Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

HUBUNGAN INTERNASIONAL

MUHAMMAD SUTAN RAFIF SATIR LUBIS


0701520063
FARELL MUHAMMAD ANANDITO
0701520051

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AL AZHAR INDONESIA
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tugas akhir ini dengan lancar
dan tepat waktu. Pada kesempatan ini pula, kami mengucapkan banyak terimakasih
khususnya kepada Dosen Mata Kuliah Hukum Internasional Ibu DR MASLIHATI
NUR HIDAYATI SH, MH. Orang tua dan semua pihak yang telah menjadi support
dalam penyusunan makalah ini.
Makalah ini membahas mengenai Kasus Pelanggaran Ham Pembunuhan Munir
Said Thalib. Penyusunan laporan ini masih jauh dari sempurna sehingga saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Demikian laporan ini dibuat semoga
dapat bermanfaat.

Penulis,

Muhammad Sutan Rafif Satir Lubis


dan Farrel Muhammad Anandito
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................5
1.1 Latar Belakang...........................................................................................................5
1.2 Identifikasi Masalah...................................................................................................7
BAB II PENUTUP......................................................................................................................7
2.1 Pembahasan................................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................8
ABSTRAK
Dari kasus kematian Munir hanya satu dari banyaknya kasus pelanggaran HAM
yang belum menemukan titik terang. Hukum di Indonesia harusnya lebih diperkuat
khususnya tentang HAM, dikarenakan pada saat ini hukum berlaku bagi orang-orang
yang lemah saja sementara orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi lebih
dipermudah lepas dari jeratan hukum yang seharusnya hukum tidak boleh memandang
status sosial seseorang tapi kenyataannya saat ini malah sebaliknya, faktor inilah yang
menyebabkan para kaum yang berada bawah ditindas. Terbukti kasus kematiaan Munir
yang hingga kini tidak menemui titik terangnya. Seharusnya pemerintah sadar bahwa
hukum sebenarnya ada diperuntukan untuk menegakkan kebenaran bukan berarti
diperuntukan menutupi kebenaran yang ada. Kelemahan hukum di Indonesia pada saat
ini juga bisa berdampak pada semakin meningkatnya jumlah kejahatan dikalangan
tinggi khususnya jika pemerintah tidak segera tanggap untuk mengubah pandangan ini.
Kasus kematian Munir dapat menjadi pembelajaran bagi negara Indonesia untuk segera
meninggalkan cara-cara yang bersifat otoriter, karena semua rakyat Indonesia memiliki
hak untuk memperoleh kebenaran, hak hidup, hak keadilan, dan hak atas rasa aman.
Inilah hebatnya sebuah jabatan yang ada disuatu negara, jabatan yang dimana hanya
memenangkan kepentingan para kaum penguasa dan menyingkirkan kaum-kaum bawah
dari sebuah kebenaran yang sebenarnya sudah jelas terpampang didepan mata.
Lemahnya hukum di Indonesia sebenarnya sangat dirasakan pengaruhnya oleh pihak
keluarga Munir, terlebih lagi sang istri yang setelah ±15 tahun harus menelan kenyataan
pahit dimana kasus kematian suaminya tersebut tidak juga mendapatkan kejelasan.
Ketika pihak keluarga mendengar bahwa penanganan kasus ini dihentikan hanyalah
meninggalkan kekecewaan dari keluarga termasuk para kaum penegak hukum di
Indonesia pun juga merasakan dampaknya, termasuk juga para aktivis yang ikut serta
mengawal jalannya investigasi kasus dari awal dibuka hingga harus terpaksa dihentikan.
Seharusnya mereka berani menjatuhkan tindakan tegas seperti memberikan hukuman
yang sepantasnya didapat para pelaku kasus kematian Munir. Sebagai negara
Demokrasi rakyat juga memerlukan dukungan dari pihak penegak agar mau bersikap
seadil-adilnya didepan hukum ini semua bertujuan agar negara dapat berjalan dengan
aman.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hak Asasi Manusia adalah hak pokok atau hak dasar yang dibawa oleh
manusia sejak lahir yang secara kodrat melekat pada setiap manusia dan tidak
dapat di ganggu gugat karena merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa,
Indonesia sebagai negara hukum pancasila yang demokratis memiliki kewajiban
dalam perlindungan hak asasi manusia, perlindungan HAM dalam negara hukum
harus termaktub dalam konstitusi ataupun hukum nasional.1
Melihat sejarahnya HAM ini sudah ada sejak abad ke 16-17,
berkembangnya dunia bagian barat, khusunya di Eropa. Masyarakat Eropa pada
abad ini masih terikat akan suatu kekuasan di tempat tersebut. Kesadaran
manusia akan hak-hak dalam kehidupannya tumbuh ketika masyarakat di Eropa
berhadapan dengan kebrutalan absolutism raja-raja abad ke-17. Penolakan
faham kemutlakan (absolutism) itu menghasilkan keyakinan akan hak-hak
kebebasan manusia yang perlu dihormati untuk menjamin keutuhan manusia,
yang karena itu tidak boleh dilanggar oleh penguasa. Biasanya sifat absolutism
seorang yang berkuasa tersebut tidak bisa ditentang dan sudah merupakan suara
mutlak, dan jika tidak dipatuhi akan berakibat fatal bagi yang menentang, contoh
saja ilmuwan terdahulu Galileo yang bersikeras mengatakan bahwa bumi
bukanlah pusat dunia, melainkan matahari dan pada akhirnya Galileo disiksa
oleh pihak gereja yang mempunyai pendapat yang berlawanan dengan milik
Galileo.
Bicara tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia sendiri sudah sering
terdengar dan juga sudah banyak terjadi di sekitar kita. Suara-suara yang
menginginkan keadilan menginginkan kebenaran terungkap sudah sering
terdengar, namun sayangnya bagi masyarakat yang masih awam akan HAM

