Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI II

PRAKTIKUM I PENYAKIT DISPEPSIA

KELOMPOK III
OLEH
I Komang Aryawan (19021015)
I Nyoman Aditya Putra Waisnawa (19021016)
I Nyoman Bayu Krisna (19021017)
I Putu Agus Adi Pranata (19021018)
I Putu Agus Wiguna (19021019)
I Putu Aris Septa Permana (19021020)
I Wayan Happy Candra Dinata (19021021)

Dosen Pengampu : Dhiancinantyan Windydaca Brata Putri, S. Farm., M. Farm., Apt.


Tanggal/Hari Praktikum : Kamis, 14 Oktober 2021

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
2021
PRAKTIKUM III
PEPTIC ULCER DISEASE / TUKAK LAMBUNG

I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi PUD
2. Mengetahui klasifikasi PUD
3. Mengetahui patofisiologi PUD
4. Mengetahui tatalaksana PUD (Farmakologi dan Non-Farmakologi)
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait PUD secara mandiri dengan menggunakan
metode SOAP

II. DASAR TEORI


2.1 Definisi PUD
Tukak peptic (peptic ulcer disease) merupakan lesi pada lambung atau
duodenum yang disebabkan oleh ketidak seimbangan antara faktor agresif
(sekeresi asam lambung, pepsin dan infeksi bakteri H.pylori) dengan faktor
defensive atau faktor pelindung mukosa. (Dipiro, J.T., et al. 2008). Tukak peptic
merupakan keadaan kontinuitas mukosa lambung terputus dan meluas sampai ke
bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak sampai meluas ke bawah epitel di
sebut dengan erosi (Dipiro, J.T., et al. 2008).
Peptic Ulcer Disease (PUD) adalah salah satu penyakit pada saluran cerna
bagian atas, yang ditandai adanya defek pada lambung (gastric ulcer) atau
duodenum (duodenal ulcer), yang diakibatkan karena gangguan sekresi asam
lambung dan pepsin. Penyakit terkait asam (gastritis, erosi dan tukak lambung)
dari saluran gastrointestinal (GI) bagian atas diinduksi oleh adanya asam
lambung. Penyakit ulkus peptik berbeda dengan gastritis dan erosi pada ulkus
yang biasanya meluas lebih dalam ke mukosa muscularis. Ada tiga penyebab
umum ulkus peptik yaitu Helicobacter pylori (H. pylori), obat antiinflamasi
nonsteroid (NSAID), dan stress ulcers (Dipiro, J.T., et al. 2008).
Berdasarkan letak tukaknya, PUD dibagi menjadi (Jaya dan Dwicandra,
2017):
2.1Gastric ulcer (GU) yaitu tukak terjadi pada lambung. 80% kasus berhubungan
dengan infeksi H.pylori dan penggunaan NSAIDs. Pada pasien dengan GU
biasanya sekresi asam normal atau berkurang.
2.2Duodenal ulcer (DU) yaitu tukak terjadi pada usus halus. 95% kasus
berhubungan dengan infeksi bakteri H.pylori. Meningkatnya sekresi asam
diamati pada pasien dengan DU dan diduga akibat infeksi H.pylori.

Gambar 1. Lokasi gastric ulcer dan duodenal ulcer (Dipiro, J.T., et al. 200

2.2 ETIOLOGI
Perkiraan 95% tukak duodenum dan 70% tukak lambung disebabkan oleh
H.pylori. sekitar 14%-25% ulkus lambung dan duodenum ditemukan terkait
dengan penggunaan NSAID. Data interaksi dan uji coba secara acak dengan
NSAID dan H. Pylori terapi eradikasi mengungkapkan bahwa efek ulkus dari
kedua faktor risiko tersebut bersifat kumulatif. Namun, interaksi potensial mereka
dalam induksi penyakit maag tetap tidak teridentifikasi. Pemberantasan H. Pylori
tidak mengurangi tingkat kekambuhan ulkus pada pengguna NSAID jangka
panjang yang ada. PUD memiliki jalur penyakit multifactorial yang sebagian
besar diatur oleh ketidakseimbangan asam dan rendah pertahanan mukosa yang
mengarah ke peradangan. Ini diwakili oleh hiperseksi hidroklorik asam dan
pepsin. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan antara faktor luminal lambung
dan degradasi pada fungsi defesif dari penghalang mukosa lambung seperti
lendir, sekresi bikarbonat, mukosa aliran darah, dan pertahanan sel epitel. Pada
invasi asam dan pepsin melalui urea yang melemah penghalang mukosa
menyebabkan pelepasan histamine. Histamine merangsang sel parietal untuk
mengeluarkan lebih banyak asam. Dengan kelanjutan dari siklus ini menghasilkan
erosi untuk membentuk tukak lambung (Habeeb, H. et all., 2019).
2.3 PATOFISIOLOGI

Keseimbangan antara sekresi asam lambung dan pertahanan mukosa


gastroduodenal ada pada individu sehat. Ulkus peptik terjadi bila keseimbangan
antara faktor agresif (asam lambung, pepsin, garam empedu, H. pylori, dan
NSAID) dan mekanisme defensif mukosa (aliran darah mukosa, lendir, sekresi
bicarbonat mukosa, restitusi sel mukosa, dan pembaharuan sel epitel) terjadi
gangguan. Pepsin adalah kofaktor penting yang berperan dalam aktivitas
proteolitik yang terlibat dalam pembentukan ulkus. Mekanisme pertahanan dan
perbaikan mukosa melindungi mukosa gastroduodenal dari zat endogen dan
eksogen berbahaya (Alldredge et al., 2013). Pepsinogen merupakan prekursor
tidak aktif dari pepsin yang disekresi utama oleh sel fundus lambung. Pepsin
diaktivasi pada pH asam (optimal pH 1,8-3,5) dan dikembalikan menjadi aktif
pada pH 4 kemudian akan rusak pada pH 7 (Dipiro et al., 2009).
Asam lambung disekresikan oleh sel parietal, yang mengandung reseptor
untuk histamin, gastrin, dan asetilkolin. Asam (dan juga infeksi H. pylori dan
penggunaan NSAID) adalah faktor independen yang berkontribusi terhadap
terganggunya integritas mukosa. Peningkatan sekresi asam telah diamati pada
pasien dengan ulkus duodenum dan mungkin merupakan konsekuensi dari infeksi
H. pylori (Dipiro et al., 2008). Ketika faktor agresif mengubah mekanisme
pertahanan mukosa, difusi kembali ion hidrogen terjadi bersamaan dengan cedera
mukosa. H. pylori dan NSAID menyebabkan perubahan pertahanan mukosa
dengan mekanisme yang berbeda dan merupakan faktor penting dalam
pembentukan tukak lambung (Alldredge et al., 2013).

