Anda di halaman 1dari 17

I.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perawatan Saluran Akar

Perawatan saluran akar adalah salah satu perawatan endodontik yang dilakukan

dengan cara mengambil seluruh jaringan saluran akar terinfeksi dan dilanjutkan

membentuk akses saluran akar, pembersihan saluran akar dan pengisian bahan saluran

akar sehingga gigi akan menjadi unit fungsional dalam lengkung rahang (Harty, 2004).

Menurut Samaranayake dkk. (2002), tujuan dari perawatan saluran akar adalah untuk

menghilangkan mikroorganisme saluran akar dan mencegah terjadinya infeksi berulang

paska perawatan saluran akar sehingga gigi dapat berfungsi kembali.

Perawatan saluran akar memiliki 3 tahap utama, yaitu preparasi biomekanis, irigasi

dan obturasi saluran akar. Preparasi biomekanis merupakan tahap untuk menghilangkan

seluruh jaringan terinfeksi meliputi pulpa dan dentin serta membentuk akses saluran akar

untuk memudahkan obturasi bahan saluran akar. (Jacobsen, 2008). Irigasi saluran akar

adalah tahap yang berperan sebagai lubrikan selama preparasi saluran akar, dan untuk

menghilangkan smear layer dan debris, melarutkan jaringan pulpa nekrosis, dan

menghilangkan bakteri serta produknya (Hulsmann dkk, 2005). Tahap terakhir adalah

obturasi yang dilakukan dengan cara memasukan material pengisi kedalam saluran akar

secara hermetis untuk mencegah terjadinya infeksi berulang paska perawatan saluran akar

(Walton dan Torabinejad, 2008).

Menurut Tarigan (2006), terdapat 4 hal yang mempersulit perawatan saluran akar,

yaitu (1) anatomi saluran akar yang kompleks, (2) bakteri yang masuk jauh ke tubulus

dentinalis, (3) instrumen yang digunakan belum cukup efisien, (4) pelebaran saluran akar
dibutuh ketekunan dan kesabaran. Dari keempat hal tersebut, keberadaan bakteri yang

paling sering menimbulkan permasalahan dalam perawatan saluran akar.

B. Irigasi Saluran Akar

Irigasi saluran akar berfungsi untuk sebagai lubrikan selama preparasi saluran akar,

melarutkan jaringan pulpa, lapisan smear layer dan debris, dan untuk melarutkan

komponen organik dan bakteri (Walton dan Torabinejad, 2008 ; Grossman dkk, 1995).

Irigasi saluran akar merupakan tahap yang menentukan keberhasilan perawatan saluran

akar. Hal ini dikarenakan secara umum beberapa bakteri mampu bertahan hidup selama

perawatan saluran akar dengan cara masuk ke dalam tubulus dentinalis, membentuk

smear layer dan mampu berikatan dengan dentinal plug dibagian apikal. Sehingga proses

preparasi saluran akar harus di sertai dengan irigasi untuk mendapatkan saluran akar yang

bersih dari bakteri (Solovyeva dan Dummer , 2000 ; Radcliffe dkk, 2003).

Sodium hipoklorit merupakan irigan endodontik yang telah digunakan selama 6

dekade terakhir, bersifat bakteriosidal dan proteolitik, mampu melarutkan jaringan

organik, dan berfungsi sebagai lubrikan selama tahap preparasi saluran akar (Sluis,

2007). Keberhasilan penggunaan sodium hipoklorit sebagai bahan irigasi saluran akar

tergantung volume, konsentrasi, waktu dan suhu yang digunakan. Konsentrasi sodium

hipoklorit yang biasa digunakan adalah dari 0,5% sampai dengan 5,25% (Abou-Rass dan

Oglesby, 1981). Konsentrasi 0,5 % memiliki kemampuan rendah dalam melarutkan

jaringan pulpa. Tetapi sodium hipoklorit konsentrasi 1% dengan suhu 45oC memiliki

kemampuan yang sama dengan sodium hipoklorit konsentrasi 5,25% dengan suhu 20 oC

dalam melarutkan jaringan pulpa nekrosis. Oleh karena itu, dengan meningkatkan suhu
sodium hipoklorit maka dapat meningkatkan kemampuan untuk melarutkan jaringan

pulpa nekrosis. Sitotoksisitas sodium hipoklorit tergantung pada konsentrasi, pH dan

durasi paparan terhadap jaringan (Marion dkk, 2012).

