Komunikasi merupakan upaya membangun kesamaan makna yang mampu mendorong berbagai
kelompok masyarakat untuk memperoleh kehidupan dan penghidupan yang lebih baik. (Susanto,
2016: 1). Pada dasarnya kemunculan studi komunikasi lintas budaya didasari oleh
ketidakmampuan individu-individu untuk saling memahami pihak lain dalam dinamika
pergaulan kehidupannya sehari-hari. Seiring dengan tatanan dunia yang semakin mengglobal,
membawa implikasi kepada interaksi antar manusia yang semakin intensif. Manusia semakin
memiliki banyak kesempatan untuk melakukan hubungan-hubungan dalam kehidupannya sehari-
hari. Fenomena ini bermuara pada perlunya saling mengerti, saling mengetahui dan saling
memahami antar manusia untuk menghindari terjadinya konflik (chaos) atau kesalahpahaman
antar pribadi, antar kelompok, antar masyarakat, maupun antar bangsa.
Seringkali, prilaku komunikasi antar individu tampak asing, bahkan gagal untuk memenuhi
tujuan komunikasi tertentu, sebab mereka tidak memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai
latar belakang budaya pihak lain. Akibat kegagalan tersebut memaksa ilmuan mengawinkan
“budaya” dan “komunikasi” serta menjadikan komunikasi lintas budaya sebagai suatu bidang
studi. Inheren dalam perpaduan ini adalah gagasan bahwa komunikasi lintas budaya memerlukan
penelitian tentang budaya dan kesulitan-kesulitan komunikasi dengan pihak-pihak yang berbeda
budaya.
Meskipun kesamaan bahasa merupakan komponen penting untuk menjalin komunikasi yang
baik, namun hal itu tidak menjamin komunikasi berjalan lancar. Melalui pemahaman lintas
budaya, serat-serat perbedaan maupun persamaan budaya masyarakat dapat dilihat, dapat pula
diidentifikasi unsur-unsur yang melanggengkan komunikasi. Untuk dapat memahami budaya
orang lain, pelaku komunikasi harus memahami budayanya sendiri. Tidak ada budaya yang lebih
tinggi dari budaya lainnya. Semua budaya memiliki fungsi dan peran bagi pengalaman anggota-
anggota budaya tersebut meskipun nilainya berbeda. Dengan kesadaran pemahaman seperti ini,
akan muncuk sikap saling menghargai mengenai kebutuhan, aspirasi, perasaan dan masalah
manusia.
Perbedaan kebudayaan dipengaruhi oleh banyak hal termasuk perbedaan agama. Tidak dapat
dipungkiri bahwa agama terbukti mempengaruhi budaya, pola hidup dan tingkah laku seseorang.
Agama merupakan salah satu faktor besar yang mempengaruhi kebudayaan masyarakat. Dengan
demikian, permasalahan perbedaan agama dalam komunikasi merupakan perbedaan kebudayaan
yang tercakup dalam komunikasi lintas budaya . Komunikasi dalam semua konteks merupakan
persamaan dalam hal unsur-unsur dasar dan proses-proses komunikasi manusia (transmitting,
receiving, processing), tetapi adanya pengaruh kebudayaan yang tercakup dalam latar belakang
pengalaman individu membentuk pola-pola persepsi, pemikiran, penggunaan pesan-pesan verbal/
nonverbal serta hubungan-hubungan dasarnya. Maka variasi kontekstual, merupakan dimensi
tambahan yang mempengaruhi proses komunikasi lintas budaya. Komunikasi lintas budaya
terjadi bila pemberi pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota
suatu budaya lainnya. Dengan demikian, penyampaian pesan dari sumber komunikasi harus
diberi sandi sehingga penerima pesan sebagai anggota budaya yang berbeda tersebut dapat
menyandi ulang informasi/pesan yang diterimanya.
Dalam perspektif komunikasi yang integratif, untuk mengikat berbagai kelompok masyarakat,
maka sudah selayaknya jika pemahaman terhadap komunikasi dan interaksi antar budaya
diunggulkan dalam dinamika demokratisasi (Susanto, 2009). Kebhinekaan menjadi sebuah
kekuatan karena sejak dulu telah ada tradisi ”care and share” yang tidak lain adalah semangat
gotong royong, yang tumbuh diantara rakyat yang berjiwa ramah di alam yang kaya-raya (Shinzo
Abe, 2007 dalam susanto, 2012). Oleh sebab itu, seharusnya bangsa Indonesia, terus menjaga
citra keanekaragaman yang sudah dikenal oleh masyarakat di manca negara tersebut. (Susanto,
2012).
