Anda di halaman 1dari 5

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Masyarakat Madani


Madani, merupakan istilah dari bahasa arab “mudun”,atau “madaniyah”,
yang mengandung arti peradaban. Dalam bahasa inggris istilah tersebut
mempunyai padanan makna dengan kata civilization. Secara terminologis
masyarakat madani menurut An-Naquib Al-Attas adalah “mujtama’ madani”
atau masyarakat kota. Secara etimologi mempunyai dua arti, Pertama,
‘masyarakat kota karena madani berasal dari kata bahasa arab madinah yang
berarti kota, dan kedua “masyarakat berperadaban” karena madani berasal dari
kata arab tamaddun atau madinah yang berarti peradaban, dengan demikian
masyrakat madani mengacu pada masyarakat yang beradab. Istilah masyarakat
madani selain mengacu pada konsep civil society juga berdasarkan pada konsep
negara mzadinah yang dibangun Nabi Muhammad saw pada tahun 622M.

Istilah masyarakat madani sering diartikan sebagai terjemahan dari civil


society, tetapi jika dilacak secara empirik istilah civil society adalah terjemahan
dari istilah latin, civilis societas, yang mula-mula dipakai oleh Cicero (seorang
orator dan pujangga dari Roma), pengertiannya mengacu kepada gejala budaya
perorangan dan masyarakat. Masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah
masyarakat politik (Political Society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar
hidup.

3.2 Karakteristik Masyarakat Madani

َ‫اة‬00‫ونَ ال َّز َك‬00ُ‫اَل ةَ َوي ُْؤت‬0‫الص‬


َّ َ‫ون‬00‫ر َويُقِي ُم‬0 ِ ‫ْض يَأْ ُمرُونَ بِ ْال َم ْعر‬
ِ 0‫ُوف َويَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْال ُم ْن َك‬ ٍ ‫ضهُ ْم أَوْ لِيَا ُء بَع‬ ُ ‫َو ْال ُم ْؤ ِمنُونَ َو ْال ُم ْؤ ِمن‬
ُ ‫َات بَ ْع‬
ُ
]71 :‫َزي ٌز َح ِكي ٌم [التوبة‬ ِ ‫م هَّللا ُ إِ َّن هَّللا َ ع‬0ُ ُ‫َويُ ِطيعُونَ هَّللا َ َو َرسُولَهُ أولَئِكَ َسيَرْ َح ُمه‬

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka


menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang
makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan
zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh
Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)
Masyarakat modern mendambakan sebuah sistem kehidupan dimana elemen-
eleman dalam masyarakat mempunyai peranan yang dominan dalam menata
kehidupan yang mereka inginkan. Masyarakat yang demikian kerap disebut
masyarakat sipil (Civil Society), namun beberapa cendikiawan Muslim di Asia
Tenggara lebih suka menggunakan istilah masyarakat madani sebagai gantinya.
Dan ada beberapa karakteristik mengenai masyarakat madani yaitu :

1. Masyarakat egaliter, masyarakat egaliter atau masyarakat yang


mengemban nilai egalitarianisme yaitu masyarakat yang mengakui adanya
kesetaraan dalam posisi di masyarakat dari sisi hak dan kewajiban tanpa
memandang suku, keturunan, ras, agama, dan sebagainya.
2. Penghargaan, bahwa dalam masyarakat madani adanya penghargaan
kepada orang berdasarkan prestise, bukan kesukuan, keturunan, ras, dan
sebagainya.
3. Keterbukaan (partisipasi seluru anggota masyarakat aktif), sebagai ciri
masyarakat madani adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu
benar, kemudian kesediaan untuk mendengarkan pendapat orang lain
untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik.
4. Penegakkan hukum dan keadilan, hukum ditegakkan pada siapapun dan
kapanpun, walupun terhadap keluarga sendiri, karena manusia sama
didepan hukum.
5. Toleransi dan pluralisme, tak lain adalah wujud civility yaitu sikap
kewajiban pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selalu
benar, karena pluralism dan toleransi merupakan wujud dari “ikatan
keadaban’ ( Bond of civility), dalam arti masing-masing pribadi dan
kelompok dalam lingkunga yang lebih luas, memandang yang lain dengan
penghargaaN, betapapun perbedaan yang ada tanpa saling memaksakan
kehendak, pendapat atau pandangan sendiri.
6. Musyawarah dan demokrasi, merupakan unsur asasi pembentukan
masyarakat madani. Nur cholis madjid menyatakan, maasyarakat madani
merupakan masyarakat demokratis yang terbangun dengan menegakkan
musyawarah, karena musywarah merupakan interpretasi positif berbagai
individu dalam masyarakat yang saling memberikan hak untuk
menyatakan pendapat, dan mengakui adanya kewajiban mendengar
pendapat orang lain.

3.3 Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani


Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat
Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan
kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer,
ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi
kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir
pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.

1.    Kualitas SDM Umat Islam


Firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran ayat 110 yang artinya: “Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya
ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada
yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang yang fasik.”
Dari ayat di atas sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam
adalah umat yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di
antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDM-nya
dibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud dalam
Al-Qur’an itu sifatnya normatif, potensial, bukan riil.

2.    Posisi Umat Islam


SDM umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang
unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi,
militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan
perannya yang signifikan. Di Indonesia jumlah umat Islam ±85% tetapi karena
kualitas SDM-nya masih rendah, juga belum mampu memberikan peran yang
proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum Islam.
Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam,
bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.
3.4 Sistem Ekonomi Islam
Menurut ajaran Islam, semua kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial
dan ekonomi haruslah berlandaskan tauhid (keesaan Allah). Dengan demikian
realitas dari adanya hak milik mutlak tidak dapat diterima dalam Islam melainkan
hanya milik Allah saja, sedangkan manusia hanyalah memiliki hak milik nisbi
atau relatif. Pernyataan dan batas-batas hak milik dalam Islam sesuai dengan
sistem keadilan hak-hak semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Islam mempunyai dua prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun
yang berhak mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak ada sekelompok
orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi
kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja. Sebagaimana dalam QS. al-
Syu’ara ayat 183, artinya: “Janganlah kamu merugikan manusia pada hak-
haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat
kerusakan.”

Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus
dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan
manusia dalam masyarakat. Dengan melaksanakan kedua hubungan itu dengan
baik, maka hidup manusia akan sejahtrera baik di dunia maupun di akhirat kelak.

3.5 Konsep Islam Tentang Kesejahteraan Umat


Pada intinya, kesejahteraan sosial menuntut terpenuhinya kebutuhan
manusia yang meliputi kebutuhan primer (primary needs), sekunder (secondary
needs) dan kebutuhan tersier. Kebutuhan primer meliputi: pangan (makanan)
sandang (pakaian), papan (tempat tinggal), kesehatan dan keamanan yang layak.
Kebutuhan sekunder seperti: pengadaan sarana transportasi (sepeda, sepeda
motor, mobil, dsb.), informasi dan telekomunikasi (radio, televisi, telepon, HP,
internet, dan lain sebagainya). Kebutuhan tersier seperti sarana rekereasi, hiburan.
Kategori kebutuhan di atas bersifat materil sehingga kesejahteraan yang tercipta
pun bersifat materil.

Anda mungkin juga menyukai