Anda di halaman 1dari 25

HAM INDONESIA

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang dibimbing
oleh Abd. Mu’id Aris Shofa, S.Pd., M.Sc.

Oleh:
Kelompok 7 / Offering C3
Afifahtus Sya’diyah (190342621236)
Astrid Shabrina Kesumareswari (190342621228)
Rahma Renata (190811636893)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


April 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “HAM Indonesia” yang bertujuan untuk memenuhi
tugas Pendidikan Kewarganegaraan. Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Bapak Abd. Mu’id Aris Shofa yang telah memberikan tugas makalah ini sehingga kami
dapat menambah pengetahuan dan wawasan kewarganegaraan yang bermanfaat. Kami
juga menyampaikan ucapan termakasih kepada Rektor Universitas Negeri Malang Prof. Dr.
AH. Rofi'uddin M.Pd. serta seluruh Civitas Akademika Universitas Negeri Malang yang
telah memberikan kesempatan kepada kami untuk berkarya, memperoleh ilmu, dan
mengembangkan diri di Universitas Negeri Malang.
Kami menyadari masih terdapat kekurangan dan kesalahan dalam penulisan makalah
ini. Oleh karena itu, kami mengharap adanya kritik dan saran yang bersifat membangun.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat, menambah wawasan, dan meningkatkan ilmu
pengetahuan pembaca.
Malang, 15 April 2021

Penyusun

2
Daftar Isi

KATA PENGANTAR ..................................................................................................2


BAB I: Pendahuluan .....................................................................................................4
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................4
1.3 Tujuan ...................................................................................................................5
BAB II: Pembahasan ....................................................................................................6
2.1 Pengertian dan Sejarah Hak Asasi Manusia di Indonesia.....................................6
2.1.1 Berbagai Pendapat tentang Pengertian HAM ..................................................6
2.1.2 Sejarah HAM ...................................................................................................7
2.1.3 Sejarah HAM di Indonesia.............................................................................10
2.2 Dasar-Dasar Konstitusional Pelaksanaan Prinsip-Prinsip HAM di Indonesia ...11
2.2.1 Konstitusi Negara...........................................................................................11
2.2.2 Ketetapan MPR No, XVII/MPR/1998 ...........................................................12
2.2.3 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ................13
2.2.4 Pasal 28 A-J UUD 1945 .................................................................................13
2.3 Pelaksanaan HAM dalam Relasi Hukum dan Kekuasaan ..................................15
2.4 Studi Kasus: Pengosongan Kolom KTP bagi Penganut Kepercayaan Lokal .....17
2.5 Studi kasus: Kasus Pelanggaran HAM Berat Tanjung Priok .............................19
BAB III: Penutup ........................................................................................................22
3.1 Kesimpulan .........................................................................................................22
3.2 Saran ...................................................................................................................23
Daftar Rujukan ...........................................................................................................24

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hak merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Hak juga merupakan unsur normatif
yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang
lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara
individu atau dengan instansi. Sedangkan Hak Asasi Manusia menurut Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Perlu
diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup
bersosialisasi dengan orang lain.

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak hak yang berasal dari harkat dan
martabat yang melekat pada manusia. Hak ini sangat mendasar atau asasi (fundamental)
sifatnya, yang mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembang sesuai dengan bakat,
cita cita, serta martabatnya. Hak ini juga dianggap universal, artinya dimiliki semua
manusia tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama, atau gender. Masalah HAM
adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era
reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi
dari pada era sebelum reformasi.

Hakekat HAM merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara


utuh melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan antara kepentingan perseorangan
dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi dan
menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama anatara
individu, pemerintah (aparatur pemerintah baik sipil maupun militer) dan Negara.

1.2 Rumusan Masalah


4
1. Apa pengertian dari HAM dan bagaimana sejarahnya?
2. Bagaimana dasar-dasar konstitusional pelaksanaan prinsip-prinsip HAM di
Indonesia?
3. Bagaimana pelaksanaan HAM dalam relasi hukum dan kekuasaan?
4. Bagaimana penyelesaian kasus yang berkenaan dengan HAM?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami pengertian HAM dan sejarahnya.
2. Mengetahui dan memahami dasar-dasar konstitusional pelaksanaan
prinsip-prinsip HAM di Indonesia.
3. Mengetahui dan memahami pelaksanaan HAM dalam relasi hukum dan
kekuasaan.
4. Mengetahui dan memahami penyelesaian kasus yang berkenaan dengan HAM.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Sejarah Hak Asasi Manusia di Indonesia