Pelepasan asetilkolin, gastrin dan histamin dapat dipicu oleh stress dan
makanan, yang dimana asetilkolin, gastrin dan histamin akan berikatan dengan
reseptornya, sehingga dapat mengaktifkan pompa H+ /K+ ATPase dan akan
mensekresikan asam (H+) ke lumen lambung, kemudian H+ akan berikatan dengan
Cl- sehingga membentuk asam lambung (HCl). Sekresi asam dibawah pengaturan
basal, sekresi asam bervariasi sesuai dengan waktu dan keadaan psikologis
individu, usia, jenis kelamin, dan status kesehatan. Basal Acid Output (BAO)
mengikuti ritme sirkadian yaitu terjadi sekresi asam tertinggi terjadi pada malam
hari dan terendah di pagi hari., Maximal Acid Output (MAO) dan adanya
stimulasi dari makanan. Ketiga faktor tersebut berbeda tiap individu dalam
mempengaruhi sekresi asam tergantung status psikologis, umur, jenis kelamin
dan status kesehatan. Peningkatan rasio antara BAO:MAO hipersekresi basal
pada pasien ZES (Dipiro et al., 2008).
Mekanisme pertahanan dan perbaikan mukosa (sekresi lendir dan
bikarbonat, pertahanan sel epitel intrinsik, dan aliran darah mukosa) melindungi
mukosa gastroduodenal dari zat endogen dan eksogen berbahaya. Sifat kental dan
pH netral dari penghalang lendir bikarbonat melindungi perut dari kandungan
asam lumen lambung. Sebagian besar Gastric Ulcer terjadi karena asam lambung
dan pepsin, H.pylori (Helicobacter Pylori), NSAID, atau faktor lain yang
mengganggu pertahanan mukosa normal dan mengganggu proses penyembuhan.
Hipersekresi asam merupakan faktor independen yang memberikan kontribusi
terhadap gangguan integritas mukosa (Dipiro et al., 2008)..

Helicobacter pylori di dalam lambung memproduksi enzim urease yang


menghidrolisis urea dalam asam lambung serta mengonversi menjadi keammonia
dan karbondioksida. Efek yang dihasilkan dapat menciptakan lingkungan mikro
yang netral dalam dan sekitar lambung. Hal itu bertujuan untuk melindungi H.
pylori dari efek asam lambung yang mematikan sehingga H. pylori dapat hidup
bebas pada suasana asam. Bakteri ini juga menghasilkan protein yang
menghambat asam yang berfungsi untuk beradaptasi dalam pH rendah (Berardi
dan Lynda, 2008). Secara umum, ada 3 mekanisme infeksi bakteri H. pylori yang
menyebabkan tukak lambung. Pertama, H. pylori menginfeksi bagian bawah
lambung antrum. Kedua, setelah infeksi akan terjadi peradangan bakteri yang
mengakibatkan peradangan lendir lambung (gastritis), peristiwa ini seringkali
terjadi tanpa penampakan gejala (asimptomotik). Ketiga, terjadinya peradangan
dapat berimplikasi terjadinya tukak lambung atau usus 12 jari. Hal ini dapat
terjadi komplikasi akut, yaitu luka dengan pendarahan dan luka berlubang.
Penggunaan obat golongan NSAID nonselektif, misalnya aspirin dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa lambung oleh dua mekanisme
penting: (a) iritasi langsung atau topikal pada epitel gastrik dan (b) penghambatan
sistemik sintesis prostaglandin mukosa endogen. Meskipun cedera awal diawali
secara topikal oleh sifat asam dari banyak NSAID, penghambatan sistemik
prostaglandin protektif memainkan peran utama dalam perkembangan tukak
lambung. Siklooksigenase (COX) adalah enzim pembatas laju dalam konversi
asam arakidonat menjadi prostaglandin dan dihambat oleh NSAID (Dipiro et al.,
2008).

2.4 KLASIFIKASI PUD

1. Gastric ulcer (GU)

Tukak terjadi pada lambung. 80% kasus berhubungan dengan infeksi


H.pylori dan penggunaan NSAIDs. Pada pasien dengan GU biasanya sekresi
asam normal atau berkurang (David. 2011).

2. Duodenal ulcer (DU)

Tukak terjadi pada usus halus. 95% kasus berhubungan dengan infeksi
bakteri H.pylori. Meningkatnya sekresi asam diamati pada pasien dengan DU
dan diduga akibat infeksi H.pylori (David. 2011).

2.5 FAKTOR RESIKO

Adapun beberapa faktor yang dapat menyebabkan resiko tinggi Peptic


Ulcer Disease (PUD) antara lain (Dipiro, 2008):
1. Adanya infeksi H.pylori, hanya 20 % dari pasien yang terinfeksi
H.pylori berkembang menjadi gejala PUD
2. Penggunaan obat NSAID
3. Merokok, dapat menyebabkanpenundaan waktu pengosongan
lambung, menghambah sekresi bikarbonat dari pancreas dan pemicu dari
duodenogastric reflux.
4. Faktor psikologi (stress)
5. Faktor makanan dan minuman, sering mengkonsumsi kafein, susu,
alcohol dan makanan pedas dapat memicu terjadinya PUD