Pada beberapa kasus, sodium hipoklorit dapat menjadi material yang memiliki

sitotoksisitas yang ekstrim. Sitotoksisitas sodium hipoklorit dapat menyebabkan rasa

nyeri tumpul , pembengkakkan, memar dan rasa terbakar. Selain itu, efek toksis sodium

hipoklorit mengakibatkan hemolisis, ulserasi pada kulit dan nekrosis jaringan. Sodium

hipoklorit dengan konsentrasi 2,5% merupakan konsentrasi yang memiliki efek toksis

rendah dan ideal unutuk perawatan saluran akar. (Marion dkk, 2012 ; Singh dkk, 2012)

C. Buah Manggis

Buah manggis merupakan buah dengan julukan Queen of Fruit banyak tersebar di

kawasan Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Indonesia. Seiring dengan perkembangan

zaman, buah ini menyebar ke negara lain seperti negara-negara di Amerika Tengah,

Srilanka, Malagasi, Karibia, Hawaii, Brazil, Honduras, Panama, dan Australia utara

(Paramawati, 2010). Menurut Morton (1987), asal mula buah manggis dipercaya berasal

dari tanah Sunda dan juga banyak ditemukan di hutan liar kamaman Malaysia.

Pertumbuhan buah manggis sangat lambat, memiliki ketinggian pohon sekitar 20-82

kaki (6-25 m), warna kulit pohon coklat tua hampir hitam dan bagian dalam kulit pohon

berwarna kekuningan dan bergetah. Daun pohon manggis berbentuk bulat lonjong atau

elips, kasar dan tebal dengan bagian permukaan atas daun berwarna hijau gelap, sedikit

mengkilap dan bagian permukaan bawah daun berwarna kekuningan kusam. Daun pohon

manggis memiliki panjang 9-25 cm dan lebar 4,5-10 cm (Morton, 1987).


Secara sistematis klasifikasi tanaman manggis adalah :

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Viridaeplantae

Infrakingdom : Streptophyta

Divisi : Tracheophyta

Subdivisi : Spermatophytina

Infradivisi : Angiospermae

Kelas : Magnoliopsida

Superordo : Rosanae

Ordo : Malpighiales

Famili : Clusiaceae

Genus : Garcinia L.

Spesies : Garcinia mangostana L. (Itis, 2014)

Bagian-bagian tubuh buah manggis (Garcinia mangostana L.)


Sejak ratusan lalu penduduk Indonesia sudah memanfaatkan kulit buah manggis

dengan menggunakan air rebusan kulit buah manggis untuk mengobati berbagai penyakit

seperti infeksi, luka, demam, diare, sariawan dan sembelit. Selain menggunakan air

rebusan, bubuk dari kulit buah manngis yang dikeringkan digunakan untuk mengobati

disentri di China dan India. Kulit buah manggis juga dapat dibuat salep untuk mengobati

eksim dan penyakit kulit lainnya (Rukmana, 2003).

Menurut Morton (1987), selain kulit buah manggis, buah manggis juga dapat

dimanfaatkan untuk mengobati diare, radang amandel, keputihan, wasir, peluruh dahak

dan sakit gigi. Orang Filipina menggunakan ekstrak kulit pohon manggis untuk

mengobati sariawan, disentri, dan nyeri perut. Orang Malaysia memanfaatkan daun

manggis dicampur pisang muda dan kapur barus digunakan untuk mengobati luka paska

sunat, sedangkan akarnya digunakan untuk mengatasi haid yang tidak teratur.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa buah manggis mengandung xanthone

dengan konsentrasi tinggi dan komponen kelas polifenol. Xanthone memiliki peran

sebagai antibakteri, antifungal, antioksidan, antitumor, antiplatelet, stimulator imun,

antiinflamasi, antikanker dan aktifitas vasorelaksan. Xanthone yang paling banyak

ditemukan adalah α-mangostin, β-mangostin, γ-mangostin, dan methoxy-beta-mangostin.