Komunikasi lintas budaya adalah terjadinya pengiriman pesan dari seseorang yang berasal dari
satu budaya yang berbeda dengan pihak penerima pesan. Bila disederhanakan, komunikasi lintas
budaya ini memberi penekanan pada aspek perbedayaan kebudayaan sebagai faktor yang
menentukan bagi keberlangsungan proses komunikasi. Kendatipun studi komunikasi lintas
budaya ini membicarakan tentang perasamaan-persamaan maupun perbedaan karakteristik
kebudayaan antara pelaku-pelaku komunikasi, namun titik perhatian utamanya adalah proses
komunikasi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan, yang
mencoba untuk saling berinteraksi. Maka konsep terpenting dalam studi ini adalah menyangkut
adanya “kontak” dan “komunikasi” antar pelaku-pelaku komunikasi.
Banyak pembahasan komunikasi lintas budaya yang berkisar pada perbandingan perilaku
komunikasi antarbudaya dengan menunjukkan perbedaan dan persamaan sebagai berikut:
Persepsi, yaitu sifat dasar persepsi dan pengalaman persepsi, peranan lingkungan sosial dan fisik
terhadap pembentukan persepsi
Kognisi, yang terdiri dari unsur-unsur khusus kebudayaan, proses berpikir, bahasa dan cara
berpikir.
Sosialisasi, berhubungan dengan masalah sosialisasi universal dan relativitas, tujuan-tujuan
institusionalisasi.
Kepribadian, misalnya tipe-tipe budaya pribadi yang mempengaruhi etos, dan tipologi karakter
atau watak bangsa.
Tujuan Komunikasi Lintas Budaya
Kebutuhan untuk mempelajari komunikasi lintas budaya ini semakin terasakan karena semakin
terbukanya pergaulan kita dengan orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda, disamping
kondisi bangsa Indonesia yang sangat majemuk dengan berbagai ras, suku bangsa, agama, latar
belakang daerah (desa/kota),latar belakang pendidikan, dan sebagainya. Untuk memerinci alasan
dan tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya Litvin (1977) menyebutkan beberapa alasan
diantaranya sebagai berikut:
Dunia sedang menyusut dan kapasitas untuk memahami keanekaragaman budaya sangat
diperlukan.
Semua budaya berfungsi dan penting bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut
meskipun nilai-nilainya berbeda.
Nilai-nilai setiap masyarakat se”baik” nilai-nilai masyarakat lainnya.
Setiap individu dan/atau budaya berhak menggunakan nilai-nilainya sendiri.
Perbedaan-perbedaan individu itu penting, namun ada asumsi-asumsi dan pola-pola budaya
mendasar yang berlaku.
Pemahaman atas nilai-nilai budaya sendiri merupakan prasyarat untuk mengidentifikasi dan
memahami nilai-nilai budaya lain.
Dengan mengatasi hambatan-hambatan budaya untuk berhubungan dengan orang lain kita
memperoleh pemahaman dan penghargaan bagi kebutuhan, aspirasi, perasaan dan masalah
manusia.
Pemahaman atas orang lain secara lintas budaya dan antar pribadi adalah suatu usaha yang
memerlukan keberanian dan kepekaan. Semakin mengancam pandangan dunia orang itu bagi
pandangan dunia kita, semakin banyak yang harus kita pelajari dari dia, tetapi semakin
berbahaya untuk memahaminya.
Pengalaman-pengalaman antar budaya dapat menyenangkan dan menumbuhkan kepribadian.
Keterampilan-keterampilan komunikasi yang diperoleh memudahkan perpindahan seseorang dari
pandangan yang monokultural terhadap interaksi manusia ke pandangan multikultural.
Perbedaan-perbedaan budaya menandakan kebutuhan akan penerimaan dalam komunikasi,
namun perbedaan-perbedaan tersebut secara arbitrer tidaklah menyusahkan atau memudahkan.