2.6 PENATALAKSANAKAN TERAPI

Tujuan terapi untuk menangani PUD pada orang dewasa bergantung pada
ulkus berhubungan dengan H. pylori atau dikaitkan dengan NSAID. Tujuan
perawatan berbeda tergantung ulkus baru atau berulang/kambuhan dan ada atau
tidaknya komplikasi yang terjadi. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan
gejala ulkus, menyembuhkan ulkus, mencegah kambuh berulang, dan mengurangi
komplikasi ulkus. Tujuan terapi pada pasien dengan ulkus yang disebabkan oleh
NSAID adalah menyembuhkan ulkus secepat mungkin. Pasien yang berisiko
tinggi terkena ulkus NSAID harus menerima terapi profilaksis atau beralih ke
inhibitor COX-2 (jika ada) untuk mengurangi risiko maag dan komplikasi terkait.
Bila memungkinkan, rejimen obat dengan biaya paling efektif harus digunakan
(Dipiro, J.T., et al. 2008).
1. Terapi Farmakologi
Tujuan terapeutik untuk mengobati PUD pada orang dewasa
bergantung pada apakah ulkus berhubungan dengan H. pylori atau dikaitkan
dengan NSAID. Tujuan perawatan mungkin berbeda tergantung apakah ulkus
itu awal atau berulang dan apakah komplikasi telah terjadi. Seluruh terapi
bertujuan untuk mengurangi nyeri akibat ulkus, mengobati ulkus, mencegah
kekambuhan dan menurunkan resiko komplikasi akibat peptik ulkus. Tujuan
terapi pada pasien ulkus dengan infeksi H.pylori adalah untuk mengeradikasi
bakteri H.pylori dan menyembuhkan ulkus. Kesuksesan eradikasi sangat
menentukan proses penyembuhan ulkus selanjutnya dan dapat mengurangi
resiko kekambuhan sebesar ±10%. Tujuan terapi pada pasien peptik ulkus
akibat penggunaan NSAID adalah untuk menyembuhkan ulkus secepat
mungkin. Bila memungkinkan, rejimen obat dengan biaya paling efektif harus
digunakan (Alldredge et al., 2013).
Dalam penatalaksaan PUD, sebelumnya harus dilakukan pemeriksaan
endoskopi untuk penegakan diagnosa PUD pada pasien yang memperlihatkan
alarm sign. Tahapan awal penatalaksanaan PUD berdasarkan lokasi tukak
dapat dibagi menjadi penatalaksanaan terhadap Gastric Ulcer (GU) dan
Duodenal Ulcer (DU) dapat dilihat pada bagan berikut:

Gambar 2.2. Bagan Penatalaksanaan PUD berdasarkan Lokasi Tukak


Pengobatan PUD bertujuan pada penyembuhan tukak dan mengurangi
risiko kambuh berulang dan komplikasi terkait. Regimen obat yang
mengandung antimikroba seperti klaritromisin, metronidazol, amoksisilin, dan
garam bismut dan obat antisecretory (PPI atau H2RA) dapat mengurangi gejala
maag, menyembuhkan maag, dan membasmi infeksi H.pylori. PPI lebih dipilh
daripada H2RA atau sukralfat untuk penyembuhan ulkus NSAID negatif H.
pylori karena mempercepat penyembuhan maag dan memberikan kelegaan
gejala yang lebih efektif. Pengobatan dengan PPI harus diperpanjang sampai 8
sampai 12 minggu jika NSAID harus diteruskan. Suatu rejimen pemberantasan
H. pylori berbasis PPI dianjurkan pada pasien positif H.pylori dengan ulkus
aktif yang juga memakai NSAID. Strategi terapeutik optimal untuk pasien yang
berisiko tinggi terhadap kejadian GI terkait NSAID tidak diketahui, namun
pasien yang dipilih dapat memanfaatkan penggunaan inhibitor COX-2 dan PPI
(Dipiro et al., 2008).

Gambar 2.3. Penatalaksanaan Duodenal Ulcer


Gambar 2.4. Penatalaksanaan Gastric Ulcer

Terapi Farmakologi PUD yang Tidak Disebabkan oleh H.pylori.


Sebuah penelitian sytematic review yang membandingkan terapi
menggunakan PPI (omeprazole) vs H2RA (Ranitidine), yang hasilnya terdapat
perbedaan signifikan dimana PPI (Omeprazole) memiliki efek yang lebih baik
untuk terapi Gastric Ulcer jika dibandingkan dengan H2RA (Ranitidine) (RR
0.32; 95% CI 0.17 to 0.62). Untuk terapi Duodenal Ulcer terdapat perbedaan
signifikan dimana PPI (Omeprazole) memiliki efek yang lebih baik jika
dibandingkan dengan H2RA (Ranitidine) (RR 0.11; 95% CI 0.01 to 0.89)
(Rostom, et al., 2011).

Terapi eradikasi H. pylori


Terapi eradikasi H. pylori

a. Antagonis Reseptor H2
Antagonis Reseptor H2 mengurangi sekresi asam lambung dengan cara
berkompetisi dengan histamin untuk berikatan dengan reseptor H2 pada sel
pariental lambung. Bila histamin berikatan dengan H2 maka akan
dihasilkan asam. Dengan diblokirnya tempat ikatan antara histamin dan
reseptor digantikan dengan obat-obat ini, maka asam tidak akan dihasilkan.
Efek samping obat golongan ini yaitu diare, sakit kepala, kantuk, lesu, sakit
pada otot dan konstipasi (Berardy and Lynda, 2005).

b. PPI (Proton Pump Inhibitor)


Mekanisme kerja PPI adalah menghambat pompa proton yang aktif
mensekresi asam, yang dimana memblokir kerja enzim KH ATPase yang
akan memecah KH ATP akan menghasilkan energi yang digunakan untuk
mengeluarkan asam dari sel pariental ke dalam lumen lambung. Pada
manusia belum terbukti gangguan keamanannya pada pemakaian jangka
panjang (Tarigan, 2001). Penghambat pompa proton dimetabolisme dihati
dan dieliminasi di ginjal. Dengan pengecualian penderita disfungsi hati
berat, tanpa penyesuaian dosis pada penyakit liver dan penyakit ginjal.
Dosis Omeprazol 20-40 mg/hr, Lansoprazol 15-30 mg/hr, Rabeprazol 20
mg/hr, Pantoprazol 40 mg/hr dan Esomeprazol 20-40 mg/hr. Efek samping
obat golongan ini jarang, meliputi sakit kepala, diare, konstipasi, muntah,
dan ruam merah pada kulit. Ibu hamil dan menyusui sebaiknya menghindari
penggunaan PPI (Lacy dkk, 2008).

