Anda di halaman 1dari 21

TUGAS RUTIN

NAMA : EVI OKTAVIANA

NIM. : 3181121003

MK. : Organisasi dan Kebijakan Pendidikan

RANGKUMAN

Formulasi Kebijakan Pendidikan

Formulasi berarti perumusan, sedangkan kebijakan berarti rangkaian konsep dan


asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dan sebagainya),
pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk
manajemen dalam usaha mencapai sasaran. Dalam undang-undang SISDIKNAS No. 20
Tahun 2003 Bab I Pasal I dijelaskan pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik adalah kebijakan sebagai


keputusan tetap dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka
yang membuat dan yang mematuhi keputusan tersebut. Konsistensinya ditinjau
berdasarkan hirarki kebijakan yaitu: Policy level (undang-undang, TAP MPR),
organization level (PP, Kepres, Kepmen), dan operational level (Dirjen). Kebijakan
pendidikan berkaitan dengan upaya pemberdayaan peserta didik. Oleh karena pendidikan
merupakan ilmu praksis maka kebijakan pendidikan merupakan proses pemanusiaan
yang terjadi dalam lingkungan alam dan sosialnya. Sehingga kebijakan pendidikan
adalah penjabaran dari visi dan misi dari pendidikan dalam masyarakat tertentu.
Kebijakan pendidikan lahir dari ilmu praksis pendidikan sehingga kebijakan pendidikan
meliputi proses analisis kebijakan, perumusan kebijakan, implementasi dan evaluasi
kebijakan. Proses kebijakan tersebut dapat menggunakan model-model yang telah baku,
walaupun model-model tersebut mempunyai kelemahan dan kekurangan, namun dengan
kombinasi berbagai model dapat dihasilkan proses kebijakan yang layak.
Jadi definisi formulasi kebijakan pendidikan ialah usaha perumusan berbagai
rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar serta dasar rencana dalam
pelaksanaan kegiatan pendidikan sekaligus sebagai garis pedoman untuk manajemen atau
pengelola pendidikan dalam usaha mencapai sasaran atau tujuan pendidikan yang
diharapkan.

A.1PENDEKATAN DALAM FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN


Secara teoritik, pendekatan perumusan kebijakan di bidang pendidikan tidak
berbeda dengan pendekatan perumusan kebijakan publik, karena kebijakan pendidikan
dipahami sebagai kebijakan publik. Berikut ini beberapa pendekatan yang dapat
dilakukan dalam kerangka perumusan kebijakan pendidikan:

1. Pendekatan kelembagaan, pendekatan ini mengandalkan bahwa tugas membuat


kebijakan pendidikan merupakan kewenangan pemerintah. Pendekatan ini
dipandang paling sederhana dan sempit dalam perumusan kebijakan pendidikan.
Pendekatan ini mendasarkan pada fungsi-fungsi kelembagaan pendidikan dan
berbagai tingkatan dalam perumusan kebijakan.
2. Pendekatan proses, pendekatan ini menformulasikan kebijakan pendidikan melalui
tahapan-tahapan yang runtut, tidak melompat-lompat atau langsung jadi. Menurut
pendekatan ini, kebijakan pendidikan dipandang sebagai proses politik yang
menyertakan rangkaian kegiatan, mulai dari identifikasi permasalahan pendidikan,
formulasi proposal kebijakan pendidikan, legitimasi kebijakan pendidikan,
implementasi dan evaluasi kebijakan pendidikan.
3. Pendekatan teori kelompok, menurut pendekatan ini kebijakan pendidikan
merupakan titik keseimbangan, yang berarti interaksi dalam kelompok akan
menghasilkan keseimbangan terbaik. Berdasarkan pendekatan ini, individu dalam
kelompok kepentingan berinteraksi secara formal maupun informal dengan cara
langsung maupun melalui media masa menyampaikan tuntutannya kepada
pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang diperlukan.
4. Pendekatan elitis, dalam sistem politik kebijakan pendidikan dibuat dan banyak
dipengaruhi oleh para elite dari sistem itu. Dengan demikian kebijakan pendidikan
mencerminkan keinginan dan kehendak kaum elit saja, tanpa ada aspirasi
masyarakat.
5. Pendekatan rasional, mengedepankan gagasan bahwa kebijakan publik sebagai
maximum social gain, yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus
memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi masyarakat.
Rasionalitas yang diambil adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang
dicapai serta lebih menekankan pada aspek efisiensi atau ekonomis.