Kebebasan merupakan tuntutan manusia sebagai makhluk individu. Di sisi lain
manusia adalah makhluk sosial. Dalam kedudukan manusia sebagai makhluk sosial inilah
masalah HAM menjadi sangat kompleks. Banyak benturan manusia yang satu dengan
manusia yang lain, kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Hak dan kebebasan
secara alamiah dimiliki setiap manusia. Dalam hidup berkelompok hak ini diambil atau
didelegasikan kepada kelompoknya untuk pengaturan hidup bersama. Hak asasi manusia
yang dianut Indonesia bersumber dari Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara. Secara
konseptual HAM yang terkandung dalam Pancasila mengakomodasi aspek manusia
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Pengakuan tentang HAM secara prinsipial
tercermin dalam sila kedua (Pancasila) (Wilujeng, 2013).
2.1.1 Berbagai Pendapat tentang Pengertian HAM
Berikut ini dipaparkan berbagai pendapat tentang HAM. Dari beberapa
pendapat ini walaupun ada perbedaan namun pada dasarnya mempunyai
prinsip-prinsip yang sama:
a) Mariam Budiardjo
HAM adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia yang telah diperoleh dan
dibawanya bersamaan dengan kelahiran dan kehadirannya dalam hidup
masyarakat. Hak ini ada pada manusia tanpa membedakan bangsa, ras, agama,
golongan, jenis kelamin, karena itu bersifat asasi dan universal. Dasar dari semua
hak asasi adalah bahwa semua orang harus memperoleh kesempatan berkembang
sesuai dengan bakat dan cita-citanya. (Mariam, 1982, 120)
b) Thomas Jefferson
HAM pada dasarnya adalah kebebasan manusia yang tidak diberikan oleh Negara.
Kebebasan ini berasal dari Tuhan yang melekat pada eksistensi manusia individu.
Pemerintah diciptakan untuk melindungi pelaksanaaan hak asasi manusia.
(Majalah What is Democracy, 8)
c) Universal Declaration of Human Right
6
Dalam pembukuan dari deklarasi ini dinyatakan bahwa HAM adalah hak kodrati
yang diperoleh oleh setiap manusia berkat pemberian Tuhan Seru Sekalian Alam,
sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari hakekat manusia. Oleh karena itu setiap
manusia berhak memperoleh kehidupan yang layak, kebebasan, keselamatan dan
kebahagiaan pribadi. (Majalah What is Democracy, 20)
d) Filsuf-filsuf jaman Auflarung abad 17 – 18
HAM adalah hak-hak alamiah karunia Tuhan yang dimiliki oleh semua manusia
dan tidak dapat dicabut baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah (Wilujeng,
2013).
e) Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998
Hak asasi adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati,
universal dan abadi sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang berfungsi untuk
menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan
masyarakat yang tidak boleh diganggu gugat dan diabaikan oleh siapapun
(Wilujeng, 2013).

2.1.2 Sejarah HAM


HAM adalah masalah yang mendasar dan universal, masalah ini ada sejak
beribu-ribu tahun yang lalu. Perjuangan melawan perbudakan kaum Yahudi di Mesir
pada zaman nabi Musa pada hakekatnya didorong oleh kesadaran untuk membela
keadilan dalam rangka menegakkan HAM (Wilujeng, 2013):
a) Hukum Hamurabi
Pada zaman kerajaan Babilonia 2000 SM telah diupayakan menyusun suatu
hukum/aturan yaitu ketentuan-ketentuan yang menjamin keadilan bagi semua
warga negara. Ketentuan ini dikenal dengan nama hukum Hamurabi. Hukum ini
merupakan jaminan HAM warga negara terhadap kesewenang-wenangan
kerajaan atau kekuasaan (Wilujeng, 2013).
b) Solon
Solon 600 SM di Athena berusaha mengadakan pembaharuan dengan menyusun
undang-undang yang menjamin keadilan dan persamaan bagi setiap warga negara.
Menurut Solon orang-orang yang menjadi budak karena tidak dapat membayar
7
hutang harus dibebaskan. Untuk menjamin terlaksananya hak-hak kebebasan
warga solon menganjurkan dibentuknya Mahkamah/Pengadilan (Heliaea) dan
lembaga perwakilan rakyat atau majelis rakyat (Eclesia). (Majalah What is
Democracy, 7)
c) Perikles
Negarawan Athena yang berusaha menjamin keadilan bagi warga Negara yang
miskin. Setiap warga dapat menjadi anggota majelis rakyat dengan syarat sudah
berusia 18 tahun. Ia menawarkan system demokrasi untuk menjamin hak asasi
warga. Konsep demokrasi yang ditawarkan Perikles secara objektif mengandung
banyak kelemahan. Terlepas dari semua kelemahan itu, ia tetap dipandang sebagai
tokoh yang memperjuangkan hak asasi manusia. Ia memperjuangkaan hak-hak
politik warga yang sebelumnya tidak ada (Wilujeng, 2013).
d) Socrates – Plato – Aristoteles
Sokrates, Plato dan Aristoteles mengemukakan pemikirannya tentang hak asasi
manusia dalam kaitannya dengan kewajiban atau tugas negara. Socarates banyak
mengkritik praktek demokrasi pada masa itu. Ia mengajarkan HAM,
kebijaksanaan, keutamaan, keadilan. Lebih jauh ditekankan agar warga berani
mengkritik pemerintah yang tidak mengindahkan keadilan dan kebebasan
manusia. (Bertens, 1971, ) Ajaran ini dipandang sangat berbahaya bagi penguasa,
sehingga ia dihukum mati dengan cara minum racun. Plato dalam dialognya
Nomoi mengusulkan suatu sistem pemerintahan dimana petugas atau pejabat
dipilih oleh rakyat tetapi dengan persyaratan kemampuan dan kecakapan. Plato
berkandaskan pada sistem demikrasi langsung ala Perikles dimana demokrasi
yang berjalan justru meminggirkan hak-hak warga. (Bertens, 1971)
Sementara menurut Aristoteles, suatu negara disebut baik apabila mengabdikan
kekuasaan untuk kepentingan umum. Ia menawarkan pemerintahan atau Negara
Politeia, yaitu demokrasi yang berdasarkan undang-undang. Dalam sistem ini
seluruh rakyat ambil bagian dalam pemerintahan baik yang kaya maupun yang
miskin, yang berpendidikan atau tidak berpendidikan. (Bertens, 1971) Secara
implisit ia menganjurkan adanya persamaan bagi warga negara tanpa adanya
diskriminasi.
8
e) Magna Charta (15 Juli 1215)
Kesewenang-wenangan raja Inggris mendorong para bangsawan mengadakan
perlawanan. Raja dipaksa menanda tangani piagam besar (magna Charta) yang
berisi 63 pasal. Tujuan piagam ini adalah membela keadilan dan hak-hak para
bangsawan. Dalam perkembangannya kekuatan yang ada pada piagam ini berlaku
untuk seluruh warga. Esensi Magna Charta ini adalah supremasi hukum diatas
kekuasaan. Piagam ini menjdi landasan terbentuknya pemerintahan monarki
konstisusional. Prinsip-prinsip dalam piagam ini, pertama kekuasaan raja harus
dibatasi, kedua HAM lebih penting daripada kedaulatan atau kekuasaan raja,
ketiga dalam masalah kenegaraan yang penting temasuk pajak harus mendapatkan
persetujuaan bangsawan, keempat tidak seoran pun dari warga negara merdeka
dapat ditahan, dirampas harta kekayaannya, diperkosa hak-haknya, diasingkan
kecuali berdasarkan pertimbangan hukum. (Majalah What is Democracy, 12)
f) Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat (4 Juli 1776)
Deklarasi kemerdekaan Amerika ini menyatakan bahwa manusia diciptakan sama
dan sederajat oleh penciptanya. Semua manusia dianugrahi hak hidup,
kemerdekaan, kebebasan. Hak-hak tersebut tidak dapat dicabut oleh siapapun
juga (Wilujeng, 2013).
g) Revolusi Perancis (14 Juli 1789)
Kesewenang-wenangan raja Louis XIV mendorong munculnya revolusi Perancis.
Rakyat tertindak menyerang penjara Bastille yang merupakan simbul absolutism
raja. Semboyan revolusi perancis : perasaan, persaudaraan dan kebebasan dalam
perkembangan nya menjado landasan perjuangan HAM di Perancis. Konsep ini
bergema ke seluruh penjuru dunia. Revolusi diilhami oleh pemikiran-pemikiran
Jean Jaquas Rousseau, Montesqieuw, dan Voltaire. (Majalah What is Democracy,
20)
h) Abraham Lincoln.
Dikenal sebagai pembela HAM dan tokoh anti perbudakan. Ia menganjurkan
persamaan, kemerdekaan bagi setiap warga Negara tanpa membedakan warna
kulit, agama dan jenis kelamin (Wilujeng, 2013).
i) Franklin D. Rosevelt
9
Rosevelt mengajarkan beberapa kebebasan manusia guna mencapai perdamaian,
meliputi :
• Kebebasan berbicara
• Kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan masing-masing.
• Kebebasan dari rasa takut.
• Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan. (Majalah What is Democracy, 12)

