Anda di halaman 1dari 4

 Beranda

Naskah Drama Belenggu

Diposting oleh Fatimah Az-Zahra di 06.16

Hai teman-teman ! Kali ini saya akan mempublikasikan hasil kerja kelompok Bahasa
Indonesia saya tentang naskah drama dari novel Belenggu. Tentunya dengan perubahan dari
cerita aslinya, perubahan bahasa dari Bahasa Melayu ke Bahasa Indonesia. Ini hasilnya....

BELENGGU

            #Adegan Pertama
Pasien              : (Tok....tok....tok) “Permisi, dok?”
Kartono           : “Ya, silahkan masuk!”
(Pasien masuk ke dalam ruang periksa)
Kartono           : “Ada keluhan apa ya?”
Pasien              : “Begini, dok. Perut saya rasanya panas sekali, kira-kira ada apa dengan
saya?”
Kartono           : “Saya belum bisa memastikan sebelum kita mengadakan ronsen.”
Pasien              : “Baik, dok. Kira-kira kapan ya  kita bisa ronsen?”
Kartono           : “Hmm...Tunggu kabar dari saya!”
Pasien              : “Terimakasih, dok.”
Kartono           : “Ya, sama-sama” (sambil menghantarkan pasien ke pintu)

            #Adegan Kedua
Di sisi lain, Tini yang baru pulang dari acaranya minta di jemput Tono.Namun, Tono
berhalangan hadir. Keesokan harinya Kartono heran melihat istrinya sudah bangun, sedang
duduk dan membaca di ruang tengah.
Kartono           : “Kamu sudah bangun, Tini?” (Seraya berjalan di depan Tini)
Tini                  : (Diam)
Kartono           : “Bagaimana dengan acara tadi malam ?”
Tini                  : (Berdiri seraya membanting buku di atas meja) “Tuan dokter pergi ke
pasien....”
Kartono           : (Terkejut dan diam)
Tini                  : “Ya, tutup mulutmu ! Biar istrimu tertunggu-tunggu. Tak bisakah kau menunda    satu
pasien untuk aku, istrimu !”
Kartono           : (Lega bukan karena ketahuan <selingkuh> tapi karena tidak menjemput Tini) “Bukankah
kau yang menyuruhku untuk tidak menjemputmu ?”
Tini                  : “Siapa bilang ? Bukankah kau yang mengatakan kalau kau akan menjemputku?”
(Memandang suaminya dengan marah)
Kartono           : “Bukankah kau diam saja saat aku menanyakan kau ingin di jemput atau tidak?”
Tini                  : “Perlukah lagi aku menutup mulut? Mestikah aku menyembah-nyembah lagi? Apa perlu
aku berlutut di hadapanmu ? Pasien...pasien...selamanya pasien. Istri kau terlantarkan. Tidak
malu engkau istrimu sendirian pulang?” (Menuju kamar tidur dan membanting pintu)
Akibat pertengkaran dengan Tini, malam itu Kartono harus tidur di sofa.

            #Adegan Ketiga
Pagi berjalan seperti biasa. Tini mencoba meredam amarahnya semalam. Tini, Sukartono,
Anaknya dan Nyonya Rusdio sarapan bersama seakan tanpa masalah.
Nyonya Rusdio           : “Bi ! Tolong ambilkan saya air putih biasa.”
Bi Ijah                         : “Iya, bu.” (Sambil mengangguk)
Refbio                         : “Saya juga Bi” (dengan gembira)
                         : “Itukan juga air putih, Bu, Ref ?” (Sembari menunjuk air putih yang ada di hadapan
mereka)
o                       : “Iya,  Air putih itu juga di siapkan untuk kita. Kenapa masih minta yang lain ?”
a Rusdio           : “Air putih itu dingin. Tidak baik untuk kesehatanku.” (Sambil tersenyum)
                        : “Iya nek aku setuju.”
Kartono dan Tini saling memandang seakan memahami kondisi sang Ibu.
                         : “Ini, bu” (Sambil memberikan minuman kepada Nyonya Rusdio)
o                       : “Sudah jam setengah tujuh, aku harus berangkat. Tini, tolong siapkan jasku !” (Sambil
membersihkan makanan di sekitar mulutnya)
                        : “Mama, uang saku ku jugaaa.” (dengan wajah senang)
                         : “Iya.” (Menjawab suaminya dengan ketus) “Mama tidak lupa kog Ref” (jawabnya dengan
senyum kepada sang anak)
o                       : “Pak Bejo ! Tolong siapkan mobil saya!”
Pak Bejo                     : “Baik, pak!”
Tini keluar dari kamar dengan membawa jas putih Kartono.
                         : “Ini jasnya.” (memberikan jas, dengan wajah mencoba senyum) “Daan, ini uangnya sayang,
jangan jajan sembarangan ya.”
Refbio                         : “Siap Boss” (sambil mencium tangan Tini)
o                       : “Ya, terimakasih! Hari ini aku pulang malam lagi, jika kau keluar dan ingin minta dijemput
olehku, akan ku usahakan bisa.” (Kartono mencoba memulihkan keadaan) “Refbio, tunggu
Papa di mobil ya?” (suruh Tono pada Refbio)
Refbio                         : “Iya Pa” (dengan mengikatkan tali sepatunya)
                         : “Pulang malam juga tak apa, tak dijemput juga tak apa.” (Jawab Tini ketus)
Kartono yang sangat mencintai profesinya yang memilih Sumartini atau sebagai istrinya
karena kecantikan dan kecerdasannya, dengan Tini memilih Sukartono karena dia tidak mau
mengingat masa lalunya membuat rumah tangga mereka kurang harmonis.
Kartono           : “Bejo, ayo berangkat!”
Pak Bejo         : “Iya Pak!”