c. Sulkrafat
Pada kondisi adanya kerusakan yang disebabkan oleh asam, hidrolisis
protein mukosa yang diperantarai oleh pepsin turut berkontribusi terhadap
terjadinya erosi dan ulserasi mukosa. Protein ini dapat dihambat oleh
polisakarida bersulfat. Selain menghambat hidrolisis protein mukosa oleh
pepsin, sulkrafat juga memiliki efek sitoprotektif tambahan, yakni stimulasi
produksi lokal prostagladin dan faktor pertumbuhan epidermal
(Hoogerwefh dan Parischa, 2008). Dosis sulkrafat 1gram 4x sehari atau
2gram 2x sehari. Efek samping yang sering dilaporkan adalah konstipasi,
mual dan mulut kering (Berardy dan Lynda, 2005).

d. Koloid Bismuth
Mekanisme kerja melalui sitoprotektif membentuk lapisan bersama protein
pada dasar tukak dan melindungi terhadap rangsangan pepsin dan asam.
Dosis obat 2 x 2 tablet sehari. Efek samping, berwarna kehitaman sehingga
timbul keraguan dengan pendarahan (Tarigan, 2001).
e. Analog Prostaglandin (Misoprostol)
Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung menambah sekresi
mukus, sekresi bikarbonat dan meningkatkan aliran darah mukosa.
Biasanya digunakan sebagai penangkal terjadinya tukak gaster pada pasien
yang menggunakan NSAID. Dosis 4 x 200 mg atau 2 x 400 mg pagi dan
malam hari. Efek samping diare, mual, muntah, dan menimbulkan kontraksi
otot uterus sehingga tidak dianjurkan pada wanita yang bakal hamil
(Tarigan, 2001).
f. Antasida
Penggunaan antasida yakni untuk menghilangkan keluhan nyeri dan obat
dispepsia. Mekanisme kerjanya menetralkan asam lambung secara lokal.
Preparat yang mengandung magnesium akan menyebabkan diare sedangkan
aluminium menyebabkan konstipasi. Kombinasi keduanya saling
menghilangkan pengaruh sehingga tidak terjadi diare dan konstipasi. Dosis:
3 x 1 tablet, 4 x 30 cc (3 kali sehari malam dan sebelum tidur). Efek
samping diare, berinteraksi dengan obat digitalis, barbiturat, salisilat, dan
kinidin (Tarigan, 2001).

2. Terapi Non-Farmakologi
1. Modifikasi gaya hidup termasuk mengurangi stress, karena stres menyebabkan
sekresi asam dalam lambung meningkat.
2. Apabila pasien dengan PUD menggunakan NSAID harus dihentikan
penggunaanya (termasuk aspirin). Jika memungkinkan pasien dapat
menggunakan terapi alternatif seperti acetaminophen, a non-acetylated
salicylate (e.g.,salsalate), atau COX-2 selective inhibitor.
3. Mengurangi atau menghentikan kebiasaan merokok karena dapat mengganggu
penyembuhan luka atau ulkus.
4. Menghindari makanan pedas. Makan makanan secara teratur membantu
mengurangi konsentrasi asam dalam perut. Sebuah makanan kecil sebelum
tidur

dapat meredakan rasa sakit yang dialami oleh ulkus peptikum pasien. Pasien
juga disaran untuk tidak makan secara berlebihan atau menghindari makanan
berat karena isi lambung yang tinggi memicu sekresi asam.
5. Makan makanan dengan kalori rendah.
6. Dianjurkan mempertahankan diet yang tepat dan menghindari makanan atau
minuman yang mempengaruhi mukosa lambung seperti kopi, teh, cola, dan
alkohol.

(Rostom et al, 2011)

III. STUDI KASUS


Tn NW MRS (UGD) 20 Agustus 2019, sore hari ini Usia pasien 59 tahun. Riwayat
penyakit terdahulu Nyeri bagian kaki dan bengkak, Hiperurisemia,Dislipidemia
dengan dengan riwayat pengobatan terdahulu Na Diklofenak, Ziloric, Liptor, Tidak
ada riwayat alergi obat. Pada pasien dilakukan pemeriksaan endoskopi atas dan
bawah. Pemakian Obat di Rumah Sakit adalah sebagai berikut
Pasien Diare selama kurang lebih 2 minggu terakhr, dengan frekuensi diare 3-
4 kali perhari. Untuk mengatasi diare tersebut, pasien minum Entrostop. Selain itu,
pasien mengeluh perut terasa kembung, fasenya ada darahnya, fasenya tidak
mengandung lendir, feses cai, da nada ampasnya.

Hasil Pemeriksaan
Parameter Keterangan
20/8 21/4
Tekanan Darah (mmHg) 110/70 120/80 Normal

Nadi (kali/Menit) 80 88 Normal

Tempratur (0C) 36,2 36,2 Normal

Laju Pernafasan (kali/Menit) 18 - Normal

 Berikut adalah hasil pemeriksaan laboratorium

Nilai Hasil
Parameter Nilai Normal Pemeriksaan (14/8) Keterangan
Leukosit 7,5 ± 3,5 (x 109/L) 11,66 (x 109/L) Tinggi
Eritrosit 4,5-5,5 (x 1012/L) 5,0 (x 1012/L) Normal
Hemoglobin 13,0-17,5 (g/dL) 14,4 (g/dL) Normal
Hematokrit 40 - 52 (%) 44,1 (%) Normal
Platelet 150-400 (x 109/L) 287 (x 109/L) Normal
LED <6 ; <10 (mm/Jam) 14-29 (mm/Jam) Tinggi
Natrium 135-145 (mg/dL) 139 (mg/dL) Normal
Kalium 3,6-5 (mg/dL) 3,63 (mg/dL) Normal
Kreatinin 0,6-1,1 (mg/dL) 0,87 (mg/dL) Normal
BUN 6-20 (mg/dL) 16,8 (mg/dL) Normal
Asam Urat 3,4-7 (mg/dL) 8,5 (mg/dL) Tinggi
Kolesterol Total < 200 (mg/dL) 283 (mg/dL) Tinggi
TG (trigliserida) < 195 (mg/dL) 212 (mg/dL) Tinggi
HDL > 40 (mg/dL) 62,5 (mg/dL) Baik
LDL < 77,3 (mg/dL) 155,4 (mg/dL) Borderline
Gula Puasa 59 – 150 (mg/dL) 81 (mg/dL) Normal
Gula 2 Jam PP < 125 (mg/dL) 118 (mg/dL) Normal
Dif : Eo Ba Stab
Seg Lym Mo 1–2% -
0–1% -
3–5% 4%
54 – 66 % 82 % Stab. Dbn Seg.
25 – 33 % 12 % Tinggi Lym.
3–7% 2% Rendah Mo.
dbn.