A.2 METODOLOGI / TEORI DALAM FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN


Dalam usaha perumusan kebijakan pendidikan, Prof. H. A. R. Tilaar dan Riant
Nugroho dalam bukunya mengemukakan tiga belas teori perumusan kebijakan yaitu teori
kelembagaan, proses, kelompok, elit, rasional, incremental, permainan, pilihan publik,
sistem, pengamatan terpadu, demokratis, strategis, dan teori deliberatif. Dalam makalah
ini kami akan menjelaskan beberapa saja diantaranya:

1. Teori inkrementalis, teori ini melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi
atau kelanjutan dari kebijakan dimasa lalu sehingga perlu mempertahankan kinerja
baik yang telah dicapai, teori ini memiliki sifat pragmatis.
2. Teori demokratis, teori ini implementasinya pada good governance bagi
pemerintahan yang mengamanatkan agar dalam membuat kebijakan, para
konstituten, dan pemanfaat (beneficiaries) diakomodasi keberadaan. Apabila teori
ini mampu dijalankan maka sangat efektif karena setiap pihak mempunyai
kewajiban untuk ikut serta mencapai keberhasilan kebijakan karena masing-masing
pihak bertanggung jawab atas kebijakan yang dirumuskan.
3. Teori Strategis, Inti dari teori ini adalah perencanaan strategis mensyaratkan
pengumpulan informasi secara luas, eksploratif alternatif dan menekankan implikasi
masa depan dengan keputusan sekarang. Fokusnya lebih kepada pengidentifikasian
dan pemecahan isu-isu, lebih menekankan kepada penilaian terhadap lingkungan di
luar dan di dalam organisasi dan berorientasi kepada tindakan. Perencanaan strategis
dapat membantu organisasi untuk berpikir secara strategis dan mengembangkan
strategistrategi yang efektif, memperjelas arah masa depan, menciptakan prioritas,
membuat keputusan sekarang dengan memperhatikan konsekuensi masa depan.
4. Teori pilihan publik, teori ini sebagai proses formulasi keputusan kolektif dari setiap
individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut. Intinya setiap kebijakan yang
dibuat pemerintah harus merupakan pilihan dari publik yang menjadi pengguna.
Dalam menyusun kebijakan, pemerintah melibatkan publik melalui kelompok-
kelompok kepentingan dan ini secara umum merupakan konsep formulasi kebijakan
yang paling demokratis karena memberi ruang yang luas kepada publik untuk
mengkontribusikan pilihan-pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil
keputusan.
5. Teori sistem, formulasi kebijakan dengan model sistem mengibaratkan bahwa
kebijakan merupakan hasil (output) dari sistem politik. Seperti dalam ilmu politik,
maka sistem politik terdiri dari input, throughput dan output. Sehingga dapat
dipahami, proses formulasi kebijakan publik dalam sistem politik mengandalkan
masukan (input) yang terdiri dari tuntutan dan dukungan.
A.3 SKENARIO DALAM FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Perumusan kebijakan pendidikan merupakan tahapan kedua dalam siklus kebijakan
pendidikan. Sebagai tahapan kedua, formulasi kebijakan dengan sendirinya tidak dapat
dilepaskan dari tahapan agenda setting. Secara fundamental tahapan ini terjadi tatkala
pemerintah mengakui keberadaan masalah-masalah publik dan menyadari adanya
kebutuhan dan tuntutan untuk melakukan sesuatu dalam rangka mengatasi masalah
tersebut. Karenanya dalam perumusan kebijaksanaan pendidikan, persoalan mendasar
adalah merumuskan masalah kebijakan (policy problems) dan merancang langkah-
langkah pemecahannya (solution). Merumuskan masalah-masalah kebijakan berarti
memberi arti atau menerjemahkan problema kebijakan secara benar, sedang merumuskan
langkah pemecahan menyangkut perancangan tindakan pemerintah untuk mengatasi
masalah-masalah publik tersebut. Dalam konteks perumusan masalah kebijakan, William
Dunn mengatakan bahwa ada 4 (empat) macam fase proses yang saling bergantung yaitu:
pencarian masalah, pendefinisian masalah, spesifikasi masalah dan pengendalian
masalah.

Adapun skenario dalam merumuskan kebijakan pendidikan sebagai berikut:

1. Pengenalan masalah diawali dengan pengakuan atau dirasakannya keberadaan


situasi masalah. Situasi masalah dapat dilakukan dengan menemukan dan mengenali
masalah.
2. Pencarian masalah, biasanya yang didapat adanya setumpuk masalah yang saling
mengkait. Kumpulan masalah yang saling mengkait namun belum terstruktur tadi
disebut meta masalah.
3. Pendefinisian masalah, dari setumpuk masalah tadi, dapat dipecahkan secara
serentak, namun harus didefinisikan terlebih dahulu masalah mana yang menjadi
masalah publik. Hasil pendefinian dari setumpuk masalah yang belum tertstruktur
tadi menghasilkan masalah substantif.
4. Spesifikasi masalah, dari masalah substantif tadi kemudian dilakukan spesifikasi
masalah dan menghasilkan masalah formal sebagai masalah kebijakan.
5. Perancangan tindakan, dengan dihasilkannya masalah formal, maka tahapan
berikutnya adalah perancangan tindakan yang akan dilakukan pemerintah dalam
rangka memberikan solusi terhadap masalah kebijakan tersebut. Proses ini disebut
dengan
“usulan kebijakan” (policy proposal) yang dipahami sebagai kegiatan menyusun dan
mengembangkan serangkaian tindakan untuk mengatasi masalah tertentu.