Jenis xanthone yang paling dominan di kulit manggis adalah α-mangostin (Geetha dkk,

2011). Selain itu menurut Gutierrez-Orozco dan Failla (2013), xanthone lain yang

ditemukan di kulit buah manggis adalah gartanine, 8-deoxygartanin, garcinones A, B, C,

D dan E, mangostinone, 9-hydroxycalabaxanthone, isomangostine dan lain-lain.

Kalsium, fosfat, zat besi, tiamin, riboflavin, niasin dan asam askorbat juga ditemukan di
kulit buah manggis.

Xanthone memiliki struktur kimia unik yang mengandung sistem aromatik trisiklik

(C6-C3-C6). Grup isoprene, methoxyl, dan hidroksil terletak di berbagai cincin A dan

cincin B, sehingga menghasil komponen xanthone menjadi beragam. Setidaknya terdapat

68 jenis xanthone yang ditemukan di beberapa bagian tubuh buah manggis, dan 50 jenis

diantaranya terdapat di kulit buah manggis (Gutierrez-Orozco dan Failla, 2013).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sundaram dkk. (1983), kandungan α-

mangostin memiliki peran kuat dalam fungsi antibakteri, dapat menghambat

pertumbuhan P. aeruginosa, B. subtilis dan S. thypimurium. Kandungan α-mangostin dan

γ-mangostin menunjukan sifat antibakterinya terhadap 49 spesies methicillin-resistant

Staphylococcus aureus (MRSA) dan α-mangostin menunjukan aktifitas antibakterinya

terhadap 50 spesies MRSA dan 13 spesies dari Enterococcus sp (Phongpaicit dkk, 1994).

Mekanisme antibakteri xanthone adalah reaksi gugus karbonil pada xanthone dengan

residu asam amino berikatan dengan protein membran sel, enzim ekstraseluler maupun

protein dinding sel, sehingga menyebabkan protein sel kehilangan fungsinya (Putra,

2010). Senyawa gugus karbonil dari suatu senyawa keton dapat berinteraksi dengan

gugus amino non-terionisasi (seperti gugus amino terminal atau gugus ε-amino residu

lisin) dari suatu protein membrane sel (Putra, 2010 sit Cheftel dkk, 1985).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Geetha dkk. (2011), ekstrak kulit manggis

mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dengan memiliki

minimal inhibitor concentration (MIC) 1 mg/ml atau 0,001 % dan minimal bacteriocidal

concentration (MBC) 2 mg/ml atau 0,002 %.


D. Entrococcus faecalis

Enterococcus faecalis merupakan bakteri gram positif, berbentuk kokus, tidak

membentuk spora, fermentatif dan fakultatif anaerob (Stuart dkk, 2005). Bakteri ini

memiliki diameter sekitar 0,5-1,0 µm dan sering ditemukan dalam bentuk tunggal,

berpasangan dan rantai pendek. Selain itu, bakteri ini merupakan bakteri nonhemolitik

dan non motil, memiliki permukaan koloni halus, dan bulat (Suchitra dan kundabala,

2006). Salah satu spesies Enterococcus yang paling banyak ditemukan persisten pada

kondisi infeksi endodontik dan bersifat asimtomatik adalah Enterococcus faecalis (Stuart

dkk, 2005).

Taksonomi Enterococcus faecalis menurut Bergey adalah berikut ini (Tortora dkk,

2001)

Kingdom : Bacteria

Phylum : Firmicutes

Class : Bacilli

Ordo : Lactobacillales

Family : Enterococcaceae

Genus : Enterococcus

Species : Enterococcus faecalis


Bentuk koloni bakteri Enterococcus faecalis (www. microbewiki.kenyon.edu)

Entrococcus fecalis termasuk golongan D streptokokus yang mampu tumbuh di

lingkungan bersuhu 10-40o C, dalam 6,5% NaCl, pada pH lebih dari 9,6 dan mampu

bertahan pada suhu 60o C selama 30 menit. Struktur terbesar dalam bakteri ini adalah

peptidoglikan karena termasuk didalam golongan gram positif. Selain peptidoglikan,

struktur lain didalam bakteri ini adalah asam teitoik dan polisakarida (Kenyon, 2009).

Sumber energi yang digunakan Enterococcus untuk hidup adalah karbohidrat, gliserol,

laktat, malat, sitrat, arginin, agmmatine dan banyak asam α-keto (Stuart dkk, 2005).

