Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.3 Batasan Penulisan


Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, makalah ini membatasi penjelasan yang
mencakup:
1. Mikroba sebagai penyebab infeksi.
2. Cara masuk mikroba ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan.
3. Cara masuk mikroba ke dalam tubuh manusia melalui melalui saluran pencernaan
makanan.
4. Cara masuk mikroba ke dalam tubuh manusia melalui melalui saluran genitouriner.
5. Cara masuk mikroba ke dalam tubuh manusia melalui melalui kulit.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Mikroba sebagai Penyebab Infeksi


Infeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen dan bersifat
sangat dinamis. Mikroba sebagai makhluk hidup ingin bertahan hidup dengan cara
berkelembang biak pada suatu reservoir yang cocok dan mampu mencari reservoir baru
dengan cara berpindah atau menyebar. Salah satu contoh mikroba petogen adalah bakteri
Eschericia coli (Handoko, 2019). Penyakit infeksi menempati urutan teratas penyebab
kematian di negara berkembang, termasuk Indonesia. Penyebaran sumber infeksi ini
dapat melalui berbagai perantara atau yang dikenal sebagai vektor, yaitu udara, binatang,
benda-benda, dan juga manusia sendiri (Triana, 2014).
Infeksi dapat disebabkan oleh mikroba yang didapat dari orang lain (cross infection)
atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection).
Kebanyakan infeksi yang terjadi disebabkan faktor eksternal, yaitu yang tersebar melalui
makanan, udara, dan benda yang tidak steril (Siregar, 2017). Mekanisme transmisi
mikroba patogen ke pejamu yang rentan melalui dua cara yaitu transmisi langsung dan
transmisi tidak langsung. Transmisi langsung merupakan penularan langsung oleh
mikroba patogen ke pintu masuk yang sesuai dari pejamu, sebagai contoh adanya
sentuhan, gigitan, atau saat melakukan transfusi darah yang terkontaminasi mikroba
patogen. Sedangkan, Transmisi tidak langsung merupakan penularan mikroba patogen
yang memerlukan adanya media perantara baik berupa barang/bahan, air,
makanan/minuman, maupun vektor (Septriari, 2015).
2.2.1 Sifat dan Cara Invasi Mikroba Penyebab Infeksi
Sebagai agen penyebab penyakit, mikroba patogen memiliki sifat-sifat khusus yang
sangat berbeda dengan agen penyebab penyakit lainnya (Samuelson, 2008). Sebagai
makhluk hidup, mikroba patogen memiliki ciri–ciri kehidupan, yaitu :
a) Mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan cara berkembang biak.
b) Memerlukan tempat tinggal yang cocok bagi kelangsungan hidupnya.
c) Bergerak dan berpindah tempat.
Selain itu, cara menyerang atau menginvasi ke pejamu melalui tahapan sebagai berikut
(Price, 2005):
a) Sebelum berpindah ke pejamu (calon penderita), mikroba patogen hidup dan
berkembang biak pada reservoir (penderita, hewan, benda-benda lain).
b) Untuk mencapai pejamu (calon penderita), diperlukan adanya mekanisme
penyebaran melalui berbagai perantara atau yang dikenal sebagai vektor, yaitu
udara, binatang, benda-benda, dan juga manusia sendiri (Triana, 2014).
c) Untuk masuk ke tubuh pejamu (calon penderita), mikroba patogen
memerlukan pintu masuk (port d’entrée) seperti kulit/mukosa yang terluka,
hidung, rongga mulut, dan sebagainya.
d) Pada prinsipnya semua organ tubuh pejamu dapat terserang oleh mikroba
patogen, namun berbeda dengan mikroba patogen yang secara selektif hanya
menyerang organ-organ tubuh tertentu dari pejamu/target organ.
e) Besarnya kemampuan merusak dan menimbulkan manifestasi klinis dari
mikroba patogen terhadap pejamu dapat dinilai dari beberapa faktor berikut
(Price, 2005):
 Infeksivitas
Besarnya kemampuan mikroba patogen melakukan invasi, berkembang
biak dan menyesuaikan diri, serta bertempat tinggal pada jaringan tubuh
pejamu.
 Patogenitas
Merupakan derajat respons/reaksi pejamu untuk menjadi sakit.
 Virulensi
Merupakan besarnya kemampuan merusak mirkoba patogen terhadap
jaringan pejamu.
 Toksigenitas
Besarnya kemampuan mikroba patogen untuk menghasilkan toksin.
Toksin berpengaruh dalam perjalanan penyakit.
 Antigenitas
Kemampuan mikroba patogen merangsang timbulnya mekanisme
pertahanan tubuh atau antibodi pada diri pejamu. Kondisi ini akan
mempersulit mikroba patogen untuk berkembang biak.

