Anda di halaman 1dari 2

Antara Dukun dengan Pendidik 

Profesional
Posted on 14 Maret 2009 by AKHMAD SUDRAJAT

Tidak dipungkiri, meski saat ini kita hidup dalam era digital dan kesejagatan, tetapi
pada sebagian masyarakat Indonesia masih ada saja yang mempercayai bahwa dukun adalah
sosok yang bisa dimintai jasa untuk kepentingan tertentu. Wikipedia menyebutkan bahwa
“dukun adalah seseorang yang membantu masyarakat dalam upaya penyembuhan penyakit
melalui tenaga supranatural”. Meski Wikipedia hanya merumuskan dukun untuk kepentingan
penyembuhan penyakit, tetapi dalam kenyataannya di Indonesia, selain dimanfaatkan untuk
menyembuhkan penyakit (fisik maupun psikologis), jasa dukun juga dimanfaatkan untuk
kepentingan promosi jabatan (karier/vokasional), memperoleh jodoh (sosial), bahkan
memperoleh kepandaian intelektual dan kesuksesan dalam belajar (akademik). Tidak menutup
kemungkinan ada seseorang yang ingin lulus Ujian Nasional atau Sidang Sarjana, bukannya
belajar secara sungguh-sungguh tapi malah pergi ke dukun.

Pengetahuan dan keterampilan seorang dukun tidak diperoleh melalui pendidikan formal yang
tinggi, karena hingga saat ini sepengetahuan saya, di Indonesia atau mungkin di dunia, belum
ada sekolah atau perguruan tinggi yang membuka program studi keahlian perdukunan. Kalau pun
ada, mungkin hanya sebatas kursus privat yang sangat terbatas (eksklusif), yang hanya bisa
diakses oleh orang-orang tertentu. Untuk bisa menjadi seorang dukun tidak diwajibkan
menempuh pendidikan formal tertentu. Seorang dukun tidak perlu menguasai komputer, tidak
perlu menguasai metode ilmiah, tidak perlu menulis. Bahkan, tidak perlu memahami
karakteristik pasiennya, karena dia akan melaksanakan pelayanan dari sudut pandang dia. Oleh
karena itu, siapapun pasiennya biasanya akan diberi perlakuan yang sama.

Pelayanan yang diberikan sang dukun kepada pasien (user) hadir dalam berbagai ragam. Meski
hampir bisa dipastikan tidak akan pernah ada standar pelayanan dan kompetensi dukun nasional,
namun dalam praktik pelayanannya biasanya dilakukan melalui prosedur-prosedur (ritual)
tertentu, yang tentunya setiap dukun akan menentukan prosedurnya masing-masing. Diantaranya
ada prosedur yang agak masuk akal (logis-rasional), tetapi pada umumnya prosedur yang
ditempuh sangat jauh dari akal sehat dan terkesan asal-asalan alias “semau gue”. Jangankan
pasien atau orang awam lainnya, mungkin dukunnya sendiri akan mengalami kesulitan jika
diminta menjelaskan apa dan mengapa prosedur itu harus ditempuh terutama kaitannya dengan
jasa yang diminta. Misalnya, apa hubungannya antara mandi kembang dengan dapat jodoh atau
keberhasilan karier, apa hubungannya minuman yang telah dicelupi batu oleh Ponari dengan
kesembuhan sang pasien.

Bagaimana dengan hasil yang diterima oleh pasien (klien) atas pelayanan sang dukun? Walaupun
ada diantaranya yang merasakan manfaat dari pelayanan sang dukun tetapi sangat sulit untuk
diprediksikan apalagi jika harus dijelaskan dan dihitung secara kuantitatif.

Mari kita bandingkan dengan tiga jenis pekerjaan di Indonesia yang saat ini secara yuridis telah
diakui sebagai pekerjaan profesional, yaitu: guru, konselor dan pengawas sekolah. Guru dan
konselor memiliki sasaran (user) yang sama yaitu siswa (konseli), sementara sasaran (klien)
pengawas sekolah adalah guru (personal) dan sekolah (manajerial). Dilihat dari ruang lingkup
jasa pelayanan yang diberikan kepada sasaran (user) dari ketiga jabatan tersebut pada dasarnya
tidak jauh berbeda dengan dukun, yaitu mencakup: pribadi, sosial, karier dan belajar (akademik)
dari user masing-masing.

Untuk menyandang ketiga jabatan tersebut harus menempuh pendidikan yang cukup lama, untuk
guru sekurang-kurangnya D4/S1, sementara untuk menjadi pengawas sekolah minimal S2
ditambah pendidikan profesi. Dengan pendidikan yang lama, diharapkan dalam dirinya tersedia
pengetahuan dan keterampilan yang tinggi tentang bidangnya masing-masing. Mereka dituntut
untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan prosedur standar yang bisa dijelaskan dan
dipertanggung jawabkan secara etik-moral maupun ilmiah. Begitu juga, mereka dituntut
memberikan hasil yang pasti dan bisa diprediksi bagi kliennya masing-masing.

Singkatnya, ketiga profesi tersebut dituntut melaksanakan pekerjaan yang tidak asal-asalan dan
dengan hasil-hasil yang jelas dan terukur. Jika tidak, lantas apa bedanya dengan dukun?

Anda mungkin juga menyukai