A.4 AKTOR DALAM FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN


Aktor adalah Orang atau pelaku yang terlibat dalam proses merumuskan formulasi
kebijakan yang akan memberikan dukungan maupun tuntutan serta menjadi sasaran dari
kebijakan yang dihasilkan oleh sistem kebijakan. Aktor yang paling dominan dalam
tahap perumusan kebijakan dengan tuntutan yang bersifat intern, dalam artian
mempunyai kekuasaan atau wewenang untuk menentukan isi dan memberikan legitimasi
terhadap rumusan kebijakan tersebut, disebut pembuat kebijakan (policy maker).
Sementara itu, aktor yang mempunyai kualifikasi atau karakteristik lain dengan tuntutan
ekstern, dikenal sebagai kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, pimpinan elit
profesi dan lain-lain. Untuk dapat tetap bertahan bermain di dalam sistem tersebut,
mereka harus memilik komitmen terhadap aturan main, yang pada mulanya dirumuskan
secara bersama-sama oleh semua aktor. Pada tataran ini komitmen para aktor akan
menjadikan menjadikan mereka mematuhi aturan atau norma bersama. Selain itu,
kepatuhan terhadap norma ini bahkan menjadi keharusan, karena diasumsikan bahwa
pencapaian tujuan sistem akan terwujud jika semua aktor mematuhi norma
bersama. Di Indonesia pengaruh aktor- aktor elit dalam proses
pembuatan kebijakan sangat kental. Aktor tersebut dapat berasal dari institusi formal
seperti lembaga legislatif dan eksekutif ataupu dari non institusional seperti kelompok
kepentingan dan partai politik. Sharing power hanya terjadi dalam tataran
fundamental kebijakan akan tetapi tidak terjadi dalam tataran em piri dalam arti
sharing power menjadi sumber terjadinya dominasi power oleh aktoraktor kunci
tersebut.
Aktor-aktor yang terlibat dalam proses formulasi kebijakan pendidikan tersebut
terbagi dalam:

1. Legislatif

Legislatif sering dimaksudkan sebagai pembentuk undang-undang dan perumus


kebijakan. Peran mereka sangat menentukan, karena pengesahan suatu tata aturan
agar menjadi kebijakan seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan
peraturan daerah ada ditangan mereka. Legislatif disebut sebagai aktor utama
dalam merumuskan / mengesahkan kebijakan, para legislator tersebut berada pada
tataran MPR, DPD, DPR, DPRD I, dan DPRD II.

2. Eksekutif

Eksekutif disini adalah para pelaksana undang-undang sekaligus berperan dalam


merumuskan kebijakan agar kebijakan yang dibuat atau dirumuskan oleh legislatif
dapat dilaksanakan sesuai dengan faktor kondisional dan situasional. Eksekutif
biasanya merumuskan kembali kebijakan yang dibuat legislatif dalam bentuk
kebijakan jabaran. Eksekutif memiliki kekuasaan untuk melaksanakan atau tidak
melaksanakan kebijakan yang dibuat oleh legislatif serta merumuskan kembali
atau tidak merumuskan dengan alasan tertentu. Aktor eksekutif disini antara lain
Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Dinas. Sedangkan
aktor eksekutif dalam bidang pendidikan adalah Mendiknas, Menag, Dirjen,
Kepala Dinas, dan Rektor.

3. Administrator

Administrator sebagai perumus dan implementator kebijakan memegang


peranan penting dalam pencapain tujuan Negara yang akan terimplementasikan
dalam setiap program nyata yang akan dirasakan oleh masyarakat, dengan tujuan
utama masyarakat sejahtera.

Formulasin merupakan langkah awal dan menjadikan pedoman bagi para


administrator dalam menjalankan setiap program dan kegiatan yang akan
dilaksanakannya.Administrator sebagai penyelenggara pemerintahan
mempunyai p eranan sangat menentukan keberhasilan dan kegagalan suatu
kebijakan yang dibuatnya. Administrasi publik mempunyai peranan yang lebih
besar dan lebih banyak terlibat dalam perumusan, implementasi, dan evaluasi
kebijakan publik. Peran admistrator sebagai aktor dalam kebijakan publik
sangat menentukan akan terumusnya suatu kebijakan untuk tercapainya suatu
tujuan dengan berbagai keahlian yang dimiliki oleh administrator, Peran para
aktor administrator dalam proses suatu kebijakan akan ditentukan oleh
kecermatan dan kepiawaian dalam memahami dan melaksanakan tahapan-
tahapanproses kebijakan itu dirumuskan. Kegiatan ini merupakan pengawalan
agar kebijakan yang ditetapkan sesuai dengan harapan.

4. Partai Politik (Parpol)

Partai politik adalah sekelompok orang yang terorganisir serta berusaha untuk
mengendalikan pemerintahan agar dapat melaksanakan program-programnya dan
menempatkan anggota-anggotanya dalam jajaran pemerintahan. Di Indonesia
peran Parpol sangat besar sehingga hampir semua aspek kebijakan termasuk
dalam bidang pendidikan akan melibatkan Parpol. Peran parpol disini dengan
menempatkan anggotanya di legislatif dan pimpinan Negara maupun daerah.