2.5 Cara Masuk Mikroba ke Dalam Tubuh Manusia Melalui Kulit


2.5.1 Kulit dan Transmisi Mikroba pada Kulit
Tubuh manusia mempunyai berbagai cara untuk melakukan proteksi. Pertahanan
pertama adalah barier mekanik, seperti kulit yang menutupi permukaan tubuh. Kulit
memiliki lapisan epidermis, stratum korneum, keratinosit, dan lapisan basal bersifat
sebagai barier yang penting untuk mencegah mikroorganisme dan agen perusak potensial
lain masuk ke dalam jaringan yang lebih dalam (Garna, 2016). Kulit terdiri atas dua
lapisan utama yaitu epidermis dan dermis. Epidermis merupakan jaringan epitel yang
berasal dari ektoderm, sedangkan dermis berupa jaringan ikat agak padat yang berasal
dari mesoderm. Di bawah dermis terdapat selapis jaringan ikat longgar yaitu hipodermis,
yang pada beberapa tempat terutama terdiri dari jaringan lemak (Kalangi, 2013).
Mikroba mendapatkan akses ke jaringan manusia melalui dua jenis jalur utama, yaitu
permukaan mukosa di dalam tubuh (lapisan saluran pernapasan, pencernaan, reproduksi,
atau saluran kemih) dan permukaan epitel di luar tubuh. Transmisi mikroba pada
permukaan epitel dapat terjadi dengan cara antara lain (Bush, 2001):
a) Kontak tetesan dengan batuk atau bersin pada orang lain.
b) Kontak fisik langsung dengan menyentuh orang yang terinfeksi.
c) Kontak fisik langsung (biasanya dengan menyentuh kontaminasi tanah atau
permukaan yang terkontaminasi).
d) Transmisi udara (jika mikroorganisme dapat tetap berada di udara untuk waktu
yang lama).
e) Penularan juga bisa tidak langsung melalui organisme lain, baik vektor (seperti
nyamuk) atau inang perantara.
2.5.2 Ekosistem dan Faktor Penyebab Variasi Mikroba kulit
Kulit adalah ekosistem yang memiliki ketebalan 1,8 m 2 dengan beragam habitat
dengan banyak lipatan, invaginasi, dan relung khusus yang mendukung berbagai macam
mikroba. Peran utama kulit adalah berfungsi sebagai penghalang fisik, melindungi tubuh
manusia dari potensi serangan organisme asing atau zat beracun (Cogen, 2008). Kulit
bersinggungan langsung dengan lingkungan luar, dengan demikian kulit memiliki
beragam variasi mikroba. Namun, banyak dari mikroba ini tidak berbahaya dan dalam
beberapa kasus bersimbiosis menempati berbagai relung kulit dan melindungi dari invasi
oleh organisme yang lebih patogen atau berbahaya (Grice, 2011).

Gambar 1 Skema histologi kulit dilihat secara penampang dengan mikroorganisme dan
pelengkap kulit. Mikroba dan tungau menutupi permukaan kulit dan berada di dalam rambut dan

kelenjar. Pada permukaan kulit, bakteri batang dan bulat - seperti Proteobacteria dan

Staphylococcus spp., Masing-masing - membentuk komunitas yang sangat terkait dengan sesama

dan mikroba lain. Jamur komensal seperti Malassezia spp. tumbuh baik sebagai hifa berserabut

bercabang dan sebagai sel individu. Partikel virus hidup bebas dan di dalam sel bakteri. Tungau

kulit, seperti Demodex folliculorum dan Demodex brevis, adalah beberapa arthropoda terkecil dan

hidup di dalam atau di dekat folikel rambut. Pelengkap kulit termasuk folikel rambut, kelenjar

sebaceous dan kelenjar keringat (Grice, 2011).

