Anda di halaman 1dari 115

ANALISA KASUS PT.

MONAGRO KIMIA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH

AGUNG NOMOR. 547/B/PK/PJK/2013 BERDASARKAN HUKUM PERPAJAKAN

INDONESIA

Oleh
DADAN GUSTIANA
NIM 1111048000035

KONSENTRASI HUKUM BISNIS

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H / 2015 M
ANALISA KASUS PT. MONAGRO KIMIA DALAM PUTUSAI\I

MAHKAMAH AGTJNG NOMOR. 547 IBIPKTP JW2OI3 BERDASARKAI\I

}ITTKUM PERPAJAKAN INDOIYESIA ,;

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum


Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)

0leh:
Dadan Gustiana
1111048000035

Pembimbing I

H. Zoebir Laini. SH.

KONSENTRASI HT'KUM BISI\US ISLAM

PROGRAM STUDI ILMU HT]KT]M

FAKT]LTAS SYARIAH DAI\I HT]KTJM

TJIN SYARIX' HIDAYATULLAH

JAKAR'TA

1436 rU2015 M
PENGESAIIAN PAI\IITIA UJIA}I

Skripsi berjudul AITALISA KASUS PT. MONAGRO KIMIA DALAM PUTUS$I M.A..

NO. 547IBIPKIPICJIaO13 BERDASARKAI{ HT]KUM PERPAJAKAIi INDONESIA


telah diujikan dalarn sidang munaqasyah Fakuttas Syariatr dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jekartapada tanggal 15 September 2015. Skripsi ini telah diterinib sebagai salatr
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.

15 September 2015

PANITIA UJIAN

l. Ketua : Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat. S.H." M.H


NrP. I 9691 12r 199403 I00l

2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin" S.H.. M.Hum.


NIP. 19650908 199503 1001
( dm)
3. Pembimbing I : H. Zoebirlaini. SH

4. Pembimbing II: Nur Habibi. SH.I. M.H.


' NIP.197608172009121005

5. Penguji I : Amrizal Siagian S. Hum.. M.Si.

6. Penguji II : Fatrmi Muhammad Ahmadi. M.Si


NrP. 1974 I 2132003121002

lil
LEMBAR PERNYATAAI\

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (Sl) di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif


.1r
Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti hasil karya ini plagiat, maka saya bersedia

menerima sanksi yangberlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, I 5 Septerrber 2015

Dadan Gustiana

lv
ABSTRAK

Dadan Gustiana. NIM 1111048000035. ANALISA KASUS PT. MONAGRO


KIMIA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR. 547 / B / PK
/ PKJ / 2013 BERDASARKAN HUKUM PERPAJAKAN INDONESIA.
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan
Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1425 H/2015 M. Isi : xii + 84 halaman
+ lampiran 24 halaman.
Sistem pemungutan pajak self assessment system memberi kepercayaan
kepada wajib pajak, untuk menghitung, melaporkan pajak yang terutang dalam
Surat Pemberitahuan (SPT), kemudian menyetor kewajiban perpajakannya.
Pemberian kepercayaan yang besar kepada wajib pajak sudah sewajarnya
diimbangi dengan instrumen pengawasan, untuk keperluan itu pegawai
pajak/fiskus diberi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pajak. Apabila
hasil pemeriksaan menunjukkan adanya perbedaan atau selisih, pegawai
pajak/fiskus berwenang mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang
berfungsi sebagai surat tagihan. Dalam praktek seringkali terjadi perbedaan
perhitungan antara pegawai pajak/fiskus dengan wajib pajak, inilah salah satu
sebab timbulnya sengketa pajak, diaman seperti kasus yang terjadi pada PT.
MONAGRO KIMIA. Dalam hal ini PT. MONAGRO KIMIA mengajukan
keberatan atas Surat Ketetapan Pajak dan keberatan ditolak, maka wajib pajak
dapat mengajukan banding. Sesuai dengan pasal 36 ayat (4) Undang-Undang
Pengadilan Pajak, wajib pajak diwajibkan membayar 50% (lima puluh persen)
dari utang pajaknya sebagai prasayarat sebelum mengajukan permohonan
banding. Persyaratan yang begitu berat dalam pengajuan banding dimaksudkan
agar lembaga banding tidak dijadikan sebagai alasan penundaan pembayaran
pajak. Akan tetapi apabila dilihat dari kepentingan wajib pajak ketentuan tersebut
tentunya sangat memberatkan. Disini wajib pajak atau PT. MONAGRO KIMIA
diberikan suatu akses untuk mencari keadilan tetapi di sisi lain ada persyaratan
yang memberatkan wajib pajak dalam pemenuhan haknya.

Kata Kunci: sengketa pajak, surat ketetapan pajak, hak wajib pajak.

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Melihat lagi Maha
Mendengar, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehinga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada baginda Nabi Muhammad SAW.
Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum (SH) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah
membantu baik materil maupun immateril, oleh karena itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs H Asep Syarifuddin Hidayat SH MH., dan Drs Abu Thamrin SH
M.Hum., Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum.
3. H. Zoebir Laini, SH., dan Nur Habibi, SH.I, M.H., selaku dosen pembimbing
skripsi yang telah banyak meluangkan waktu disela-sela kesibukan dalam
memberikan nasihat, kritik dan saran untuk membangun penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
4. Dedy Nursamsi SH., M.Hum., selaku dosen penasihat akademik yang telah
memberikan nasihat dan arahan selama penulis menimba ilmu.
5. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah ikhlas berbagi
ilmu pengetahuan dan pengalamanya kepada penulis.
6. Staff Tata Usaha Universitas Islam Negeri Jakarta selaku yang telah memberi
kemudahan dalam penyusunan skripsi ini.
7. Ucapan terimakasih yang tak terhingga atas pengorbanan kedua orang tuaku
ayah dan ibu tercinta Dr. Ahdi Heryadi dan Supiyah, yang telah memberikan
segala dukungan dan dorongan baik materil maupun immateril serta doanya
sehingga penulis dapat menyelesaikan masa studi S1.

vi
8. Adik Maspufah Dwi Heryani dan Muhammad Ihsan yang telah memberikan
dukungan untuk menyelesaikan studi S1.
9. Seluruh keluarga besar Bentong Residence (BR), Ilyas Aghnini, Andrio,
Idham Katiasan, Rudi Hartono, Kurnia Aliftiorono, Rifki Alpiandi, Febyo
Hartanto, Syawal Ritonga, Lisanul Fikri, Nevo Amaba, Ian Nurdiansyah,
Bara Muhammad, Muhammad Iqbal, Angga Ariyana terima kasih atas
dukungan dan pengalaman yang telah diberikan selama kuliah di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
10. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Hukum angkatan
2011, khususnya Ilyas, Kuarnialif, Syawal, dan lain-lain, terimakasih atas
segala bantuan dan dukungan yang diberikan selama ini.
11. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Hukum angkatan
2011, terimakasih atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan selama
ini.
12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,
yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga Allah SWT
memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka.
Amin.
Demikian ini penulis ucapkan terimakasih dan mohon maaf yang sebesar-
besarnya apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan skripsi ini yang kurang
berkenan bagi pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua
pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.

Jakarta, 15 Septembert 2015


Penulis

Dadan Gustiana

vii
DAFTAR ISI

Halaman

Judul Skripsi........................................................................................................i
Lembar Pengesahan Pembimbing.....................................................................ii
Lembar Pengesahan Panitia...............................................................................iii
Lembar Pernyataan ............................................................................................iv
Abstrak.................................................................................................................v
Kata Pengantar ...................................................................................................vi
Daftar Isi ..............................................................................................................ix
Daftar Tabel.........................................................................................................xi
Daftar Gambar ....................................................................................................xii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..............................................................1
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ...........................6
C. Tujuan dan Mafaat Penelitian .....................................................7
D. Tinjauan Terdahulu .....................................................................7
E. Kerangka Teoritis........................................................................8
F. Kerangka Konseptual ..................................................................12
G. Metode Penelitian........................................................................13
H. Sistematika Penulisan .................................................................17

BAB II KEDUDUKAN PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI


DALAM PAJAK DI INDONESIA
A. Tinjauan Umum Perpajakan
1. Definisi Pajak ........................................................................19
2. Asas Pemungutan Pajak .........................................................21
3. Dasar Hukum Pemungutan Pajak...........................................22
4. Pengadilan Pajak ....................................................................23
5. Ketetapan Pajak dan Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan....24
B. Pajak Penghasilan Pasal 21
1. Pembayaran Pajak Melalui Potongan Pihak Lain ..................27
2. Dasar Hukum Pajak Penghasilan ...........................................28
C. Hak serta Kewajiban
1. Wajib Pajak ............................................................................29
2. Upaya Hukum Wajib Pajak ....................................................35
3. Wewenang Aparat Pajak ........................................................37

BAB III PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA SENGKETA PAJAK


PT. MONAGRO KIMIA

A. Posisi Kasus .................................................................................41


B. Putusan Hakim Pengadilan Pajak Nomor Put 38985 / PP /
M.IV / 10 / 2012...........................................................................44
C. Putusan Mahkamah Agung Nomor 547/B/PK/PJK/2013 ............48

BAB IV ANALISA PPh 21 PADA KASUS SENGKETA PAJAK PT.


MONAGRO KIMIA

A. Kewajiban Pembayar PPh 21 Pegawai Outsorcing PT.


MONAGRO KIMIA Dalam Kasus Sengketa Pajak ..................59
B. Penyelesaian Kasus Putusan MA. Nomor. 574/BPJK/2013 .......66

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................74
B. Saran............................................................................................75
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................78

LAMPIRAN.........................................................................................................81
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1................................................................................................................42
Tabel 1.2................................................................................................................42
Tabel 1.3................................................................................................................50
Tabel 1.4................................................................................................................51
Tabel 1.5................................................................................................................53
Tabel 1.6................................................................................................................59
Tabel 1.7................................................................................................................61
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1...............................................................................................................45
Gambar 2...............................................................................................................46
Gambar 3...............................................................................................................54
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Didalam sektor ekonomi, kebijakan diantaranya diarahkan untuk

mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan, mengupayakan kehidupan yang

layak, mengembangkan perekonomian yang berorientasi global dan

menyehatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui

meningkatn disiplin anggaran, pengurangan subsidi dan pinjaman luar negeri

secara betahap, peningkatan penerimaan pajak progresif yang adil dan jujur,

serta penghematan pengeluaran.1

Pajak telah menjadi komponen penting dalam penerimaan negara

bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Pada jaman kolonial pungutan

pajak semata-mata dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan pemerintahan

jajahan, misalnya pada jaman tanam paksa, pajak dipungut dalam bentuk

penyerahan tanah desa untuk ditanami tanaman ekspor yang dibutuhkan

sekurang-kurangnya dua puluh persen dari tanah desa. Kepala desa

bertanggung jawab untuk mengerahkan petani dalam melaksanakan

kewajiban tersebut bahkan ada pula yang diminta menyerahkan seperlima

hasil panennya kepada pemerintah sebagai pajak natural.

Dalam kemerdekaan pungutan pajak dijiwai oleh pancasila dan

Undang-undang Dasar tahun 1945 yang merupakan perwujudan kewajiban

1
Mardiasmo, Pepajakan Edisi Revisi 2011 Cetakan IV, (Jogyakarta : Andi, 2011), h. 21.

1
2

serta partisipasi anggota masayarakat dalam pembiayaan negara dan

pembangunan nasional untuk mencapai keadilan sosial dan kemakmuran

yang merata, baik materil maupun spiritual.2

Dalam pembangunan nasional, penerimaan negara menjadi komponen

yang sangat penting dan menentukan keberhasilan pembangunan yang

dilaksnakan. Sejak tahun 1974 sebagian besar pendapatan negara Indonesia

besumber dari sektor minyak bumi dan gas alam.3 Namun, mengingat sifat

dari sumber daya alam tersebut yang tidak dapat diperbarui, dan minyak bumi

dan gas alam yang tidak menentu, maka sebaiknya pemerintah mengubah

strategi dengan menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan negara yang

utama.

Dalam pembiayaan negara, pajak memegang peranan yang sangat

penting. Sebagian besar penerimaan negara berasal dari penerimaan pajak

dalam negeri, yang bersumber dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan

Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Ekspor dan pajak lainnya. Sampai

tahun 1967, sistem yang dipakai adalah sistem official assessment. Namun

dalam perkembangannya sistem tersebut ternyata tidak sesuai lagi dengan

tingkat sosial ekonomi masyarakat Indonesia, baik dari segi kegotong-

royongan nasional maupun dari laju pembangunan nasional.

2
Abdul Jabar Yousoef, Kunci Surveyor Membidik Perkembangan Industri Domestik
Meningkatkan Penerimaan Pajak dan Royalti Cetakan Pertama, (Bandung : Elex Kompas
Gremedia, 2013), h 3
3
B. Boediono, Perpajakan Indonesia Cetakan I, (Jakarta : Diadit Media, 2006), h. 6
3

Untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak sekaligus

meningkatkan peran aktif wajib pajak, maka pada tahun 1983 pemerintah

menciptakan sistem perpajakan yang baru dengan dikeluarkannya beberapa

peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, yaitu Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Undang-Undang Nomor & tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Undang-

undang nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan

Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Undang-Undang nomor 12

tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dan Undang-Undang nomor

13 tahun 1985 tentang Bea Materai.

Adapun ciri dan corak sistem pemungutan pajak tersebut adalah :4

1. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari penganbdian dan peran

serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan

kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan dan

pembangunan nasional.

2. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksaaan pemungutan pajak sebagai

pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota

masyarakat wajib pajak sendiri, pemerintah dalam hal ini parat pajak

sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan

dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan

ketentuan yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan

perpajakan,

4
Mardiasmo, Pepajakan, Edisi Revisi 2011, Cetakan Keenam, h. 13-14.
4

3. Anggota masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan untuk dapat

melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung,

memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang

(self assessment).

Dimana sehingga melalui sistem ini dalam perpajakan diharapkan dapat

dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana, dan mudah untuk

dipahami oleh anggota masyarakat wajib pajak.

Pajak penghasilan 21 merupakan salah satu pajak langsung yang

dipungut pemerintah pusat atau merupakan pajak negara yang berasal dari

pendapatan rakyat. Dari berbagai jenis pajak penghasilan yang ada, Pajak

Penghasilan (PPh) Pasal 21 merupakan salah satu pajak yang memberikan

masukan sangat besar bagi negara. Kebijakan pemerintah dalam mengatur

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 antara lain dengan dikeluarkannya Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2009. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak

Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2008. Sebagaimana tentang petunjuk pelaksanaan

pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 sehubungan dengan

pekerjaan jasa dan kegiatan orang pribadi.

Peran sistem administrasi pajak sangat penting karena hasil dari

analisis digunakan oleh berbagai pihak baik intern maupun ekstern

perusahaan dalam pengambilan keputusan sehingga kondisi keuangan perlu


5

diketahui bagaimana sebenarnya, khususnya dalam hal ini Pajak Penghasilan

Pasal 21.

Namun dalam kenyatan selama ini, sebagian kebijakan pemerintah

ternyata masih kurang dipahami dan belum dapat dilakukan sepenuhnya oleh

masyarakat. Masih banyak wajib pajak yang kebingungan dalam pembayaran

terhadap pajak yang terutang serta pengisian terhadap sarana pembayaran

pajak. Wajib pajak sering datang ke Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib

pajak terdaftar untuk melakukan pembayaran pajak Saat penyampaian

pelaporan pembayaran terhadap pajak terutang pajak penghasilan terjadi

perselisihan antara wajib pajak dengan pihak pemotong pajak serta dalam

pengadministrasian masih kurang memperhatikan sistem perpajakan yang

baru.

Oleh karena itu, penulis mencoba menganalisis kasus yang berkaitan

dengan sengketa pajak di Indonesia, yaitu kasus pajak kurang bayar PPh 21

PT. MONAGRO KIMIA. Pada Putusan MA Nomor 547/B/PK/PJK/2013, PT.

MONAGRO KIMIA adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang

pupuk dan pangan ternak, dalam kegiatan usahanya tersebut mengalami

kekurangan pembayaran pajak pada tahun 2006.

Menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk

mengabulkan permohonan dari Pemohon Peninjauan Kembali PT.

MONAGRO KIMIA tersebut dan membatalkan sementara Putusan

Pengadilan Pajak tertanggal 25 Juni 2012 Nomor Putusan : 38985 / PP / M.IV

/ 10 / 2012. Atas dasar Pasal 8 ayat (2A) Undang – Undang Nomor 6 Tahun
6

2009 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, dimana pembetulan STP

mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, terhadap wajib pajak dikenai

sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan atas

jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran

sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1

(satu) bulan. Dalam putusan MA Nomor 547 / B / PK / PJK / 2013 terdapat

permasalahan yang muncul yaitu putusan MA menguatkan putusan dari

Pengadilan Pajak bahwasanya penetapan pajak kurang bayar PPh 21 PT.

MONAGRO KIMIA adanya indikasi kekurangan bayar PPh 21 pada tahun

2006.

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang akan penulis bahas tidak terlalu meluas sehingga dapat

mengakibatkan ketidak jelasan maka penulis membuat pembatasan

masalah yakni, membahas tentang praktik dalam perpajakan sebagai upaya

penerimaan pendapatan negara.

2. Perumusan Masalah

a. Siapa yang berkewajiban untuk membayar pajak Pajak Penghasilan

Pasal 21 Pegawai jika perusahaan menggunakan pegawai dari

perusahaan outsourcing ?

b. Bagaimana penyelesaian kasus Putusan MA. Nomor. 574 / B / PK /

PJK / 2013 ?
7

C. Tujuan dan Mafaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui penerapan sistem pembayaran pajak dalam

masyarakat, khususnya masyarakat wajib pajak penghasilan orang

pribadi dalam negeri sesuai dengan PPh 21 apabila perusahaan

menggunakan jasa pegawai dari outsourcing.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan

sistem pembayaran pajak dalam pajak penghasilan orang pribadi

dalam negeri.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik secara

teoritis maupun praktisi, sebagai berikut

Secara Akdemisi : Secara teori penelitian ini dapat memperkaya

khasanah ilmu pengetahuan dalam Hukum Bisnis, agar penelitian ini dapat

menjadi tambahan referensi dan peningkatan wawasan akademi para

akademisi di bidang hukum, terutama berhubungan dengan pajak serta

mengingat peraturan perpajakan senantiasa yang mengalami perubahan

dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan masayarakatnya.

Secara Praktisi: memberikan informasi bagi masyarakat luas

mengenai tentang bagaimana sistem tersebut untuk membawa ke arah tax

minded dan tax dicipline sehingga masyarakat menjadi penggerak

pembangunan yang dapat di andalkan.

