MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang dibimbing
oleh Abd. Mu’id Aris Shofa, S.Pd., M.Sc.
Oleh:
Kelompok 7 / Offering C3
Afifahtus Sya’diyah (190342621236)
Astrid Shabrina Kesumareswari (190342621228)
Rahma Renata (190811636893)
Penyusun
2
Daftar Isi
3
BAB I
PENDAHULUAN
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak hak yang berasal dari harkat dan
martabat yang melekat pada manusia. Hak ini sangat mendasar atau asasi (fundamental)
sifatnya, yang mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembang sesuai dengan bakat,
cita cita, serta martabatnya. Hak ini juga dianggap universal, artinya dimiliki semua
manusia tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama, atau gender. Masalah HAM
adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era
reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi
dari pada era sebelum reformasi.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami pengertian HAM dan sejarahnya.
2. Mengetahui dan memahami dasar-dasar konstitusional pelaksanaan
prinsip-prinsip HAM di Indonesia.
3. Mengetahui dan memahami pelaksanaan HAM dalam relasi hukum dan
kekuasaan.
4. Mengetahui dan memahami penyelesaian kasus yang berkenaan dengan HAM.
5
BAB II
PEMBAHASAN
10
c) Proklamasi Kemerdekaan (17 Agustus 1945); merupakan puncak perjuangan
untuk menghapuskan penjajahan dengan penetapan Undang-undang Dasar 1945
yang didalamnya terkandung pengakuan HAM.
d) UUD RIS dan UUDS 1950 secara implicit mencantumkan konsep HAM.
e) Siding Umum MPRS tahun 1966 menetapkan Ketetapan MPRS Nomor
XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Ad Hock untuk menyiapkan
dokumen rancangan Piagam HAM dan Hak serta Kewajiban Warga Negara.
Namun setelah meletusnya G30S/PKI masalah ini tertunda.
f) Tahun 1993 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 dibentuk
Komisi Hak Asasi Manusia.
g) Perumusan HAM mencapai kemajuan dengan dimasukkan masalah ini dalam
GBHN Tahun 1998.
h) Siding Istimewa MPR 1998 telah berhasil merumuskan Piagam HAM secara
ekplisit lewat Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Pandangan
dan Sikap Bangsa Indonesia Terhadap HAM.
i) Ketetapan MPR Nomor XVII ini dijabarkan dalam Undang-undang RI Nomor 39
Tahun 2000 sebagai Hukum Positif bagi pelaksanaan HAM di Indonesia.
12
Karena substansi ketetapan MPR ini sudah ditindaklanjuti dengan keluarnya
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UUD 1945 juga sudah di amandemen
dengan menambahkan Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, maka keberadaan
Ketetapan MPR No, XVII/MPR/1998 dianggap sudah tidak valid lagi, sehingga telah
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan pasal 1 angka 8 Ketetapan MPR
No. I/MPR/2003 (Sardol, 2014).
14
17) Hak untuk mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
boleh diambil secara sewenang-wenang dari siapapun.
18) Hak untuk hidup, untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan fikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak tidak diperbudak, untuk diakui sebagai pribadi,
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
19) Hak untuk bebas dari perlakuan dan mendapatkan perlindungan dari
tindak diskriminatif.
20) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.
21) Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manu-sia
adalah tanggungjawab Negara, terutama pemerintah.
22) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan
prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
23) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
24) Dalam menjalan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, kemauan dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.
2.4 Studi Kasus: Pengosongan Kolom KTP bagi Penganut Kepercayaan Lokal
17
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki beragam bahasa, suku bangsa,
budaya, dan agama. Keberagaman ini disatukan dengan semboyan "Bhineka Tunggal
Ika" yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Beragam agama dan keyakinan tumbuh
di Indonesia dimulai sejak awal perkembangan negara hingga saat ini. Adapun beberapa
agama yang diakui oleh negara Indonesia, yaitu islam, kristen (protestan dan katolik),
hindu, budha, dan konghucu. Keberadaan enam agama ini eksis di Indonesia dan
memiliki banyak penganut. Namun selain beberapa agama yang telah disebutkan tadi,
ternyata masih banyak masyarakat yang masih mempercayai kepercayaan lokal. Hal ini
terjadi secara turun temurun dan menjadi tradisi di masyarakat tersebut.