Kulit sebagai ekosistem terdiri dari komponen biologis dan fisik hidup dapat
meningkatkan pemahaman kita tentang keseimbangan antara inang dan mikroba.
Gangguan keseimbangan di kedua sisi dapat menyebabkan gangguan atau infeksi kulit.
Gangguan yang mempengaruhi hubungan inang-mikroorganisme dapat bersifat endogen
(contohnya variasi genetik yang memilih komunitas mikroba tertentu) atau eksogen
(contohnya mencuci tangan) (Grice, 2011). Perbedaan habitat mikroba pada kulit
disesuaikan ketebalan kulit, lipatan, kepadatan folikel rambut dan kelenjar, serta faktor-
faktor antara lain (Cogen, 2008):
a) Invaginasi dan pelengkap
Invaginasi dan pelengkap kulit, termasuk kelenjar keringat (ekrin dan apokrin),
kelenjar sebaceous dan folikel rambut, berpengaruh terhadap variasi mikroba.
Kelenjar ekrin yang lebih banyak daripada kelenjar apokrin, ditemukan di
hampir semua permukaan kulit dan terus menerus membasahi permukaan kulit
dengan sekresi yang sebagian besar terdiri dari air dan garam. Peran utama
keringat ekrin adalah termoregulasi melalui pelepasan panas laten dari
penguapan air, termasuk ekskresi air dan elektrolit, dan pengasaman kulit yang
mencegah kolonisasi dan pertumbuhan mikroba (Grice, 2011). Kelenjar apokrin,
yang terletak di ketiak, puting susu, dan daerah genitoanal, merespons adrenalin
dengan menghasilkan sekresi seperti susu, kental, dan tidak berbau.(Martin,
2010). Kelenjar sebasea terhubung ke folikel rambut, membentuk unit
pilosebasea, dan mengeluarkan zat kaya lipid sebum. Sebum adalah lapisan
hidrofobik yang melindungi dan melumasi kulit dan rambut serta memberikan
perlindungan terhadap bakteri. Namun, kelenjar sebasea relatif anoksik dan
mendukung pertumbuhan anaerob fakultatif seperti Propionibacterium acnes
(bakteri kulit yang umum). Sekuensing genom lengkap P. acnes telah
mengungkapkan beberapa gen yang mengkode lipase yang menurunkan lipid
kulit dari sebum (Grice, 2011). P. acnes mampu menghidrolisis trigliserida yang
ada di sebum, melepaskan asam lemak bebas ke kulit yang dapat membantu
dalam kolonisasi kelenjar sebaceous. Asam lemak bebas yang dihasilkan ini juga
berkontribusi pada pH asam (~ 5) pada permukaan kulit yang menyebabkan
patogen seperti Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes dihambat
oleh pH asam (Elias, 2007).
b) Faktor Topografi
Permukaan kulit bervariasi secara topografis karena perbedaan regional dalam
anatomi kulit yang mendukung koloni mikroba yang berbeda. Beberapa daerah
kulit tersumbat sebagian, seperti selangkangan dan ketiak. Daerah ini memiliki
suhu dan kelembaban yang lebih tinggi yang mendorong pertumbuhan mikroba
yang berkembang dalam kondisi lembab (contohnya S. aureus) (Roth, 1998).
Kepadatan kelenjar sebaceous merupakan faktor lain yang mempengaruhi
mikroba kulit, seperti wajah, dada, dan punggung yang mendorong pertumbuhan
mikroorganisme lipofilik (contohnya Propionibacterium spp. dan Malassezia
spp.) Dibandingkan dengan bagian kulit lainnya, kulit lengan dan tungkai relatif
kering dan mengalami fluktuasi suhu permukaan yang besar, daerah ini memiliki
mikroba yang lebih sedikit daripada daerah lembab dari permukaan kulit (Grice,
2011).
c) Faktor Inang
Faktor inang seperti usia, lingkungan, dan jenis kelamin berkontribusi pada
variabilitas mikroba kulit. Usia memiliki pengaruh yang besar pada lingkungan.
Dalam rahim kulit janin steril, tetapi kolonisasi mikroba akan segera terjadi
setelah lahir, baik selama persalinan atau dalam beberapa menit setelah kelahiran
(Grice, 2011). Selama masa pertumbuhan, perubahan produksi sebum
berpengaruh dengan tingkat bakteri lipofilik pada kulit. Perbedaan fisiologis dan
anatomis antara lingkungan kulit laki-laki dan perempuan seperti keringat,
produksi sebum, dan hormon juga merupakan penyebab perbedaan mikroba yang
terlihat antara jenis kelamin (Dominguez-Bello, 2010).
d) Faktor lingkungan
Faktor lingkungan seperti pekerjaan, pilihan pakaian, dan penggunaan antibiotik,
dapat memodulasi kolonisasi oleh mikroba kulit. Kosmetik, sabun, produk
higienis, dan pelembab juga merupakan faktor potensial yang berkontribusi
terhadap variasi mikroba kulit (Antonopoulos, 2009). Produk-produk dan
lingkungan ini dapat mengubah kondisi pelindung kulit. Suhu tinggi dan
kelembapan tinggi yang merupakan efek dari beberapa produk mampu
meningkatan frekuensi bakteri Gram-negatif yang lebih tinggi (Grice, 2011).
Suhu berperan penting dalam mengatur jalannya reaksi metabolisme pada
mikroba (Rudiyansyah, 2015).