IV. PEMBAHASAN (SOAP DAN EVIDANCE TERAPI)


4.1 SOAP dan Evidence Terapi
a. Subjek
1. PUD Duodenal Ulcer : perut terasa kembung, fesesnya ada darahnya
2. Dislipidemia : tidak terdapat subjek pada kasus
3. Hiperurisemia : tidak terdapat subjek pada kasus
4. Colitis : diare selama kurang lebih 2 minggu terakhir dengan frekuensi
diare 3 – 4 kali perhari, feses tidak mengandung lendir, feses cair ada
ampasnya
b. Objek
1. PUD Duodenal Ulcer
- Hasil tes endoskopi : duodenal ulcer, gastritis erosive
- Leukosit : 11,66 (x 109/L)
- LED : 14-29 (mm/Jam)
2. Dislipidemia
- Kolesterol Total : 283 (mg/dL) tergolong tinggi
- TG (trigliserida) : 212 (mg/dL) tergolong tinggi
- LDL : 155,4 (mg/dL) tergolong tinggi
- Riwayat pengobatan : Lipitor®
3. Hiperurisemia
- Asam Urat : 8,5 (mg/dL) tergolong tinggi
- Riwayat pengobatan : Ziloric®
4. Colitis
- Riwayat pengobatan : Entrostop®

c. Assesment
1. PUD Duodenal Ulcer
Evidance Based Medicine
PUD adalah lesi pada mukosa lambung atau duodenum yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor pertahanan mukosa dan
faktor yang merusak mukosa, dimana PUD diklasifikasikan menjadi 2
yaitu gastric ulcer dan duodenal ulcer. Gastric ulcer terjadi pada lambung
sedangkan duodenal ulcer di usus halus (Dipiro et al, 2011). Penyakit
Tukak peptic adalah terjadinya gangguan pada pencernaan antara lain
nyeri perut atau lambung, mual, muntah akibat erosi kecil diselaput
lendir, dan BAB yang berwarna hitam karena terjadinya lesi atau luka
sehingga menyebabkan perdarahan pada saluran cerna atas (Dipiro,
2008). Jadi jika dikaitkan dengan kasus yang diberikan pasien mengalami
PUD pada duodenal ulcer karena setelah melakukan pemeriksaan
endoskopi pasien mendapatkan hasil duodenal ulcer dan positif H.pylori

2. Dislipidemia
Evidance Based Medicine
Dislipidemia merupakan sebagai kelainan metabolisme lipid yang
ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam
plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar
kolesterol total, LDL, trigliserida (TG) (PERKENI, 2015). Dimana pada
kasus ini hasil dari pemeriksaan laboratorium Tn. Y kolesterol total 283
mg/dl (tinggi), TG 212 mg/dl (tinggi), dan LDL 155,4 mg/dl sehingga
pasien dapat dikatakan mengalami dislipidemia

3. Hiperurisemia
Evidance Based Medicine
Hiperurisemia merupakan keadaan yang menunjukkan terjadinya
peningkatan kadar asam urat darah diatas normal, dengan nilai normal
asam urat dalam darah diatas 7 mg/dL untuk pria dan 6 mg/dL untuk
wanita (Haidari et .al.,2009). Pada kasus ini dari hasil laboratorium kadar
asam urat Tn. Y adalah 8,5 mg/dl dimana ini dinyatakan melebihi batas
normal yang tergolong tinggi

4. Colitis
Evidance Based Medicine
Colitis adalah keadaan dengan gambaran inflamasi kronis pada
kolon, yaitu berupa kerusakan mukosa dan ulserasi rektum yang
menyebar secara proksimal. Gejala klinisnya ditandai dengan adanya
diare yang disertai darah dan lendir (Abraham C,2009). Dapat dikaitkan
dengan kasus yang diberikan, dimana Tn.Y mengalami diare selama
kurang lebih 2 minggu terakhir dengan frekuensi diare 3 – 4 kali perhari,
feses ada darahnya, dan setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi atas
dan bawah Tn.Y terdiagnosa mengalami colitis.
d. Plan

PM Terapi DRP Plan


PUD P1.4 : Indikasi
Terapi Eradikasi H.pylori
(Duodenal
yang tidak 1. Lansoprazole 30mg (2 x
Ulcer)
tertangani sehari)
2. Amoxicilin ( 2 x sehari)
C1.8 : Tidak 3. Metronidazole 400mg (2x
menerima obat sehari)
yang Pengobatan dilakukan selama 2
dibutuhkan minggu.

C3.5 :Tidak ada Evidence Based Medicine


monitoring Terapi lini pertama terdiri dari
terapetik PPI, amoxicillin, metronidazole.
Lansoprazole adalah penghambat
sekresi asam lambung dan juga
menunjukkan aktivitas antibakteri
terhadap Helicobacter pylori in
vitro. Terapi saat ini untuk
penyakit ulkus peptikum berfokus
pada pemberantasan infeksi H.
pylori dengan terapi pemeliharaan
yang diindikasikan pada pasien
yang tidak sembuh dari H. pylori
dan pasien dengan ulkus yang
resisten terhadap penyembuhan.
Lansoprazole 30 mg dikombinasi-
kan dengan amoksisilin 1g,
klaritromisin 250 atau 500mg,
atau metronidazol 400 mg dua
kali sehari dikaitkan dengan
tingkat pemberantasan mulai dari
71 hingga 94%, dan tingkat
penyembuhan ulkus umumnya>
80% dalam studi yang dirancang
dengan baik.(Metheson, 2001)
Dislipidemia Lipitor® P2.1 Adanya
Terapi diganti Fenofibrat 300 mg (1x
efek samping sehari )
obat
Evidence Based Medicine
C1.9 Fibrat menurunkan
Dibutuhkan kadar LDL dan TG sekitar 30%
indikasi obat berdasarkan
yang baru stimulasi aktivitas
lipoproteinlipase. Obat ini sangat
efektif untuk menurunkan kadar
TG, kolesterol total, LDL
sehingga sangat efektif digunakan
dalam pengobatan dislipidemia
(Tjay, 2007).
Hiperurisemi Ziloric® - Terapi dilanjutkan
a Ziloric (Allopurinol) 1 x sehari