5. Interest Group (kelompok berkepentingan)

Interest Group ialah suatu kelompok yang beranggotakan orang-orang yang


memiliki kepentingan sama, seperti kelompok buruh, nelayan, petani, guru, dan
kelompok professional lainnya. Kelompok ini berusaha mempengaruhi perumus
kebijakan formal agar kepentingan kelompoknya dapat terakomodasi dalam
kebijakan yang dirumuskan. Kelompok ini biasanya memiliki tuntutan yang
bersifat khusus, sempit, dan spesifik.

6. Organisasi Masyarakat (Ormas)

Ormas merupakan kumpulan orang yang mempunyai cita-cita dan keinginan


sama, bersifat nonpolitis meskipun dalam kiprahnya sering bersentuhan dengan
kepentingan politik. Ormas dapat berdiri sendiri (independen) atau berafiliasi
dengan organisasi politik tertentu. Dalam perumusan kebijakan pendidikan ormas
memiliki harapan dan aspirasi yang kemudian disampaikan kepada para perumus
kebijakan formal. Di Indonesia ada beberapa ormas yang memiliki pengaruh besar
dalam perumusan kebijakan pendidikan oleh pemerintah seperti NU,
Muhammadiyah, ICMI, HMI, PMII, dan KAHMI.

7. Perguruan tinggi
Perguruan tinggi adalah suatu lembaga dimana para elite akademisi berada,
perguruan tinggi sering dijadikan ujung tombak dalam memperjuangkan aspirasi
masyarakat yang akan dimasukkan dalam rumusan kebijakan. Peran perguruan
tinggi menjadi sangat penting karena disinilah nilai-nilai idealisme masih
dipertahankan, dan dalam mengupayakan berbagai kebijakan tidak akan lepas dari
muatan-muatan intelektual. Perumusan kebijakan yang baik seharusnya memuat
naskah akademik yang dibahas bersama para akademisi di perguruan tinggi.

8. Tokoh perorangan.

Dalam berbagai konstelasi, tokoh perorangan memegang peran cukup vital dan
terkadang sangat menentukan, dia juga dapat menjadi tokoh sentral. Tokoh
perorangan dapat berasal dari berbagai bidang seperti keagamaan, politik,
ekonomi, pendidikan, budaya, seni, dan sebagainya.

A.5 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN


Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap proses formulasi kebijakan adalah:

1. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar

Walaupun ada pendekatan formulasi kebijakan dengan nama “rationale


comprehensive” yang berarti administrator sebagai pembuat keputusan harus
mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian
rasional semata, tetapi proses dan formulasi kebijakan itu tidak dapat dipisahkan
dari dunia nyata, sehingga adanya tekanan dari luar ikut berpengaruh terhadap
proses formulasi kebijakan.

2. Adanya pengaruh kebiasaan lama

Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan


waktu terhadap kegiatan suatu program tertentu cenderung akan selalu diikuti,
meskipun keputusan-keputusan tersebut telah dikritik sebagai sesuatu yang salah
sehingga perlu dirubah, apalagi jika suatu kebijakan yang telah ada dipandang
memuaskan.

3. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi

Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak


dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya, seperti dalam proses penerimaan atau
pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat
keputusan berperan besar sekali.

4. Adanya pengaruh dari kelompok luar

Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan juga sangat berpengaruh, bahkan
sering pula pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan
pengalaman dari orang lain yang sebelumnya berada diluar proses formulasi
kebijakan.

5. Adanya pengaruh keadaan masa lalu.

Pengalaman latihan dan pengalaman pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada


pembuatan keputusan atau bahkan orang-orang yang bekerja di kantor pusat
sering membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan dilapangan, hal ini
disebabkan karena adanya kekhawatiran bahwa delegasi wewenang dan tanggung
jawab kepada orang lain akan disalahgunakan.

Dalam jurnal penelitian yang ditulis oleh Ayuba A. Aminu, Charas Madu Tella, dan
Paul Y. Mbaya menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi formulasi kebijakan
antara lain :

1. Kebutuhan Rakyat:

Dalam merumuskan suatu kebijakan, para perumus kebijakan membutuhkan


pemahaman yang baik dan menyeluruh tentang kebutuhan dan masalah
masyarakat setempat. Penekanan harus diberikan pada kebutuhan masyarakat,
kapasitas mereka dan komitmen total dari aktor lokal di Komunitas dalam
mendukung program pemerintah.
2. Pemangku Kepentingan:

Dalam perumusan kebijakan, para pemangku kepentingan harus terlebih dahulu


diidentifikasi dengan memperhatikan kepentingan para pemangku kepentingan.
Kebijakan Pemerintah bergantung pada lembaga pemerintah untuk dukungan dan
pemerintah harus menunjukkan sikap positif terhadap kebijakan dengan
memastikan langkah yang memadai untuk memberdayakan para pemangku
kepentingan, masyarakat sipil dan pihak berkepentingan lainnya dengan
informasi prasyarat yang diperlukan tentang kebijakan untuk keuntungan mereka.
3. Kemauan Politik: Politik
Will harus menjadi faktor kunci strategi perumusan kebijakan pemerintah.
Kemauan politik berarti dukungan politik total untuk suatu kebijakan oleh pejabat
tinggi pemerintah. Hal ini karena pemerintah terkadang merumuskan kebijakan
tetapi tidak memiliki kemauan politik, sosial dan ekonomi untuk
mengimplementasikannya.