D. Tinjauan Terdahulu
8

Review kajian terdahulu ini akan memaparkan beberapa penelitian

yang sudah dilakukan, baik yang berupa skripsi, tesis, ataupun penelitian-

penelitian lainnya. Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis

akan menyertakan beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan

tinjauan kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut:

Penelitian yang dilakukan oleh Ilham Taruna Bakti dari Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2011, yang berjudul

“Pengaruh Penerapan Sistem Self Assesment terhadap Optimalisasi

Penerimaan PPh Pasal 21 (Studi Kasus pada KPP Pratama Jakarta Timur)”

Penelitian tersebut menjelaskan secara mendasar tentang pengaruh sistem self

assement dalam masyarakat di utamakan adalah wajib pajak badan.

Buku dari Eceng, dkk. Yang berjudul “Etika Bisnis dalam

Perpajakan” penerbit Elex Jakarta tahun 2011. Pada buku tersebut diuraikan

bagaimana pendoman sistem pemungutan pajak, etika wajib pajak, serta teori

– teori dasar mengenai perpajakan. Sebagai perbandingan dan untuk

membedakan, secara khusus pada skripsi ini penulis menguraikan perihal

bagaimana kedudukan atau status hukum yang sebenarnya mengenai kasus

sengketa perpajakan.

E. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah kerangka pemikiran yang menghubungkan

variable pemikiran yang satu dengan yang lain berdasarkan teori-teori yang

berkaitan dengan permasalahan yang di teliti dalam skripsi. Teori-teori ini

dapat berupa teori yang sudah teruji secara objektif maupun pengertian atau
9

definisi yang di ambil dari asumsi beberapa ahli, dengan demikian tidak

menimbulkan keraguan dalam penulisan yang berhubungan dengan penulisan

skripsi ini.

Pajak adalah iuran wajib rakyat kepada kas negara berdasarkan

undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tidak mendapat balas jasa

secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum

untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk

mencapai kesejahteraan umum negara.5 Selain definisi diatas, terdapat pula

definisi lainnya yang dikemukakan oleh :

A. Adriani, menurutnya pajak adalah iuran masyarakat kepada negara

(yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya

menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat

prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah

untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara

untuk menyelenggarakan pemerintahan.6

Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara

berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat

jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang

digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian

dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan

5
Wirawan B. Ilyas dan Rudy Suhartono, Hukum Pajak Material 1 Seri Pajak
Penghasilan, Cetakan Pertama. (Jakarta : Salemba Humanika, 2011), h. 2.
6
Erly Suandy, Hukum Pajak Edisi 5, Cetakan Pertama.. (Jakarta : Salemba Empat, 2011),
h. 8.
10

dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan

surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama

untuk membiayai public investment.7

Dimana sejak abad ke 18 muncul berbagai teori guna memberi dasar-

menyatakan keadilan (justification) kepada hak negara untuk memungut

pajak dari rakyatnya. Adapun teori-teori tersebut adalah :

1. Teori Asuransi
Dalam teori ini mengatakan bahwa pajak diibaratkan sebagai

suatu premi asuransi yang harus dibayar oleh setiap orang karena

mendapatkan perlindungan atas hak-haknya dari pemerintah. Teori ini

tidak sesuai dengan kenyataan, dan juga tidak sesuai dengan sifat-sifat

pajak. Kelemahan dari teori ini adalah bahwa premi yang dibayarkan

oleh wajib pajak adalah sebagai imbalan dari perlindungan yang

diberikan kepadannya yang sebenarnya beretentangan dengan sifat

pajak. Justru dalam pajak, wajib pajak tidak langsung menenerima

suatu imbalan yang secarang langsung.

2. Teori Daya Pikul

Menurut teori ini setiap orang wajib membayar pajak sesuai

dengan daya pikul masing-masing. Menurut Prof. De Langen, daya

pikul adalah kekuatan seseorang untuk memeikul suatu beban dari apa

yang tersisa, setelah seluruh penghasilannya dikurangi dengan

7
Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8, Buku 1.(Jakarta : Salemba Empat,
2014) h. 15.
11

pegeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer diri

sendiri beserta keluarganya.

3. Teori Kepentingan

Menurut W.H. Van Den Berghe (1837-1902) negara

adalah groepsverband ( organisasi dari golongan ), yaitu hak negara

memungut pajak adalah atas dasar ajaran hak mutlak negara untuk

memajaki penduduknya, teori ini mengukur besarnya pajak sesuai

dengan besarnya kepentingan wajib pajak yang dilindungi. Jadi lebih

besar kepentingan yang dilindungi, maka besar pajak yang harus di

bayar.8

4. Teori Daya Beli

Mr.A. J. Caren Stuart Menurut teori ini pajak diibaratkan

sebagai pompa yang menyedot daya beli seseorang atau anggota

masyarakat, yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat. Jadi

sebenarnya uang yang berasal dari rakyat kembali lagi kepada rakyat

melalui saluran lain. Pajak pada hakikatnya tidak merugikan takyat.

Oleh sebab itu maka pemungutan pajak dapat dibenarkan.9

5. Teori Kewajiban Pajak Mutlak

Teori ini didasarkan pada Teori Organ (Orgaan Theorie) Otto

von Gierke (1841-1921) yang mengatakan bahwa negara itu merupakan

8
Thomas Sumarsan, Perpajakan Indonesia Pendoman Perpajakan Yang lengkap
Berdasarkan Undang-Undang Terbaru, (Jakarta: Indeks, 2010), h. 11.
9
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta : Djembatan,
2009), h. 28.
12

satu keatuan, yang didalamnya setiap warga negara terkait di dalamnya.

Lembaga selaku organ mempunyai kekuasaan terhadap anggota

masyarakat yang mutlak, dan sebaikya anggota masyarakat mempunyai

kewajiban mutlak, antara lain pajak yang tidak dapat ditawarkan lagi.

Berdasarkan pemikiran demikian, maka pungutan pajak walaupun

membebani individu hal tersebut dapat dibenarkan.10

6. Teori Pembenanan Pajak Menurut Pancasila

Pancasila mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong.

Pajak adalah salah satu bentuk gotong royong yang di dalamnya

mengandung sifat kekeluargaan. Pembayaran pajak dalam rangka

pemikiran ini merupakan suatu yang tidak sukar diberikan

pembenarannya. Pajak merupakan pengorbanan bersama untuk

kepentingan bersama tanpa mendapatkan imbalan.11

F. Kerangka Konseptual

a. Pajak; Adalah perikatan yang timbul karena Undang-undang yang

mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat yang di tentukan Undang-

undang (TATBESTAND) untuk membayar sejumlah uang kepada kas

Negara yang dapat di paksakan, tanpa mendapatkan suatu imbalan yang

secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran negara rutin dan pembangunan dan yang di

10
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
(Jakarta : BIP, 2007), h. 13.
11
Abdul Azis Wahab, Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan, (Bandung :
Alfabeta, 2012), h. 28.
13

gunakan sebagai alat pendorong, penghambat, pencegah, untuk mencapai

tujuan yang ada di luar bidang keuangan.12

b. Wajib Pajak; Adalah orang pribadi yang menurut peraturan perundang-

undangan perpajakan di tentukan untuk melakukan kewajiban

perpajakan, termasuk pungutan pajak atau pemotongan pajak tertentu.13

c. Badan; Adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan

kesatuan baik yang melakukan usaha yang meliputi perseroan lainya,

badan usaha milik Negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk

apapun, Firma, Kongsi, Koprasi, Dana Pensiun, Persekutuan,

Perkumpulan, Yayasan, Organisasi Masa, Organisasi Sosial Politik, atau

Organisai yang sejenis, Lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan

lainya.14

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan sifat penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian

hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif didefinisikan sebagai

penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat

dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Disebut

12
Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Cetakan Pertama, (Jakarta : PT Raja Gravindo
Persada, 2004),h. 26.
13
Mardiasmo, Pepajakan Edisi Revisi 2011, Cetakan Keempat, h. 5
14
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 2 ayat (1).
14

juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang

mempergunakan data sekunder.15 Alat pengumpulan data dalam penelitian

ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk

mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran

konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek

telaah penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan

karya ilmiah lainnya.16

2. Pendekatan Masalah

Dalam kaitannya dengan penelitian yuridis normatif, akan digunakan

beberapa pendekatan, yaitu: 17

a. Pendekatan Kasus (case approach)

Pendekatan Kasus (case approach) adalah pendekatan yang dilakukan

dengan cara menelaah suatu kasus yang telah menjadi putusan

pengadilan berkekuatan hukum tetap, dalam hal ini Putusan

Mahkamah Agung No. 547 / B / PK / PJK / 2013. Dalam

menggunakan pendekatan kasus yang perlu dipahami oleh peneliti

adalah ratio deciendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh

hakim untuk sampai pada putusannya.18

b. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)

15
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2010), h. 43.
16
Peter Mahmud Marzuki , Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketujuh, (Jakarta,
Kencana, 2011), h. 57
17 Johnny Ibrahim, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Publising, 2007), h.300

18 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011), h.119.


15

Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) adalah suatu

pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang

berkaitan dengan perpajakan dan sengketa pajak seperti Undang-

Undang No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan, Undang-Undang No. 14 Tahu 2002 tentang Peradilan

Pajak, Undang-undang N. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan,

dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak

Dengan Surat Paksa.

c. Pendekatan Konsep (conceptual approach)

Pendekatan Konsep (conceptual approach) digunakan untuk

memahami konsep-konsep tentang : pengertian pajak, pengertian PPh

21, penhitungan pajak. Dengan didapatkan konsep yang jelas maka

diharapkan penormaan dalam aturan hukum ke depan tidak lagi terjadi

pemahaman yang ambigu.

3. Sumber Data

Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu

data yang tidak diperoleh dari sumber pertama yang bisa diperoleh dari

dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku

harian, surat kabar, makalah, dan lain sebagainya. Data sekunder dalam

penelitian ini dapat dibagi atas 3 kelompok besar, yaitu :

a. Bahan hukum primer yang penulis peroleh dari beberapa peraturan

perundang-undangan perpajakan yang berlaku di Indonesia.


16

b. Bahan hukum sekunder diperoleh penulis dari buku-buku terkait

pembahasan hukum dan perpajakan, keterangan, kajian, analisis

tentang hukum positif seperti skripsi, makalah seminar,dll.

c. Bahan hukum tertier yang dipergunakan penulis sebagai bahan yang

mendukung, memberi penjelasan bagi bahan hukum sekunder seperti

Kamus Besar Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, dan Kamus Hukum.

4. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) yakni upaya

untuk memperoleh data dari penelusuran berbagai sumber bacaan seperti

buku-buku yang berkaitan dengan perpajakan literatur kepustakaan,

peraturan perundang-undangan, negara, pendapat sarjana, surat kabar,

artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari internet. yang

relevan dengan penelitian ini.

Metode yang digunakan dalam menganalisis data-data yang

terkumpul adalah analisis kualitatif. Maksud dari penggunaan metode

tersebut adalah memberikan gambaran terhadap permasalahan yang ada

dengan berdasarkan pendekatan yuridis normatif.

5. Metode Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode

penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku

Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.


17

H. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang isi skripsi,

maka penulis memberikan sistematikanya secara garis besar, sebagai berikut :

Bagian awal skripsi : sampul, lembar berlogo, halaman judul, persetujuan

pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan, motto dan persembahan,

prakata, Abstract, daftar isi, serta daftar lampiran. Bagian isi skripsi terdiri

atas :

BAB I Pendahuluan

Dalam bab ini diuraikan suatu gambaran yang memberikan

informasi yang sifatnya umum serta menyeluruh dan sistematis,

yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan, maksud serta

tujuan dan kegunaan dari penelitian ini.

BAB II Tinjauan Umum

Dalam bab ini di uraikan tentang teori-teori yang menjadi

landasan pembahasan bab-bab selanjutnya, yang dibagi menjadi

dua bagian, bagian pertama adalah dasar-dasar tentang perpajakan

yang terdiri dari definisi pajak, dasar hukum pemungutan pajak,

asas-asas dari pemungutan pajak tersebut, pengelompokan pajak,

fungsi pajak, timbul serta hapusnya pajak, dan lain-lain.

Bagian kedua tentang kedudukan pajak penghasilan dalam

perpajakan di Indonesia yang terdiri dari dasar hukum pajak

penghasilan, penggolongan dan asas perpajakan dalam

penghasilan
18

BAB III Kedudukan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Pajak

di Indonesia

Dalam bab ini di uraikan isi tentang bagaimana sistem pajak

penghasilan orang pribadi dalam negeri yang dikaitkan dengan

peraturan perundang-undangan yang relevan, yang terdiri dari hak

serta kewajiban pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri,

wewenang dan kewajiban aparat pajak dan penghasilan orang

pribadi.

BAB IV Analisa Kasus Sengketa Pajak PT. MONAGRO KIMIA

Putusan MA Nomor. 574/BPJK/2013

Dalam bab ini berisi pembahasan dan analisa data yang berusaha

dikumpulkan untuk mengkaji secara ilmiah terhadap data yang

telah dikumpul selama penelitian dilakukan, di mana pada bab ini

ditelaah dan dianalisa mengenai posisi kasus PT. MONAGRO

KIMIA analisis putusan Mahkamah Agung, dan analisis faktor-

faktor dari Putusan Mahakamah Agung Nomor.

574/BPJK/2013

BAB V Penutup

Dalam bab ini akan di uraikan kesimpulan sebagai hasil akhir dari

Berisi kesimpulan dan saran bagian akhir skripsi, berisi daftar

pustaka dan lampiran-lampiran.


BAB II

KEDUDUKAN PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI DALAM PAJAK

DI INDONESIA

A Tinjuan Umum Perpajakan

1. Definisi Pajak

Melalui definisi pajak, dapat diketahui gambaran umum tentang pajak dan

unsur-unsur yang terdapat didalamnya, sehingga dengan adanya definisi tentang

pajak setidaknya akan diperoleh pemahaman awal tentang pajak itu sendiri.

Terdapat beberapa definisi pajak yang dikemukakan oleh para sarjan diantaranya

yang dikemukakan oleh Rochmat Soemitro, ialah “Pajak adalah peralihan

kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran

rutin dan “surlpus”-nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber

utama untuk membiayai public ivestement.”1

S. I. Djajadiningrat mendefinisikan bahwa pajak sebagai suatu kewajiban

menyerahkan sebagian daripada kekayaan ke kas negara disebabkan suatu

keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberi kedudukan tertentu, tetapi bukan

sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat

dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk

memelihara kesejahteraan umum.

1
Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8, Buku 1. (Jakarta : Salemba Empat, 2014),
h. 1.

19
20

Leroy Beaulieu mengatakan bahwa dalam bukunya yang berjudul “Traite

de la Science des Finances”, (1906) berbunyi : “L' impot et la contribution, soit

directe dissimulee, que la puissance publique exige des habitans ou des bies pur

sebvenir aux depenses du gouverment.”, (“Pajak adalah bantuan baik secara

langsung maupun tidak langsung, dalam hal ini dipaksakan oleh kekuasaan

publik dari penduduk atau dari barang untuk menutupi biaya pembelanjaan

pemerintah.”)2

Dalam definisi pajak yang dikemukakan oleh para ahli tersebut lima

unsur pajak, yaitu :

a. Suatu pemungutan yang dapat dipaksakan karena wewenang yang dimiliki


pemerintah.
b. Harus berdasarkan norma-norma atau undang-undang.

c. Merupakan iuran rakyat kepada pemerintah secara insidentil atau periodik.

Yang dimaksud dengan rakyat adalah perorangan maupun badan.

d. Prestasi pemerinah diberikan secara umum dan sulit untuk ditunjukan.

e. Untuk membiayai pengeluaran negara.3

Dari kelima unsur yang harus dipenuhi dalam pengertian pajak, dan

sesuai dengan perumusan serta fungsi dalam mencapai sasaran di bidang sosial

ekonomi. B. Boediono. Mendefinisikan pajak sebagai berikut, Pajak adalah iuran

rakyat kepada negara, bersarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan

2
Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8, Buku 1, h. 1.
3
Erly Suandy, Hukum Pajak Edisi 5, Cetakan Pertama, (Jakarta : Salemba Empat, 2011), h.
7-8.
21

imbalan yang diberikan secara langsung (umum) oleh pemerintah, gunanya untuk

membiayai kebutuhan pemerintah, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

negara dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengatur di bidang sosial

ekonomi.4

Dari definisi di atas, maka definisi yang lebih tepat dalam

menggambarkan pajak adalah yang dikemukakan Rochmat Soemitro, dan

Boediono Karena telah memenui unsur-unsur pajak dan menegaskan bahwa

pajak memiliki fungi mengatur (regulerend), sementara definisi lainnya lebih

mentitik beratkan pajak pada fungsi pembiayaan (bugedtair), dan seolah-olah

pajak tersebut tidak akan kembali kepada masyarakat.

2. Asas Pemungutan Pajak

Pada abad ke 18, Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya An Inquiry

into the nature adn Cause of Wealth of Nations menyebutkan asas-asas

pemungutan pajak yang di sebut “ The Four Maxim’s”, yang terdiri dari :

a. Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas

keadilan): Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai

dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh

bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak. Dalam keadaan yang sama

para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula, yang dilakukan

4
Erly Suandy, Hukum Pajak Edisi 5, Cetakan Pertama, (Jakarta : Salemba Empat, 2011), h. 7.
22

seimbang dengan kemampuannya yaitu seimbang dengan penghasilan

yang dinikmatina masing-masing dibawah perlindungan pemerintah.

b. Asas Certainty (asas kepastian hukum): Semua pungutan pajak harus

berdasarkan Undang - undang, sehingga bagi yang melanggar akan

dapat dikenai sanksi hukum, mulai dari subjeknya, besarnya pajak

dibayar, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya.

c. Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat

waktu atau asas kesenangan): Pajak harus dipungut pada saat yang tepat

bagi wajib pajak, misalnya disaat wajib pajak baru menerima

penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.

d. Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis): Biaya pemungutan

pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya

pemungutan pajak melebihi dari hasil pemasukan pajaknya. 5

3. Dasar Hukum Pemungutan Pajak

Dasar hukum pemungutan pajak terdapat dalam pasal 23 ayat (2)

Undang-undang dasar tahun 1945, yang berbunyi “Segala pajak untuk keperluan

negara berdasarkan Undang-Undang”. Selanjutnya dalam pasal 23 A Perubahan

Ketiga Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 bahwa pajak dan

pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan

5
Ida Zuraida dan L.Y. Hari Sih Advianto, Penagihan Pajak Pajak Pusat dan Pajak daerah.
(Jakarta : Global Indonesia. 2011), h. 16.
23

undang-undang. Dengan mengacu pada pasal tersebut, maka setiap pemungutan

pajak harus berdasarkan undang-undang, tidak boleh berdasarkan pada ketentuan

yang tingkatannya lebih rendah dari undang-undang.6

Selain pasal 23 ayat (2) UUD tahun 1945 dan pasal 23 A perubahan ke

tiga UUD Republik Indonesia tahun 1945, masih ada dua ketentuan yang harus

diperhatikan untuk sahnya pemungutan pajak, yakni : Pasal 16 ICW (Indische

Comptabilities Wet) menentukan bahwa penambahan atau pengurangan pajak

tidak mungkin berlaku sebelum hasil penambahan atau hasil perubahan undang-

undang pajak tersebut dimasukkan ke dalam APBN pada tahun yang

bersangkutan. Sementara itu, didalam pasal 17 ICW (Indische

Comptabilities Wet) ditentukan bahwa sesuai penghapusan dan penganturan

pajak harus dilakukan sesuai dengan undang-undang. Pemberlakuan

mendasarkan pada pasal II aturan perlihan dari Undang-Undang Dasar 1945.7

4. Pengadilan Pajak

Pengertian pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan

Kekuasaan kehakiman di Indonesia bagi wajib pajak atau penanggung pajak

yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Dimana yang dimaksud sengketa

pajak adalah sengketa yang timbul dibidang perpajakan antara wajib pajak

dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang

6
Maria Farida Indrianti S, Ilmu Perundang-undangan 1, (Jakarta : Kansius, 2010), h. 4
7
Muhammad Rusjdi, KUP (Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan) Edisi Keempat,
(Jakata : Indeks, 2007), h. 8.
24

dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan pajak. Itu termasuk

gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan undang-undang penagihan

dengan surat paksa.