2.1.3 Sejarah HAM di Indonesia


Tidak ada tokoh-tokoh Indonesia yang diakui secara internasional sebagai
pelopor HAM. Namun bukan berarti di Indonesia tidak ada perjuangan untuk
menegakkan HAM. Perjuangan menegakkan HAM dimulai sejak adanya penjajahan
di Indonesia. Perjuangan ini tidak semata-mata hanya perlawanan mengusir penjajah,
namun lebih jauh dari itu pada dasarnya juga merupakan perjuangan untuk
menegakkan HAM (Wilujeng, 2013).
Indonesia mengalami penjajahan berabad-abad. Pada masa itu banyak sekali
pelanggaran HAM yang merupakan fenomena umum yang terjadi. Tidak ada
kebebasan, keadilan, perasaan, rasa aman, yang terjadi adalah ekploitasi besar-besaran
terhadap manusia dan kekayaan alam Indonesia untuk kepentingan penjajah. Pada
masa penjajahan Belanda masyarakat Indonesia dibedakan menjadi tiga strata sosial.
Pembedaan kela-kelas dalam masyarakat ini mempunyai implikasi yang luas. Ada
diskriminasi di segala bidang kehidupan ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan
hukum. Ketiga strata sosial itu adalah: masyarakat Eropa sebagai kelas pertama,
masyarakat Timut Asing (China, India Arab) sebagai kelas dua dan masyarakat
Irlander sebagai masyarakat kelas tiga. Perlakuan manusia yang didasarkan pada
diskriminasi inilah yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia sebagai
makhluk Tuhan yang sederajat. Kondisi semacam ini mendorong tokoh-tokoh pejuang
untuk mengangkat senjata (Wilujeng, 2013)
Tonggak-tonggak sejarah perjuangan HAM adalah sebagai berikut :
a) Kebangkitan Nasional (20 Mei 1908)
b) Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928)

10
c) Proklamasi Kemerdekaan (17 Agustus 1945); merupakan puncak perjuangan
untuk menghapuskan penjajahan dengan penetapan Undang-undang Dasar 1945
yang didalamnya terkandung pengakuan HAM.
d) UUD RIS dan UUDS 1950 secara implicit mencantumkan konsep HAM.
e) Siding Umum MPRS tahun 1966 menetapkan Ketetapan MPRS Nomor
XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Ad Hock untuk menyiapkan
dokumen rancangan Piagam HAM dan Hak serta Kewajiban Warga Negara.
Namun setelah meletusnya G30S/PKI masalah ini tertunda.
f) Tahun 1993 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 dibentuk
Komisi Hak Asasi Manusia.
g) Perumusan HAM mencapai kemajuan dengan dimasukkan masalah ini dalam
GBHN Tahun 1998.
h) Siding Istimewa MPR 1998 telah berhasil merumuskan Piagam HAM secara
ekplisit lewat Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Pandangan
dan Sikap Bangsa Indonesia Terhadap HAM.
i) Ketetapan MPR Nomor XVII ini dijabarkan dalam Undang-undang RI Nomor 39
Tahun 2000 sebagai Hukum Positif bagi pelaksanaan HAM di Indonesia.