Enterococcus faecalis merupakan spesies bakteri yang sangat persisten didalam

saluran akar yang terinfeksi. Enterococcus faecalis sering ditemukan pada kondisi infeksi

oral, seperti lesi, periodontitis kronis, dan persisten pada periodontitis apikal. E. faecalis

juga terdapat pada kondisi infeksi endodontik dan banyak ditemukan pada infeksi

endodontik primer (lins dkk, 2013). Penelitian in vitro menunjukan bahwa bakteri

E.faecalis mampu melakukan penetrasi ke dalam tubulus dentinalis hingga 100 µm dari

saluran akar dan masih terlihat 12 bulan kemudian setelah dilakukan interfensi (Gulsahi
dkk, 2012

Menurut Nallaparedy dkk. (2006), langkah awal proses infeksius bakteri E. faecalis

adalah dengan melakukan perlekatan dan berkolonisasi di permukaan host tissue. Protein

yang digunakan bakteri patogen gram positif adalah Microbial Surface Component

Recognizing Adhesive Matrix Molecules (MSCRAMM) yang digunakan sebagai bahan

antigenik yang sangat potensial. Selain MSCRAMM yang digunakan untuk melakukan

kolonisasi suatu bakteri, E. faecalis juga harus membentuk biofilm untuk meningkatkan

proses infeksius.

Kemampuan E.faecalis melalui mekanisme toleransi alkalin dan dihubungkan

dengan pompa proton di permukaan dinding sel, sehingga proton dapat masuk kedalam

sel dan memberikan pengaruh asam di sitoplasma bakteri ini. Mekanisme inilah yang

menjadi dasar E.faecalis mampu hidup dikondisi pH yang tinggi dan dan dapat

menginfeksi perawatan endodontik primer maupun sekunder. Kemampuan E. faecalis

lainnya adalah mampu bertahan hidup pada lingkungan rendah nutrisi. Dari beberapa

penelitian menjelaskan bahwa terdapat komposisi nutrisi di region apikal seperti cairan

serum yang dapat dijadikan sebagai bahan makanan untuk bakteri. (Peciulience dkk,

2008).

Menurut Zoeleti dkk. (2011), faktor-faktor virulensi dari Enterococcus faecalis

adalah sitolisin, enzim proteolitik (gelatinase dan serine protease), adhesion (substansi

agregasi, Esp (enterococci surface protein, protein adhesi kolagen, antigen A atau EfaA),

kapsular dan dinding sel polisakarida. Sitolisin merupakan sebuah plasmid yang

mengandung toksin dan dapat melisiskan eritrosit, neutrophil PMN dan makrofag. E.

faecalis mensekresikan gelatinase karena memiliki peran untuk meresorpsi tulang dan
mendegradasi matiks dentin organik serta berperan penting dalam patogenesis inflamasi

periapikal.

Enterococcus faecalis juga mensekresikan serine protease bertujuan untuk

membelah ikatan peptida dan berkontribusi untuk mengikat E.faecalis pada dentin.

Substansi agregasi berperan dalam menyebarkan faktor-faktor virulensi lain, melindungi

dari leukosit PMN atau makrofag. Entrococci surface protein (Esp) merupakan

kromosom besar yang berperan dalam meningkatkan hidrofobisitas, pembentukan biofilm

dan perlekatan bakteri. Sedangkan kapsular dan dinding polisakrida berperan dalam

melindungi bakteri dari serangan agen-agen antibakteri (Mathew, 2010)

E. Antibakterial

Antibakteri adalah suatu zat atau bahan yang dapat menghambat pertumbuhan dan

membunuh bakteri. Efektifitas bahan antibakteri di tentukan oleh efek yang diberikan

kepada populasi bakteri. Terdapat 2 efek terhadap populasi bakteri, yaitu bakteriostatik

dan bakteriosidal. Bakteriostatik bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan bakteri,

sedangkan bakteriosidal bekerja dengan cara membunuh bakteri (Kayser dkk, 2005).

Terdapat beberapa istilah untuk membunuh bakteri, yaitu desinfektan dan antiseptik.