Evidence Based Medicine


Obat untuk hiperurisemia yaitu
Ziloric (Allopurinol).
Pengobatan lini pertama dalam
menangani hiperuriesemia adalah
alopurinol (ALP), yang bekerja
dengan menghambat XO hati.
(Yoon, et al., 2016)

Colitis Entrostop® P4.2 : Masalah Terapi diganti


yang tidak Loperamid 2 mg (dosis awal 4
sesuai. Perlu mg, kemudian diikuti 1 tablet (2
klarifikasi lebih mg) setiap buang air besar).
lanjut
Evidence Based Medicine
C1.9 Loperamide sebagai anti diare
bekerja dengan beberapa
Dibutuhkan
mekanisme yang berbeda, yaitu
indikasi obat mengurangi peristaltic dan sekresi
cairan (Baker, 2007) serta
yang baru
meningkatkan tonus sfingter
(Hanauer, 2008), sehingga waktu
transit gastrointestinal lebih lama
sehingga meningkatkan
penyerapan cairan dan elektrolit
dari saluran pencernaan (Baldi et
al, 2009).
Tabel 1. SOAP

FURTHER INFORMATION ALASAN JAWABAN


REQUIRED (FIR)
1. Apakah pasien sudah Agar dapat Pasien sudah melakukan
melakukan memberikan terapi pemeriksaan H.pylori
pemeriksaan H.pylori pengobatan yang dan hasilnya positif
dan bagaimana tepat
hasilnya?

2 Bagamanakah pola Agar dapat Pasien memiliki


hidup dari pasien? memberikan terapi kebiasaan makan makan-
pengobatan yang an berlemak dan pedas
tepat

3 Bagaimana keadaan Agar dapat Feses dari pasien ber-


feses pasien selain memberikan terapi warna hitam
feses terdapat darah, pengobatan yang
feses tidak tepat
mengandung lendir,
feses cair, dan ada
ampasnya?

4 Apakah pasien masih Agar dapat Masih


mengalami diare? memberikan terapi
pengobatan yang
tepat

5 Apakah pasien Agar dapat Tidak


mengalami penurunan memberikan terapi
berat badan? pengobatan yang
tepat

6 Apakah pasien sampai Agar dapat Dikonsumsi sampai tgl


saat ini masih memberikan terapi 13/8/2013, pada tanggal
mengkonsumsi obat pengobatan yang 14/8/2013 pasien hanya
Ziloric®, Lipitor® tepat mengkonsumsi Fleet
dan Entrostop®? Phosphosoda® dan tgl
15/08/2013 pasien tidak
mengkonsumsi obat
Tabel 2. FIR