A.6 PROBLEMATIKA DALAM FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN


Meskipun sebuah kebijakan telah disahkan, bukan berarti rumusan kebijakan telah
bebas dari berbagai permasalahan. Banyak problem yang muncul disekitar rumusan atau
statemennya yang kurang atau tidak jelas. Problematika tersebut bersumber dari beberapa
hal berikut ini:

1. Pembuat kebijakan pendidikan kurang menguasai pengetahuan, informasi,


keterangan, dan persoalan-persoalan pendidikan baik yang bersifat konseptual
maupun substansial.
2. Sumber acuan para pembuat kebijakan pendidikan, baik formal maupun tidak
formal berbeda-beda, oleh karena itu sikap kompromi / jalan tengah sering
diambil sebagai alternatif untuk mengakomodasikannya. Kenyataan ini yang
membuat rumusan kebijakan pendidikan sering mengambang dan tidak fokus.
3. Terlalu banyak maupun kurangnya informasi bisa berakibat tidak jelasnya
statemen kebijakan pendidikan. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi
menyebabkan persoalan-persoalan dan alternatif-alternatif yang dipilih menjadi
terlalu sederhana. Sedangkan banyaknya informasi menyebabkan para perumus
kebijakan pendidikan dihadapkan pada kesulitan ketika bermaksud
mensintesakan persoalan dan alternatif yang akan dipilih.
B. Implementasi Kebijakan Pendidikan
Implementasi menurut Mazmanian dan Sebastiar adalah pelaksanaan keputusan
kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk
perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan
peradilan. Sedangkan Cleaves dengan tegas menyebutkan bahwa implementasi itu
mencakup proses bergerak menuju tujuan kebijakan dengan cara langkah administratif
dan politik.
Menurut Friedrich kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan
yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu
sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang
untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Kebijakan pendidikan
merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan langka-langkah strategis pendidikan
yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya
tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu.

B.1 Metodologi dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan


Brian W. Hoogwood dan Lewis A. Gun merupakan tokoh pencetus teori yang
menggunakan top down approach. Dalam teori ini, untuk dapat mengimplementasikan
kebijakan dengan sempurna, maka diperlukan beberapa syarat, diantaranya:

1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga atau badan pelaksana tidak akan
menimbulkan masalah yang besar.
2. Apakah untuk melaksanakannya tersedia sumber daya yang memadai termasuk
sumber daya waktu.
3. Apakah perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada.

4. Apakah kebijakan yang akan diimplementasikan didasari hubungan kausal yang


andal.
5. Seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi. Asumsinya semakin sedikit
hubungan sebab akibat semakin tinggi pula hasil yang dikehendaki oleh
kebijakan tersebut dapat dicapai.
6. Apakah hubungan saling ketergantungan kecil. Asumsinya adalah jika hubungan
saling ketergantungan tinggi, implementasi tidak akan dapat berjalan secara
efektif.
7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.

8. Tugas-tugas telah dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar.

9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna

10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan


mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
B.2 Pendekatan dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan
Pendekatan dalam Analisis Kebijakan diantaranya;

1. Pendekatan deskriptif/positif

Merupakan prosedur/cara untuk menerangkan suatu gejala yang terjadi


dalam masyarakat dengan keadaan tidak adanya kriteria; bertujuan mengemukakan
penafsiran yang benar secara ilmiah mengenai keadaan apa adanya (state of the
art) dari gejala kemasyarakatan agar diperoleh kesepakatan umum mengenai suatu
permasalahan yang sedang disoroti. Dengan kata lain pendekatan ini menekankan
pada penafsiran tentang terjadinya gejala yang bersangkutan.

Dalam analisis kebijakan, pendekatan ini dimaksudkan menyajikan informasi apa


adanya pada para pengambil keputusan, agar memahami permasalahan yang sedang
disotori dari kebijakan. Pendekatan ini hanyalah sebagian dari proses analisis
kebijakan dalam dimensi rasional.

2. Pendekatan normatif/preskriptif

Merupakan upaya untuk menawarkan suatu norma, kaidah, resep yang dapat
digunakan dalam rangka memecahkan suatu masalah, yang. Dalam analisis kebijakan,
pendekatan ini dimaksudkan membantu para pengambil keputusan dalam bentuk
pemikiran mengenai prosedur paling efisien dalam memecahkan masalah kebijakan
publik, yang biasanya berbentuk alternatif kebijakan sebagai hasil dari analisis data.