Pengadilan pajak dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14

Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Susunan Pengadilan Pajak terdiri atas:

Pimpinan, Hakim Anggota, Sekretaris, dan Panitera. Pimpinan Pengadilan Pajak

sendiri terdiri dari seorang Ketua dan sebanyak-banyaknya 5 orang Wakil Ketua.

Saat ini Sekretaris merangkap tugas Kepaniteraan sebagai Panitera. Pembinaan

serta pengawasan umum terhadap Hakim Pengadilan Pajak dilakukan oleh

Mahkamah Agung. Sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan

keuangan ditanggulangi oleh Kementerian Keuangan.8 Selain itu, ada Undang-

Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, secara tegas

dinyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan

khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.9

5. Ketetapan Pajak

Prinsip self-assessment dalam pemenuhan kewajiban perpajakan adalah

bahwa Wajib Pajak (WP) diwajibkan untuk menghitung, memperhitungkan,

membayar sendiri, dan melaporkan pajak yang terutang sesuai ketentuan

8
Tjia Siauw Jan, Pengadilan Pajak : Upaya Kepastian Hukum dan Keadilan Bagi Wajib
Pajak, Cetakan Pertama, (Bandung : Alumni 2013), h. 85.
9
Y. Sri Pudyatmoko, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, Edisi Revisi,
Cetakan Pertama, (Jakarta : Gramedia 2009), h. 51.
25

perpajakan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam

SPT tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 UU KUP yang berbunyi sbb :

“Setiap WP wajib mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa

Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang

Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktur Jendral

Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang

ditetapkan.”.

Sehingga penentuan besarnya pajak yang terutang dipercayakan pada

wajib pajak sendiri melalui Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikannya.

Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas kepada wajib pajak tertentu

yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena

ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak. Dimana fungsi

Ketetapan Pajak sebagai betrikut :

a. Koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan

(STP) Wajib Pajak,

b. Sarana untuk mengenakan sanksi,

c. Sarana untuk menagih pajak,

d. Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar,

e. Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang.

B Pajak Penghasilan Pasal 21

Pajak Penghasilan Pasal 21 atau PPh 21 adalah salah satu jenis pelunasan

PPh dalam tahun berjalan, melaui pemotongan oleh pihak ketiga (yaitu pemberi
26

kerja atau bendaharawan pemerintah atau dana pensiun atau badan lain atau

penyelenggara pemerintah) yang merupakan anjuran pajak yang boleh

dikreditkan terhadap PPh yang terutang untuk tahun pajak bersangkutan, kecuali

PPh yang bersifat final.

PPh sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh

Wajib Pajak orang pribadi, pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorium,

tunjangan, dan pembayaran lain (PMK No.252/PMK.03/2008).10 dengan dasar

hukum antara lain adalah :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata

Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang

No. 16 Tahun 2009.

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun

2008.

3. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

541/KMK.04/2000 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007

tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyeroran Pajak,

Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran,

10
Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8, Buku 1, (Jakarta : Salemba Empat, 2014),
180
27

Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan

Penundaan Pembayaran Pajak.

4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK.03/2008 tentang

Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai

Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak

Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.11

1. Pembayaran Pajak Melalui Potongan Pihak Lain

Pembayaran PPh terutang dilakukan oleh Wajib Pajak pada sarta

penerimaan penghasilan melalui pemotongan atau pungutan pajak oleh pihak lain

yang membayarkan penghasilan. Pihak lain yang mempunyai kewajiban

memotong PPh. Pada saat memberikan penghasilan kepada Wajib Pajak tersebut

berkedudukan sebagai pemotong pajak.

Pemotong pajak sesuai ketentuan Pasal 1 UU Nomor 16 Tahun 2009

Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), termasuk

sebagai Wajib pajak, sehingga memepunyai hak dan kewajiban perpajakan.

Pemotongan pajak yang tidak melakukan pemotongan pajak dikenakan sanksi

adminstratif perpajakan menurut UU KUP, yaitu membayar pajak yang

seharusnya dipotong ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan.

11
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21/26
28

Pemotong pajak harus memberikan bukti potong sebagai pembayaran

pajak atau kredit pajak bagi Wajib Pajak yang dipotong. Pemotong pajak

mempunyai kewajiban untuk membayarkan pajak yang telah dipotong tersebut

ke kas negara melalui bank persepsi (bank yang ditunjuk menerima pembayaran

pajak). Setelah melakukan pembayaran pajak, pemotong pajak wajib melaporkan

bukti potong dan pembayaran pajak tersebut ke kantor pelayanan pajak tempat

pemotong pajak terdaftar. Bukti potong yang dipergunakan oleh Wajib Pajak

penerima penghasilan sebagai kredit pajak akan dikonfirmasi dengan pelaporan

bukti potong oleh pemotongan pajak. Pembayaran pajak selekasnya pada saat

diperolehnya penghasilan sesusai dengan asas ”pay as you earn”, yaitu bayarlah

pada saat memperolah pengasilan.12

2. Dasar Hukum Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983,

yang di ubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, kemudian diubah

lagi dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1994, kembali diubah dengan

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, dan terakhir di ubah Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan

Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-undang

12
Wirawan B. Ilyas dan Rudy Suhartono, Hukum Pajak Material 1 Seri Pajak Penghasilan,
Cetakan Pertama, (Jakarta : Salemba Humanika, 2011), h. 119
29

Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008.13 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang

- Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009.14

C Hak Serta Kewajiban

1. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

Undang-undang pajak yang berlaku di Indonesia mengatur hak dan

kewajiban wajib pajak. Keberadaan wajib pajak orang pribadi dakan negeri

adalah pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berhubungan denga

kedudukannya sebagai wajib pajak. Hak-hak dan keajiban-keawjiban yang

timbul tentunya tidak dapat dilepaskan dari sistem yang berlaku. Karena sistem

perpajakan yang di tetapkan di Indonesia adalah sistem self assessment

berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009

Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, maka hak-hak dan

kewajiban-kewajiban yang timbul disesuiankan berdasrkan ketentuan tersebut.

Hak-hak yang melekat pada wajib pajak orang pribadi dalam negeri pada

dasarnya sama dengan hak-hak wajib pajak pada umumnya. Adapun hak-hak

tersebut di antaranya ialah :

13
Undang-Undang PPh dan Peraturan Pelaksanaannya. KEMENTERIAN KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK Direktorat Penyuluhan, Pelayanan,
dan Hubungan Masyarakat. 2013 Nomor: PJ.091/PPh/UU/001/2013-00
14
Mardiasmo, Pepajakan Edisi Revisi 2011 Cetakan VI, (Jogyakarta : Andi, 2011), h. 21
30

a. Hak Untuk Meghitung Pajak Sendiri

Setiap wajib pajak berhak menghitung besarnya pajak ynag terutang

setiap tahunnya yang berhak dilakukan dengan mengisi Surat Pemberitahuan

(SPT). Perhintgan tersebut bersifat final kecuali apabila Kantor Pelayanan

Pajak (KPP) memiliki data dan atas data tersebut dilakukan pemeriksaan

terhadap keberatan pengisian data oleh wajib pajak.15

b. Hak Melakukan Pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT)

Dalam menghitung besarnya pajak terutang yang dilakukan sendiri,

kesalahan mungkin saja timbul. Untuk itu berdasarkan pasal 8 Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan

Tata Cara Umum Perpajakan, wajib pajak berhak melakukan pembetulan

dengan menyampaikan peryataan tertulis selama Direktorat Jenderal Pajak

belum melakuka pemeriksaan atau setelah dilakukan tindakan pemeriksaan

tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan 16

c. Hak Mengajukan Permohonan Restitusi dan Memperoleh Pembayaran

Restitusi

Setiap wajib pajak yang mengajukan perhitungan kelebihan

pembayaran pajak berhak atas minta restitusi (pengembalian). Dalam pasal 17

B Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang

Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan disebutkan bahwa apabila dalam

15
Mardiasmo, Pepajakan Edisi Revisi, Cetakan Keenam, (Yogyakarta : Andi, 2011), h. 157.
16
B. Boediono, Perpajakan Indonesia, (Jakarta : Diadit Media, 2001), h. 96.
31

waktu 12 bulan sejak permohonan restitusi diberikan, KPP tidak memberikan

jawaban maka permohongan tersebut dikatakan terkabul. Tanggal diterimanya

permohonan restitusi yang disertakan ada STP adalah tanggal ketika STP

disampaikan. Wajib pajak yang permohongann restitusinya dikabulkan

mendapat restitusi paling lambat satu bulan setelah jangka waktu 12 bulan

tersebut berakhir dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

Apabila SKPLB terlambat diterbitkannya maka wajib pajak di beri imbalan

bunga sebesar 2% sebuan sejak berakhirnya jangka waktu tersebut sampai di

terbitkan SKPLB.17

d. Hak Untuk Mengajukan Keberatan

Wajib pajak dapat menilai bahwa hasil pemeriksaannya yang

dilakukan oleh aparat pajak adalah tidak benar. Berdasarkan pasal 25

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang

Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan, wajib pajak dapat mengajukan

keberatan secara tertulis atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Lebih Bayar,

Surat Ketetapan Pajak Nihil dan pemotonga atau pemungutan oleh pihak

ketiga berdasrkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Berdarasarkan pasal 26 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16

Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan, wajib pajak

17
http://www.pajak.go.id/content/article/restitusi-pengembalian-pendahuluan-pajak-
kemudahan-administrasi-ataukah-loophole di akses tanggal 23 April 2015
32

berhak mengetahui atas jawaban setelah diajukannya keberatan paling lambat

12 bulan sejak keberatan diterima. Apabila KPP tidak memberikan

keputusan, maka keberatan dianggap dikabulkan. 18

e. Hak Megajukan Permohonan Banding

Apabila wajib pajak masih tidak puas atas keputusan Direktorat

Jendral Pajak, maka berdasrkan pasal 27 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan,

wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding yang dibuat secara

tertulis dan ditujukan kepada badan peradilan pajak.

Selain memiliki hak-hak yang telah disebutkan di atas, wajib pajak

memiliki kewajiban-kewajiban yang harus di penuhi sehubungan dengan di

terapkannya sistem self assessment,.19 yaitu sebagai berikut :

a. Mendaftarkan Diri Sebagai Wajib Pajak

Mendaftarkan diri sebagai wajib pajak adalah kewjiban awal bagi setiap

subjek pajak yang telah memenuhi tatbestand, seseuai dengan ketentuan

pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang

Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan. Pendaftaran dilaksanakan di

KPP di tempat wajib pajak berdomisili, atau bertempat tinggal bagi wajib

pajak orang pribadi. Mereka yang dikecualikan dari keawjiban untuk

mendaftarkan diri adalah :

18
B. Boediono, Perpajakan Indonesia Cetakan I, h. 97.
19
Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8 Buku 1, h. 23.
33

1) Yang tidak mempunyai penghasilan lain selain penghasilan sehubungan

dengan pekerjaan atau jabatan dari satu pemberi kerja,

2) Yang mempunyai penghasilan neto tidak melebihi Penghasilan Tidak

Kena Pajak (PTKP),

3) Wanita kawin (bersuami), meskipun wanita tersebut memiliki

penghasilan sendiri, kecuali dalam perkawinannya di ikat dengan suatu

perjanjian seperti pemisahan harta dan penghasilan,

4) Anak yang masih belum dewasa

b. Mengambil, Mengisi dan Menyampaikan SPT

Setiap wajib pajak menambil sendiri SPT, mengisi dengan benar, jelas,

transparan, dan di tanda tangani dan selanjutnya disampaikan ke KPP

dimana wajib pajak berdomisili atau dikirimkan melalui kantor pos,

pengisian melalui web dirjen pajak atau dengan cara lain yang diatur dengan

keputusan Direktur Jenderal Pajak. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 3

dan pasal 6 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009

tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan.20

c. Melunasi Pajak Terutang

Dalam mengisi SPT sekaligus mengisi menghintung besarnya pajak yang

terutang terdapat kemungkinan kurang bayar, nihil atau lebih bayar. Apabila

kurang bayar, maka wajib pajak harus melunasi kekuarangan tersebut paling

lambat 1 (satu) bulan pajak atau bagian bulan pajak berakhir, atau sebelum
20
Mahirot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Formal, (Yogyakarta: Graha Ilmu 2010), h. 55.
34

surat pemberitahuan itu disampaikan. Apabila memang terlambat

Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud, yang dilakukan

setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai

sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang

dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal

pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Hal

tersebut diatur dalam pasal 9 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16

Tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan.21

d. Menyelenggarakan Pembukuan

Berdasarkan pasal Pasal 14 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang

Pajak Penghasilan (PPh), wajib pajak pribadi yang melakukan kegiatan

usaha atau pekerjaan bebas, wajib menyelenggarakan pembukuan kecuali

bagi wajib pajak yang menghitung penghasilan neto dengan menggunakan

Norma penghitung Penghasilan Neto dengan menggunakan Keputusan

Direktur Jendral Pajak No. KEP 536/PJ/2000, dan wajib pajak orang pribadi

yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

e. Membantu Mempermudah Saat Pemeriksaan

Ketentuan pasal 29 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun

2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, menyebutkan

bahwa dalam pemeriksaan, wajib pajak harus membantu kelancarannya

21
Thomas Sumuran, Tax Review dan Strategi Perencanaan Pajak Cetakan I, (Jakarta :
Indeks, 2013), h. 63.
35

dengan cara memberikan keterangan yang sebenar-benarnya,

memperlihatkan pembukuan, memberi kesempatan kepada petuagas untuk

memasuki ruangan tertentu yang berhubungan dengan pemeriksaan dan

meniadakan kerahasiaan selama pemeriksaan tersebut berlangsung.22

2. Upaya Hukum Wajib Pajak

a. Banding

Banding yang diajukan ke Pengadilan Pajak ini merupakan upaya

hukum lanjutan yang diajukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak.

Bandiang diajukan terhadap keputusan dari pejabat yang berwenang,

misalnya berkaitan dengan keputusan atas upaya hukum keberatan. Akan

tetapi harap dipahami di sini bahwa yang dinamakan upaya hukum

banding (beroep) tidak sama persis dengan upaya hukum banding pada

Peradilan Umum ataupun Peradilan Tata Usaha Negara. Banding diatur

dalam Bab IV Bagian Kedua, yakni Pasal 35 sampai dengan Pasal 39

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002, dan diatur pula dengan Pasal 27

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007.23

b. Gugatan

22
Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta : PT Raja Gravindo Persada,2004), h. 78
23
Tjia Siauw Jan, Pengadilan Pajak : Upaya Kepastian Hukum dan Keadilan Bagi Wajib
Pajak, Cetakan Pertama (Bandung : Alumni 2013), h. 97.
36

Dalam bidang pajak, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 2002, wajib pajak atau penanggung pajak dapat

mengajukan gugatan. Gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 7

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 diberikan batasan sebagai upaya

hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak

terhadap pelaksanaan Penagihan Pajak atau terhadap keputusan hakim pajak

yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan

perpajakan yang berlaku.24

c. Peninjauan kembali

Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, ketentuan yang

mengatur pemeriksaan terhadap upaya hukum peninjauan kembali diatur

dalam Bagian Keempat tentang Pemeriksaan Peninjauan Kembali Putusan

Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yakni dari Pasal

66 sampai dengan Pasal 77. Pengajuan Permohonan peninjauan kembali

dapat dilakukan baik oleh pihak penggugat atau pembanding, maupun oleh

pihak tergugat atau terbanding. Untuk cara pengajuan permohonan

peninjauan kembali yang diajukan oleh pihak tergugat atau terbanding, pihak

Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Tata Cara

Penanganan Peninjauan Kembali atas Putusan pengadilan Pajak ke

Mahkamah Agung tanggal 9 juni 2003.

24
Tjia Siauw Jan, Pengadilan Pajak : Upaya Kepastian Hukum dan Keadilan Bagi Wajib, h.
99.
37

3. Wewenang dan Kewajiban Aparat Pajak (Fiskus)

Aparat pajak merupakan alat pemerintah dalam memungut pajak dan

masyarakat. Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun

2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, wewenang aparat

pajak diantaranya adalah :

a. Melakukan Penyuluhan Kepada Wajib Pajak

Penyuluhan dilaksanakan dalam rangka pemenuhan kewajiban

perpajakannya. Perlu disadari bahwa peranan penyuluhan sesungguhnya

sangat fundamental. Optimalisasi peranan penyuluhan perpajakan adalah

bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana

diamanatkan dalam pembukaan UUD 45 yaitu membangun suatu

masyarakat khususnya masyarakat wajib pajak yang cerdas, jujur, patriotik

dan benar-benar menyadari peranannya dalam pembangunan bangsa dan

negara. self assessment menghendaki peranan positif wajib pajak dalam

memenuhi kewajiban perpajakannya. Konsekuensinya dari sistem tersebut

adalah bahwa aparat pajak berkwajiban mendukung upaya-upaya bagi

lancarnya kegiatan wajib pajak melalui penyuluhan-penyuluhan

perpajakan.25 Penelitian dan pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat pajak

berdasarkan pasal 29 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang

Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan meliputi :

25
Wewenang Aparat Pajak : http://pandupajak.org/literasipajak.php?page=detail-
artikel&id=681 di akses tanggal 23 April 2015
38

1) Verivikasi lapangan maupun di kantor

2) Pemeriksaan lapangan

Setelah penelitian dan pemeriksaan dilakukan maka langkah

selanjutnya adalah menindak lanjuti hasil verivikasi atau penelitian dengan

menerbitkan surat ketetapan pajak berdasarkan ketentuan dalam Undang-

Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Umum

Perpajakan sebagai realisasi dari sanksi administrasi berupa Surat tagihan

Pajak berdasarkan pasal 13, ayat 1. Surat Ketetapan Pajak Kurang bayar

berdasarkan pasal 15, Surat Ketetapan pajak Nihil Berdasarkan pasal 17A

dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar berdasarkan pasal 17. 26

b. Melakukan Penyidikan

Berdasarkan pasal 44 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang

Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan, Pejabat Pegawai Negeri Sipil di

lingkungan Direktorat Jendral pajak diberi wewenang tindak pidana di

Bidang perpajakan, sebagai mana dimaksud dalam Undang-undang Hukum

Pidana yang berlaku.

c. Melakukan Penagihan Pajak

Dalam pasal 18 Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 tentang

Ketentuan dan Tata Cara Umum Perpajakan disebutkan bahwa Surat

Tagihan pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat

26
B. Boediono, Perpajakan Indonesia, (Jakarta : Diadit Media, 2001), h. 108
39

Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dan Surat Keputusan

Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, putusan banding yang

menyebutkan pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar dan

penagihan pajak.