Desinfektan adalah zat yang mencegah infeksi dengan menghancurkan mikroorganisme

patogen yang digunakan pada benda mati. Sifat-sifat ideal desinfektan adalah (1)

efektivitas germisid tinggi, (2) spektrum antibakteri luas meliputi spora, bakteri, fungi,

virus dan protozoa, (3) efek letalnya cepat, (4) dapat menembus ke celah-celah rongga

dan ke lapisan bawah organik, (5) sifat kimia dan fisik stabil, (6) bersifat nonkorosif dan

nondestruktif, dan (7) tidak berbau diabsorbsi (Staf Pengajar Dept Farmakologi FK
Unsri, 2009).

Antiseptik adalah zat-zat yang membunuh atau mencegah pertumbuhan bakteri

terutama digunakan pada jaringan hidup. Sifat-sifat ideal antiseptik adalah (1) efektivitas

germisid tinggi, (2) bersifat letal terhadap mikroorganisme, (3) kerjanya cepat dan tahan

lama,(4) spektrum sempit terhadap infeksi mikroorganisme yang sensitif, (5) tegangan

permukaan rendah untuk pemakaian topikal, (6) indeks terapi tinggi, (7) tidak

memberikan efeks sistemik bila diberikan secara topikal, (8) tidak merangsang terjadinya

alergi, dan (9) tidak diabsorbsi (Staf Pengajar Dept Farmakologi FK Unsri, 2009).

Berdasarkan mekanisme kerjanya, bahan antibakteri dibagi dalam 4 kelompok yaitu :

(1) menghambat sintesis dinding sel, dengan merusak dan menghambat pembentukan

dinding sel bakteri maka dapat menyebabkan lisisnya bakteri. (2) menghambat fungsi

dinding sel, di dalam dinding sel terdapat sitoplasma yang berfungsi sebagai barrier

permeabilitas selektif, transport aktif, dan mengontrol komposisi internal sel. Apabila

fungsi-fungsi tersebut dihambat maka dapat menyebabkan kematian sel. (3) menghambat

sintesis protein, dengan menghambat sintesis protein di dalam ribosom bakteri maka

dapat menyebabkan kematian bakteri. (4) mengahambat sintesis asam nukleat, dengan

cara mengikat kuat DNA-dependent RNA polymerase dari bakteri maka dapat

menyebabkan terhambatnya sintesis asam nukleat bakteri yang dapat menyebabkan

kematian bakteri (Brooks dkk, 2010)

Faktor-faktor yang mempengaruhi daya antibakteri, antara lain :

1. Intensitas konsentrasi dan waktu kerja, jika konsentrasi bahan antibakteri tinggi

maka waktu yang diperlukan untuk membunuh bakteri juga sedikit


2. jumlah bakteri yang banyak lebih sulit daripada jumah bakteri yang sedikit

3. jenis mikroorganisme, bakteri yang membentuk spora lebih sulit dibunuh atau di

hambat pertumbuhannya daripada sel vegatatif. Bakteri yang berkapsul lebih sulit

dibunuh atau dihambat daripada bakteri yang tidak berkapsul.

4. umur mikroorganisme, bakteri yang masih berumur muda dan pada late lag phase

lebih mudah di bunuh daripada bakteri pada fase stasioner. Bakteri tua memiliki

tingkat resisten yang rendah. Bakteri yang berada pada tahap pembentukan spora

memiliki tingkat resisten yang tinggi.

5. Perjalanan hidup mikroorganisme, bakteri yang dapat bertahan hidup dalam

berbagai kondisi memiliki tingkat resisten terhadap bahan antibakteri yang tinggi

6. media petumbuhan bakteri, bakteri lebih mudah dibunuh atau dihambat

pertumbuhannya jika kelembaban lingkungan bakteri tinggi (Pelezar dan Chan,

2005).

Metode dilusi adalah metode yang digunakan untuk mendapatkan konsentrasi

hambat minimal (KHM) dan konsentrasi bunuh minimal (KBM). Prinsip dari metode

dilusi adalah melakukan serial dilusi. Serial dilusi merupakan cara untuk menurunkan

konsentrasi suatu reagen (mengandung bakteri) yang dilakukan dengan memindahkan 1

ml reagen pada suatu ke tabung ke tabung berikutnya yang berisi 9 ml akuades steril.