#Adegan keempat
Setelah sarapan pagi Nyonya Rusdio mengajak Tini berbicara di ruang keluarga.
(Nyonya Rusdio duduk)
                         : “Ada yang hendak ibu katakan bukan?” (Sambil duduk di hadapan Nyonya Rusdio)
“Katakanlah Bu, Saya akan dengarkan. Tentunya saya yang disalahkan karena ibu sayang
dengan SUAMI SAYA” (kata “suami saya” itu ditekannya)
Dibalik permasalahan Tini dengan Sukartono, suaminya, Ibu mertuanya rupanya juga mengetahui apa
yang dirasakan oleh Tini.
a Rusdio           : “Aku tau ini perkaramu berdua saja, Kalau kau tiada hendak mendengarkan kataku, tak
usah” (katanya pelan, dan berdiri seakan akan Nyonya Rusdio mau meninggalkan Tini)
                         : “Duduklah Bu, katakanlah! Nanti saya dengarkan dengan baik, diturut atau tidaknya, nanti
saja. ” (dengan perasaan menyesal)
a Rusdio           : “Memang Tini, kita berlainan paham ....” (Nyonya Rusdio belum menyelesaikan
ucapannya)           
                         : “Seperti langit dan bumi, Ibu!” (sela Tini)
a Rusdio           : “Aku memang terlalu kolot.” (rendah Nyonya Rusdio)
                         : (Tertawa) “Saya yang terlalu modern.”
a Rusdio           : “Memang Tini!” (dibalas dengan jawaban serius) “Kalau dimata kami, tidak baik kalau
seorang istri banyak keluar malam, tanpa suami!” (memandang Tini dengan tajam)
                         : (Berdiri seakan kaget) “Bukankah suamiku juga pergi sendirian? Mengapa aku tidak boleh?
Apa bedanya?! ”
ya Rusdio hendak menyela)
                         : “Dengarlah dulu Bu, Ibu membedakan kaum laki-laki dengan kaum perempuan. Itulah
pokok perbedaan paham kaum Ibu dengan kaum Kami yang sekarang” (Tini menjelaskan
dengan nada tegas)
a Rusdio           : “Suamimu keluar karena ada kepentingan, sedang engkau tidak.” (menjawab dengan
tenang)
                         : “Perlu, perlu, kerperluan itu tidak dibuat-buatkan Bu? ” (tanya Tini sinis)
a Rusdio           : “Ah, aku tiada mengerti jalan pikiranmu”
                         : “Memang Bu, kita memang berlainan pikiran. Aku juga ingin menyenangkan pikiranku,
hatiku. Aku juga manusia yang memiliki kemauan. Kalau kemauan ibu, istri harus tunduk
pada suami. Bukankah demikian? Kami berkemauan sendiri-sendiri.” (jawab Tini dengan
nada seakan menangis)
a Rusdio           : (Diam, kemudian meninggalkan Tini sendiri)
rfikiran bahwa kalau suaminya pergi sendiri, tidak menemani istri kemanapun, mengapa Tini tidak boleh
pergi seorang diri.
TAMAT.

Anda mungkin juga menyukai