2.2 Dasar-Dasar Konstitusional Pelaksanaan Prinsip-Prinsip HAM di Indonesia


2.2.1 Konstitusi Negara
Di dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, Indonesia pernah
menggunakan tiga macam konstitusi, yaitu (Sardol, 2014):
a) Undang-Undang Dasar 1945 (tanggal 18 Agustus 1945-27 Desember
1949).
b) Konstitusi RIS (tanggal 27 Desember 1949-17 Agustus 1950).
c) Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 (tanggal 17 Agustus 1950-5
Juli 1959).
d) Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 (tanggal 5 Juli
1959-sekarang).
Antara Pembukaan UUD 1945 dan Mukadimah UUDS 1950 memuat materi
kalimat yang hampir sama, sedangkan materi Mukadimah Konstitusi RIS memiliki
11
kalimat singkat dengan esensinya yang sama, yaitu memuat pernyataan tentang hak
asasi untuk merdeka dan esensi Pancasila sebagai dasar negara. Lebih lanjut tentang
HAM ini dicantumkan dalam pasal-pasal ketiga konstitusi tersebut. Di dalam UUD
1945 sebelum diamandemen hanya ada lima pasal yang mengandung HAM, yaitu
pasal 27 -31. Setelah amandemen kedua pada tanggal 18 Agustus 2000, khusus
tentang HAM ditambahkan dalam satu Bab khusus yaitu Bab X A Pasal 28 A-J. Di
dalam Konstitusi RIS 1949 memuat 35 pasal tentang HAM yaitu dalam Bagian V
tentang Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia dari pasal 7-41.
Sedangkan dalam UUD Sementara 1950 memuat 37 pasal, yaitu dalam Bagian V
tentang Hak-Hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia dari Pasal 7-43 (Sardol,
2014)

2.2.2 Ketetapan MPR No, XVII/MPR/1998


Setelah peralihan kekuasaan pemerintahan di era reformasi yang lebih
mengedepankan hukum dan keterbukaan, MPR menerbitkan Ketetapan MPR No,
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Di dalam ketetapan ini MPR
menegaskan bahwa hak-hak asasi manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa
yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi berkait dengan
harkat dan martabat manusia (Sardol, 2014)
Hak-hak asasi manusia, menurut Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998
(Tukiran, 2011) meliputi:
1) Hak untuk hidup.
2) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan,
3) Hak mengembangkan diri.
4) Hak keadilan,
5) Hak kemerdekaan.
6) Hak atas kebebasan informasi.
7) Hak keamanan.
8) Hak kesejahteraan.
9) Hak perlindungan dan pemajuan.

12
Karena substansi ketetapan MPR ini sudah ditindaklanjuti dengan keluarnya
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UUD 1945 juga sudah di amandemen
dengan menambahkan Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, maka keberadaan
Ketetapan MPR No, XVII/MPR/1998 dianggap sudah tidak valid lagi, sehingga telah
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan pasal 1 angka 8 Ketetapan MPR
No. I/MPR/2003 (Sardol, 2014).

2.2.3 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia


Tanggal 23 September 1999 pemerintah bersama DPR menetapkan UU No.39
Tahun 1999 tentang HAM. Substansi HAM menurut UU No. 39 tahun 1999 pada
dasarnya merupakan pengembangan hak menurut Ketetapan MPR No,
XVII/MPR/1998, yang memuat hak pokok yang terdiri dari (Tukiran, 2011).
1) Hak untuk hidup,
2) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan,
3) Hak mengembangkan diri.
4) Hak memperoleh keadilan,
5) Hak atas kebebasan pribadi.
6) Hak atas rasa aman.
7) Hak atas kesejahteraan.
8) Hak untuk turut sertadalam pemerintahan.
9) Hak khusus bagi wanita.
10) Hak anak.

2.2.4 Pasal 28 A-J UUD 1945


Dalam sidang pada tanggal 18 Agustus 2000 MPR menambahkan bab khusus
tentang HAM sebagaimana tertuang dalam Bab X A Pasal 28 A-J.Pada prinsipnya Hak
-hak Asasi Manusia yang terkandung dalam bab tersebut adalah sebagai berikut (UUD
1945 Dalam Satu Naskah, 2002):
1) Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya.
2) Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.
13
3) Hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
4) Hak untuk mengembangkan diri, mendapat pendidikan, memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi
meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat.
5) Hak untuk memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif.
6) Hak atas pengakuan, jaminan, perlidungan dan kepastian hukum serta
perlakuan yang sama didepan hukum.
7) Hak untuk bekerja dan memperoleh imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja.
8) Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
9) Hak atas status kewarganegaraan.
10) Hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal.
11) Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, mencari,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia.
12) Hak untuk mendapat perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat dan harta benda serta rasa aman dan perlindungan dari rasa takut.
13) Hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat
serta hak mendapatkan suaka politik dari Negara lain.
14) Hak untuk hidup sejahtera lahir dan bathin dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan.
15) Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan.
16) Hak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya
secara utuh.