Sehingga didapatkan hasil serial dilusi 10 -1, 10-2, 10-3, 10-4, dan seterusnya. Serial dilusi

juga dapat dilakukan pada antimikroba yang dilakukan untuk pengenceran sehingga di

peroleh macam seri kadar (Kango, 2010)

Metode dilusi memiliki 2 macam, yaitu metode dilusi cair dan metode dilusi padat.

Metode dilusi cair dilakukan dengan cara memasukkan setiap kadar seri bahan
antimikroba ke dalam suatu tabung yang berisi agar cair , lalu ditanam biakan bakteri

kemudian diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 37oC. Sedangkan metode dilusi padat

dilakukan dengan cara menuangkan setiap kadar seri bahan antimikroba pada agar padat

di cawan petri, lalu di tanami bakteri kemudian diratakan dan diinkubasi selama 24 jam

dengan suhu 37oC (Parija, 2009).

Pada dilusi cair, pertumbuhan bakteri amati secara visual. Kekeruhan atau kejernihan

pada suatu larutan merupakan sebagai indikator keberhasilan bahan antibakteri.

Pengamatan secara visual merupakan pengamatan yang subjektif, oleh karena itu di

perlukan pengamatan secara objektif yaitu dengan mengamati pada media padat dan

menghitung jumlah koloni pada media padat, misalnya dengan teknik pour plate atau

teknik spread plate (Parija, 2009).

Teknik pour plate dilakukan dengan cara mencampurkan larutan yang akan diuji

dengan agar yang masih cair dengan suhu 40-45oC di dalam media plat lalu di inkubasi

selama 24 jam dengan suhu 37oC. Sedangkan teknik spread plate adalah teknik yang

dilakukan dengan cara menuangkan dan menyebarkan larutan yang diuji ke media agar

padat dan ratakan permukaan agar dengan speader lalu di inkubasi selama 24 jam dengan

suhu 37oC (Touro dkk , 2004).

Selain menggunakan teknik pour plate dan teknik spread plate, cara lain untuk

menghitung pertumbuhan bakteri dalam suatu larutan adalah dengan menggunakan

prinsip spektrofotometri. Metode pengukuran menggunakan prinsip spektrofotometri

adalah berdasarkan absorpsi cahaya pada panjang gelombang tertentu melalui suatu

larutan yang mengandung kontaminan yang akan ditentukan konsentrasinya. Populasi

dan jumlah bakteri dalam suatu larutan ditentukan melalui perhitungan optical density
(OD). Spektrofotometri menggunakan panjang gelombang pada gelombang cahaya

tampak, gelombang ultraviolet dan gelombang inframerah. Prinsip kerja dari metode ini

adalah jumlah cahaya yang di absropsi oleh larutan sebanding dengan konsentrasi

kontaminan dalam larutan (Lestari, 2010).

Metode difusi sering digunakan untuk menentukan kepekaan bakteri infeksius

terhadap antibiotik (Mergenhagen, 1991). Metode ini digunakan dengan cara meletakan

paper disk yang telah berisikan antiobiotik atau bahan antibakteri diatas permukaan agar

padat yang telah di berikan mikroorganisme. Setelah dilakukan inkubasi, maka akan

terbentuk diameter zona hambat yang menentukan potensi dari antiobiotik atau bahan

antibakteri dalam melawan mikroorganisme (Brooks dkk, 2010).

Metode disk difusi terbagi menjadi 2 jenis, yaitu Kirby-Bauer disc diffusion

method, Stokes disc diffusion method, dan primary disc diffusion test . Metode

Kirby-Bauer adalah metode yang biasa digunakan untuk mengetahui sensitifitas

antiobiotik terhadap bakteri tertentu. Metode ini menggunakan paper disk

antiobiotik yang diletakkan pada permukaan agar padat. Setelah itu dilakukan

inkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Stoke disc diffusion method adalah

metode yang dilakukan dengan cara membagi agar padat menjadi 3 bagian secara

horizontal. Bahan antibakteri yang diuji diletakan pada agar padat bagian tengah

dan kontrol diletakkan di lapisan agar padat atas dan bawah. Primary disc

diffusion test adalah metode yang digunakan hanya untuk dalam keadaan darurat.