Selain kewewenangan-kewenangan yang telah disebutkan diatas, aparat

pajak juga dibebani oleh kewajiban-kewajiban yang meliputi umum dan

kewajiban khusus.27 Kewajiban umum aparat dalam melayani kebutuhan wajib

pajak merupakan konsekuensi dari keberadaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban

tersebut diantaranya adalah :

1) Melayani wajib pajak dalam pendaftaran sebagai wajib pajak ;

2) Melayani wajib pajak dalam mengambil dan menyampaikan SPT, termasuk

SPT PPh Tahunan dan PPh Masa;

3) Melayani wajib pajak dalam menyampaikan permohonan restitusi,

kompensasi, cicilan atas tunggakan pajak, dan mengajukan keberatan

termasuk menyampaikan banding;

4) Melayani wajib pajak dalam mengajukan pembetulan atas SPT yang telah

disampaikan;

5) Kewajiban menerbitkan surat-surat keputusan berkenaan dengan

permohonan restitusi, permohonan keberatan, penerapan norma perhitungan

dan izin penggunaan pembukuan dengan bahasa asing.

6) Melayani wajib pajak yang mengajukan permohonan penghapusan NPWP.


27
Mardiasmo, Pepajakan Edisi Revisi, Cetakan Keenam, (Yogyakarta : Andi, 2011), h. 147.
40

Kewajiban khusus bagi aparat pajak adalah untuk tidak memberitahukan

kepada yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan

kepadanya oleh wajib pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaan-nya untuk

menjalankan peraturan perundang-undangan perpajakan (rahasia jabatan). Hal ini

diatur dalam pasal 34 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan

dan Tata Cara Umum Perpajakan.28

28
Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009
BAB III

PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA SENGKETA PAJAK PT.

MONAGRO KIMIA

A. Posisi Kasus

Adanya suatu kasus yang menyangkut sengketa pajak terjadi pada

tahun 2007, dimana PT. MONAGRO KIMIA merupakan perusahaan asisng

atau swasta, yang begerak dalam bidang pupuk dan pangan ternak, dalam

kegiatan usahanya tersebut setelah mengkaji atau menghitung kembali

pajaknya, merasa PT. MONAGRO KIMIA pembayaran pajak yang dilakukan

tahun 2006 menunjukan posisi lebih bayar sebesar Rp 8,738,888,746.

terbilang (Delapan Miliar Tujuh Ratus Tiga Puluh Delapan Juta Delapan

Ratus Delapan Puluh Delapan Ribu Tujuh Ratus Empat Puluh Enam Rupiah).

Dengan alasan terebut maka pihak PT. MONAGRO KIMIA

mengajukan SPT Tahunan PPh Badan tersebut kepada Kantor Pelayanan

Pajak Penanaman Modal Asing Satu (KPP PMA I) pada tanggal 13 Juli 2007

dan diterima oleh kantor KKP PMA I. Sebelumnya KPP PMA I menerbitkan

Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3) No. PRINT-PSL-

330/WPJ.07/KP.02052007 tertanggal 30 Mei 2007 dengan tujuan untuk

menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2006 yang

meliputi semua jenis pajak. Pada tanggal 11 Agustus 2008 hasil yang

dilakukan oleh fiskus/pegawai pajak yang datang untuk memeriksa

sebagaimana kepatuhan wajib pajak, menyatakan dengan surat Nomor:

00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008. Bahwasanya PT. MONAGRO

41
42

KIMIA memiliki perbedaan atau selisih dalam penghitungan PPh 21nya pada

tahun pajak 2006.

Tabel 1.1

Hasil Keterangan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21 PT MONAGRO

KIMIA Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008.

Atas hasil tersebut PT. MONAGRO KIMIA tidak sependapat dengan

hasil fiskus, bahwasanya oleh karena itu PT. MONAGRO KIMIA

mengajukan upaya hukum pertama dalam sengketa pajak yaitu keberatan

kepada KPP PMA I pada tanggal 3 September 2008 melalui surat

permohongan Nomor : MK/Sep-08/57 tertanggal 3 September 2008.

Dengan surat tersebut KPP PMA I menanggapi hal tersebut dengan

menerbitkan Keputusan Terbanding Nomor: KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1

September 2009 tentang keberatan atas SKPKB PPh 21 Nomor:

00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008, terbanding menolak atas tindakan

keberatan tersebut. Dengan hasil :


43

Tabel 1.2

Hasil Keputusan Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing

Nomor: KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009

Bahwa perlu diketahui bahwa selama proses keberatan, peneliti telah

mengirimkan undangan untuk diskusi dengan surat Nomor:S-3621/

PJ.0711/2009 tanggal 21 April 2009 yang PT. MONAGRO KIMIA terima

pada tanggal 29 April 2009. Namun, dikarenakan keterlambatan pengiriman

undangan tersebut, pihak dari PT. MONAGRO KIMIA tidak dapat

menghadiri diskusi dengan peneliti / fiskus pajak. Hal tersebut pun telah

sampaikan kepada Peneliti.

Dimana selanjutnya, peneliti / fiskus dari KPP PMA I kembali

mengirimkan undangan dengan surat Nomor: S-4575/PJ.0711/2009 tanggal

5 Juni 2009, yang terima pada tanggal 23 Juni 2009 oleh pihak yang terkait

yaitu PT. MONAGRO KIMIA untuk dapat menghadiri undangan Peneliti

tersebut. Namun undangan tersebut ternyata tidak untuk mendiskusikan

materi keberatan dan setelahnya PT. MONAGRO KIMIA diminta untuk

menandatangani Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan tanpa adanya

diskusi terlebih dahulu, hasil ini dinggap telah menyalahi aturan yang ada
44

oleh PT. MONAGRO KIMIA sebagaimana hukum tidak berjalan sesuai yang

diharapkan.

B. Putusan Hakim Pengadilan Pajak Nomor Put 38985 / PP / M.IV / 10 /

2012

Dalam hal ini PT. MONAGRO KIMIA melakukan upaya hukum

seusai dengan pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata

Cara Perpajakan yaitu dengan banding. Sesuai dengan pasal 36 ayat (4)

Undang-Undang Pengadilan Pajak, sebelumnya wajib pajak diwajibkan

membayar 50% (lima puluh persen) dari utang pajaknya sebagai prasayarat

sebelum mengajukan permohonan banding. Hal ini dinyatakan bahwa PT.

MONAGRO KIMIA sebagai Pemohon Banding.

Dalam dalil-dalil alasan koreksi terbanding yang diajukan kepada

pengadilan pajak, pada pokoknya mengajukan dalil-dalil gugatan sebagai

berikut. Bahwa selisih tersebut diperhitungkan sebagai koreksi obyek pajak

dan dialokasikan pada KPP PMA I Jakarta dan KPP Madya Tangerang.
45

Gambar 1.1

Alasan PT. MONAGRO KIMIA dalam Persidangan Pajak Berdasarkan

Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (“SPHP”) Nomor: PHP-PSL-

418/WPJ.07/WPJ.07/ KP.0205/2008 tanggal 30 Juni 2008

Disini pengadilan pajak menjawab hasil dari analisa tersebut dinyatakan tidak

falid karena, terdapat objek pajak yang belum dilaporkan sebesar Rp

3.497.139.472 terbilang (Tiga Miliar Empat Ratus Sembilan Puluh Tujuh Juta

Seratus Tiga Puluh Sembilan Ribu Empat Ratus Tujuh Puluh Dua Rupiah).

Alasan Pemohon Banding / PT MONAGRO KIMIA, bahwasnya

pihaknya mengajukan banding atas koreksi pada DPP PPh Pasal 21 sebesar

Rp. 2,159,779,821 dengan alasan, berdasarkan SPHP, total koreksi

Terbanding atas DPP PPh Pasal 21 adalah sebesar Rp. 3,497,139,472 yang

dialokasikan ke masing-masing tempat kedudukan / KPP di mana perusahaan

Pemohon Banding terdaftar yaitu KPP PMA I, KPP Madya Tangerang dan

KPP Tebing Tinggi. Terbanding mengalokasikan besarnya DPP PPh Pasal 21


46

menurut Terbanding berdasarkan persentase DPP PPh Pasal 21 sebagaimana

tercantum pada SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang Pemohon Banding

laporkan ke masing-masing KPP.

Gambar 1.2
Alasan Pemeriksa / Fiskus dalam Persidangan Pajak Berdasarkan Surat
Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (“SPHP”) Nomor: PHP-PSL-
418/WPJ.07/WPJ.07/ KP.0205/2008 tanggal 30 Juni 2008

Berdasarkan pendekatan tersebut, maka koreksi untuk kantor

Jakarta adalah Rp. 2,159,779,821 terbilang (Dua Miliar Seratus Lima Puluh

Sembilan Juta Tujuh Ratus Tujuh Puluh Sembilan Juta Delapan Ratus Dua

Puluh Satu Rupiah), koreksi untuk kantor Tangerang adalah Rp.

1,337,359,651 tebillang (Satu Miliar Tiga Ratus Tiga Puluh Tujuh Juta Tiga

Ratus Lima Puluh Sembilan Ribu Enam Ratus Lima Puluh Satu Rupiah) dan

koreksi untuk kantor Tebing Tinggi dinyatakan nihil.

Dikarenakan PT. MONAGRO KIMIA mengalokasikan besarnya DPP

PPh Pasal 21 menurutnya berdasarkan sistem persentasi, maka Pemohon

Banding tidak dapat mengetahui rincian DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp.
47

11,066,054,192, Rp. 6,852,223,652, Rp. 89,804,543 yang dialokasikan

Terbanding ke kantor Jakarta, kantor Tangerang dan kantor Tebing Tinggi.

Bahwa alasan koreksi peneliti berdasarkan Daftar Hasil Akhir

Penelitian Keberatan Nomor: BA-462/PJ.071/2009 tanggal 18 Juni 2009 PT.

MONAGRO KIMIA tidak menyertakan bukti-bukti dan perhitungan

equalisasi antara biaya-biaya yang dimungkinkan menjadi obyek PPh Pasal

21 di SPT PPh badan dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21 dan tidak dapat

membuktikan bahwa rincian biaya yang bukan merupakan obyek PPh Pasal

21 Tahun 2006 menurut PT. MONAGRO KIMIA, sebesar Rp 3,715,337,532

adalah obyek PPh Pasal 21 yang dikoreksi oleh Pemeriksa / Fiskus, sebagai

berikut rincian dari pemeriksaan tersebut :

Koreksi PPh Pasal 21 pada SPT PPh Badan :


I. Pada HPP
Direct Labor 4.798.499.621
Less: Pay OVH-Astek (126.995.948)
Salaries & Wages 1.156.861.604
Less: Pay OVH-Astek (20.116.805) 5.808.248.472
II. Pada Biaya Usaha :
Salaries & Wages (selling) 5,979,392,945
Add: Salaries & Wages 675,782,445
Less: Pay OVH-Astek
(allocated) (93,797,867)

Less: Pay OVH-Insurance (2,114,004)


Salaries & Wages (Gen & Adm) 2,777,620,965
Less: Pay OVH-Astek (75,812,815)
Less: Pay OVH-Insurance (11,834,802) 9,249,236,867
Management
Incentives : 960,240,664
Stock Appreciation (SOP)
Management 1,990,356,385 2,950,597,049
Jumlah
Incentives 18,008,082,388
b. Objek PPh Pasal 21 pada
SPT PPh Ps. 21: Pada KPP 8,906,274,371
PMA Satu
48

Pada KPP Madya Tangerang 5,514,864,001


Pada KPP Tebingtinggi 89,804,543
Jumlah 14,510,942,915
Selisih (a-b) 3,497,139,473

Koreksi menurut Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan, alasan koreksi

Peneliti / Fiskus berdasarkan Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan Nomor:

BA-462/PJ.071/2009 tanggal 18 Juni 2009. Dimana selisih yg terjadi sebesar

Rp 3,715,337,532 adalah obyek PPh Pasal 21.

PT. MONAGRO KIMIA tidak menyertakan bukti-bukti dan

perhitungan equalisasi antara biaya-biaya yang dimungkinkan menjadi obyek

PPh Pasal 21 di SPT PPh badan dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21 serta

tidak dapat membuktikan bahwa rincian biaya yang bukan merupakan obyek

PPh Pasal 21 Tahun 2006 menurut Pemohon Banding sebesar

Rp3,715,337,532 adalah obyek PPh Pasal 21 yang dikoreksi oleh Pemeriksa.

Dengan hasil terebut bahwasanya hakim dalam pengadilan pajak menyatakan

dan memutuskan dengan surat Nomor Put 38985 / PP / M.IV / 10 / 2012

untuk menolak koreksi pemohon banding (PT. MONAGRO KIMIA), karena

dianggap tidak adanya bukti perhitungan objek PPh 21 yang dimasukan dan

dialokasian kedalam pajak badan.

C. Putusan Mahkamah Agung Nomor 547/B/PK/PJK/2013

Putusan MA Nomor 547/B/PK/PJK/2013 dimana Direktur Jendral

Pajak, bekedudukan di Jalan Jendral Gatot Subroto No. 40-42 Jakarta, dalam

hal ini memberi kuasa kepada :


49

1. Catur Rini Widosari, Direktur Keberatan dan banding Direktorat

Jendral Pajak.

2. Budi Christiadi, Kasubid Peninjauan Kembali dan Evaluasim

Direktorat Keberatan dan Banding.

3. Heru Marhanto Utomo, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit

Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.

4. Sary Laviningrum, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali

dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.

Keempatnya berkedudukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak

Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 40-42 Jakarta. Melawan PT. MONAGRO

KIMIA, beralamat di Wisma Pondok Indah 2 Lantai 6, Jl. Sultan Iskandar

Muda Kav V-TA Pondok Indah, Jakarta 12310, yang menggunakan hakya

sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

RI No. 6 Tahun 2009 Pasal 25.

Dimana PT Monagro Kimia (selanjutnya disebut sebagai Pemohon

Banding) telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan Pembetulan ke-1

untuk Tahun Pajak 2006 yang menunjukkan posisi lebih bayar sebesar Rp.

8,738,888,746. SPT Tahunan PPh Badan tersebut diterima oleh Kantor

Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Satu (“KPP PMA I”) pada tanggal

13 Juli 2007.

SPT Tahunan PPh Badan tersebut, KPP PMA I menerbitkan Surat

Perintah Pemeriksaan Pajak (“SP3”) Nomor: PRINT-PSL-330 / WPJ.07 /

KP.0205/2007 tertanggal 30 Mei 2007 dengan tujuan pemeriksaan adalah


50

untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Tahun Pajak

2006 yang meliputi semua jenis pajak.

Sebagai hasil dari pemeriksaan tersebut, KPP PMA I menerbitkan

surat ketetapan pajak atas semua jenis pajak. Salah satu dari ketetapan pajak

tersebut adalah SKPKB PPh Pasal 21 Nomor: 00042 / 201 / 06 / 052 / 08

tanggal 11 Juli 2008. Berikut perincian atas pajak kurang bayar yang di

layangkan KKP PMA I :

Tabel 1.3

Surat Keterngan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21


Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008.

Dengan kekurangan pembayaran pajak sebagaimana tercantum di

SKPKB (Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar) PPh Pasal 21 dengan tabel

tesebut, Pemohon Banding telah melunasinya melalui Surat Setoran Pajak

(“SSP”) ke Kas Negara degan cara mengangsur pada tanggal pada tanggal 11

Agustus 2008 sejumlah Rp. 684,290,573 dan pada tanggal 15 Oktober 2008

Rp.684,290,573, terbilang (Enam Ratus Delapan Puluh Empat Juta Dua Ratus

Sembilan Puluh Ribu Lima Ratus Tujuh Puluh Tiga Rupiah). Setelah itu

Pemohon Banding tidak setuju dengan hasil pemeriksaan sebagaimana

tercantum di SKPKB PPh Pasal 21 Nomor: 00042 / 201 / 06 / 052 / 08


51

tanggal 11 Juli 2008 tersebut. Oleh karena itu, PT. MONAGRO KIMIA

mengajukan keberatan ke KPP PMA I pada tanggal 3 September 2008

melalui surat permohonan Nomor: MK / Sep-08 / 57 tertanggal 3 September

2008 yang diterima oleh KPP PMA I pada hari yang sama.

Sebagaimana tanggapan atas surat keberatan tersebut, Terbanding

menerbitkan Keputusan Terbanding Nomor: KEP-695 / PJ.07 / 2009 tanggal

1 September 2009 tentang keberatan atas SKPKB PPh Pasal 21 Nomor:

00042 / 201 / 06 / 052 / 08 tanggal 11 Juli 2008, yang menolak keberatan

Pemohon Banding. Berikut ini perincian tersebut :

Tabel 1.4

Keputusan Terbanding Nomor: KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1

September 2009 tentang keberatan atas Surat Keterngan Pajak Kurang

Bayar PPh Pasal 21 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008

Perlu diketahui bahwa selama proses keberatan, Peneliti (Fiskus) telah

mengirimkan undangan untuk diskusi dengan surat Nomor: S-3621 / PJ.0711

/ 2009 tanggal 21 April 2009 yang Pemohon Banding terima pada tanggal 29

April 2009. Namun, dikarenakan keterlambatan pengiriman undangan

tersebut, Pemohon Banding tidak dapat menghadiri diskusi dengan Peneliti.

Hal tersebut pun telah Pemohon Banding sampaikan kepada Peneliti.


