PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Gambar 1 Skema histologi kulit dilihat secara penampang dengan mikroorganisme dan
pelengkap kulit. Mikroba dan tungau menutupi permukaan kulit dan berada di dalam rambut dan
kelenjar. Pada permukaan kulit, bakteri batang dan bulat - seperti Proteobacteria dan
Staphylococcus spp., Masing-masing - membentuk komunitas yang sangat terkait dengan sesama
dan mikroba lain. Jamur komensal seperti Malassezia spp. tumbuh baik sebagai hifa berserabut
bercabang dan sebagai sel individu. Partikel virus hidup bebas dan di dalam sel bakteri. Tungau
kulit, seperti Demodex folliculorum dan Demodex brevis, adalah beberapa arthropoda terkecil dan
hidup di dalam atau di dekat folikel rambut. Pelengkap kulit termasuk folikel rambut, kelenjar
Kulit sebagai ekosistem terdiri dari komponen biologis dan fisik hidup dapat
meningkatkan pemahaman kita tentang keseimbangan antara inang dan mikroba.
Gangguan keseimbangan di kedua sisi dapat menyebabkan gangguan atau infeksi kulit.
Gangguan yang mempengaruhi hubungan inang-mikroorganisme dapat bersifat endogen
(contohnya variasi genetik yang memilih komunitas mikroba tertentu) atau eksogen
(contohnya mencuci tangan) (Grice, 2011). Perbedaan habitat mikroba pada kulit
disesuaikan ketebalan kulit, lipatan, kepadatan folikel rambut dan kelenjar, serta faktor-
faktor antara lain (Cogen, 2008):
a) Invaginasi dan pelengkap
Invaginasi dan pelengkap kulit, termasuk kelenjar keringat (ekrin dan apokrin),
kelenjar sebaceous dan folikel rambut, berpengaruh terhadap variasi mikroba.
Kelenjar ekrin yang lebih banyak daripada kelenjar apokrin, ditemukan di
hampir semua permukaan kulit dan terus menerus membasahi permukaan kulit
dengan sekresi yang sebagian besar terdiri dari air dan garam. Peran utama
keringat ekrin adalah termoregulasi melalui pelepasan panas laten dari
penguapan air, termasuk ekskresi air dan elektrolit, dan pengasaman kulit yang
mencegah kolonisasi dan pertumbuhan mikroba (Grice, 2011). Kelenjar apokrin,
yang terletak di ketiak, puting susu, dan daerah genitoanal, merespons adrenalin
dengan menghasilkan sekresi seperti susu, kental, dan tidak berbau.(Martin,
2010). Kelenjar sebasea terhubung ke folikel rambut, membentuk unit
pilosebasea, dan mengeluarkan zat kaya lipid sebum. Sebum adalah lapisan
hidrofobik yang melindungi dan melumasi kulit dan rambut serta memberikan
perlindungan terhadap bakteri. Namun, kelenjar sebasea relatif anoksik dan
mendukung pertumbuhan anaerob fakultatif seperti Propionibacterium acnes
(bakteri kulit yang umum). Sekuensing genom lengkap P. acnes telah
mengungkapkan beberapa gen yang mengkode lipase yang menurunkan lipid
kulit dari sebum (Grice, 2011). P. acnes mampu menghidrolisis trigliserida yang
ada di sebum, melepaskan asam lemak bebas ke kulit yang dapat membantu
dalam kolonisasi kelenjar sebaceous. Asam lemak bebas yang dihasilkan ini juga
berkontribusi pada pH asam (~ 5) pada permukaan kulit yang menyebabkan
patogen seperti Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes dihambat
oleh pH asam (Elias, 2007).
b) Faktor Topografi
Permukaan kulit bervariasi secara topografis karena perbedaan regional dalam
anatomi kulit yang mendukung koloni mikroba yang berbeda. Beberapa daerah
kulit tersumbat sebagian, seperti selangkangan dan ketiak. Daerah ini memiliki
suhu dan kelembaban yang lebih tinggi yang mendorong pertumbuhan mikroba
yang berkembang dalam kondisi lembab (contohnya S. aureus) (Roth, 1998).
Kepadatan kelenjar sebaceous merupakan faktor lain yang mempengaruhi
mikroba kulit, seperti wajah, dada, dan punggung yang mendorong pertumbuhan
mikroorganisme lipofilik (contohnya Propionibacterium spp. dan Malassezia
spp.) Dibandingkan dengan bagian kulit lainnya, kulit lengan dan tungkai relatif
kering dan mengalami fluktuasi suhu permukaan yang besar, daerah ini memiliki
mikroba yang lebih sedikit daripada daerah lembab dari permukaan kulit (Grice,
2011).
c) Faktor Inang
Faktor inang seperti usia, lingkungan, dan jenis kelamin berkontribusi pada
variabilitas mikroba kulit. Usia memiliki pengaruh yang besar pada lingkungan.