Menurut Hasan (2018:1), diduga keberadaan kepercayaan lokal dari nenek moyang
tetap bertahan ketika ajaran agama hindu, budha, islam, dan kristen masuk ke Indonesia
melalui jalur perdagangan, perkawinan, dan sebagainya. Kepercayaan lokal umumnya
masih dianut secara turun menurun oleh suku-suku di daerah Indonesia. Sehingga
kepercayaan lokal yang ada tidak mengalami kepunahan dan dapat tetap eksis hingga
sekarang meskipun zaman semakin berkembang. Permasalahannya adalah dalam bidang
administrasi negara, negara hanya mengakui enam agama, yaitu islam, kristen (protestan
dan katolik), hindu, budha, dan konghucu yang dapat ditulis dalam kartu atau surat
kependudukan. Padahal ada juga aliran penganut kepercayaan lokal dari nenek moyang
yang juga telah lama ada di Indonesia, bahkan sebelum keenam agama yang telah
disebutkan tadi datang ke Indonesia (Jazila, 2018).
Akibat dari permasalahan adalah terjadi diskriminasi yang dirasakan oleh para
penganut kepercayaan lokal karena terdapat Undang-Undang Administrasi
Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 Pasal 64 ayat (2) yang mengharuskan
pengosongan kolom agama bagi para penganut agama yang belum diakui perundangan
atau penghayat kepercayaan. Pengosongan kolom agama yang dalam KTP atau KK dapat
dilakukan dengan kolom dikosongi dan/atau diberi tanda (-). Pengosongan kolom agama
dalam KTP menyebabkan para penganut kepercayaan lokal mendapatkan diskriminasi
dengan tidak terpenuhinya hak-hak dasar mereka sebagai warga negara. Dampak dari hal
tersebut adalah penerimaan hak-hak negara yang dipersulit, seperti hak atas kesehatan,
pekerjaan, pendidikan, jaminan sosial, dan lainnya. Padahal hak-hak seluruh layanan
kenegaraan telah dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Bahkan
18
mereka juga dapat berurusan dengan hukum karena dianggap tidak memiliki identitas
yang jelas. Tindakan diskrimasi yang diterima oleh penganut kepercayaan lokal membuat
sebagian besar orang terpaksa untuk berpura-pura menjadi penganut agama mayoritas
agar kedudukannya dalam negara juga diakui oleh pemerintah RI. Secara tidak langsung,
pemerintah telah melanggar HAM terkait hal ini karena tidak memberikan kebebasan
pada warga negaranya untuk menganut agama sesuai dengan kepercayaan
masing-masing.
Tindakan diskriminasi tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 ayat 3 yang menyebutkan bahwa diskriminasi adalah
“Setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung
didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang
berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau
penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual
maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek
kehidupan lainnya”. Pola diskriminasi yang terjadi adalah ketika negara menolak
mencantumkan agama seorang warga negara pada kolom agama di KTP atau KK karena
agama/kepercayaannya belum diakui negara, dan bagian kolom agama dikosongi atau
diberi tanda “-“.
Terdapat perkara pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan tentang perubahan dengan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2013 yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Setelah perubahan itu terjadi,
para penganut kepercayaan lokal dapat mencantumkan aliran kepercayaan di kolom
agama ketika membuat KTP. Hal ini berdampak pada pemenuhan hak-hak dasar negara
oleh penganut kepercayaan, sehingga mereka dapat menerima hak-haknya sebagai warga
negara termasuk kebebasan untuk memeluk agama atau keyakinan masing-masing.
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan seperangkat hak yang dimiliki setiap
individu, bersifat universal, dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.
Sejarah hak asasi manusia secara khusus dapat ditelusuri sejak adanya Magna
Charta di Inggris (1215), Habeas Corpus Act (1679), Petition of Rights (1689),
dan Bill of Rights (1689).