52

selanjutnya, Peneliti kembali mengirimkan undangan dengan surat Nomor:

S-4575 / PJ.0711 / 2009 tanggal 5 Juni 2009, yang Pemohon Banding terima

pada tanggal 23 Juni 2009 dan Pemohon Banding dapat menghadiri undangan

Peneliti (Fiskus) tersebut. Namun undangan tersebut ternyata tidak untuk

mendiskusikan materi keberatan Pemohon Banding dan Pemohon Banding

diminta untuk menandatangani Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan tanpa

adanya diskusi terlebih dahulu;

Dasar Hukum yang sesuai dengan Pasal 27 Undang-Undang (“UU”)

Nomor: 9 Tahun 1994 stdd. UU Nomor: 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan

Umum Perpajakan dan UU Nomor: 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak,

Pemohon Banding mengajukan banding atas keputusan Terbanding Nomor:

KEP-695 / PJ.07 / 2009 tanggal 1 September 2009 tentang Keberatan atas

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21 Nomor: 00042 / 201 / 06 /

052 / 08 tanggal 11 Juli 2008 Tahun Pajak 2006.

Dimana PT. MONAGRO KIMIA mengajukan banding atas koreksi

pada Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 (“DPP PPh Pasal 21”)

sebesar Rp. 2,159,779,821 sebagaimana tercantum di SKPKB PPh Pasal 21

Nomor: 00042 / 201 / 06 / 052 / 08 tanggal 11 Juli 2008 Tahun Pajak 2006.

Sebelumnya Pemohon Banding tidak dapat membuktikan sebagaimana

rincian biaya yang bukan merupakan obyek PPh Pasal 21 Tahun 2006,

menurut Pemohon Banding sebesar Rp. 3,715,337,532 adalah obyek PPh

Pasal 21 yang dikoreksi oleh Pemeriksa;


53

Pihak PT. MONAGRO KIMIA mengajukan banding atas koreksi

pada DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp. 2,159,779,821 dengan alasan SPHP, total

koreksi Terbanding atas DPP PPh Pasal 21 adalah sebesar Rp. 3,497,139,472

yang dialokasikan ke masing-masing tempat kedudukan / KPP di mana

perusahaan Pemohon Banding terdaftar yaitu KPP PMA I, KPP Madya

Tangerang dan KPP Tebing Tinggi. Terbanding mengalokasikan besarnya

DPP PPh Pasal 21 menurut Terbanding berdasarkan persentase DPP PPh

Pasal 21 sebagaimana tercantum pada SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang

Pemohon Banding laporkan ke masing-masing KPP / 052 / 08 tanggal 11

Juli 2008.

Tabel 1.5

Keterngan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21


Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008.

Alasan koreksi PT. MONAGRO KIMIA Terbanding berdasarkan Surat

Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (“SPHP”) Nomor: PHP-PSL-418 / WPJ.07

/ WPJ.07 / KP.0205 / 2008 tanggal 30 Juni 2008. Berdasarkan hasil

perhitungan equalisasi, terdapat obyek pajak yang belum dilaporkan

sebesar Rp.3,497,139,472. Argumentasi Pemohon Banding akan Pemohon

Banding lakukan berdasarkan pendekatan nilai total DPP PPh Pasal 21.
54

Berikut ini equalisasi PPh Pasal 21 yang Pemohon Banding buat dengan

menggunakan pendekatan nilai total tersebut:

Gambar 1.3

Argumentasi Pembelaan Objek Pajak PT. Monagro Kimia

1. Pembayaran ke PT Adikarindo (Pemberi Jasa Outsourcing) pembayaran

ke PT Adikarindo sebesar Rp.2,952,510,717 (Rp.2,717,850,181 + Rp.


55

234,660,536) merupakan pembayaran atas jasa penyalur tenaga kerja

(outsourcing) dan Pemohon Banding telah memotong PPh Pasal 23 atas

pembayaran tersebut. Dikarenakan tenaga kerja yang disalurkan

merupakan karyawan PT Adikarindo sehingga Pemohon Banding tidak

mempunyai kewajiban untuk memotong PPh Pasal 21 atas pembayaran

gaji dan THR tersebut.

2. Housing subsidy Bahwa Pemohon Banding telah membuat koreksi fiskal

di SPT Tahunan PPh Badan atas biaya housing subsidy sehingga biaya

tersebut harus dikeluarkan dari rekonsiliasi PPh Pasal 21.

3. Salaries allocated bahwa salaries allocated merupakan biaya penyesuaian

atas total pembayaran gaji yang Pemohon Banding lakukan sehingga

harus diperhitungkan di rekonsiliasi PPh Pasal 21.

4. Jamsostek JKM dan JKK Bahwa Terbanding seharusnya

memperhitungkan pembayaran Jamsostek untuk JKM dan JKK sebesar

Rp. 67,552,848 (Rp. 58,600,812 + Rp. 8,952,036) di rekonsiliasi PPh

Pasal 21 sehingga Pemohon Banding menambahkannya ke dalam

rekonsiliasi PPh Pasal 21 dari penjelasan Pemohon Banding di atas, maka

koreksi pada DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp. 2,159,779,821 harus

dibatalkan.

Hasil dari kesimpulan tersebut berdasarkan hasil uji bukti materi

dipersidangan diketahui sebagai berikut :

Dari Objek PPh Pasal 21 cfm yang di periksa oleh pemeriksa sebesar

Rp.18.008.082.387 Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon


56

Banding) menunjukkan Ledger terkait Direct Labour sebesar

Rp.4.798.499.621 Salary Wages (Selling) sebesar Rp.5.979.392.945 Salary &

Wages (Gen & Adm.) sebesar Rp.2.779.138.965 yang didalamnya terdapat

beberapa akun Salary Third Party Contract sebesar Rp.2.717.850.181.

Dari data/bukti/dokumen yang disampaikan Termohon Peninjauan

Kembali (semula Pemohon Banding / PT. MONAGRO KIMIA) tersebut,

sehingga akun-akun yang terkait sebesar Rp.2.717.850.181 merupakan

pembayaran atas outsourcing penyediaan tenaga kerja kepada pihak ketiga,

yaitu PT. Multi Global Adikarindo, yang menurut Termohon Peninjauan

Kembali (semula Pemohon Banding)sudah dipotong PPh Pasal 23 baik di

KPP PMA Satu maupun KPP Madya Tangerang.

Didalam proses uji bukti dipersidangan tersebut, Termohon

Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding / PT. MONAGRO KIMIA)

tidak dapat menunjukkan asli kontrak/perjanjian outsourcing dengan PT.

Multi Global Adikarindo beserta bukti/dokumen pembayarannya, Secara

material, terdapat perbedaan rincian biaya yang bukan objek PPh Pasal 21

menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan

koreksi Objek PPh Pasal 21 menurut Pemohon Peninjauan Kembali (semula

Terbanding) termasuk jumlah nominalnya.

Setelah dinyatakan Pembuktian Termohon Peninjauan Kembali tidak

dapat menunjukkan asli kontrak/perjanjian outsourcing dengan PT. Multi

Global Adikar indo beserta bukti/dokumen pembayarannya, dalam Kitab

Undang-undang Hukum Perdata; Buku ke Empat Tentang Pembuktian Dan


57

Daluwarsa; Bab II tentang Pembuktian Dengan Tulisan; Pasal 1888,

menyatakan “Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta

aslinya.” Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta

ikhtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta

ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat

diperintahkan mempertunjukkannya.

Berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di

atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata

bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quoterkait

sengketa koreksi DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp1.774.878.360 tidak

berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

tidak berdasarkan hasil penilaian pembuktian, sehingga pertimbangan dan

amar putusan Majelis Hakim pada PT. MONAGRO KIMIA sengketa

banding di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru serta tidak

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra

legem), khususnya dalam bidang perpajakan. Oleh karena itu maka Putusan

Pengadilan Pajak Nomor: Put. 38985/PP/M.IV/10/2012 tanggal 28 Juni 2012

menyangkut sengketa koreksi DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp1.774.878.360

Hakim Menyatakan bahwa, terhadap alasan-alasan peninjauan

kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwasanya, alasan-alasan

dari peninjauan kembali tersebut tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan

hukum dan putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan sebagian

permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur


58

Jenderal Pajak Nomor : KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009

tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak

Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006.

Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008, atas nama

Pemohon Banding sekarang Termohon Peninjauan Kembali / PT.

MONAGRO KIMIA, sehingga jumlah PPh yang masih harus dibayar

dihitung kembali menjadi Rp. 818.534.430 adalah sudah tepat dan benar.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas,

maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon

Peninjauan Kembali : Direktur Jenderal Pajak tersebut adalah tidak beralasan,

sehingga harus ditolak.

Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon Peninjauan Kembali

dipihak yang kalah, maka harus dihukum untuk membayar biaya perkara

dalam peninjauan kembali yang besarnya sebagaimana tersebut dalam

putusan ini. Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Undang- Undang Nomor 14

Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan

lain yang bersangkutan Menolak permohonan peninjauan kembali dari

Pemohon Peninjauan Kembali DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut.


BAB IV

ANALISA KASUS SENGKETA PAJAK PT. MONAGRO KIMIA PUTUSAN

MA Nomor. 574/BPJK/2013

A. Kewajiban Pembayar PPh 21 Pegawai Outsorcing PT. MONAGRO


KIMIA Dalam Kasus Sengketa Pajak

Pekerja PT. MONAGRO KIMIA dalam kasus pajak Putusan

Mahakamah Agung Nomor. 574/B/PK/PJK/2013 alasan PT. MONAGRO

KIMIA menggunakan pekerja outsourcing. Outsourcing terbagi atas dua

suku kata out dan sourcing. Sourcing berarti mengalihkan kerja, tanggung

jawab dan keputusan kepada orang lain. Outsourcing dalam bahasa Indonesia

berarti alih daya. Dalam dunia bisnis, outsourcing atau alih daya dapat

diartikan sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya

non-core atau penunjang oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain

melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa

pekerja/buruh.

Dasar hukum outsourcing adalah Undang-Undang No.13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 64 dengan isi “Perusahaan dapat

menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya

melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa

Pekerja/Buruh yang dibuat secara tertulis. Berdasarkan ketentuan pasal di

atas, outsourcing dibagi menjadi dua jenis:

1. Pemborongan pekerjaan

59
60

Yaitu pengalihan suatu pekerjaan kepada vendor outsourcing, dimana

vendor bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pekerjaan yang

dialihkan beserta hal-hal yang bersifat teknis (pengaturan oerasional)

maupun hal-hal yang bersifat non-teknis (administrasi kepegawaian).

Pekerjaan yang dialihkan adalah pekerjaan yang bisa diukur volumenya,

dan fee yang dikenakan oleh vendor adalah rupiah per satuan kerja

(Rp/m2, Rp/kg, dsb.). Contoh: pemborongan pekerjaan cleaning service,

jasa pembasmian hama, jasa katering, dsb.

2. Penyediaan jasa Pekerja/Buruh

Yaitu pengalihan suatu posisi kepada vendor outsourcing, dimana vendor

menempatkan karyawannya untuk mengisi posisi tersebut. Vendor hanya

bertanggung jawab terhadap manajemen karyawan tersebut serta hal-hal

yang bersifat non-teknis lainnya, sedangkan hal-hal teknis menjadi

tanggung jawab perusahaan selaku pengguna dari karyawan vendor.

Jadi kegiatan outsourcing adalah kegiatan penyediaan jasa pekerja /

buruh, dimana pekerja / buruh dikontrak oleh perusahaan penyedia jasa dan

ditempatkan pada perusahaan pengguna jasa. Karyawan outsourcing

merupakan karyawan perusahaan penyedia jasa bukan karyawan perusahaan

pengguna jasa, dan perusahaan penyedia jasa melakukan pembayaran secara

langsung gaji, upah, honorarium, tunjangan dan sejenisnya kepada karyawan

outsourcing-nya.

Sesuai peraturan perundangan, karyawan outsourcing setidaknya

memiliki hak sebagai berikut:


61

1. Upah minimum

Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia

Nomor: PER-01/MEN/1999 Tentang Upah Minimum.

2. Upah kerja lembur

Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Republik Indonesia Nomor: KEP-102/MEN/VI/2004 Tentang Waktu

Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.

3. Tunjangan Hari Raya (THR)

Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia

Nomor: PER-04/MEN/1994 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan

Bagi Pekerja di Perusahaan.

4. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)

Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia

Nomor: KEP-150/MEN/1999 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan

Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Oleh karena itu, sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor:

SE-05 / PJ.53 / 2003, outsourcing tidak masuk kedalam jenis barang dan jasa

yang tidak dikenakan PPN, sehingga wajib membayar PPN. Dasar pengenaan

pajak adalah sebesar seluruh tagihan yang diminta oleh vendor outsourcing

kepada perusahaan termasuk tagihan atas upah dan perjanjian dari sistem

keuangan yang di perjanjikan sebelumnya (management fee).


62

Sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 huruf k Peraturan Menteri Keuangan

Nomor: 244/PMK.03/2008, jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services)

termasuk jasa lain yang dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen)

dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. Lebih lanjut dalam Surat Edaran

Nomor: SE-53/PJ/2009 yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah jumlah

seluruh penghasilan tidak termasuk pembayaran gaji, upah, honorarium,

tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan

pekerjaan yang dibayarkan oleh penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja

yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa.1

Pembayaran tersebut harus dapat dibuktikan dengan kontrak kerja

dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran

lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud.

Berdasarkan peraturan diatas, maka jumlah bruto yang dimaksud adalah jasa

manajemen (management fee) dalam perusahaan penyedia jasa outsourcing

tidak termasuk gaji karyawan. Contoh :

Misalnya dalam kontrak yang diterbitkan oleh perusahaan penyedia jasa

tenaga kerja (outsourcing services), menyebutkan upah karyawan Rp 10.000

dan manajemen fee Rp 1.000 maka penghitungan pajaknya sebagai berikut:

Upah Karyawan : Rp 10.000

Manajemen Fee : Rp 1.000

Jumlah tagihan : Rp 11.000

PPN 10% dari tagihan : (Rp 11.000 x 10%) = Rp 1.100

1
M.Nur Rianto Al Arif, dkk, Teori Mikroekonomi Suatu Perbandingan Ekonimi Islam
dan Ekonomi Konvensional, Cetakan Pertama, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 26.
63

PPh Pasal 23 yang harus dipotong 2% dari manajemen fee: (Rp 1.000 x 2%)

= Rp 20 jadi jumlah yang dibayarkan setelah dipotong PPh Pasal 23: (Rp

11.000 + Rp 1.100 - Rp 20) = Rp 12.080

Pencatatannya adalah:

Beban : Rp 11.000

PPN Masukan : Rp 1.100

Hutang PPh Pasal 23 : (Rp 20)

Kas : Rp 12.080

Untuk Pajak (PPh Pasal 21) perihal karyawan outsourcing dipotong

dan dilaporkan oleh Perusahaan penyedia outsourcing tersebut. Perusahaan

sebagai pengguna jasa hanya memotong PPh Pasal 23 atas Fee yang ditagih

oleh Perusahaan outsourcing Sedangkan PPN Masukan yang ditagih olehnya

atas Tagihan Salary ditambah Fee. Seperti contoh diatas maka pembayaran

perushaan pemakai jasa outsourcing wajib membayar sebesar RP.12.080

kepada pemberi jasa outsourcing setiap bulannya.

Dalam kasus ini PT. MONAGRO KIMIA menjelaskan kedalam

pembukuan perhitungan keuntungan (profit) dan perpajakannya dalam

perhitungan sebulan, bahwasanya menggunakan pekerja outsourcing, dalam

kasus pajak Putusan Mahakamah Agung Nomor. 574/B/PK/PJK/2013 dengan

penjelasan sebagai berikut, :

1. Pembayaran ke PT Adikarindo sebesar Rp.2,952,510,717

(Rp.2,717,850,181 + Rp. 234,660,536) merupakan pembayaran atas jasa

penyalur tenaga kerja (outsourcing) dan Pemohon Banding telah


64

memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran tersebut. Dikarenakan tenaga

kerja yang disalurkan merupakan karyawan PT Adikarindo sehingga

Pemohon Banding tidak mempunyai kewajiban untuk memotong PPh

Pasal 21 atas pembayaran gaji dan THR tersebut.

2. Housing subsidy Bahwa Pemohon Banding telah membuat koreksi fiskal

di SPT Tahunan PPh Badan atas biaya housing subsidy sehingga biaya

tersebut harus dikeluarkan dari rekonsiliasi PPh Pasal 21.

3. Salaries allocated bahwa salaries allocated merupakan biaya penyesuaian

atas total pembayaran gaji yang Pemohon Banding lakukan sehingga

harus diperhitungkan di rekonsiliasi PPh Pasal 21.

4. Jamsostek JKM dan JKK Bahwa Terbanding seharusnya

memperhitungkan pembayaran Jamsostek untuk JKM dan JKK sebesar

Rp. 67,552,848 (Rp. 58,600,812 + Rp. 8,952,036) di rekonsiliasi PPh

Pasal 21.

Dengan rincian gambar sebagai berikut :


65

Gambar 1.3

Argumentasi Pembelaan Objek Pajak PT. Monagro Kimia

Sehingga Pihak PT. MONAGRO KIMIA menambahkannya ke dalam

rekonsiliasi PPh Pasal 21, dari penjelasan PT. MONAGRO KIMIA di atas,

maka koreksi pada DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp. 2,159,779,821. Terbilang

(Dua Miliar Seratus Lima Puluh Sembilan Juta Tujuh Ratus Tujuh Puluh

Sembilan dan Delapan Ratus Dua Puluh Satu Rupiah) Masuk kedalam

pembukuan sesuai perhitungan dengan undang-undang yang berlaku.


66

Akan tetapi alasan PT. MONAGRO KIMIA tersebut dinyatakan tidak

benar dikarenakan bukti terkait kontrak kerja yang di adakan dalam sidang

pengadilan pajak tidak disertakan dan alasan koreksi peneliti / fiskus

berdasarkan Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan Nomor: BA-

462/PJ.071/2009 tanggal 18 Juni 2009 Setelah dinyatakan pembuktian

tersebut tidak dapat menunjukkan asli kontrak/perjanjian outsourcing dengan

PT. Multi Global Adikar Indo beserta bukti/dokumen pembayarannya. Dalam

kata lain PT. MONAGRO KIMIA tidak menyertakan bukti-bukti dan

perhitungan equalisasi antara biaya-biaya yang dimungkinkan menjadi obyek

PPh Pasal 21 di SPT PPh badan dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21 dan tidak

dapat membuktikan bahwa rincian biaya yang bukan merupakan obyek PPh

Pasal 21 Tahun 2006 PT. MONAGRO KIMIA.