14
17) Hak untuk mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
boleh diambil secara sewenang-wenang dari siapapun.
18) Hak untuk hidup, untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan fikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak tidak diperbudak, untuk diakui sebagai pribadi,
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
19) Hak untuk bebas dari perlakuan dan mendapatkan perlindungan dari
tindak diskriminatif.
20) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.
21) Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manu-sia
adalah tanggungjawab Negara, terutama pemerintah.
22) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan
prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
23) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
24) Dalam menjalan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, kemauan dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.

2.3 Pelaksanaan HAM dalam Relasi Hukum dan Kekuasaan


Pada prinsipnya, hukum dan kekuasaan berhubungan satu dengan lainnya. Menurut
Safriani (2017:37), hukum ada karena dibuat oleh penguasa yang sah dan perbuatan
penguasa diatur oleh hukum yang dibuatnya. Dalam hal ini harus ada keseimbangan
antara hukum dan kekuasaan, artinya untuk menjalankan kekuasaan harus ada hukum
sebagai batasan bagi pelaksanaan kekuasaan tersebut dan dalam pelaksanaan hukum
tersebut harus ada kekuasaan bagi penegak hukum agar hukum tersebut dapat ditaati oleh
15
masyarakat. Luthfan (2007:166) juga menjelaskan bahwa dalam kehidupan masyarakat,
kekuasaan memiliki arti penting bagi hukum karena kekuasaan bukan hanya instrumen
pembentukan hukum, namun juga instrumen penegakan hukum. Sementara itu, hukum
juga memiliki arti penting bagi kekuasaan karena hukum dapat berperan sebagai sarana
legalisasi bagi kekuasaan formal bagi lembaga negara, pejabat negara dan pemerintahan.
Salah satu fungsi hukum terhadap kekuasaan yaitu untuk mengatur dan membatasi
kekuasaan.
Beradasarkan penjelasan mengenai hubungan antara hukum dan kekuasaan, kedua
aspek tersebut dapat dikaitkan dengan pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) di
Indonesia. Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis wajib melindungai HAM
setiap warga negaranya. Dalam hal ini, aturan terkair dengan HAM di negara hukum
harus tertuang dalam konstitusi ataupun hukum nasional (Aswandi & Roisah, 2019:128).
HAM merupakan hak individu yang melekat dalam diri tiap individu sejak dilahirkan.
Sehingga adanya HAM pada tiap individu tidak dapat dicabut oleh siapapun karena
merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa (Sutiyoso, 2016:84). Dalam sudut
pandang sosiologi, HAM yang berbasis pada hak individual tidak terlepas dari sistem
negara dan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa politik. Pada dasarnya hukum negara
tidak dibuat untuk menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan
untuk menjamin kepentingan segenap warga negara (Gaffar, 2012).
Hukum menjadi instrumen penting dalam perlindungan dan penegakan HAM di
Indonesia. Dalam melindungi dan menegakkan HAM, harus dipastikan hukum menjadi
instrumen dalam pengawasan bahkan pembatasan kepada otoritas publik atau negara agar
tidak terjadi abuse of power. Hal ini sering menjadi penyebab awal pelanggaran HAM
dalam banyak kasus (Putra, 2015:200). Di Indonesia sendiri, hukum terdapat dalam
konstitusi berupa UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan. Konstitusi sangat
berkaitan erat dengan pembatasan kekuasaan. Gagasan konstitusionalisme berupa
pembatasan kekuasaan pemerintahan yang diatur dalam konstitusi dapat menjamin
adanya perlindungan HAM (Asshidiqqie, 2006). Berdasarkan penjelasan dari Supriyanto
(2014:158), terjadinya kasus pelanggaran HAM dapat diadili sesuai dengan pelanggaran
HAM yang dilakukannya di dalam wilayah hukum Indonesia. Para pelaku pelanggaran
HAM dapat dijatuhi hukuman dengan tanpa pandang bulu dan pilih kasih dengan
16
berdasarkan peraturan hukum yang mengatur tengang Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Pemberian hukuman terhadap pelaku pelanggaran HAM harus dilakukan agar mereka
tidak mudah melakukan pelanggaran lain yang dapat memberikan trauma psikologi
terhadap korbannya.
Kewajiban negara yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia diwujudkan melalui
perlindungan HAM bagi setiap individu dari penyalahgunaan kekuasaan negara,
menjamin eksistensi HAM setiap individu dalam ketentuan hukum maupun dalam
pelaksanaannya, serta memenuhi hak terkait HAM untuk setiap individu. Pemenuhan
HAM setiap warga negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 (Muhammad, 2018:31).
Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 terdiri dari atas 105 pasal yang meliputi
macam-macam hukum asasi, perlindungan hak asasi, dan pembatasan terhadap
kewenangan pemerintah. Komisi Nasional (Komnas) HAM ditetapkan sebagai lembaga
pelaksana atas perlindungan atas hak-hak asasi manusia di Indonesia. Demi tegaknya
HAM setiap individu, maka diatur pula kewajiban dasar manusia yang meliputi
kewajiban untuk menghormati Hak Asasi Manusia orang lain dan konsekuensi yang
harus diterima oleh setiap individu untuk taat pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Suhargo, 2017:5).
Selain Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, terdapat juga peraturan
perundang-undangan lain yang membahas tentang HAM yaitu Undang-undang Nomor 26
Tahun 2000. Isi dari undang-undang ini terkait pengadilan HAM yang merupakan salah
satu bentuk apresiasi berupa perlindungan HAM dari segala bentuk pelanggaran HAM
yang terjadi di negara ini. Dalam undang-undang ini diatur tentang bentuk pelanggaran
HAM berat berupa kejahatan terhadap genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
(Endri, 2014:184). Menurut Suhargo (2017:6), kejahatan genosida meliputi setiap
perbuatan yang bertujuan untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, dan kelompok agama. Sementara itu,
kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.