Daftar Rujukan
Antonopoulos, D. A., Huse, S. M., Morrison, H. G., Schmidt, T. M., Sogin, M. L., &
Young, V. B. (2009). Reproducible community dynamics of the gastrointestinal
microbiota following antibiotic perturbation. Infection and immunity, 77(6), 2367-
2375.
Bush, A. O., Fernandez, J. C., Esch, G. W., & Seed, J. R. (2001). Parasitism: the
diversity and ecology of animal parasites. Cambridge university press.
Cogen AL, Nizet V, Gallo RL. (2008) Skin microbiota: a source of disease or defence?
Br. J. Dermatol. 15(8), 442–455.
Cohn, B. A. (1994). In search of human skin pheromones. Archives of dermatology,
130(8), 1048-1051.
Dominguez-Bello, M. G., Costello, E. K., Contreras, M., Magris, M., Hidalgo, G., Fierer,
N., & Knight, R. (2010). Delivery mode shapes the acquisition and structure of the
initial microbiota across multiple body habitats in newborns. National Academy of
Sciences, 107(26), 11971-11975.
Elias, P. M. (2007). The skin barrier as an innate immune element. Seminars in
immunopathology Springer-Verlag, 29(1), 3-14.
Garna, H. (2016). Patofisiologi Infeksi Bakteri pada Kulit. Sari Pediatri, 2(4), 205-209.
Grice, E. A., & Segre, J. A. (2011). The skin microbiome. Nature reviews microbiology,
9(4), 244-253.
Handoko, A. D., Setyawati, T., & Asrinawaty, A. N. (2019). Uji Efektivitas Antibakteri
Ekstrak Daun Kersen (Muntigia calabura l.) Terhadap Bakteri Escherichia coli.
Medika Tadulako: Jurnal Ilmiah Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, 6(1), 9-21.
Kalangi, S. J. (2013). Histofisiologi kulit. Jurnal Biomedik: JBM, 5(3), 12-20.
Martin, A., Saathoff, M., Kuhn, F., Max, H., Terstegen, L., & Natsch, A. (2010). A
functional ABCC11 allele is essential in the biochemical formation of human
axillary odor. Journal of Investigative Dermatology, 130(2), 529-540.
Price, S., & Lorraine, M. (2005). Pathophysiology: clinical concepts of disease
processes 6th ed. Jakarta: EGC.
Roth, R. R., & James, W. D. (1988). Microbial ecology of the skin. Annual Reviews in
Microbiology, 42(1), 441-464.
Rudiyansyah, A. I., Wahyuningsih, N. E., & Kusumanti, E. (2015). Pengaruh Suhu,
Kelembaban, Dan Sanitasi Terhadap Keberadaan Bakteri Eschericia Coli Dan
Salmonella Di Kandang Ayam Pada Peternakan Ayam Broiler Kelurahan
Karanggeneng Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (Undip), 3(2), 196-
201.
Samuelson, J. (2008). Patologi Umum Penyakit Infeksi dalam Brooks, GF, Butel, Janet S.
Morse, SA Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Septriari, B. (2015). Infeksi Nosokomial. Yogyakarta: Nuha Medika.
Siregar, I. S. (2017). Gambaran Pengetahuan Mahasiswa Keperawatan tentang Penularan
Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit PTPN II Bangkatan Binjai Tahun 2017. Jurnal
Riset Hesti Medan Akper Kesdam I/BB Medan, 2(1), 54-59.

Anda mungkin juga menyukai