B. Penyelesaian Kasus Putusan MA. Nomor. 574/B/PK/PJK/2013

Setelah PT. MONAGRO KIMIA menggunakan hak-haknya dalam

sengketa pajak, pada akhirnya peninjauan kembali PT MONAGRO KIMIA

dapat diselesaikan di Mahkamah Agung dan telah mendapatkan kekuatan

hukum tetap dengan Kasus Putusan MA. Nomor. 574/B/PK/PJK/2013 dalam

peninjauan kembali ini Mahkamah Agung menolak atas peninjauan kembali

PT MONGRO KIMIA pada tanggal 24 Januari 2014.

Menimbang alasan-alasan peninjauan kembali tersebut tidak dapat

dibenarkan karena pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Pajak yang

sebelumnya mengabulkan banding yang dilyangkan oleh pihak PT.


67

MONAGRO KIMIA terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Keputusan

Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September

2009 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak

Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006 Nomor: 00042/201/06/052/08

tertanggal 11 Juli 2008, atas nama Pemohon Banding (PT MOAGRO

KIMIA) sekarang Termohon Peninjauan Kembali, sehingga jumlah PPh yang

masih harus dibayar dihitung kembali menjadi Rp. 818.534.430 terbilang

(Delapan Ratus Delapan Belas Juta Lima Ratus Tiga Puluh Empat Ribu

Empat Ratus Tiga Puluh Rupiah), menurut penulis adalah sudah tepat dan

benar dengan pertimbangan.

Bahwa alasan koreksi / peneliti / fiskus obyek PPh Pasal 21 sebesar

Rp. 1.774.878.360 terbilang (Satu Miliar Tujuh Ratus Juta Tujuh Puluh

Empat Juta Delapan Ratus Tujuh Puluh Delapan Ribu dan Tiga Ratus Enam

Puluh Rupiah) tidak dapat dibenarkan, serta hakim menimbang selama proses

keberatan bahwasanya dengan, peneliti dari KPP PMA I kembali

mengirimkan undangan dengan surat Nomor: S-4575/PJ.0711/2009 tanggal 5

Juni 2009, yang terima pada tanggal 23 Juni 2009 oleh pihak yang terkait

yaitu PT. MONAGRO KIMIA untuk dapat menghadiri undangan Peneliti

tersebut. Namun undangan tersebut ternyata tidak untuk mendiskusikan

materi keberatan dan setelahnya PT. MONAGRO KIMIA diminta untuk

menandatangani Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan tanpa adanya

diskusi terlebih dahulu, hasil ini dinggap telah menyalahi aturan yang ada
68

oleh PT. MONAGRO KIMIA sebagaimana hukum tidak berjalan sesuai yang

diharapkan.

Berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di

atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata

bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quoterkait

sengketa koreksi DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp1.774.878.360 tidak

berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

tidak berdasarkan hasil penilaian pembuktian, sehingga pertimbangan dan

amar putusan Majelis Hakim pada Pemohon Peninjauan Kembali (semula

Terbanding) sengketa banding dipengadilan pajak dengan nyata-nyata telah

salah dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang perpajakan.

Karena dominus litis2 yang terungkap dari bukti-bukti yang

disampaikan Pemohon Banding (Termohon Peninjauan Kembali / PT.

MONAGRO KIMIA) dalam persidangan dari sebagian bukti sebesar a quo3

telah diyakini kebenarannya oleh Mejelis Pengadilan Pajak, oleh karenanya

koreksi Terbanding (Pemohon Peninjauan Kembali / PT. MONAGRO

KIMIA) untuk sebagian sebesar dari alasan-alasan terkait degan penijauan

kembali yang hinggal 11 butir tersebut a quo tidak dapat dipertahankan.

Dari sini penulis sependapat dengan pertimbangan Hakim yang telah

disebutkan di atas. Sebelumnya alasan peninjauan kembali ini berkaitan

2
Dalam kamus hukum berarti Hakim yang menentukan suatu perkara layak diperiksa
atau tidak
3
Dalam kamus hukum berarti “tersebut”. Perkara a quo berarti perkara tersebut, perkara
yang sedang diperselisihkan.
69

dengan ini merupakan hasil dari kesalahan hitung atau SPT Tahunan,

mungkin terdapat kekeliriuan atau kesalahan dalam pengisian dari pihak PT.

MONAGRO KIMIA dalam perihal pajak PPh 21, sistem penerapan dari

sistem self assesment dari PT. MONAGRO KIMIA kurang tepat dalam

menghitung besarnya pajak yang terkait dalam pengeluran pajak mereka.

Bahwasanya apabila berdasarkan pembetulan SPT, ternyata terdapat

kekurangan pembayaran pajak, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan sanksi

bunga berdasarkan Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (2a) Undang-Undang Ketentuan

Umum Perpajakan.

Selanjutnya dimana fakta dari persidangan Mahkamah Agung

menunjukkan bahwa sebagian besar Wajib Pajak masih enggan membayar

pajak dengan benar, karena menggangap perhitungan sudah benar. Mereka

akan selalu berusaha untuk mengelak dari pembayaran pajak. Oleh karena itu,

dalam sistem self assessment ini keberadaan basis data perpajakan yang

lengkap dan akurat sangat penting bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Data ini akan digunakan untuk membuktikan bahwa penghitungan,

penyetoran dan pelaporan pajak yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak

sudah benar. Apabila diketahui masih salah, maka data tersebut akan

digunakan sebagai dasar tindakan koreksi.

Selanjutnya dari segi pembuktian, Pihak pemohohon peninjauan

kembali atau PT. MONAGRO KIMIA yang sebelumnya di saat banding atau

pengadilan pajak tidak bisa menunjukan surat kontrak kerja / perjanjian

outsourching dengan PT Mulyti Global Adikarindo beserta bukti


70

pembayarannya. Bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; Buku

ke Empat Tentang Pembuktian Dan Daluwarsa; Bab II tentang Pembuktian

Dengan Tulisan; Pasal 1888, menyatakan: Kekuatan pembuktian suatu bukti

tulisan adalah pada akta aslinya.

Hakim Mahkamah Agung mengangap bahwasanya bukti yang di

perlihatkan pada sidang sekarang mungkin barulah dibuat dalam jangka

waktu setelah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-

695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang Keberatan atas Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006

tersebut. Dengan kata lain PT. MONAGRO KIMIA tidak ingin merelakan

sebagian hartanya untuk membayar pajak demi menjaga profit atau

keuntungan semata, dan bahwasnya membayar pajak itu termasuk kedalam

pembangunan negara, yang selanjutnya akan dinikmati oleh PT. MONAGRO

KIMIA sendiri.

Islam mengajarkan bahwa Allah SWT melarang hamba-Nya saling

memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak

adalah merupakan dzakat dalam islam sama halnya dengan baitulmal pada

zaman Rasulullah SAW, maka dari itu jagalah salah satu jalan tersbut agar

terhindar dari yang batil untuk memakan harta sesamanya apabila dipungut

tidak sesuai aturan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat

29:

ً‫ِﻻ أَن ﺗَﻜُﻮنَ ﺗِ َٰﺠ َﺮة‬


ٓ ‫ٰ ٓﯾَﺄَﯾﱡﮭَﺎ ٱﻟﱠﺬِﯾﻦَ ءَا َﻣﻨُﻮ ْا َﻻ ﺗَ ۡﺄ ُﻛﻠُﻮٓ ْا أَﻣۡ َٰﻮﻟَﻜُﻢ ﺑَﯿۡ ﻨَﻜُﻢ ﺑِﭑﻟۡ َٰﺒ ِﻄ ِﻞ إ ﱠ‬
٢٩
71

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan

harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan

yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu

membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang

kepadamu.” [QS An-Nisa : 29]

Adapun dalil secara khusus yang mengancam apabila pajak tidak dipungut

dengan benar, karena pajak merupakan suatu kewajiban seperti halnya dzakat

maka dari itu Rasulullah bersabda:

‫ﺲ ﻓِﻰ اﻟﻨﱠﺎ ِر‬


ِ ‫إِنﱠ ﺻَﺎﺣِﺐَ ا ْﻟ َﻤ ْﻜ‬
“Sesungguhnya pelaku atau pemungut pajak (diadzab) di neraka”

[HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985

tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang

Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan lain yang

bersangkutan, maka dari itu Bahwa alasan-alasan peninjauan kembali tersebut

tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan hukum.

Maka sesuai dengan keputusan hakim Mahkamah Agung kembali

menetapkan dan menguatkan putusan pengadilan jak sebelumnya, bahwa PT

MONAGRO KIMIA dikenakan sanksi bunga / administrasi dalam

pembayaran pajak berdasarkan Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (2a) dan pasal 18
72

Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan. “Surat Tagihan Pajak, Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,

Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan

jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar

penagihan pajak”

Selanjutnya dimana sanksi tersebut dapat diangsur sesuai dengan

pasal 19 ayat (1) dan (2) “Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan

Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan

Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus

dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang

dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi

administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh

masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal

pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari

bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.”

“Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda

pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%

(dua persen) perbulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian

dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.”

Dengan demikian, utusan pengadilan pajak adalah perbuatan hukum

yang dilakukan oleh hakim sebagai akhir dari penyelesaian sengketa pajak
73

dan merupakan manifestasi dari kewenangannya. Sekalipun putusan

merupakan manifestasi tanggung jawab hakim dalam memeriksa sengketa

pajak. Putusan ditetapkan karena hasil penilaian pembuktian, berdasarkan

peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, dan keyakinan

hakim.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab

sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan diantaranya sebagai berikut:

1. Karyawan outsourcing merupakan karyawan perusahaan penyedia jasa

bukan karyawan perusahaan pengguna jasa, dan perusahaan penyedia jasa

melakukan pembayaran secara langsung gaji, upah, honorarium,

tunjangan dan sejenisnya kepada karyawan outsourcing-nya. Untuk Pajak

(PPh Pasal 21) perihal karyawan outsourcing dipotong dan dilaporkan

oleh Perusahaan penyedia outsourcing tersebut. Perusahaan sebagai

pengguna jasa hanya memotong PPh Pasal 23 atas gaji karyawan (Fee)

yang ditagih oleh Perusahaan outsourcing Sedangkan PPN Masukan yang

ditagih olehnya atas Tagihan Salary ditambah Fee. Pembayaran tersebut

harus dapat dibuktikan dengan kontrak kerja dan daftar pembayaran gaji,

upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan

sehubungan dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud.

2. Bahwasanya apabila berdasarkan pembetulan SPT, ternyata terdapat

kekurangan pembayaran pajak, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan

sanksi bunga berdasarkan Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (2a) Undang-Undang

Ketentuan Umum Perpajakan. Berdasarkan Pasal 8 Ayat (2a) Undang-

Undang KUP Nomor 6 Tahun 2009, pembetulan SPT Masa yang

74
75

mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, terhadap Wajib Pajak

dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per

bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo

pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan

dihitung penuh 1 (satu) bulan. Dalam Pengajuan Persyaratan di tingkat

keberatan, pemenuhan persyaratan keberatan, wajib pajak hanya

memperhatikan tenggang waktu yang ditentukan yakni 3 (tiga) bulan serta

kelengkapan penyampaian atau isi surat keberatan tersebut. Walaupun

keberatan tidak menunda tindakan penagihan, akan tetapi wajib pajak bisa

menginformasikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat untuk

mempertimbangkan pengajuan keberatan yang sedang diprosesnya. Dan

wajib pajak tidak perlu untuk melunasi dahulu utang pajaknya. Di tingkat

banding, persyaratan formal suatu sengketa untuk dapat diproses selain

format surat banding yang diajukan, wajib pajak harus melaksanakan

pelunasan pajak terutangnya sebesar 50% (lima puluh persen).

Sebagaimana bahwa dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata; Buku

ke Empat Tentang Pembuktian Dan Daluwarsa; Bab II tentang

Pembuktian Dengan Tulisan; Pasal 1888, menyatakan: Kekuatan

pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya.

B. Saran

Pada akhir penulisan ini, penulis mengemukakan beberapa saran diantaranya

sebagai berikut:
76

Solusi untuk mengurangi kesalahan dalam pengisian SPT terhadap para

pelaku usaha / Wajib Pajak dan pemerintah untuk mengurangi kesalahan-

kesalahan yang terjadi. :

Untuk Pemerintah dan Kantor Pelayanan Pajak

1. Dengan melakukan sosialisasi peraturan perpajakan melalui forum-

forum penyuluhan, selebaran pamflet, papan pengumuman di KPP

masing-masing daerah, maupun penjelasan langsung kepada Wajib

Pajak pada saat melaporkan SPT masa ke KPP.

2. Memberi buku petunjuk untuk pengisian SPT Tahunan bersamaan

dengan pengiriman SPT Tahunan kepada Wajib Pajak.

3. Upaya persuasif dengan memanggil Wajib Pajak untuk memperbaiki

SPT Tahunannya disertai dengan pemberian penjelasan tata cara

pengisian SPT Tahunan yang benar.

4. Terus meningkatkan kemampuan aparatur pajak dalam melaksanakan

tugas membantu dan melayani Wajib Pajak untuk dapat menunaikan

kewajibannya.

5. Upaya yang bersifat eksternal yaitu dengan cara berhubungan dengan

dunia luar, baik wajib pajak maupun instansi-instansi yang terlibat

6. Sedikit upaya koordiansi internal, yang diwujudkan dalam bentuk

Rapat Pembinaan (rapem). Rapat Pembinaan itu sendiri ada Rapat

Pembinaan I dan Rapat Pembinaan II, Selain Rapat Pembinaan, ada

juga yang disebut Pengawasan internal.


77

Untuk Wajib Pajak

Sementara upaya yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak

adalah dengan berpartisipasi aktif untuk mengetahui segala macam

perubahan atau peraturan yang baru/up to date. Hal ini bisa dilakukan

dengan bertanya kepada pihak-pihak yang terkait, mencari, membaca,

mendengarkan informasi terkait dengan perpajakan melalui berbagai

media yang ada.


78

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Al Arif, M.Nur Rianto, dkk. Teori Mikroekonomi Suatu Perbandingan Ekonomi


Islam dan Ekonomi Konvensional, Cetakan Pertama. Jakarta : Kencana, 2010

Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi.


Jakarta : BIP, 2007

B. Ilyas. Wirawan, dkk. Hukum Pajak Material 1 Seri Pajak Penghasilan, Cetakan
Pertama. Jakarta : Salemba Humanika, 2011

Boediono. B. Perpajakan Indonesia, Cetakan Pertama. Jakarta : Diadit Media, 2001

Bohari, Pengantar Hukum Pajak. Jakarta : PT Raja Gravindo Persada, 2004

Eceng, dkk. Etika Bisnis dalam Perpajakan Edisi 1, Cetakan Ke-2. Jakarta :
Universitas Terbuka, 2010

Indrianti S, Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan 1. Jakarta : Kansius, 2010

Mardiasmo. Pepajakan Edisi Revisi 2011. Cetakan Keenam. Yogyakarta : Andi,


2011

Marzuki, Peter Mahmud. Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketujuh. Jakarta :


Kencana, 2011

Pudyatmoko, Sri. Pengantar Hukum Pajak. Yogyakarta : Andi, 2012

______________. Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, Edisi


Revisi, Cetakan Pertama. Jakarta : Gramedia 2009

Resmi, Siti. Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8 Buku 1, Cetakan Pertama. Jakarta :
Salemba Empat, 2014

Rusjdi, Muhammad. KUP (Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan) Edisi


Keempat, Cetakan Pertama. Jakata : Indeks, 2007

Siahaan, Mahirot Pahala. Hukum Pajak Formal. Cetakan Pertama, Yogyakarta:


Graha Ilmu 2010

Siauw Jan, Tjia. Pengadilan Pajak : Upaya Kepastian Hukum dan Keadilan Bagi Wajib
Pajak, Cetakan Pertama, (Bandung : Alumni 2013)

Simanjuntak, P.N.H. Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta : Djhembatan,


2009

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 2010


79

Suandy, Erly. Hukum Pajak Edisi 5, Cetakan Pertama. Jakarta : Salemba Empat,
2011

___________. Perpajakan; Dilengkapi dengan Latihan Soal. Cetakan Ketiga. Jakarta


: Salemba Empat, 2008

Sumuran, Thomas. Tax Review dan Strategi Perencanaan Pajak. Jakarta : Indeks,
2013

_______________. Perpajakan Indonesia Pendoman Perpajakan Yang lengkap


Berdasarkan Undang-Undang Terbaru, Cetakan Pertama. Jakarta: Indeks,
2010

Sutedi, Adrian. Hukum Keuangan Negara, Cetakan Keempat. Jakarta : Sinar


Grafika, 2010

Tatang, Hasanudin. PPh Pemotongan/Pemungutan. Yogyakarta: Indie Book Corner,


2013

Wahab, Abdul Azis. Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan, Cetakan


Pertama. Bandung : Alfabeta, 2012

Yousoef, Abdul Jabar. Kunci Surveyor Membidik Perkembangan Industri Domestik


Meningkatkan Penerimaan Pajak dan Royalti, Cetakan Pertama. Bandung :
Elex Kompas Gremedia, 2013

Zuraida, Ida. dkk. Penagihan Pajak Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Jakarta: Graha
Ilmu, 2011

B. JURNAL, MAKALAH, LAPORAN

Ikatan Akuntan Indoesia, Standar Akuntansi Keuangan Per Juli 2009. Jakarta :
Salemba Empat, 2009

Kartasasmita, Hussien. Menggenjot Pajak Penghasilan Sebagai Langkah Atasi


Defisit APBN 2011, (Berita Pajak, No. 1443/th XXXIII/15 Mei 2010)

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana


telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan
kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun


2009
80

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: PER-01/MEN/1999


Tentang Upah Minimum

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:


KEP-102/MEN/VI/2004 Tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja
Lembur.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: PER-04/MEN/1994


Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: KEP-150/MEN/1999


Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi
Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 244/PMK.03/2008 Tentang Pembayaran Pajak


Outsourching

D. INTERNET ATAU WEBSITE

http://www.pajak.go.id/content/article/restitusi-pengembalian-pendahuluan-pajak-
kemudahan-administrasi-ataukah-loophole.

http://www.pajak.go.id/content/seri-kup-penetapan-dan-ketetapan-pajak.

http://rumuslengkap.com/rumus-penting/tarif-pajak-penghasilan-pph-21-dan-contoh-
perhitungannya/
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

PUTUSAN
Nomor 547/B/PK/PJK/2013

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA


MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai
berikut dalam perkara :
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, berkedudukan di Jalan Jenderal Gatot
Subroto Nomor. 40-42 Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada :
1 CATUR RINI WIDOSARI, Direktur Keberatan dan Banding,
Direktorat Jenderal Pajak.
2 BUDI CHRISTIADI, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi,
Direktorat Keberatan dan Banding.
3 HERU MARHANTO UTOMO, Kepala Seksi Peninjauan
Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat
Keberatan dan Banding.
4 SARY LAVININGRUM, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan
Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
Keempatnya berkedudukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jalan
Jenderal Gatot Subroto No. 40-42 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
No. SKU-1709/PJ./2012 tanggal 25 Oktober 2012.
Pemohon Peninjauan Kembali, dahulu Terbanding;
melawan:

PT. MONAGRO KIMIA, beralamat di Wisma Pondok Indah 2 Lantai 6,


Jl. Sultan Iskandar Muda Kav V-TA Pondok Indah, Jakarta 12310, Alamat
Keputusan : Gedung Sentra Mulia Lantai 7, Jl. HR Rasuna Said Kav X-6
No. 8, Jakarta Selatan.
Termohon Peninjauan Kembali, dahulu Pemohon Banding;
Mahkamah Agung tersebut.
Membaca surat-surat yang bersangkutan.
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon
Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding telah mengajukan permohonan
peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan Pajak tanggal 28 Juni 2012
No. Put. 38985/PP/M.IV/10/2012 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam

Halaman 1 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding dengan


posita perkara sebagai berikut :

Latar Belakang
Bahwa berikut ini latar belakang pengajuan banding atas Keputusan Terbanding Nomor:
KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009;
Bahwa PT Monagro Kimia (selanjutnya disebut sebagai Pemohon Banding) telah
menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan Pembetulan ke-1 untuk Tahun Pajak 2006
yang menunjukkan posisi lebih bayar sebesar Rp8,738,888,746. SPT Tahunan PPh
Badan tersebut diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Satu
(“KPP PMA I”) pada tanggal 13 Juli 2007;
Bahwa atas SPT Tahunan PPh Badan tersebut, KPP PMA I menerbitkan Surat Perintah
Pemeriksaan Pajak (“SP3”) Nomor: PRINT-PSL-330/WPJ.07/ KP.0205/2007 tertanggal
30 Mei 2007 dengan tujuan pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2006 yang meliputi semua jenis pajak;
Bahwa sebagai hasil dari pemeriksaan tersebut, KPP PMA I menerbitkan surat
ketetapan pajak atas semua jenis pajak. Salah satu dari ketetapan pajak tersebut adalah
SKPKB PPh Pasal 21 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008 dengan
perincian sebagai berikut:

gung In
Bahwa atas kekurangan pembayaran pajak sebagaimana tercantum di SKPKB PPh Pasal
21 tersebut, Pemohon Banding telah melunasinya melalui Surat Setoran Pajak (“SSP”)
ke Kas Negara pada tanggal pada tanggal 11 Agustus 2008 sejumlah Rp. 684,290,573
dan pada tanggal 15 Oktober 2008 Rp.684,290,573,00;
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan hasil pemeriksaan sebagaimana
tercantum di SKPKB PPh Pasal 21 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli
2008 tersebut. Oleh karena itu, Pemohon Banding mengajukan keberatan ke KPP PMA
I pada tanggal 3 September 2008 melalui surat permohonan Nomor: MK/Sep-08/57
tertanggal 3 September 2008 yang diterima oleh KPP PMA I pada hari yang sama;

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

Bahwa sebagai tanggapan atas surat keberatan tersebut, Terbanding menerbitkan


Keputusan Terbanding Nomor: KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang
keberatan atas SKPKB PPh Pasal 21 Nomor: 00042/ 201/06/052/08 tanggal 11 Juli
2008, yang menolak keberatan Pemohon Banding. Berikut ini perincian keputusan
Terbanding tersebut;

gung
Bahwa perlu diketahui bahwa selama proses keberatan, Peneliti telah mengirimkan
undangan untuk diskusi dengan surat Nomor:S-3621/ PJ.0711/2009 tanggal 21 April
2009 yang Pemohon Banding terima pada tanggal 29 April 2009. Namun, dikarenakan
keterlambatan pengiriman undangan tersebut, Pemohon Banding tidak dapat menghadiri
diskusi dengan Peneliti. Hal tersebut pun telah Pemohon Banding sampaikan kepada
Peneliti;
Bahwa selanjutnya, Peneliti kembali mengirimkan undangan dengan surat Nomor:
S-4575/PJ.0711/2009 tanggal 5 Juni 2009, yang Pemohon Banding terima pada tanggal
23 Juni 2009 dan Pemohon Banding dapat menghadiri undangan Peneliti tersebut.
Namun undangan tersebut ternyata tidak untuk mendiskusikan materi keberatan
Pemohon Banding dan Pemohon Banding diminta untuk menandatangani Daftar Hasil
Akhir Penelitian Keberatan tanpa adanya diskusi terlebih dahulu;
Dasar Hukum
Bahwa sesuai dengan Pasal 27 Undang-Undang ( “UU”) Nomor: 9 Tahun 1994 stdd. UU
Nomor: 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Perpajakan dan UU Nomor: 14
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pemohon Banding mengajukan banding atas
keputusan Terbanding Nomor: KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang
Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21 Nomor:
00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008 Tahun Pajak 2006;
Pokok Permasalahan
Bahwa Pemohon Banding mengajukan banding atas koreksi pada Dasar Pengenaan
Pajak Penghasilan Pasal 21 (“DPP PPh Pasal 21”) sebesar
Rp. 2,159,779,821 sebagaimana tercantum di SKPKB PPh Pasal 21 Nomor:
00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008;

Halaman 3 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

gung
Alasan koreksi Terbanding:
1. Alasan koreksi menurut Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan
Bahwa berikut ini alasan koreksi Terbanding berdasarkan Surat Pemberitahuan Hasil
In
Pemeriksaan (“SPHP”) Nomor: PHP-PSL-418/WPJ.07/WPJ.07/ KP.0205/2008 tanggal
30 Juni 2008;

gung
Bahwa berdasarkan hasil perhitungan equalisasi, terdapat obyek pajak yang belum
dilaporkan sebesar Rp.3,497,139,472. Perhitungan selengkapnya sebagai berikut:
a. Koreksi PPh Pasal 21 pada SPT PPh Badan :

I. pada HPP
Direct Labor 4.798.499.621
Less: Pay OVH-Astek (126.995.948)
Salaries & Wages 1.156.861.604
Less: Pay OVH-Astek (20.116.805) 5.808.248.472
II.pada Biaya Usaha :
Salaries & Wages (selling) 5,979,392,945
Add: Salaries & Wages (allocated) 675,782,445
Less: Pay OVH-Astek (93,797,867)

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id
Less: Pay OVH-Insurance
Salaries & Wages (Gen & Adm)
(2,114,004)
2,777,620,965
Less: Pay OVH-Astek (75,812,815)
Less: Pay OVH-Insurance (11,834,802) 9,249,236,867
Management Incentives :
Management Incentives 960,240,664
Stock Appreciation (SOP) 1,990,356,385 2,950,597,049
Jumlah 18,008,082,388
b. Objek PPh Pasal 21 pada SPT PPh Ps. 21:
Pada KPP PMA Satu 8,906,274,371
Pada KPP Madya Tangerang 5,514,864,001
Pada KPP Tebingtinggi 89,804,543
Jumlah 14,510,942,915
Selisih (a-b) 3,497,139,473

Bahwa selisih tersebut diperhitungkan sebagai koreksi obyek pajak dan dialokasikan
pada KPP PMA I Jakarta dan KPP Madya Tangerang;
2. Alasan koreksi menurut Daftar Hasil Akhir Penelitian Keberatan
Bahwa berikut ini alasan koreksi Terbanding berdasarkan Daftar Hasil Akhir Penelitian
Keberatan Nomor: BA-462/PJ.071/2009 tanggal 18 Juni 2009;
Bahwa Pemohon Banding tidak menyertakan bukti-bukti dan perhitungan equalisasi
antara biaya-biaya yang dimungkinkan menjadi obyek PPh Pasal 21 di SPT PPh badan
dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21;
Bahwa Pemohon Banding tidak dapat membuktikan bahwa rincian biaya yang bukan
merupakan obyek PPh Pasal 21 Tahun 2006 menurut Pemohon Banding sebesar Rp
3,715,337,532 adalah obyek PPh Pasal 21 yang dikoreksi oleh Pemeriksa;
Alasan Pemohon Banding:
Bahwa Pemohon Banding mengajukan banding atas koreksi pada DPP PPh Pasal 21
sebesar Rp. 2,159,779,821 dengan alasan sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan SPHP, total koreksi Terbanding atas DPP PPh Pasal 21 adalah
sebesar Rp. 3,497,139,472 yang dialokasikan ke masing-masing tempat kedudukan /
KPP di mana perusahaan Pemohon Banding terdaftar yaitu KPP PMA I, KPP Madya
Tangerang dan KPP Tebing Tinggi. Terbanding mengalokasikan besarnya DPP PPh
Pasal 21 menurut Terbanding berdasarkan persentase DPP PPh Pasal 21 sebagaimana
tercantum pada SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang Pemohon Banding laporkan ke
masing-masing KPP.

Halaman 5 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

Berdasarkan pendekatan tersebut, maka koreksi untuk kantor Jakarta adalah Rp.
2,159,779,821, koreksi untuk kantor Tangerang adalah Rp. 1,337,359,651 dan koreksi
untuk kantor Tebing Tinggi adalah nihil;

gung
Catatan: Sampai saat surat ini Pemohon Banding buat, hanya KPP PMA I yang
menerbitkan SKPKB PPh Pasal 21 atas koreksi sebesar
Rp. 2,159,779,821 tersebut.
Bahwa dikarenakan Terbanding mengalokasikan besarnya DPP PPh Pasal 21 menurut
Terbanding berdasarkan sistem persentasi, maka Pemohon Banding tidak dapat
mengetahui rincian DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp. 11,066,054,192, Rp. 6,852,223,652,
Rp. 89,804,543 yang dialokasikan Terbanding ke kantor Jakarta, kantor Tangerang dan
kantor Tebing Tinggi. Dengan demikian, maka argumentasi Pemohon Banding akan
Pemohon Banding lakukan berdasarkan pendekatan nilai total DPP PPh Pasal 21;
Bahwa berikut ini equalisasi PPh Pasal 21 yang Pemohon Banding buat dengan
menggunakan pendekatan nilai total tersebut;

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

gung In

Penjelasan:
• Pembayaran ke PT Adikarindo

Republik
Bahwa pembayaran ke PT Adikarindo sebesar Rp.2,952,510,717 (Rp.2,717,850,181 +
Rp. 234,660,536) merupakan pembayaran atas jasa penyalur tenaga kerja (outsourcing)
dan Pemohon Banding telah memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran tersebut.
Dikarenakan tenaga kerja yang disalurkan merupakan karyawan PT Adikarindo
sehingga Pemohon Banding tidak mempunyai kewajiban untuk memotong PPh Pasal 21
atas pembayaran gaji dan THR tersebut.
• Housing subsidy
Bahwa Pemohon Banding telah membuat koreksi fiskal di SPT Tahunan PPh Badan
atas biaya housing subsidy sehingga biaya tersebut harus dikeluarkan dari rekonsiliasi
PPh Pasal 21;
• Salaries allocated
bahwa salaries allocated merupakan biaya penyesuaian atas total pembayaran gaji yang
Pemohon Banding lakukan sehingga harus diperhitungkan di rekonsiliasi PPh Pasal 21;
• Jamsostek JKM dan JKK
Bahwa Terbanding seharusnya memperhitungkan pembayaran Jamsostek untuk JKM
dan JKK sebesar Rp. 67,552,848 (Rp. 58,600,812 + Rp. 8,952,036) di rekonsiliasi PPh
Pasal 21 sehingga Pemohon Banding menambahkannya ke dalam rekonsiliasi PPh Pasal
21;

Halaman 7 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

Bahwa berdasarkan penjelasan Pemohon Banding di atas, maka koreksi pada DPP PPh
Pasal 21 sebesar Rp. 2,159,779,821 harus dibatalkan;
Menimbang, bahwa amar putusan Pengadilan Pajak tanggal 28 Juni 2012
No. Put. 38985/PP/M.IV/10/2012 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah
sebagai berikut :
Mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009
tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21
Tahun Pajak 2006 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008, atas nama : PT.
Monagro Kimia, NPWP : 01.061.671.2-052.000, Alamat korespondensi : Wisma
Pondok Indah 2 Lantai 6, Jl. Sultan Iskandar Muda Kav V-TA Pondok Indah, Jakarta
12310, Alamat Keputusan : Gedung Sentra Mulia Lantai 7, Jl. HR Rasuna Said Kav X-6
No. 8, Jakarta Selatan, dan pajaknya dihitung kembali menjadi sebagai berikut :
Dasar Pengenaan Rp 9.291.175.832,00
Pajak…………………….

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang Rp 2.117.170.945,00


terutang…

Kredit Pajak Rp 1.515.307.393,00


…………………………….….

Pajak yang tidak/kurang dibayar . Rp 601.863.552,00


…………

Sanksi Administrasi : Rp 216.670.878,00


- Bunga Pasal 13 (2) KUP
………………..
Jumlah PPh yang masih harus dibayar Rp 818.534.430,00
…….

Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan


hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak tanggal 28 Juni 2012 No. Put. 38985/PP/
M.IV/10/2012 diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 13
Agustus 2012, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan
perantaraan kuasanya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 25 Oktober 2012,
diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

Pajak pada tanggal 05 November 2012, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima
di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 05 November 2012.
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 26
Desember 2012, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya telah diajukan jawaban
yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tanggal 08 Februari 2013.
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-
alasanya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam
tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak,
maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan
peninjauan kembali yang pada pokoknya berbunyi sebagai berikut :
Tentang Koreksi Obyek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 sebesar Rp.1.774.878.360,00
yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
1 Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan
dengan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang antara lain berbunyi
sebagai berikut :
Halaman 26 alinea ke-3
“Bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas berkas banding dan bukti serta
dokumen-dokumen yang disampaikan dalam persidangan, beserta keterangan dari
Pemohon Banding dan Terbanding, Majelis berpendapat atas koreksi obyek PPh
Pasal 21 sebesar Rp. 2.159.779.821,00, sebesar Rp. 1.774.878.360,00 tidak dapat
dipertahankan dan sebesar Rp. 384.901.461,00 (Rp. 2.159.779.821,00 -
Rp.1.774.878.360,00) tetap dipertahankan;
2. Bahwa Pasal 76 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
(selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Pengadilan Pajak)menyebutkan
bahwa “Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta
penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2
(dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).”

Halaman 9 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

Kemudian dalam memori penjelasan pasal 76 alinea 1 dan 2 menyebutkan bahwa


“Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai
dengan asas yang dianut dalam Undang-undang perpajakan.
Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan,
beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta
yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang
diajukan oleh para pihak.”
3. Bahwa Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa “Putusan
Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan
keyakinan hakim.”
Kemudian dalam memori penjelasan pasal 78 menyebutkan bahwa “Keyakinan
Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan perpajakan.”
4. Bahwa Pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2000 (selanjutnya disebut dengan Undang-UndangPPh) menyatakan :

Ayat (1)
“Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan
denganpekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diterima ataudiperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan
oleh :
a. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. Bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan,
dan pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan
pembayaran laindengan nama apapun dalam rangka pensiun;
d. Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai
imbalansehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan
pekerjaan bebas;
e. Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan
pelaksanaan suatu kegiatan.”

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

Ayat (8)
Petunjuk mengenai pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak
ataspenghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan diatur dengan
KeputusanDirektur Jenderal Pajak."
5. Bahwa Pasal 5 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 545/PJ/2000 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 21 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi,
menyatakan :
Ayat 1
“Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang
pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan
komisaris atau anggota dewanpengawas), premi bulanan, uang lembur, uang
sokongan, uang tunggu,uang ganti rugi,tunjangan isteri, tunjangan anak,
tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus,tunjangan transpot,
tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak,bea
siswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur
lainnyadengan nama apapun;
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa jasa
produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan
tahun baru, bonus, premi tahunan,dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya
tidak tetap;
c. Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan;
d. Uang tebusan pensiun, uang pesangon, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan
Hari Tua, danpembayaran lain sejenis;
e. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam
bentuk apapun,komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa,dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib
Pajak dalam negeri, terdiri dari:…
f. Gaji, gaji kehormatan, dan tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji
yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil serta uang pensiun
dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang
diterima oleh pensiunan termasuk janda ataududa dan atau anak-anaknya”.
Ayat (2)

Halaman 11 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

“Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan
nama apapun yang diberikan olehbukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak
Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit)”.
6. Bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2007 (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang KUP) menyatakan:
Pasal 26A
“Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau
keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat
pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum
diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau
keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.

Pasal 28
1 Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan
pembukuan.
(3) Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan
memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha
yang sebenarnya.
Pasal 29 ayat (1)
"Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ".
Pasal 29 ayat (3) hurufa
"Wajib Pajak yang diperiksa wajib memperlihatkan dan atau meminjamkan buku
atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan
dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak,
atau objek yang terutang pajak".
Pasal 13 ayat (1) huruf a

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

“Dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya pajak, atau
berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal
Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang dalam hal-hal sebagai
berikut :
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang
tidak atau kurang dibayar;
Penjelasan Pasal 13 ayat (1), antara lain menyatakan :
“…Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar penghitungan secara
jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak diletakkan pada Wajib Pajak.Sebagai contoh
diberikan antara lain :
1 Pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak lengkap,
sehingga penghitungan rugi laba atau peredaran tidak jelas;
2. Dokumen-dokumen pembukuan tidak lengkap sehingga angka-angka dalam
pembukuan tidak dapat diuji;
3. Dari rangkaian pemeriksaan dan/atau fakta-fakta yang diketahui besar dugaan
disembunyikannya dokumen atau data pendukung lain di suatu tempat tertentu,
sehingga dari sikap demikian jelas Wajib Pajak telah tidak menunjukkan itikad
baiknya untuk membantu kelancaran jalannya pemeriksaan.Beban pembuktian
tersebut berlaku juga bagi ketetapan yang diterbitkan berdasarkan ketentuan ayat
(1) huruf b.
7. Bahwa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana
Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 (selanjutnya disebut Peraturan Pemerintah Nomor: 80 Tahun 2007),
menyatakan:
Pasal 1
”Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
Angka 3. : Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.”
Pasal 36 ayat (2) huruf f
”Terhadap hak dan kewajiban perpajakan yang berkaitan dengan :

Halaman 13 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

f. Proses penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal


26A Undang-Undang untuk pengajuan keberatan yang diterima setelah tanggal
31 Desember 2007;
berlaku ketentuan berdasarkan Undang-Undang;”
8. Bahwa Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 194/PMK.03/2007 tentang
Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan (selanjutnya disebut PMK Nomor
: 194/PMK.03/2007), menyatakan :
”Pembukuan, catatan, data, informasi atau keterangan lain yang tidak diberikan
pada saat pemeriksaan tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan,
kecuali pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain tersebut berada di
pihak ketiga dan belum diperoleh Wajib Pajak pada saat pemeriksaan;
9. Bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata:
Buku ke Empat Tentang Pembuktian Dan Daluwarsa.
Bab II tentang Pembuktian Dengan Tulisan.
Pasal 1888
Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya.
Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah
dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan
aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya
10. Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan
berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak sebagaimana
yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.38985/PP/
M.IV/10/2012 tanggal 28 Juni 2012serta fakta-fakta yang telah dapat diketahui
secara jelas dan nyata-nyata terungkap pada persidangan, disimpulkan sebagai
berikut:
10.1. Bahwa sengketa koreksi Obyek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 sebesar
Rp.1.774.878.360,00 yang menjadi sengketa dalam memori peninjauan
kembali ini adalah merupakan bagian dari koreksiObjek PPh Pasal 21 sebesar
Rp.2.159.779.821,00;
10.2. Bahwa dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.38985/PP/M.IV/
10/2012 tanggal 28 Juni 2012 ini, Majelis Hakim menetapkan bahwa atas
koreksi obyek PPh Pasal 21 sebesar Rp.2.159.779.821,00 tersebut, koreksi
sebesar Rp.1.774.878.360,00 tidak dapat dipertahankan, sedangkan koreksi
sebesar Rp.384.901.461,00 tetap dipertahankan;

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

10.3. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) melakukan


koreksiobjek PPh Pasal 21 sebesar Rp.2.159.779.821,00 berdasarkan hasil
perhitungan sebagai berikut :
Uraian Nilai (Rp.)