Metode ini dilakukan dengan cara sampel (misalnya urin) di tuangkan ke

permukaan agar, lalu di letakaan paper disc langsung di permukaan agar (Parija,

2009).
II. LANDASAN TEORI

Perawatan saluran akar adalah salah satu cabang endodontik yang dilakukan

dengan cara mengambil seluruh jaringan saluran akar terinfeksi, membentuk

akses saluran akar, irigasi saluran akar dan mengisi saluran akar dengan suatu

bahan pengisi. Irigasi saluran akar bertujuan sebagai lubrikan selama preprasi

saluran akar, melarutkan debris, smear layer, komponen organik dan

menghilangkan bakteri serta produknya. Irigasi saluran akar merupakan salah satu

faktor keberhasilan perawatan saluran akar. Hal ini dikarenakan keberadaan

bakteri di dalam saluran akar akibat tahap irigasi saluran akar tidak maksimal,

dapat menyebabkan infeksi berulang paska perawatan saluran akar.

Sodium hipoklorit (NaOCl) adalah salah satu bahan irigasi yang biasa digunakan

dalam praktek kedokteran gigi. Sodium hipoklorit memiliki sifat bakteriosidal dan

proteolitik serta berfungsi sebagai antibakteri, melarutkan jaringan pulpa dan

komponen organik. Akan tetapi sodium hipoklorit memiliki kekurangan, yaitu

efek toksisitas. Toksisitas dapat terjadi karena penggunaan sodium hipoklorit

dengan konsentrasi yang tinggi. Konsentrasi ideal untuk sodium hipoklorit adalah

2,5% karena memiliki efek toksisitas rendah dan memiliki daya antibakteri yang

baik. Toksisitas sodium hipoklorit dapat berupa ulserasi pada kulit, nekrosis

jaringan, hemolisis, pembengkakan dan nyeri tumpul.

Klorheksidin merupakan bahan irigasi saluran akar lain yang biasa digunakan.
Klorheksidin yang digunakan untuk irigasi saluran akar adalah klorheksidin

glukonat. Menurut penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa

klorheksidin glukonat dengan konsentrasi rendah (0,2%), dapat mengurangi

jumlah bakteri di dalam saluran akar nekrosis setelah digunakan sebagai bahan

irigasi saluran. Klorheksidin glukonat dengan konsentrasi tinggi (2%) merupakan

bahan yang memiliki sifat bakteriosidal dan baik digunakan sebagai irigasi

saluran akar. Keunggulan klorheksidin glukonat adalah penggunaannya lebih

aman dan efek toksisitasnya lebih rendah dibanding sodium hipoklorit.

Enterococcus faecalis merupakan salah satu bakteri patogen yang sangat persisten

di dalam saluran akar yang terinfeksi. Bakteri ini memiliki kemampuan dapat

hidup di suhu 10oC-40oC, pada konsentrasi garam 6,5%, pada pH lebih dari 9,6

dan pada suhu 60oC selama 30 menit. Selain itu, bakteri ini dapat berkolonisasi

dan membentuk biofilm serta mampu masuk ke dalam tubulus dentinalis untuk

bertahan hidup. Untuk dapat membunuh E. faecalis membutuhkan sodium

hipoklorit dengan konsentrasi 5,25% - 6%. Oleh karena penggunaan sodium

hipoklorit dengan konsentrasi tinggi (5,25% - 6%) maka akan meningkatkan juga

efek toksisitas yang akan terjadi.

Keberadaan tanaman-tanaman herbal merupakan terobosan terbaru dibidang

kesehatan karena memiliki khasiat positif, salah satunya adalah antibakteri. Buah

manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan buah yang memiliki khasiat di setiap

bagiannya, seperti kulit buah manggis. Kulit buah manggis memiliki kandungan

xanthone yang sangat tinggi. Xanthone memiliki 3 variasi, yaitu α-mangostin, β-

mangostin dan γ-mangostin. Variasi yang paling banyak di kulit buah manggis adalah α-
mangostin. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa α-mangostin merupakan suatu

zat yang memiliki daya antibakteri kuat. α-mangostin bersama γ-mangostin mampu

membunuh 49 spesies methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Dalam

beberapa penilitan membuktikan bahwa ekstrak kulit buah manggis memiliki sifat

toksisitas yang rendah.

Anda mungkin juga menyukai