4.2 PEMBAHASAN
4.2.1 Tatalaksana Terapi
A. Terapi Farmakologi

Pada praktikum ini menyelesaikan kasus mengenai Peptic


Ulcer Disease. Peptic Ulcer Disease (PUD) adalah lesi pada
mukosa lambung atau duodenum yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara faktor pertahanan mukosa dan faktor
yang merusak mukosa, dimana PUD diklasifikasikan menjadi 2
yaitu gastric ulcer dan duodenal ulcer. Gastric ulcer terjadi pada
lambung sedangkan duodenal ulcer di usus halus (Dipiro et al,
2011). Selain PUD, dari pemeriksaan hasil lab pasien ditemukan
beberapa problem medic yaitu dislipidemia dan hiperurisemia
yang akan dibahas lebih lanjut mengenai problem medic serta
terapinya sebagai berikut:
1. PUD (Peptic Ulcer Disease)
Peptic Ulcer Disease (PUD) adalah luka yang terdapat
pada lapisan lambung atau duodenum. Duodenum merupakan
bagian pertama dari usus kecil. Apabila peptic ulcer
ditemukan di lambung maka disebut gastric ulcer dan apabila
dijumpai pada duodenum disebut duodenal ulcer (NIDDK,
2004).
Peptic ulcer merupakan luka yang sifatnya kronik, biasanya
merupakan luka tunggal yang dapat muncul pada di seluruh bagian
gastrointestinal yang terpejan efek getah asam atau pepsin. Peptic
ulcer biasa dijumpai di tempat- tempat berikut: Pangkal duodenum,
lambung, biasanya pada bagian antrum, taut gastroesofagus, refluks
gastroesofagus atau pada esofagus Barrett, pada bagian tepi gastro
jejunostomi, duodenum, lambung, dan/atau jejunum pada pasien
dengan sindrom Zollinger-Ellison (Robbins and Cotran, 2005).
Pada praktikum ini pasien atas nama Tn. NW MRS
mengeluhkan perut terasa kembung, fasenya ada darahnya, fasenya
tidak mengandung lendir, feses cair, dan ada ampasnya, pasien juga
diketahui memiliki riwayat penyakit nyeri bagian kaki dan bengkak,
Hiperurisemia, Dislipidemia dengan dengan riwayat pengobatan
terdahulu Na Diklofenak, Ziloric, Lipitor. Berdasarkan FIR yang
telah ditanyakan diketahui pasien sudah melakukan tes H.pylori dan
dinyatakan postif selain itu pasien juga dinyatakan sering
mengonsumsi makanan pedas dan berlemak. Berdasarkan keluhan
dan juga FIR yang sudah ditanyakan maka pasien didiagnosa
mengalami Peptic Ulcer Disease pada bagian Duodenal Ulcer.
Maka disarankan pengobatan sebagai berikut :
 Terapi PPI
Proton Pump Inhibitor merupakan supresor
yang paling efektif dari sekresi asam lambung adalah
H+, K+-ATPase inhibitors. Merupakan obat yang paling
efektif dalam pengobatan peptic ulcer dan mudah
didapatkan. Banyak jenis PPI yang digunakan dalam
penggunaan klinis, contohnya: omeprazole,
lanzoprazole, rebeprazole, danpantoprazole; yang
merupakan α- pyrydylmethylsulfinylbenzimidazoles.
Obat golongan PPI merupakan prodrug yang
membutuhkan suasana asam untuk aktif. Obat golongan
PPI pada dasarnya digunakan untuk mempercepat
penyembuhan dari ulkus lambung dan duodenum dan
mengobati gastric esophageal reflux disease (GERD)
yang salah satunya tidak berespon untuk pengobatan
apabila diberikan dengan H2-Receptor Antagonists
(Hardman, Limbind, dan Gilman, 2001)
Terapi PPI yang disarankan adalah
menggunakan Lansoprazole, karena lansoprazole
bekerja menghambat sekresi asam lambung yang secara
spesifik menghambat H+/K+-ATPase (pompa proton)
dari sel parienta mukosa lambung pada pada pH <4.
Lansoprazole 30mg diberikan setiap 24jam sekali, 1 jam
sebelum makan lansoprazole digunakan sebagai
regimen terapi H.pylori bersamaan dengan antibiotik.
Lansoprazole memiliki waktu eleminasi yang singkat
(60-90menit) dengan efek durasi selama 24 jam
sehingga berdasarkan hal tersebut maka dipilih
lansoprazole sebagai terapi PPI karena memiliki efek
yang lebih bagus dari omeprazole, pantoprazole dan
rebeprazole namun memiliki bioavailabilitas yang tidak
jauh berbeda dengan esomeprazole (BNF, 2009)
 Terapi Antibiotik
Pada terapi eradikasi H.pylori diberikan
kombinasi amoxicillin dengan metronidazole. Dimana
mekanisme aksi dari amoksisilin adalah dengan
menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan cara
mengikat satu atau lebih pada ikatan penisilin-protein
(PBPs), sehingga menyebabkan penghambatan pada
tahapan akhir sintesis transpeptidase peptidoglikan
dalam dinding sel bakteri, akibatnya biosintesis dinding
sel menjadi terhambat, permeabilitas meningkat dan sel
bakteri menjadi pecah (lisis). Pada saat dinding sel
rusak inilah, kemudian metronidazol dapat masuk dan
mulai bekerja. Mekanisme aksi dari metronidazol
adalah berinteraksi dengan DNA yang menyebabkan
hilangnya struktur helix DNA dan kerusakan untaian
DNA, sehingga terjadi hambatan pada sintesa protein
dan kematian sel organisme (American Pharmacist
Association, 2008)
Amoxicillin dan metronidazole merupakan
terapi lini pertama dalam terapi eradikasi H.pylori.
amoxicilin 1g diberikan 2x sehari selama 7-14 hari.
Pada panduan internasional di Eropa danAmerika
Utara, lini pertama adalah triple therapy. Terapi
alternatif kombinasi amoxicillin
dan metronidazole dapat diberikan apabila terdapat
resistensi terhadap clarithromycin. Dosis relatif
sama, namun durasi triple therapy
menurut American College of Gastroenterology
guidelines  adalah 10-14 hari, sedangkan
menurut the Maastricht III Consensus Report
guidelines  adalah 7 hari (Wannmacher, 2011)
2. Dislipidemia
Dislipidemia disebabkan oleh terganggunya metabolisme lipid
akibat interaksi faktorgenetik dan faktor lingkungan.Walau terdapat
bukti hubungan antara kolesterol total dengan kejadian
kardiovaskular, hubungan ini dapat menyebabkan kesalahan
interpretasi ditingkat individu seperti pada wanita yang sering
mempunyai konsentrasikolesterol HDL yang tinggi. Kejadian serupa
juga dapat ditemukan pada subjek denganDM atau sindrom
metabolikdi manakonsentrasi kolesterol HDL sering ditemukan
rendah. Pada keadaan ini, penilaian risiko hendaknya
mengikutsertakan analisis berdasarkan konsentrasi kolesterol HDL
dan LDL (Erwinanto dkk, 2013)
Pada terapi dislipidemia pasien diberikan fenofibrate. ini, fibrat
menurunkan regulasi gen apoC-III serta meningkatkan regulasi gen
apoA-I danAII. Berkurangnya sintesis apoC-III menyebabkan
peningkatan katabolisme TG oleh lipoprotein lipase, berkurangnya
pembentukan kolesterol VLDL, dan meningkatnya pembersihan
kilomikron. Peningkatan regulasi apoA-I dan apoA-II menyebabkan
meningkatnya konsentrasi kolesterol HDL. Sebuah analisis meta
menunjukkan bahwa fibrat bermanfaat menurunkan kejadian
kardiovaskular terutama jika diberikan pada pasien dengan
konsentrasiTG diatas 200 mg/dL. Fenofibrate 100mg diberikan 2x
sehari dengan dosis maksimal 200mg/hari (Knopp, 1999; Jun M,
2010)
3. Hiperurisemia
Hiperurisemia adalah suatu keadaan meningkatnya kadar asam
urat karena disfungsi dalam produksi atau ekskresi. Asam urat
adalah metabolit terakhir dari senyawa purin, yang dibentuk oleh
oksidasi hipoksantin menjadi santin dan santin ke asam urat dengan
xanthine oxidase (XO). Hiperurisemia adalah kadar asam urat dalam
darah yang melebihi batas normal. Nilai normal asam urat dalam
95% populasi adalah 0,18–0,42 mmol/L (3,0–7,0 mg/dL) untuk laki-
laki dan 0,13–0,34 mmol/L (2,2–5,7 mg/ dL) untuk wanita. Kondisi
hiperurisemia dapat disebabkan oleh dua faktor utama yaitu
tingginya produksi kadar asam urat dalam tubuh akibat sintesis asam
urat yang berlebihan dan penurunan ekskresi asam urat dalam
tubulus distal ginjal (Feig, 2008)
Pada pengobatan hiperurisemia pasien diberikan Zyloric®
(allopurinol) karena allopurinol dapat menghambat xantin oksidase
secara luas digunakan untuk mengontrol kadar asam urat dan juga
secara signifikan mampu menurunkan asam urat dalam serum darah.
Selain itu, banyak klinisi meresepkan allopurinol untuk manajemen
terapi jangka panjang dalam mengontrol asam urat pasien.
Allopurinol merupakan terapi lini pertama sebagai agen terapi
penurun asam urat (bukti klinik level A) (Khana D, 2012). Namun
terapi allopurinol juga dapat gagal jika pasien mengonsumsi
makanan yang kaya akan purin (jeroan, polong-polongan, seafood)
selain makan penggunaan beberapa obat juga dapat meningkatkan
kadar asam urat seperti obat diuretik furosemid, hidroklorotiazid,
dan spironolakton (Hamburger, 2011)
4. Colitis
B. Terapi Non – Farmakologi