Objek PPh Pasal 21 cfm. SPT Badan 18.008.082.387


Objek PPh Pasal 21 cfm SPT 14.510.942.915
Koreksi Objek PPh Pasal 21 3.497.139.472

KPP PMA Satu (pusat)


Pengalokasian koreksi di pusat dan cabang

KPP Madya Tangerang (cabang)


Indo Nilai (Rp.)

2.159.779.822
1.337.359.651
Jumlah Koreksi 3.497.139.472

10.4. Bahwa pada saat pemeriksaan, Termohon Peninjauan Kembali (semula


Pemohon Banding) tidak dapat menyerahkan bukti dan perhitungan yang
dapat menunjukan jumlah objek PPh Pasal 21 menurut Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding) sendiri. Adapun terhadap rincian biaya
yang bukan objek PPh Pasal 21 Tahun 2006 yang menurut Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) adalah sebesar
Rp.3.715.337.532,00,Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding)juga tidak dapat membuktikan bahwa biaya tersebut bukan
merupakan objek PPh Pasal 21, karena dimungkinkan Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding) mengambil sumber dokumen yang
berbeda dengan sumber dokumen yang menjadi dasar koreksiPemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding).
10.5. Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) kemudian
mengajukan keberatan atas koreksi objek PPh Pasal 21 sebesar
Rp.2.159.779.821,00 tersebut dan telah diputus dengan Surat Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 01 September
2009 dengan keputusan menolak permohonan keberatan Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan alasan sebagai
berikut :
a Bahwa sampai dengan selesainya proses keberatan dan Laporan Penelitian
keberatan dibuat,Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)
tidak dapat menunjukan perhitungan ekualisasi antara biaya menjadi objek PPh

Halaman 15 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

Pasal 21 di SPT PPh Badan dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21 beserta bukti
pendukungnya;
b Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) juga tidak
dapat menunjukan bukti potong PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 terkait koreksi
PPh Pasal 21 tersebut;
c. Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak
dapat membuktikan bahwa rincian biaya yang menurut Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebesar
Rp.3.715.337.532,00 bukan merupakan objek PPh Pasal 21 Tahun 2006
adalah objek PPh Pasal 21 yang dikoreksi oleh Pemeriksa. Bahwa terdapat
perbedaan rincian biaya yang bukan objek PPh pasal 21 menurut
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan
koreksi objek PPh Pasal 21 menurut Pemeriksa termasuk jumlah
nominalnya, dengan demikian dimungkinkan Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding) mengambil sumber dokumen yang
berbeda dengan sumber dokumen koreksi Objek PPh Pasal 21;
d. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP
menyatakan :
“Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi
atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat
pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum
diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data,
informasi atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam
penyelesaian keberatan”
dan diketahui bahwa saat pemeriksaan Termohon Peninjauan Kembali
(semula Pemohon Banding) tidak menyerahkan bukti dan dokumen
pendukung serta perhitunganyang dapat menunjukan jumlah objek PPh
Pasal 21 sesungguhnya, maka tidak cukup alasan untuk menerima
keberatan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)
sehinggakoreksi objek PPh Pasal 21 yang telah ditetapkan berdasarkan
hasil pemeriksaan yaitu sebesar Rp.2.159.779.822,00 tetap dipertahankan.
11. Bahwa terkait dengan amar pertimbangannya Majelis Hakim Pengadilan Pajak
yang menyatakan bahwa :
Halaman 26 Alinea ke-1 dan ke-2

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

Bahwa berdasarkan hasil uji bukti yang dilaporkan dalam persidangan, diketahui
bahwa dalam Ledger yang terkait dengan Direct Labour sebesar
Rp.4.798.499.621,00 Salary Wages (Selling) sebesar Rp.5.979.392.945,00 dan
Salary & Wages (Gen & Adm) sebesar Rp.2.779.138.965,00 didalamnya terdapat
beberapa akun Salary Third Party Contract sebesar Rp.2.719.850.181,00 yang
merupakan pembayaran atas invoicing penyediaan tenaga kerja kepada pihak
ketiga, yaitu PT.Multi Global Adikarindo, dimana atas pembayaran tersebut sudah
dipotong PPh Pasal 23 dan dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 23 di Kantor
Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Satu sebesar Rp.1.774.878.360,00;
Bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis terhadap koreksi Terbanding sebesar
Rp.2.159.779.821,00 yang diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak
Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11
Juli 2008 yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing
Satu, terbukti sebesar Rp.1.774.878.360,00 merupakan objek PPh Pasal 23 dan
sisanya sebesar Rp.384.901.461,00 Pemohon Banding menyatakan menerima
koreksi Terbanding;
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat amar
pertimbangan Majelis Hakim tersebut tidak sesuai dengan fakta pembuktian dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlakuoleh karena :
a Bahwa berdasarkan hasil uji bukti materi di persidangan diketahui hal-hal
sebagai berikut :
1 Bahwa dari Objek PPh Pasal 21 cfm Pemeriksa sebesar
Rp.18.008.082.387,00, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) menunjukkan Ledger terkait Direct Labour sebesar
Rp.4.798.499.621,00, Salary Wages (Selling) sebesar
Rp.5.979.392.945,00, Salary & Wages (Gen & Adm.) sebesar
Rp.2.779.138.965,00 yang didalamnya terdapat beberapa akun Salary
Third Party Contract sebesar Rp.2.717.850.181,00;
2 Bahwa berdasarkan data/bukti/dokumen yang disampaikan Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tersebut, akun-akun
yang terkait sebesar Rp.2.717.850.181,00 merupakan pembayaran atas
outsourcing penyediaan tenaga kerja kepada pihak ketiga, yaitu PT.
Multi Global Adikarindo, yang menurut Termohon Peninjauan Kembali
(semula Pemohon Banding)sudah dipotong PPh Pasal 23 baik di KPP
PMA Satu maupun KPP Madya Tangerang;

Halaman 17 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

3 Bahwa dalam proses uji bukti di persidangan tersebut, Termohon


Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)tidak dapat
menunjukkan asli kontrak/ perjanjian outsourcing dengan PT Multi
Global Adikarindo beserta bukti/ dokumen pembayarannya;
4 Bahwa secara material, terdapat perbedaan rincian biaya yang bukan
objek PPh Pasal 21 menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) dengan koreksi Objek PPh Pasal 21 menurut
Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) termasuk jumlah
nominalnya;
b Bahwa berdasarkan hasil uji bukti tersebut, maka dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut :
Bahwa nyata-nyata Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)
tidak dapat menunjukkanasli kontrak/perjanjian outsourcing dengan PT Multi
Global Adikarindo beserta bukti/dokumen pembayarannya;
Bahwa dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata; Buku ke Empat Tentang
Pembuktian Dan Daluwarsa; Bab II tentang Pembuktian Dengan Tulisan; Pasal
1888, menyatakan :Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta
aslinya.Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-
ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar
itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan
mempertunjukkannya;
Berdasarkan hal tersebut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
tidak dapat meyakini kebenaran transaksi tersebut;
Bahwa nyata-nyata secara material, terdapat perbedaan rincian biaya yang
bukan objek PPh Pasal 21 menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) dengan koreksi Objek PPh Pasal 21 menurut Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding) termasuk jumlah nominalnya;
Bahwa berdasarkan Pasal 78 Undang-undang Pengadilan Pajak pun telah
ditegaskan bahwa :”Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil
penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim”
Bahwa berdasarkan hal tersebut, maka amar pertimbangan Majelis Hakim
tersebut telah bertentangan dan tidak sesuai dengan Pasal 78 Undang-Undang
Pengadilan Pajak, Pasal 21 Undang-Undang PPh, dan Kitab Undang-undang

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

Hukum Perdata; Buku ke Empat Tentang Pembuktian Dan Daluwarsa; Bab II


tentang Pembuktian Dengan Tulisan; Pasal 1888.
c Bahwa jika seandainyapun Majelis Hakim tetap dengan putusannya berdasarkan
hasil uji bukti atas perintah Majelis Hakim di persidangan sebagaimana
penjelasan huruf a dan b tersebut diatas, namun faktanya Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding)tidak memberikan bukti-bukti berupa data/
dokumen tersebut saat pemeriksaan maupun keberatan;
Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) mengajukan
keberatan dengan surat Nomor:MK/Sep-08/57 tanggal 3 September 2008
yang diterima KPP Penanaman Modal Asing (Pemohon Peninjauan Kembali/
semula Terbanding) dengan LPAD (Lembar Pengawasan Arus Dokumen)
Nomor: PEM:005178\052\ sep\2008 tanggal 3 September 2008, dengan
demikian Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)
mengajukan keberatan setelah tanggal 31 Desember 2007.
Bahwa Pasal 36 ayat (2) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor: 80 Tahun 2007
menyatakan :”Terhadap hak dan kewajiban perpajakan yang berkaitan dengan
proses penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal
26A Undang-Undang untuk pengajuan keberatan yang diterima setelah tanggal
31 Desember 2007 berlaku ketentuan berdasarkan Undang-Undang;”
Berdasarkan hal tersebut, oleh karena surat keberatan Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding)diterima oleh Pemohon Peninjauan
Kembali/semula Terbanding tanggal 3 September 2008,yang berarti adalah
sesudah tanggal 31 Desember 2007, maka sesuai dengan ketentuan pasal 36 ayat
(2) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor: 80 Tahun 2007 tersebut, maka tata cara
penyelesaiannya adalah menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Undang-Undang
KUP 2007);
Bahwa mengacu pada ketentuan Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP 2007
juncto Pasal 36 ayat (2) huruf f Peraturan PemerintahNomor 80 Tahun 2007
junctoPasal 10 PMK Nomor : 194/PMK.03/2007, maka terhadap data telah
diminta pada proses pemeriksaan, namun data tersebut tidak diberikan oleh
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)pada proses
pemeriksaan, maka pada proses keberatan data tersebut tidak dapat
dipertimbangkan, sehingga keputusan menolak permohonan keberatan Termohon

Halaman 19 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dan tetap mempertahankan


koreksi objek PPh Pasal 21 sebesar Rp.2.159.779.821,00adalah telah sesuai
dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku;
Bahwa berdasarkan hal tersebut, maka bukti/dokumen yang diberikan pada
persidangan banding, sepatutnyalah tidak dapat dipertimbangkan pula oleh
Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Bahwa sebagai bahan pertimbangan dalam memutus sengketa, Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sampaikan aspek yuridis dalam sistem
hukum di Indonesia, yang seharusnya menjadi basis atau dasar dalam penegakan
hukum, sebagai berikut :
Logemann dalam Buku Pengantar dalam Hukum Indonesia Edisi 3 oleh Ernst
Utrecht, Balai Buku Indonesia, 1956, pada halaman 1414 menyatakan bahwa
“men mag de norm waaraan men gebonden is niet willekeurig uitleggen, doch
alleen de juiste uitleg mag gelden”, dimana dapat diartikan bahwa orang tidak
boleh menafsirkan secara sewenang-wenang kaidah yang mengikat, hanya
penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat undang-undang menjadi tafsiran
yang tepat.
Maka dalam memeriksa dan mengadili dan memutuskan suatu perkara yang
dihadapkan kepada hakim, seorang hakim terikat kepada ketentuan yang tertuang
dalam hukum acara (formele recht) dari pengadilan.Sebagai hukum dan hak
asasi, hakim dibatasi menafsirkan atau melakukan konstruksi terhadap hukum
acara. Hal demikian dikarenakan fungsi dari hukum acara (formele recht,
adjective law) adalah untuk mempertahankan hukum materiil (materiele recht,
substantive law);
Bahwa dalam sistem perpajakan di Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 merupakan
hukum formal atau hukum acara (formele recht, adjective law)yang mengatur
tata cara pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak.
Bahwa secara formal, aturan mengenai tidak dapat digunakannya data pada
proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan telah jelas
aturannya dalam Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP 2007, aturan ini
mengikat fiskus dalam melaksanakan tugasnya namun Majelis Hakim telah
mengabaikan hal tersebut dengan alasan azas material.

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

Bahwa Pengadilan Pajak dalam posisinya sebagai badan yang sesuai dengan
sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia harus mampu menciptakan keadilan
dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak, maka seharusnya
Majelis Hakim juga mempertimbangkan adanya kepastian hukum dengan
memutuskan sengketa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan;
Bahwa meskipun Majelis Hakim memiliki kewenangan untuk menentukan
kekuatan pembuktian dan alat bukti yang digunakan, akan tetapi dalam sengketa
ini Majelis Hakim nyata-nyata mengabaikan ketentuan yuridis formal terkait
penyelesaian keberatan berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Dengan demikian Putusan Majelis yang tidak mempertahankan koreksi atas
sengketa a quo tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 76 dan Pasal 78 Undang-
Undang Pengadilan Pajak;
Bahwa dengan demikian maka nyata-nyata Majelis Hakim telah tidak cermat
dalam memutus sengketa karena tidak mempertimbangkan alasan Pemohon
Peninjauan kembali (semula Terbanding) dalam pengambilan keputusan
keberatan serta amar pertimbangan Majelis Hakim tersebut tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku yaitu Pasal 4
Undang-Undang PPN, Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP 2007 juncto
Pasal 36 ayat (2) huruf f Peraturan Pemerintah Nomor : 80 Tahun 2007 juncto
Pasal 10 PMK Nomor: 194/PMK.03/2007.
11. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di atas
secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata bahwa Majelis
Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quoterkait sengketa koreksi DPP
PPh Pasal 21 sebesar Rp1.774.878.360,00tidak berdasarkan pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak berdasarkan hasil penilaian
pembuktian, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada
Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sengketa banding di
Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya
dalam bidang perpajakan. Oleh karena itu maka Putusan Pengadilan Pajak Nomor:
Put. 38985/PP/M.IV/10/2012 tanggal 28 Juni 2012 menyangkut sengketa koreksi
DPP PPh Pasal 21 sebesar Rp1.774.878.360,00 harus dibatalkan.
Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor: Put.38985/
PP/M.IV/10/2012 tanggal 28 Juni 2012 yang menyatakan :

Halaman 21 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

- Mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan


Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009
tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal
21 Tahun Pajak 2006 Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008, atas nama :
PT. Monagro Kimia, NPWP: 01.061.671.2-052.000, Alamat korespondensi : Wisma
Pondok Indah 2 Lantai 6, Jl. Sultan Iskandar Muda Kav V-TA Pondok Indah, Jakarta
12310, Alamat Keputusan : Gedung Sentra Mulia Lantai 7, Jl. HR Rasuna Said Kav
X-6 No. 8, Jakarta Selatan, dan pajaknya dihitung kembali menjadisesuai
perhitungan di atas;
adalah tidak benar serta telah nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut,
Mahkamah Agung berpendapat :
Bahwa alasan-alasan peninjauan kembali tersebut tidak dapat dibenarkan
karena pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan sebagian
permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor : KEP-695/PJ.07/2009 tanggal 1 September 2009 tentang Keberatan atas
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Pajak 2006
Nomor: 00042/201/06/052/08 tanggal 11 Juli 2008, atas nama Pemohon Banding
sekarang Termohon Peninjauan Kembali, sehingga jumlah PPh yang masih harus
dibayar dihitung kembali menjadi Rp. 818.534.430,00 adalah sudah tepat dan benar
dengan pertimbangan :
• Bahwa alasan koreksi obyek PPh Pasal21 sebesar Rp. 1.774.878.360,00 tidak dapat
dibenarkan karena dominus litis yang terungkap dari bukti-bukti yang disampaikan
Pemohon Banding (Termohon Peninjauan Kembali) dalam persidangan dari
sebagian bukti sebesar a quo telah diyakini kebenarannya oleh Mejelis Pengadilan
Pajak, oleh karenanya koreksi Terbanding (Pemohon Peninjauan Kembali) untuk
sebagian sebesar a quo tidak dapat dipertahankan.
Bahwa dengan demikian tidak terdapat Putusan Pengadilan Pajak yang
nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebagaimana dimaksud Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 2002.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
diatas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

Kembali : Direktur Jenderal Pajak tersebut adalah tidak beralasan, sehingga harus
ditolak.
Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon Peninjauan Kembali dipihak yang
kalah, maka harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali
yang besarnya sebagaimana tersebut dalam amar putusan ini.
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-
undangan lain yang bersangkutan .
MENGADILI,
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan
Kembali : DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut.
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara
dalam Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu Rupiah).
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung
pada hari : Jumat, tanggal 24 Januari 2014 oleh Widayatno Sastrohardjono, S.H., M.Sc.
Ketua Muda Pembinaan Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah
Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. Irfan Fachruddin, S.H., C.N., dan Dr. H. M. Hary
Djatmiko, S.H., M.S. Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum
pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota dan dibantu oleh
Lucas Prakoso, S.H., M.Hum. Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.

Anggota Majelis: Ketua Majelis,


Ttd. Ttd.
Dr. Irfan Fachruddin, S.H., C.N. Widayatno Sastrohardjono, SH. MSc.
Ttd.
Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S.
Panitera Pengganti :
Ttd.
Lucas Prakoso, SH. MHum.

Biaya-biaya :
1. Meterai ………................................ Rp. 6.000,-
2. Redaksi ……..................................... Rp. 5.000,-
3. Administrasi Peninjauan Kembali ..…Rp. 2.489.000,-
Jumlah Rp. 2.500.000,-
Halaman 23 dari 24 halaman Putusan Nomor 547/B/PK/PJK/2013

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 23
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

m putusan.mahkamahagung.go.id

Untuk Salinan
Mahkamah Agung RI
a.n. Panitera
Panitera Muda Tata Usaha Negara

A S H A D I, SH
Nip. 220000754

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 24

Anda mungkin juga menyukai