Pendekatan ini hanyalah sebagian dari proses analisis kebijakan dalam dimensi
rasional.

3. Pendekatan evaluative

Menerangkan apa adanya tentang hasil dari suatu keadaan / upaya yang dilakukan
oleh suatu kegiatan / program dengan menerapkan kriteria atas terjadinya keadaan
tersebut. Gejala yang diterangkan adalah gejala yang berkaitan dengan nilai dan
pengukuran setelah dihubungkan dengan kriteria yang sudah ditentukan sebelumnya.

Misalnya, meningkatnya mutu pendidikan adalah suatu gejala yang dipersepsikan


setelah dilakukan pengukuran dalam kaitannya dengan kriteria tentang mutu
pendidikan yang ditentukan sebelumnya. Dengan kata lain, pendekatan ini lebih
menekankan pada pengukuran.
B.3 Skenario Analisis Kebijakan
Skenario merupakan langkah-langkah hipotetik yang difokuskan pada proses-
proses kausalitas dan titik-titik kritis keputusan. Selanjutnya seorang analis perlu
memikirkan beberapa hal dalam menentukan langkah menyusun skenario analisis
kebijakan sebagai berikut.

1. Merumuskan lingkungan politik yang relevan dengan masalah kebijakan yang


ditanganinya
2. Menghimpun dan mengorganisasikan informasi politik yang diperlukan

3. Membuat pertimbangan politik dan mneyiapkan perkiraan kelayakan


politiknya.

Adapun langkah-langkah secara garis besar dalam membuat skenario analisis


kebijakan adalah sebagai berikut.

1. Sebelum menyusun desain alternatif kebijakan, perlu merumuskan dulu bentuk


serangkaian pernyataan-pernyataan hipotetikal, misalnya, jika kita
merekomendasikan kebijakan X, maka kelompok Y akan mendukungnya,
sebaliknya kelompok Z akan cenderung menentangnya
2. Merumuskan secara tepat policy space (ruang kebijakan) dan mengkaitkannya
dengan substansi kebijakan sebagai policy issue area (daerah isu
kebijakan). Setiap sistem politik pada esensinya diasumsikan terdiri atas
sejumlah ruang- ruang kebijakan yang posisinya tumpang tindih, yang
dicirikan adanya sejumlah aktor tertentu yang preferensi dan predesposisi
atas kebijakan sangat jelas. Misalnya guru, siswa, dinas pendidikan, orangtua
murid, stakeholders adalah termasuk daerah isu kebijakan dalam lingkup ruang
kebijakan pendidikan dasar dan menengah.
3. Memperhatikan aspek waktu dan fisibilitas sebuah kebijakan

4. Mengkaji informasi politik yang relevan yaitu menyangkut aktor kunci;


motivasi aktor; kepercayaan politik aktor; sumberdaya; pentas para aktor; dan
pertukaran.[8] Dalam kaitan dengan skenario analisis kebijakan, ramalan
(estimasi) merupakan hal penting bagaimana fakta yang ada digunakan untuk
memperkirakan apa yang akan terjadi. Estimasi sendiri berkaitan dengan data
dan teori yang dapat menjelaskan tentang subjek yang kompleks. Data dilihat
dalam kaitannya dengan teori yang menjelaskan tentang hubungan antara
komponen dalam sistem sosial. Kekurangpahaman tentang hubungan sosial
elementer dalam mengidentifikasi, mengumpulkan dan mengklasifikasikan
data akan mengakibatkan gagalnya analisis kebijakan dilaksanakan. Dunn
mengemukakan mengenai bentuk-bentuk estimasi (ramalan) kebijakan seperti
berikut:

Bentuk Dasar ramalan Fakus utama argumen yang


ramalan mendukung
Proyeksi Kecenderungan Metode kasus paralel
sekarang dan historis
Prediksi Asumsi teoritis Sebab (hukum teoritis) analogi
Perkiraan Judgment subjektif Pemahaman motivasi

B.4 Hubungan Antara Pembuat dan Pelaksana Kebijakan Pendidikan


Keterlibatan pembuat dan pelaksana dalam evaluasi kebijakan bergantung kepada
corak hubungan antara pembuat dan pelaksana kebijakan.Pada hubungan yang bersifat
teknokratika, kewenangan pembuat kebijakan sangat besar dan bahkan hampir-hampir
mutlak, evaluasi yang dilakukan oleh pembuat harus diterima oleh pelaksana.
Sebaliknya, pada hubungan yang bersifat swasta birokratis, keterlibatan pembuat
kebijakan sangat kecil, karena sebagian besar kewenangan evaluasi ini ada pada
pelaksana. Bahkan hak kontrol atas pelaksanaan kebijakan ini sangat banyak ditentukan
oleh pelaksana.