1
Aswandi, B. and Roisah, K., 2019. Negara Hukum Dan Demokrasi Pancasila
Dalam Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Jurnal Pembangunan
Hukum Indonesia, 1(1), pp.128-145.
belum mengerti apa itu HAM, bahkan pemerintah sekalipun seperti tidak
mengetahui apa makna dan nilai dari HAM itu sendiri. Pertentangan tentang
makna HAM dan penerapannya dalam masyarakat timur masih sering
diperdebatkan, banyak yang menilai bahwa “Human Rights” itu sendiri adalah
produk Barat dan tidak cocok untuk masyarakat Timur yang berlandaskan moral
dan kekeluargaan. Perdebatan masalah HAM ini pernah terjadi di Indonesia,
terdapat dua kubu yang saling bersikeras yang menginginkan HAM itu ada dan
perlu, pertentang tersebut disimbulkan antara kubu M. Yamin, di satu pihak,
dengan kubu Soepomo dan Soekarno di pihak lain. Dalam pandangan Soepomo,
HAM sangat identik dengan idiologi liberal-individual, dengan demikian sangat
tidak cocok dengan sifat masyarakat Indonesia. Soepomo tidak pernah
membayangkan kalau di dalam negara yang berasaskan kekeluargaan akan
terjadi konflik atau penindasan negara kepada rakyatnya karena negara atau
pemerintah merupakan satu kesatuan, antara pemerintah dengan rakyat adalah
tubuh yang sama. Dominasi standar Barat dalam penilaian terhadap HAM
semakin menguat dengan runtuhnya negara-negara sosialis khususnya Uni
Soviet.
Jauh sebelum perdebatan para tokoh-tokoh penting Indonesia, terdapat
perebatan antara dua kaum yakni kaum Komunitarisme dengan kaum Liberal.
Kaum Komunitarisme menyangkal dua hal yang juga sangat relevan bagi
masalahmasalah hak-hak asasi manusia, Pertama bahwa ada prinsip-prinsip
moral universal; kedua bahwa prioritas dalam penataan masyarakat harus
diberikan pada keadilan dan bukan pada nilai-nilai masyarakat itu. Namun tesis
yang paling ekstrem disampaikan oleh Alastair MacIntyre, menurutnya tidak ada
moralitas ansich, yang ada hanyalah berbagai moralitas menurut tradisi
(komunitas) tertentu. Moralitas itu secara hakiki mengacu pada pandangan dunia
dan nilai-nilai yang dimiliki oleh sebuah komunitas. Di luar lingkungan tradisi
komunitas itu takan ada kriteria-kriteria sebuah moralitas universal.
Kaum Liberal tidak tinggal diam, mereka mengajukan dua argumen.
Argument pertama mengacu pada kenyataan bahwa masyarakat-masyarakat
modern bersifat pluralistik. Ciri khas masyarakat modern adalah adanya
perbedaan visi-visi tentang tujuan hidup manusia. Masyarakat justru tidak
menyediakan konteks moralitas yang jelas. Mengacu pada “tradisi” atau “nilai-
nilai” masyarakat langsung menimbulkan pertanyaan “tradisi” dan “nilai-nilai”
kelompok mana yang diacu. Argument kedua yakni pengalaman manusia
modern sering berkebalikan: Masyarakat justru sering berbahaya. Keterikatan
dalam sistem nilai masyarakat yang sempit, dapat dipahami sebagai pengalaman
yang mencekik. Kalau kita menatakan bahwa perbudakan salah atau bahwa
diskriminasi seksual merendahkan manusia, apakah kita hanya mengatakan
bahwa perbudakan dan diskriminasi tidak biasa di tempat kami, ataukah kita
mengatakan bahwa entah biasa atau tidak biasa, namun perbudakan dan
diskriminasi seksual merupakan cacat moral. Dapat dipahami bahwa tanpa
adanya universalitas, masyarakat akan kebingungan dalam menentukan benar
dan salah, mana yang tabu dan mana yang tidak, selain itu pula akan ada
diskursus antar kelompok budaya yang berbeda, sehingga diperlukan satu nilai
pokok yang bisa dipandang oleh kedua kaum tersebut setara dan sama.2