Dalam rahim kulit janin steril, tetapi kolonisasi mikroba akan segera terjadi
setelah lahir, baik selama persalinan atau dalam beberapa menit setelah kelahiran
(Grice, 2011). Selama masa pertumbuhan, perubahan produksi sebum
berpengaruh dengan tingkat bakteri lipofilik pada kulit. Perbedaan fisiologis dan
anatomis antara lingkungan kulit laki-laki dan perempuan seperti keringat,
produksi sebum, dan hormon juga merupakan penyebab perbedaan mikroba yang
terlihat antara jenis kelamin (Dominguez-Bello, 2010).
d) Faktor lingkungan
Faktor lingkungan seperti pekerjaan, pilihan pakaian, dan penggunaan antibiotik,
dapat memodulasi kolonisasi oleh mikroba kulit. Kosmetik, sabun, produk
higienis, dan pelembab juga merupakan faktor potensial yang berkontribusi
terhadap variasi mikroba kulit (Antonopoulos, 2009). Produk-produk dan
lingkungan ini dapat mengubah kondisi pelindung kulit. Suhu tinggi dan
kelembapan tinggi yang merupakan efek dari beberapa produk mampu
meningkatan frekuensi bakteri Gram-negatif yang lebih tinggi (Grice, 2011).
Suhu berperan penting dalam mengatur jalannya reaksi metabolisme pada
mikroba (Rudiyansyah, 2015).
Daftar Rujukan
Antonopoulos, D. A., Huse, S. M., Morrison, H. G., Schmidt, T. M., Sogin, M. L., &
Young, V. B. (2009). Reproducible community dynamics of the gastrointestinal
microbiota following antibiotic perturbation. Infection and immunity, 77(6), 2367-
2375.
Bush, A. O., Fernandez, J. C., Esch, G. W., & Seed, J. R. (2001). Parasitism: the
diversity and ecology of animal parasites. Cambridge university press.
Cogen AL, Nizet V, Gallo RL. (2008) Skin microbiota: a source of disease or defence?
Br. J. Dermatol. 15(8), 442–455.
Cohn, B. A. (1994). In search of human skin pheromones. Archives of dermatology,
130(8), 1048-1051.
Dominguez-Bello, M. G., Costello, E. K., Contreras, M., Magris, M., Hidalgo, G., Fierer,
N., & Knight, R. (2010). Delivery mode shapes the acquisition and structure of the
initial microbiota across multiple body habitats in newborns. National Academy of
Sciences, 107(26), 11971-11975.
Elias, P. M. (2007). The skin barrier as an innate immune element. Seminars in
immunopathology Springer-Verlag, 29(1), 3-14.
Garna, H. (2016). Patofisiologi Infeksi Bakteri pada Kulit. Sari Pediatri, 2(4), 205-209.
Grice, E. A., & Segre, J. A. (2011). The skin microbiome. Nature reviews microbiology,
9(4), 244-253.
Handoko, A. D., Setyawati, T., & Asrinawaty, A. N. (2019). Uji Efektivitas Antibakteri
Ekstrak Daun Kersen (Muntigia calabura l.) Terhadap Bakteri Escherichia coli.
Medika Tadulako: Jurnal Ilmiah Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, 6(1), 9-21.
Kalangi, S. J. (2013). Histofisiologi kulit. Jurnal Biomedik: JBM, 5(3), 12-20.
Martin, A., Saathoff, M., Kuhn, F., Max, H., Terstegen, L., & Natsch, A. (2010). A
functional ABCC11 allele is essential in the biochemical formation of human
axillary odor. Journal of Investigative Dermatology, 130(2), 529-540.
Price, S., & Lorraine, M. (2005). Pathophysiology: clinical concepts of disease
processes 6th ed. Jakarta: EGC.
Roth, R. R., & James, W. D. (1988). Microbial ecology of the skin. Annual Reviews in
Microbiology, 42(1), 441-464.
Rudiyansyah, A. I., Wahyuningsih, N. E., & Kusumanti, E. (2015). Pengaruh Suhu,
Kelembaban, Dan Sanitasi Terhadap Keberadaan Bakteri Eschericia Coli Dan
Salmonella Di Kandang Ayam Pada Peternakan Ayam Broiler Kelurahan
Karanggeneng Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (Undip), 3(2), 196-
201.
Samuelson, J. (2008). Patologi Umum Penyakit Infeksi dalam Brooks, GF, Butel, Janet S.
Morse, SA Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Septriari, B. (2015). Infeksi Nosokomial. Yogyakarta: Nuha Medika.
Siregar, I. S. (2017). Gambaran Pengetahuan Mahasiswa Keperawatan tentang Penularan
Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit PTPN II Bangkatan Binjai Tahun 2017. Jurnal
Riset Hesti Medan Akper Kesdam I/BB Medan, 2(1), 54-59.