2.4 Studi Kasus: Pengosongan Kolom KTP bagi Penganut Kepercayaan Lokal
17
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki beragam bahasa, suku bangsa,
budaya, dan agama. Keberagaman ini disatukan dengan semboyan "Bhineka Tunggal
Ika" yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Beragam agama dan keyakinan tumbuh
di Indonesia dimulai sejak awal perkembangan negara hingga saat ini. Adapun beberapa
agama yang diakui oleh negara Indonesia, yaitu islam, kristen (protestan dan katolik),
hindu, budha, dan konghucu. Keberadaan enam agama ini eksis di Indonesia dan
memiliki banyak penganut. Namun selain beberapa agama yang telah disebutkan tadi,
ternyata masih banyak masyarakat yang masih mempercayai kepercayaan lokal. Hal ini
terjadi secara turun temurun dan menjadi tradisi di masyarakat tersebut.
Menurut Hasan (2018:1), diduga keberadaan kepercayaan lokal dari nenek moyang
tetap bertahan ketika ajaran agama hindu, budha, islam, dan kristen masuk ke Indonesia
melalui jalur perdagangan, perkawinan, dan sebagainya. Kepercayaan lokal umumnya
masih dianut secara turun menurun oleh suku-suku di daerah Indonesia. Sehingga
kepercayaan lokal yang ada tidak mengalami kepunahan dan dapat tetap eksis hingga
sekarang meskipun zaman semakin berkembang. Permasalahannya adalah dalam bidang
administrasi negara, negara hanya mengakui enam agama, yaitu islam, kristen (protestan
dan katolik), hindu, budha, dan konghucu yang dapat ditulis dalam kartu atau surat
kependudukan. Padahal ada juga aliran penganut kepercayaan lokal dari nenek moyang
yang juga telah lama ada di Indonesia, bahkan sebelum keenam agama yang telah
disebutkan tadi datang ke Indonesia (Jazila, 2018).
Akibat dari permasalahan adalah terjadi diskriminasi yang dirasakan oleh para
penganut kepercayaan lokal karena terdapat Undang-Undang Administrasi
Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 Pasal 64 ayat (2) yang mengharuskan
pengosongan kolom agama bagi para penganut agama yang belum diakui perundangan
atau penghayat kepercayaan. Pengosongan kolom agama yang dalam KTP atau KK dapat
dilakukan dengan kolom dikosongi dan/atau diberi tanda (-). Pengosongan kolom agama
dalam KTP menyebabkan para penganut kepercayaan lokal mendapatkan diskriminasi
dengan tidak terpenuhinya hak-hak dasar mereka sebagai warga negara. Dampak dari hal
tersebut adalah penerimaan hak-hak negara yang dipersulit, seperti hak atas kesehatan,
pekerjaan, pendidikan, jaminan sosial, dan lainnya. Padahal hak-hak seluruh layanan
kenegaraan telah dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Bahkan
18
mereka juga dapat berurusan dengan hukum karena dianggap tidak memiliki identitas
yang jelas. Tindakan diskrimasi yang diterima oleh penganut kepercayaan lokal membuat
sebagian besar orang terpaksa untuk berpura-pura menjadi penganut agama mayoritas
agar kedudukannya dalam negara juga diakui oleh pemerintah RI. Secara tidak langsung,
pemerintah telah melanggar HAM terkait hal ini karena tidak memberikan kebebasan
pada warga negaranya untuk menganut agama sesuai dengan kepercayaan
masing-masing.
Tindakan diskriminasi tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 ayat 3 yang menyebutkan bahwa diskriminasi adalah
“Setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung
didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang
berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau
penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual
maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek
kehidupan lainnya”. Pola diskriminasi yang terjadi adalah ketika negara menolak
mencantumkan agama seorang warga negara pada kolom agama di KTP atau KK karena
agama/kepercayaannya belum diakui negara, dan bagian kolom agama dikosongi atau
diberi tanda “-“.
Terdapat perkara pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan tentang perubahan dengan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2013 yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Setelah perubahan itu terjadi,
para penganut kepercayaan lokal dapat mencantumkan aliran kepercayaan di kolom
agama ketika membuat KTP. Hal ini berdampak pada pemenuhan hak-hak dasar negara
oleh penganut kepercayaan, sehingga mereka dapat menerima hak-haknya sebagai warga
negara termasuk kebebasan untuk memeluk agama atau keyakinan masing-masing.