1.2 Identifikasi Masalah


Dari kasus pembenuhan Munir ini dapat disimpulkan bahwa banyak kasus-kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia masih belum ditangani dengan serius dan
seksama oleh pemerintah kita. Untuk mencegah hal seperti kasus pembunuhan
Munir ini kita harus menjelaskan bahwa pentingnya menanggapi kasus-kasus
pelanggaran HAM ini dengan amat serius agar masyarakat di Indonesia dapat
hidup dengan tenang karena semua yang ada dalam Hak Asasi Manusia
diperjuangkan atau ditanggapi dengan serius oleh pemerintah Indonesia agar
tidak terjadi lagi kasus kasus seperti ini.

Dengan kita menegur atau berusaha menegakkan Hak Asasi Manusia di


Indonesia kita dapat melindungi banyak hak-hak manusia yang dari dulu sampai
saat ini masih belum bisa benar-benar tidak ditanggapi dengan serius oleh
pemerintah kita.
BAB II
PENUTUP

2
2.1 Pembahasan
B.1 Usaha penuntasan Kasus Munir yang Ditempuh KontraS
Civil Society merupakan sebuah masyarakat yang terdiri dari lembaga –
lembaga otonom yang bisa mengimbangi kekuasaan negara. Kelompok –
kelompok seperti ini bertindak untuk mempengaruhi kebijakan negara namun
tidak dengan terlibat langsung didalamnya. Mereka berusaha untuk menjalankan
berbagai tekanan atas proses kekuasaan yang berada ditengah berlangsung.
KontraS merupakan salah satu dari sekian kelompok civil society yang ada di
Indonesia. KontraS sendiri megemban misi untuk membuat masayarakat lebih
sadaran mengenai pentingnya hak asasi manusia, menegakkan keadilan dan
pertanggungjawaban negara atas berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran
berat HAM, dan mendorong perubahan sistem politik dan hukum untuk
memberikan perlindungan rakyat dari semua kekerasan yang dilakukan oleh
negara. Berdasarkan berbagai nilai dasar dan program kerja yang telah disusun
KontraS, maka ada beberapa upaya yang dilakukan KontraS untuk mendukung
upaya penuntasan kasus pembunuhan Munir antara lain : (1) Membentuk Koalisi
dan Jejaring dengan Lembaga Swadaya Masyarakat lain, (2) Upaya Legal
Standing, (3) Melakukan Advokasi dan Kampanye, (4) Meminta Dukungan
Internasional

B.1.1 Membentuk Koalisi dan membentuk suatu Lembaga Swadaya Masyarakat lain
Kasus pembunuhan Munir yang kemudian disertai teror ini menjuru bahwa
pembunuhan Munir dilakukan secara sistematis dan melibatkan individu – individu
terampil sehingga untuk mengungkap pembunuhan ini dibutuhkan cara-cara khusus
yang dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil yang juga terampil. Kelompok –
kelompok masyarakat sipil ini kemudian tergabung membentuk Komite Aksi Solidaritas
Untuk Munir (KASUM). KASUM sendiri terdiri dari beberapa Lembaga Swadaya
Masyarakat seperti KontraS, Imparsial, HRWG, Elsam, YLBHI, WALHI, Demos, Ikohi dan
ada beberapa yang lain, selain diisi oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat,
KASUM juga diisi oleh individu – individu yang memiliki perhatian terhadap kasus
Munir.
B.1.2 Upaya Hukum
Upaya hukum yang telah dilakukan oleh keluarga, kerabat dan kelompok masyarakat
sipil antara lain , Pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF), Eksaminasi publik terhadap
putusan bebas Muchdi Purwopranjono oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sidang
Komisi Informasi Pusat dengan sengketa Surat penugasan kepada Muchdi
Purwoprandjono sebagai Deputi V BIN tanggal 6-12 Septemer 2004 ke Malaysia serta
gugatan perdata kepada PT. Garuda Indonesia yang dimenangkan oleh ahli waris
Munir, Suciwati dan proses penuntutan pidana terhadap beberapa terdakwa Indra
Setiawan, Rohainul Aini, dan Pollycarpus 7 Budiharto. Muchdi Purwopranjono sendiri
diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
DAFTAR PUSTAKA

Aswandi, B. and Roisah, K., 2019. Negara Hukum Dan Demokrasi Pancasila Dalam
Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Jurnal Pembangunan Hukum
Indonesia, 1(1), pp.128-145.
Fathurrahman, T.M.R., 2020. Perjuang Munir Dalam Memajukan HAM di Indonesia
(1998-2004) (Doctoral dissertation).

Anda mungkin juga menyukai