2. Landasan konstitusional Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945.
Pengaturan Hak Asasi Manusia tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke-1
dan ke-4, pasal 27, pasal 28, pasal 28 A-28 J, pasal 29, pasal 30, pasal 31, pasal 32,
pasal 33, dan pasal 34 UUD 1945.
3. Hukum menjadi instrumen penting dalam perlindungan dan penegakan HAM di
Indonesia. Di Indonesia sendiri, hukum terdapat dalam konstitusi yang sangat
berkaitan erat dengan pembatasan kekuasaan. Gagasan konstitusionalisme berupa
pembatasan kekuasaan pemerintahan yang diatur dalam konstitusi dapat
menjamin adanya perlindungan HAM. Adapun beberapa peraturan
perundang-undangan tentang HAM seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
4. Kasus pengosongan kolom KTP pada para penganut kepercayaan lokal terjadi
karena adanya diskriminasi pihak pemerintah. Diskriminasi terjadi sebab
seseorang tidak menganut agama mayoritas yang ada di Indonesia, yaitu islam,
kristen (protestan dan katolik), hindu, budha, dan konghucu, sehingga selain
penganut agama yang sudah disebutkan maka pada kolom agama akan dikosongi.
Dampak dari diskriminasi ini adalah tidak terpenuhinya hak-hak dasar sebagai
warga negara terkait pelayanan sosial.
5. Salah satu kasus pelanggaran HAM berat dalam sejarah Indonesia yaitu terjadinya
peristiwa Tanjung Priok pada tahun 1984 di Tanjung Priok, Jakarta. Dalam
peristiwa ini, pelanggaran HAM yang terjadi berkaitan dengan pembunuhan,
penangkapan dan penahanan dengan sewenang-wenang, penyiksaan, serta
22
penghilangan orang secara paksa. Tentu saja peristiwa ini termasuk ke dalam
pelanggaran HAM berat karena dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang
dan banyak orang celaka.
3.2 Saran
Hak Asasi Manusia berupa seperangkat hak istimewa yang dimiliki setiap individu
dan bersifat universal. Terkait pelaksanaan HAM, perlu adanya tindakan nyata terkait
perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia agar setiap individu mendapatkan hak
dasarnya sebagai warga negara, serta diperlukan tindakan yang tegas bagi siapa saja yang
melakukan pelanggaran HAM di Indonesia. Kasus pelanggaran HAM perlu diminalisir
agar korban dari pelanggaran HAM dapat pulih dari trauma secara psikologi yang
mempengaruhi mentalnya.
23
Daftar Rujukan
Asshidiqqie, J. 2006. Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press.
Aswandi, B. & Roisah, K. 2019. Negara Hukum dan Demokrasi Pancasila dalam
Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Jurnal Pembangunan Hukum
Indonesia, 1(1), 128-145.
24
Supriyanto, B. H. 2014. Penegakan Hukum Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM)
Menurut Hukum Positif di Indonesia. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata
Sosial, 2(3), 151-168.
Sutiyoso, B. 2016. Konsepsi HakAsasi Manusia dan Implementasinya di Indonesia.
UNISIA, 44, 84-94.
Tirto.id. (2019, 12 September). Sejarah Tragedi Tanjung Priok: Kala Orde Baru
Menghabisi Umat Islam. Diakses pada 16 April 2021, dari
https://tirto.id/sejarah-tragedi-tanjung-priok-kala-orde-baru-menghabisi-umat-islam-cwpi
Tukiran, T. (2011). Pendidikan Kewarganegaraan, ed. 2. Kewarganegaraan and Tim
Nasional Dosen Pendidikan. Bandung: Alfabeta. p. 143.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Dalam Satu
Naskah (Jakarta, Indonesia: www.mpr.go.id, 2002),
https://www.mpr.go.id/pages/produk-mpr/uud-nri-tahun-1945/uud-nri-tahun-194
5-dalam-satu-naskah.
Wilujeng, S. R. (2013). Hak Asasi Manusia: Tinjauan dari aspek historis dan yuridis.
Humanika, 18(2).
Zuairiah. PPKn HAM Kelas Tinggi. Diakses pada 16 April 2021, dari
https://osf.io/af5vh/download/?format=pdf
25