2.5 Studi kasus: Kasus Pelanggaran HAM Berat Tanjung Priok


Latar belakang kasus Tajung Priok bermula pada Sabtu, 8 September 1984, dua
Bintara Pembina Desa (Babinsa) dari Koramil datang ke Musala As-Sa’adah di Gang IV
19
Koja, Tanjung Priok. Mereka memasuki area tempat ibadah tanpa melepas sepatu dengan
maksud mencopot pamflet yang dianggap berisi ujaran kebencian terhadap pemerintah.
Kelakuan dua Babinsa ini yang berusaha menghapus dengan air comberan segera menjadi
kasak-kusuk di kalangan jemaah dan warga sekitar kendati masih menahan diri untuk
tidak langsung merespons secara frontal. Namun, tidak pernah ada upaya nyata dari
pemerintah atau pihak-pihak yang berwenang untuk segera menyelesaikan masalah ini
secara damai sebelum terjadi polemik yang lebih besar.
Dua hari kemudian, terjadi pertengkaran antara beberapa jemaah musala dengan
tentara pelaku pencemaran rumah ibadah. Adu mulut itu sempat terhenti setelah dua
Babinsa itu diajak masuk ke kantor pengurus Masjid Baitul Makmur yang terletak tidak
jauh dari musala. Namun, kabar telah terlanjur beredar sehingga masyarakat mulai
berdatangan ke masjid. Situasi tiba-tiba ricuh karena salah seorang dari kerumunan
membakar sepeda motor milik tentara. Aparat yang juga sudah didatangkan segera
bertindak mengamankan orang-orang yang diduga menjadi provokator. Empat orang
ditangkap, termasuk oknum pembakar motor. Penahanan tersebut membuat massa
semakin kesal terhadap aparat.
Lalu pada 11 September 1984, jemaah meminta bantuan kepada Amir Biki untuk
merampungkan permasalahan ini. Amir Biki adalah tokoh masyarakat yang dianggap
mampu memediasi antara massa dengan tentara di Kodim maupun Koramil. Amir Biki
segera merespons permintaan jemaah itu dengan mendatangi Kodim untuk
menyampaikan tuntutan agar melepaskan 4 orang yang ditahan. Namun, ia tidak
memperoleh jawaban yang pasti, bahkan terkesan dipermainkan oleh petugas-petugas di
Kodim itu (Kontras, Mereka Bilang di Sini Tidak Ada Tuhan: Suara Korban Tragedi
Priok, 2004:19).
Lantaran permohonan pembebasan 4 tahanan itu tetap tidak digubris hingga
menjelang pergantian hari, maka paginya, 12 September 1984, sekitar 1.500 orang
bergerak, sebagian menuju Polres Tanjung Priok, yang lainnya ke arah Kodim yang
berjarak tidak terlalu jauh, hanya sekira 200 meter.
Massa yang menuju Polres ternyata sudah dihadang pasukan militer dengan
persenjataan lengkap. Bahkan, tidak hanya senjata saja yang disiapkan, juga alat-alat
berat termasuk panser (Kontras, 2004: 20). Peringatan aparat dibalas takbir oleh massa
20
yang terus merangsek. Para tentara langsung menyambutnya dengan rentetan tembakan
dari senapan otomatis.
Korban mulai bergelimpangan. Ribuan orang panik dan berlarian di tengah hujan
peluru. Aparat terus saja memberondong massa dengan membabi-buta.
Dari arah pelabuhan, dua truk besar yang mengangkut pasukan tambahan datang
dengan kecepatan tinggi. Tak hanya memuntahkan peluru, dua kendaraan berat itu juga
menerjang dan melindas massa yang sedang bertiarap di jalanan. Suara jerit kesakitan
berpadu dengan bunyi gemeretak tulang-tulang yang remuk. Pernyataan Djaelani di
pengadilan mengamini bahwa aksi brutal aparat itu memang benar-benar terjadi.
Kejadian serupa dialami rombongan pimpinan Amir Biki yang menuju Kodim. Aparat
meminta 3 orang perwakilan untuk maju, sementara yang lain harus menunggu.
Ketika 3 perwakilan massa itu mendekat, tentara justru menyongsong mereka dengan
tembakan yang memicu kepanikan massa. Puluhan orang tewas dalam fragmen ini,
termasuk Amir Biki (Ikrar Nusa Bhakti, Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru, 2001:
56). Tidak diketahui secara pasti berapa korban, baik yang tewas, luka-luka, maupun
hilang, dalam tragedi di Tanjung Priok karena pemerintah Orde Baru menutupi fakta
yang sebenarnya. Panglima ABRI saat itu, L.B. Moerdani, mengatakan bahwa 18 orang
tewas dan 53 orang luka-luka dalam insiden tersebut (A.M. Fatwa, Pengadilan HAM ad
hoc Tanjung Priok, 2005: 123). Penyelesaian kerusuhan tersebut adalah dengan
menangkap dan menghukum pihak yang dianggap sebagai oknum militer pemicu
kerusuhan yang menyebar pamflet anti pemerintah kepada warga selain menggunakan
senjata dalam menghentikan demonstran. Namun, penyelesaian tersebut bukanlah solusi
ideal karena masih menyisahkan sejumlah misteri. Kerusuhan tersebut mengakibatkan
jatuhnya kurang lebih 700 korban dimana mayat-mayat demonstran umumnya diangkut
dan dimakamkan tanpa nisan dan sekitar 400 warga Tanjung Priok hilang atau terbunuh.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan seperangkat hak yang dimiliki setiap
individu, bersifat universal, dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.
Sejarah hak asasi manusia secara khusus dapat ditelusuri sejak adanya Magna
Charta di Inggris (1215), Habeas Corpus Act (1679), Petition of Rights (1689),
dan Bill of Rights (1689).
2. Landasan konstitusional Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945.
Pengaturan Hak Asasi Manusia tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke-1
dan ke-4, pasal 27, pasal 28, pasal 28 A-28 J, pasal 29, pasal 30, pasal 31, pasal 32,
pasal 33, dan pasal 34 UUD 1945.
3. Hukum menjadi instrumen penting dalam perlindungan dan penegakan HAM di
Indonesia. Di Indonesia sendiri, hukum terdapat dalam konstitusi yang sangat
berkaitan erat dengan pembatasan kekuasaan. Gagasan konstitusionalisme berupa
pembatasan kekuasaan pemerintahan yang diatur dalam konstitusi dapat
menjamin adanya perlindungan HAM. Adapun beberapa peraturan
perundang-undangan tentang HAM seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
4. Kasus pengosongan kolom KTP pada para penganut kepercayaan lokal terjadi
karena adanya diskriminasi pihak pemerintah. Diskriminasi terjadi sebab
seseorang tidak menganut agama mayoritas yang ada di Indonesia, yaitu islam,
kristen (protestan dan katolik), hindu, budha, dan konghucu, sehingga selain
penganut agama yang sudah disebutkan maka pada kolom agama akan dikosongi.
Dampak dari diskriminasi ini adalah tidak terpenuhinya hak-hak dasar sebagai
warga negara terkait pelayanan sosial.
5. Salah satu kasus pelanggaran HAM berat dalam sejarah Indonesia yaitu terjadinya
peristiwa Tanjung Priok pada tahun 1984 di Tanjung Priok, Jakarta. Dalam
peristiwa ini, pelanggaran HAM yang terjadi berkaitan dengan pembunuhan,
penangkapan dan penahanan dengan sewenang-wenang, penyiksaan, serta

