. Untuk jalur darat sendiri sudah diawali pembangunannya di masa
pemerintahan Daendels dengan dibangunnya jalan raya Anyer-Panarukan pada tahun 1808. Jalan
raya ini juga terhubung dengan jalan kecil menuju daerah pedalaman sehingga memudahkan
transportasi untuk mengangkut hasil produksi dari daerah ke daerah lain. Menurut penulis, pada
periode liberal sarana transportasi yang menghubungkan antar daerah sangat berkembang pesat
dengan diawali pembangunan jalan kereta api pada tahun 1875 di Surabaya lalu di lanjutkan
dengan pembangunan jalur-jalur lain di berbagai wilayah oleh perusahaan-perusahaan kereta api
baik itu dari swasta maupun pemerintah. Tidak hanya jalur darat saja yang dikembangkan,
pemerintah kolonial Belanda juga membangun Pelabuhan di Surabaya untuk menunjang aktifitas
ekspor-impor mereka.
Dalam bab ini, penulis juga menjelaskan secara rinci tentang kemajuan ekspor-impor di
Surabaya yang dibagi menjadi dua periode, yaitu periode sebelum pembangunan Pelabuhan
Surabaya (1870-1910) dan periode pasca pembangunan Pelabuhan Surabaya (1911-1930). Pada
periode tahun 1870-1910 penulis menjelaskan naik turunnya volume ekspor impor yang
disajikan dalam beberapa tabel, dan juga faktor-faktor yang menyebabkan naik turunya ekspor
impor.
Periode setelah pembangunan Pelabuhan, perkembangan ekonomi Surabaya berada pada
periode yang menguntungkan karena ada beberapa faktor yang mendasarinya seperti pasca
Perang Dunia I yang membuat harga barang ekspor naik khususnya harga gula. Tetapi periode
kenaikan ini tidak berlangsung lama dan mulai merosot pada tahun 1929-1930 karena
disebabkan oleh depresi ekonomi yang melanda seluruh dunia.

Anda mungkin juga menyukai