Keterlibatan administrator dalam evaluasi kebijakan, umumnya berdasarkan


kewenangan yang diberikan oleh pelaksana kebijakan. Pertanggungjawaban hasil
evaluasi kebijakan secara formal dan legal ada di tangan pelaksana meskipun secara
materil berada di tangan administrator.Baik keterlibatan pembuat, pelaksana maupun
administrator dalam evaluasi kebijakan umumnya berada di dalam arena.Jika mereka
memberikan penilaian di luar arena, umunya berkapasitas sebagai pribadi, atau
pemberian penilaian yang bersifat tidak formal.

Sementara itu keterlibatan aktor-aktor kebijakan yang bersifat tidak formal


umumnya berada di luar arena.Sebab, jika memang mereka bermaksud memberikan
penilaian secara formal melalui arena, haruslah menjadi aktor kebijakan formal. Media
massa sering kali menjadi mediator dalam penilaian yang dilakukan oleh peserta-peserta
kebijakan tidak formal ini. Dengan demikian, hasil penilaian tersebut akhirnya juga
sampai kepada pelaksana, entah lambat atau cepat.

Dalam proses penilaian, tidak jarang antara aktor-aktor formal dan aktor non
formal tersebut bekerja sama atau membentuk suatu forum. Forum tersebut sengaja
dibentuk dan dibuat dalam rangka memberikan penilaian menyeluruh terhadap kebijakan.
Dengan adanya forum, akan didapatkan hasil penilaian yang berasal dari banyak variasi
pandangan sehingga didapatkan hasil penilaian hasil yang lebih komprehensif. Yang
termasuk aktor-aktor non formal evaluasi kebijakan adalah: partai politik, organisasi
massa, interest group, kelompok perantara, mitra pelaksana kebijakan, tokoh perorangan
dan media massa.

B.5 Aktor yang Terlibat dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan


Aktor kebijakan pendidikan bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu: para pelaku
resmi dan pelaku tak resmi. Pelaku resmi kebijakan pendidikan adalah perorangan atau
lembaga yang secara legal memiliki tanggungjawab berkenaan dengan pendidikan. Aktor
tak resmi kebijakan pendidikan adalah individu atau organisasi yang terdiri dari
kelompok kepentingan, partai politik, dan media.

B.6 Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan


Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak variabel atau
faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain. untuk
memperkaya pemahaman kita tentang berbagai variabel yang terlibat didalam
implementasi, maka dari itu ada pembatasan dalam penelitian ini maka peneliti memilih
pendekatan yang dikemukakan oleh Edwards III. Dalam pandangan Edwards III,
implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni:

(1) komunikasi,

(2) sumberdaya,

(3) disposisi, dan

(4) struktur birokrasi.


Keempat variabel tersebut juga saling berhubungan satu sama lain.

1. Komunikasi
Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan
kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian
tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu
dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi atau keseragaman dari
ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga implementor mengetahui secara
tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu.

Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks dan
rumit. Seseorang bisa menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau
menyebarluaskannya. Di samping itu sumber informasi yang berbeda juga akan
melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa
yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah
mereka dapat melakukannya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh
semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenahi maksud dan tujuan
kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan spesifikasi
kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para
implemetor kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika
dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi
kepada para implementor secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan.

Ada tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan aspek
komunikasi ini, yaitu:

a) Transmisi, yaitu penyaluran komunikasi yang baik akan dapat


menghasilkan suatu hasil implementasi yang baik pula. Seringkali yang
terjadi dalam proses transmisi ini yaitu adanya salah pengertian, hal ini
terjadi karena komunikasi implementasi tersebut telah melalui beberapa
tingkatan birokrasi, sehingga hal yang diharapkan
b) Kejelasan informasi, dimana komunikasi atau informasi yang diterima oleh
para pelaksana kebijakan haruslah jelas dan tidak membingungkan.
Kejelasan informasi kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi
kebijakan, dimana pada tataran tertentu para pelaksana membutuhkan
fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan, tetapi pada tataran yang lain
maka hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai
oleh kebijakan yang telah ditetapkan.
c) Konsistensi informasi yang disampaikan, yaitu perintah ataupun informasi
yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi haruslah jelas dan
konsisten untuk dapat diterapkan dan dijalankan. Apabila perintah yang
diberikan seringkali berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan
bagi pelaksana di lapangan.

2. Sumber daya
Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi
apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak
akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni
kompetensi implementor dan sumber daya finansial. Sumberdaya adalah faktor penting
untuk implementasi kebijakan agar efiktif. Tanpa sumber daya, kebijakan hanya tinggal
di kertas menjadi dokumen saja.

Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana,
informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan
pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan
yang menjamin bahwa program dapat diarahkan kepada sebagaimana yamg diharapkan,
serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan
program seperti dana dan sarana prasarana.

Sumber daya manusia yang tidak memadai (jumlah dan kemampuan) berakibat
tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bisa
melakukan pengawasan dengan baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka
hal yang harus dilakukan meningkatkan skill/kemampuan para pelaksana untuk
melakukan program. Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat
meningkatkan kinerja program. Ketidakmampuan pelaksana program ini disebabkan
karena kebijakan konservasi energi merupakan hal yang baru bagi mereka dimana dalam
melaksanakan program ini membutuhkan kemampuan yang khusus, paling tidak mereka
harus menguasai teknik-teknik kelistrikan.