Terapi non farmakologi sangat penting dalam membantu


menunjang tingkat kesembuhan pasien, maka dari itu pasien juga
disarankan untuk menjalankan terapi non farmakologi diantaranya
1. Istirahat
Secara umum pasien tukak dianjurkan pengobatan rawat
jalan, bila kurang berhasil atau ada komplikasi baru
dianjurkan rawat inap. Penyembuhan akan lebih cepat
dengan rawat inap walaupun mekanismenya belum jelas,
kemungkinan oleh bertambahnya jumlah istirahat,
berkurangnya refluks empedu, stress, dan penggunaan
analgetik. Stress dan kecemasan memegang peran dalam
peningkatan asam lambung dan penyakit tukak (Tarigan,
2001).
2. Diet
Makanan lunak apalagi bubur saring, makanan yang
mengandung susu tidak lebih baik dari pada makanan biasa,
karena makanan halus akan merangsang pengeluaran asam.
Cabai, makanan yang merangsang, makanan mengandung
asam dapat menimbulkan rasa sakit pada beberapa pasien,
walaupun belum didapat bukti keterkaitannya. Beberapa
peneliti menganjurkan makanan biasa lunak, tidak
merangsang dan diet seimbang (Tarigan, 2001).\
3. Tidak Merokok
Merokok menghalangi penyembuhan tukak gaster kronik,
menghambat sekresi bikarbonat pankreas, menambah
keasaman bulbus duodeni, menambah refluks
duodenogastrik akibat relaksasi sfingter pilorus sekaligus
meningkatkan kekambuhan tukak (Tarigan, 2001)

I.1.1 Monitoring
A. Efektivitas
 Penggunaan obat PUD dimonitoring selama pengobatan
kemudian dilakukan tes ulang H.pylori jika masih positif
terapi eradikasi H.pylori kembali.
 Dilalukan cek berkala pada pasien karena pasien
mengalami diare agar pasien tidak sampai mengalami
dehidrasi.
 Tetap monitoring frekuensi BAB pasien untuk memastika
pengoptimalan terapi pasien.
 Cek berkala pemeriksaan dislipidemia untuk mengetahui
kadar trigliserida, LDL, dan kolesterol total pasien.
 Cek berkala pemeriksaan hiperurisemia untuk mengetahui
kadar asam urat pasien.
B. Efek samping
1. Ziloric® : reaksi alergi/hipersensitivitas
2. Fenofibrat : sakit kepala, nyeri punggung, mual,
muntah
3. Lanzoprazole : diare, sakit perut, sembelit, sakit kepala
4. Amoxicillin : mual, muntah, sakit kepala, ruam pada
kulit, diare
5. Metronidazole : pusing, sakit kepala, mual, muntah,
sembelit
6. Loperamid : nyeri abdomen, perut kembung, mual dan
muntah serta konstipasi
C. Interaksi Obat
Amoxcillin + Allopurinol : Allopurinol dapat meningkatkan
potensi reaksi alergi atau hipersensitivitas terhadap amoksisilin
(dimonitoring penggunaannya) Medscape, 2021
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa:
1. PUD
2. Dislipidemia
3. Hiperurisemia
4. Colitis
5. Terapi non farmakologi
6. Monitoring efektivitas pengobatan yang dapat dilakukan yaitu monitoring
penggunaan obat PUD selama pengobatan kemudian dilakukan tes ulang
H.pylori jika masih positif terapi eradikasi H.pylori kembali, dilalukan cek
berkala pada pasien yang mengalami diare, monitoring frekuensi BAB
pasien, cek berkala pemeriksaan dislipidemia pasien dan cek berkala
pemeriksaan hiperurisemia pasien serta juga dilakukan monitoring efek
samping dari penggunaan obat Ziloric®, Fenofibrat, Lanzoprazole,
Amoxicillin, Metronidazole, Loperamid.
5.2 Saran

Adapun saran yang dapat diberikan oleh praktikan yaitu sebaiknya pada
praktikum selanjutnya agar lebih teliti dalam menganalisis SOAP berdasarkan
guidelines serta Evidence-Based Medicine agar dapat memberikan terapi yang
terbaik dan tepat kepada pasien.
Dapus
BNF. 2009. British National Formulary, edisi 57. England : British Medical
Association Royal Pharmacetical of Great Britain
American Pharmacist Association, 2008, Drug Information Handbook, 17th ed.,
Lexi-com Inc., Ohio
Wannmacher L. Review of the evidence for H. pylori treatment regimens. WHO
[Internet]. 2011 [cited 2015 Sep 01]. Available from:
http://www.who.int/selection_
medicines/committees/expert/18/applications/Review_171 .pdf
Jun M, Foote C, Lu J, Patel A, Nicholls SJ, Grobbee DE, Cass A, Chalmers J,
Perkovic V. Effects of fibrates on cardiovascular outcomes: a systematic
review and meta-analysis. Lancet 2010
Knopp R H. Drug treatment of lipid disorders. N Engl J Med 1999
Hamburger M, Baraf HS, Adamson TC, Basile J, Bass L, Cole B, et al. 2011
recommendations for the diagnosis and management of gout and
hyperuricemia. Postgrad Med. 2011;123(1):3–6. doi: 10.
3810/pgm.2011.11.2511
Khanna D, Fitzgerald JD, Khanna PP, Bae S, Singh M, Neogi T, et al. 2012
American college of rheumatology guidelines for management of gout part 1:
Systematic nonpharmacologic and pharmacologic therapeutic approaches to
hyperuricemia. Arthritis Care Res (Hoboken). 2012;64(10):1431–46. doi:
10.1002/acr.21772
Feig DI, Soletsky B, Johnson RJ. Effect of allopurinol on blood pressure of
adolescents with newly diagnosed essential hypertension: A randomized trial.
J Am Med Assoc. 2008;300(8):924– 32. doi: 10.1001/jama.300.8.924
Tarigan, P. 2001. Tukak Gaster. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I.
Jakarta: Pusat Penerbitan Fakultas Kedokteran
Erwinanto, Anwar Santoso, Johannes NE Putranto, Pradana Tedjasukmana, Rurus
Suryawan, Sodiqur Rifqi, Sutomo Kasiman. 2013. Pedoman Tatalaksana
Dislipidemia PERKI 2013. Jurnal Kardiologi Indonesia
Medscape.2021. Drug Interaction Checker. Di kunjungi pada senin, 1 november 2021
: https://reference.medscape.com/drug-interactionchecker

Anda mungkin juga menyukai