22
penghilangan orang secara paksa. Tentu saja peristiwa ini termasuk ke dalam
pelanggaran HAM berat karena dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang
dan banyak orang celaka.

3.2 Saran
Hak Asasi Manusia berupa seperangkat hak istimewa yang dimiliki setiap individu
dan bersifat universal. Terkait pelaksanaan HAM, perlu adanya tindakan nyata terkait
perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia agar setiap individu mendapatkan hak
dasarnya sebagai warga negara, serta diperlukan tindakan yang tegas bagi siapa saja yang
melakukan pelanggaran HAM di Indonesia. Kasus pelanggaran HAM perlu diminalisir
agar korban dari pelanggaran HAM dapat pulih dari trauma secara psikologi yang
mempengaruhi mentalnya.

23
Daftar Rujukan
Asshidiqqie, J. 2006. Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press.
Aswandi, B. & Roisah, K. 2019. Negara Hukum dan Demokrasi Pancasila dalam
Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Jurnal Pembangunan Hukum
Indonesia, 1(1), 128-145.

Bertens, K. (1971). Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius.


Dwi Sulisworo, Tri. Wahyuningsih, Dikdik., dan Baehaqi Arif. (2012). Hak
Azasi Manusia. Diakses pada 16 April 2021, dari
http://eprints.uad.ac.id/9434/1/HAM%20Dwi.pdf
Endri. 2014. Implementasi Pengaturan Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Jurnal Selat, 2(1), 182-187.
Gaffar, J. M. 2012. Demokrasi Konstitusional Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah
Perubahan UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press.
Hasan, A. P. F. 2018. Pencantuman Aliran Kepercayaan dalam Kolom KTP Perspektif
Fiqih Siyasah. Skripsi. Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah.
Jazila, S. 2018. Governance dan Kolom Agama Pada Administrasi Kependudukan, 1-16.
Luthan, S. 2007. Hubungan Hukum dan Kekuasaan. Jurnal Hukum, 2(14), 166-184.

Majalah, What is Democracy. (1991). United State Information Agency.


Mariam, B. (1985). Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia.
Muhammad, M. 2018. Hak Asasi Manusia dalam Hukum Positif dengan Konsep
Constitutional Importance. Meraja Journal, 1(2), 31-38.
Putra, M. A. 2015. Perkembangan Muatan HAM dalam Konstitusi di Indonesia. Fiat
Justisia Jurnal Ilmu Hukum, 9(2), 199-216.
Safriani, A. 2017. Telaah Terhadap Hubungan Hukum dan Kekuasaan. Jurisprudentie,
4(2), 37-45.

Sardol, S. M. (2014). Human Rights Arrangement on Indonesian Law. Rechtsidee, 1(1),


85-100.
Suhargo, R. 2017. Pengaturan Hukum terhadap Penegakan Hak Azasi Manusia di
Indonesia. Jurnal Ilmiah Muqoddimah, 2(1), 1-13.

24
Supriyanto, B. H. 2014. Penegakan Hukum Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM)
Menurut Hukum Positif di Indonesia. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata
Sosial, 2(3), 151-168.
Sutiyoso, B. 2016. Konsepsi HakAsasi Manusia dan Implementasinya di Indonesia.
UNISIA, 44, 84-94.

Tirto.id. (2019, 12 September). Sejarah Tragedi Tanjung Priok: Kala Orde Baru
Menghabisi Umat Islam. Diakses pada 16 April 2021, dari
https://tirto.id/sejarah-tragedi-tanjung-priok-kala-orde-baru-menghabisi-umat-islam-cwpi
Tukiran, T. (2011). Pendidikan Kewarganegaraan, ed. 2. Kewarganegaraan and Tim
Nasional Dosen Pendidikan. Bandung: Alfabeta. p. 143.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Dalam Satu
Naskah (Jakarta, Indonesia: www.mpr.go.id, 2002),
https://www.mpr.go.id/pages/produk-mpr/uud-nri-tahun-1945/uud-nri-tahun-194
5-dalam-satu-naskah.
Wilujeng, S. R. (2013). Hak Asasi Manusia: Tinjauan dari aspek historis dan yuridis.
Humanika, 18(2).
Zuairiah. PPKn HAM Kelas Tinggi. Diakses pada 16 April 2021, dari
https://osf.io/af5vh/download/?format=pdf

25

Anda mungkin juga menyukai