Informasi merupakan sumberdaya penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada dua


bentuk informasi yaitu informasi mengenahi bagaimana cara menyelesaikan
kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus
dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepetuhan kepada peraturan pemerintah
dan undangundang. Kenyataan dilapangan bahwa tingkat pusat tidak tahu kebutuhan
yang diperlukan para pelaksana dilapangan. Kekurangan informasi/pengetahuan
bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti pelaksana
tidak bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan
inefisien. Implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi dan individu
terhadap peraturan pemerintah yang ada.

Sumber daya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk menentukan
bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/mengatur keuangan,
baik penyediaan uang, pengadaan staf, maupun pengadaan supervisor. Fasilitas yang
diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program harus terpenuhi seperti kantor,
peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil program dapat
berjalan.

3. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti
komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Salah satu faktor yang mempengaruhi
efektifitas implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju
dengan bagianbagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang
hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses
implementasi akan mengalami banyak masalah.

Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan, kesadaran


pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah penerimaan atau
penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Para pelaksana mungkin memahami
maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan dalam
melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya
sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi program.
Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai
sasaran program.

Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program dapat


mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah
Menempatkan kebijakan menjadi prioritas program, penempatan pelaksana dengan
orang-orang yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama,
suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi yang lain. Disamping itu penyediaan
dana yang cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana program agar mereka
mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan kebijakan/program.

4. Struktur birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek
struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar
(standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap
implementor dalam bertindak.

Struktur organisasi yang panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan


menimbulkan red-tape yaitu prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks.ini pada
gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

B.7 Problema dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan


Implementasi merupakan tahapan pelaksanaan atas sebuah kebijakan.
Interaksi merupakan konsep penting dalam implementasi, yang mengacu pada suatu
hubungan yang terkadang kompleks. Dalam implementasi terdapat dua hal yang harus
diperhatikan, yaitu 1) formulasi tujuan kebijakan harus jelas termasuk kelompok
sasaran; siapa yang berperan; dan bagaimana kebijakan tersebut harus dilaksanakan; dan

2) dana pendukung yang proporsional. Tanpa dana kebijakan tidak akan


pernah terealisir.
Implementasi dalam kenyataannya tidak selalu berjalan dengan baik, beberapa
faktor diantaranya adalah:

a) Faktor organisasi

Suatu kebijakan dalam implementasinya seringkali memerlukan keterlibatan dari


banyak organisasi (aktor) yang terkadang memiliki persepsi dan interest yang berlainan,
baik dalam organisasi pemerintah maupun antara organisasi pemerintah dengan
organisasi swasta. Keadaan ini sering menimbulkan masalah

1) koordinasi, menyangkut bagaimana mengkoordinasikan kepentingan yang


berbeda;
2) compliance, menyangkut ketaatan bawahan pada instansi yang lebih
tinggi.

b) Faktor politik

Faktor politik seringkali disebit sebagai faktor non teknis, yang mencakup:

1) legislasi tentang isu yang terlalu kabur sebagai akibat dari tujuan yang
ingin dicapai yang sering tidak jelas. Misalnya masalah penanggulangan
anak putus sekolah;
2) og-rolling, dimaksudkan sebagai gagalnya implementasi suatu program
diakibatkan kesalahan pada saat proses legitimasi, proses bargaining yang
dilakukan aktor-aktor perumus kebijakan dilakukan dengan cara setuju
atau ketidaksetujuan terhadap uslan kebijakan dilakukan dengan tukar
tambah atau modifikasi usulan, sehingga akibatnya setelah usulan
ditetapkan menjadi kebijakan, tujuan menjadi tidak jelas (vague).

c) Faktor politik antar organisasi (aktor)

Merupakan perbedaan mengenai lingkungan politik masing-masing organisasi,


yang disebabkan oleh perbedaan interest dan persepsi masing-masing aktor.

Dalam konteks hubungan antar organisasi politik (pelaksana) terbagi dalam:

1) Struktur implementasi secara vertical


Yang mempengaruhi keberhasilan impelementasi adalah kepatuhan
pemerintah daerah kepada pemerintah pusat untuk melaksanakan kebijakan
seperti yang telah digariskan

2) Struktur implementasi secara horizontal

Dalam struktur ini, koordinasi menjadi kata kunci keberhasilan


implementasi, walaupun seringkali ada kesombongan sektoral masing-masing
instansi dalam mengejar keberhasilan mereka sendiri-sendiri, yang dalam
terminologi implementasi disebut politik antar organisasi dalam implementasi.

Implementasi kebijakan dalam beberapa kasus dapat dilakukan oleh bukan


organisasi pemerintah, tetapi oleh swasta (interest groups), yang sering bias karena
pelaksana mempunyai keterkaitan dengan kelompok sasaran (target groups).

Anda mungkin juga menyukai