Situasi-situasi komunikasi antar budaya tidaklah statik dan bukan pula stereotip. Karena itu
seorang komunikator tidak dapat dilatih untuk mengatasi situasi. Dalam konteks ini kepekaan,
pengetahuan dan keterampilannya bisa membuatnya siap untuk berperan serta dalam
menciptakan lingkungan komunikasi yang efektif dan saling memuaskan.
Sedangkan mengenai tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya, Litvin (1977) menguraikan
bahwa tujuan itu bersifat kognitif dan afektif, yaitu untuk:
Disadari sepenuhnya bahwa komunikasi yang dilakukan oleh manusia selalu mengandung
potensi perbedaan. Sekecil apapun perbedaan itu, sangat membutuhkan upaya-upaya untuk
memberhasilkan proses komunikasi secara efektif; yakni dengan menggunakan informasi budaya
mengenai pelaku-pelaku komunikasi yang bersangkutan. Komunikasi lintas budaya menjadi
kebutuhan bagi semua kalangan untuk dapat menjalin hubungan yang lebih baik dan
memuaskan, terutama bagi mereka yang berbeda budaya.
Komunikasi dalam semua konteks merupakan persamaan dalam hal unsur-unsur dasar dan
proses-proses komunikasi manusia (transmitting, receiving, processing), tetapi adanya pengaruh
kebudayaan yang tercakup dalam latar belakang pengalaman individu membentuk pola-pola
persepsi, pemikiran, penggunaan pesan-pesan verbal/nonverbal serta hubungan-hubungan
dasarnya. Maka variasi kontekstual, merupakan dimensi tambahan yang mempengaruhi proses
komunikasi lintas budaya. Komunikasi lintas budaya terjadi bila pemberi pesan adalah anggota
suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dengan demikian,
penyampaian pesan dari sumber komunikasi harus diberi sandi sehingga penerima pesan sebagai
anggota budaya yang berbeda tersebut dapat menyandi ulang informasi/pesan yang diterimanya.
Untuk mencapai interaksi budaya yang efektif, maka perlu melihat konteks keseluruhan tempat
berlangsungnya komunikasi tersebut. Saral, mengemukakan bahwa lingkungan kontekstual
(contextual environment) secara terus menerus berubah, yang disebut kenyataan bukanlah suatu
yang tunggal, pasti atau mutlak dan tidak ada cara melihat, menyadari, berpikir dan
berkomunikasi yang berlaku secara universal. Oleh karenanya menurut Saral, kita harus
mengakui kemungkinan dianutnya serta disebarluaskannya kenyataan-kenyataan komunikasi
yang berbeda oleh lingkungan komunikasi yang berlainan.
Selain itu studi komunikasi lintas budaya ini juga harus dapat melihat kemungkinan atau
tidaknya tercipta suatu wilayah pertemuan dari unsur-unsur kebudayaan yang berbeda tersebut.
Dalam kerangka ini, maka setiap kebudayaan harus dilihat dari pemahaman terhadap
lingkungannya. Dengan pendekatan demikian maka diharapkan dapat dikembangkan prosedur
penilaian yang secara relatif bebas dari paksaan pola-pola atau bias kebudayaan tertentu.
Proses komunikasi melibatkan unsur-unsur sumber (komunikator), Pesan, media, penerima dan
efek. Disamping itu proses komunikasi juga merupakan sebuah proses yang sifatnya dinamik,
terus berlangsung dan selalu berubah, dan interaktif, yaitu terjadi antara sumber dan
penerima.Proses komunikasi juga terjadi dalam konteks fisik dan konteks sosial, karena
komunikasi bersifat interaktif sehingga tidak mungkin proses komunikasi terjadi dalam kondisi
terisolasi. Konteks fisik dan konteks sosial inilah yang kemudian merefleksikan bagaimana
seseorang hidup dan berinteraksi dengan orang lainnya sehingga terciptalah pola-pola interaksi
dalam masyarakat yang kemudian berkembang menjadi suatu budaya.
Adapun budaya itu sendiri berkenaan dengan cara hidup manusia. Bahasa, persahabatan,
kebiasaan makan, praktek komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan
politik dan teknologi semuanya didasarkan pada pola-pola budaya yang ada di masyarakat.
Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan
sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama,
waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang
diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan
kelompok.(Mulyana, 1996:18) Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan satu sama lain,
karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siap, tentang apa dan bagaimana
orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk
mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Budaya merupakan landasan komunikasi
sehingga bila budaya beraneka ragam maka beraneka ragam pula praktek-praktek komunikasi
yang berkembang.
Mereka dipengaruhi oleh adat dan pengetahuan masyarakat dimana mereka tinggal dan
dibesarkan, terlepas dari bagaimana validitas objektif masukan dan penanaman budaya ini pada
dirinya. Individu-individu itu cenderung mengabaikan atau menolak apa yang bertentangan
dengan “kebenaran” kultural atau bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaannya. Inilah
yang seringkali merupakan landasan bagi prasangka yang tumbuh diantara anggota-anggota
kelompok lain, bagi penolakan untuk berubah ketika gagasan-gagasan yang sudah mapan
menghadapi tantangan.
Setiap budaya memberi identitas kepada sekolompok orang tertentu sehingga jika kita ingin lebih
mudah memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam msaing-masing budaya tersebut
paling tidak kita harus mampu untuk mengidentifikasi identitas dari masing-masing budaya
tersebut yang antara lain terlihat pada :
Hubungan-Hubungan
Budaya juga mengatur hubungan-hubungan manusia dan hubungan-hubungan organisasi
berdasarkan usia, jenis kelamin, status, kekeluargaan, kekayaan, kekuasaan, dan kebijaksanaan.
Pahami diri sendiri (know yourself), dalam arti bahwa memahami diri sendiri penting, ketika
melakukan komunikasi dan interaksi dengan kelompok lain. Implikasinya, seseorang dapat
memposisikan diri dan tidak canggung dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok etnik
yang berbeda;
Sediakan waktu (take time) ketika terjadi ketidaksepahaman dengan kelompok budaya lain.
Sebab seiring dengan berjalannya waktu, diharapkan muncul pemahaman, dan tingkat emosi
yang mereda;
Pengggunaan bahasa yang sama, jika ingin hubungan antar kelompok budaya berjalan lancar,
harus menggunakan bahasa yang sama dengan kelompok lain. Kalaupun bahasanya memang
sudah sama, gunakan maksud yang sama ketika berhubungan dengan kelompok lain. Pada
konteks ini, bahasa secara hakiki terikat oleh kesamaan maksud dalam hubungan dengan
kelompok yang berbeda;
Perhitungan setting, dalam komunikasi dengan budaya lain, yang sangat mungkin memiliki
beragam perbedaan terhadap seting waktu, lingkungan dan simbol lain yang dipercaya.
Hakikatnya, berkomunikasi dengan budaya etnik lain, harus memperhitungkan situasi dan
kondisi yang berlaku dan dipercaya oleh kelompok lain;
Tingkatkan kemampuan berkomunikasi (communication style), usahakan terus meningkatkan
kemampuan berkomunikasi, dengan memepelajari bahasa dan budaya kelompok lain. Tanpa
upaya untuk melakukan pendekatan, maka tingkat kohesivitas hubungan yang dipakai sebagai
landasan kehidupan masyarakat yang harmonis tidak akan tercapai;
Tumbuhkan umpan balik (feedback), dalam arti bahwa, membuka kesempatan kepada kelompok
lain, agar memberi umpan balik. Jadi tidak mendominasi pembicaraan, terlebih jika yang diajak
berkomunikasi merasa sebagai kelompok minoritas ataupun terperangkap dalam simbol-simbol
marginalisasi, maka sulit untuk mengharapkan tercapainya tujuan berkomunikasi
Kembangkan Empati, mengembangkan empati, dengan memposisikan diri sendiri sebagai orang
dari kelompok lain penting untuk meningkatkan hubungan. Pemahaman terhadap posisi
kelompok lain akan meningkatkan rasa kebersamaan yang mampu mengikat masyarakat yang
berbeda dalam satu kesatuan;
Perhatikan kesamaan dari budaya yang berbeda, jika ingin meningkatkan interaksi antar budaya,
gunakan kesamaan agar hubungan dengan kelompok lain lebih erat. Jadi yang terpenting adalah
tidak mempersoalkan perbedaan yang terdapat di kelompok lain, dan;
Tanggung jawab etis dalam komunikasi, etika dalam berkomunikasi dengan kelompok lain perlu
dijaga, mengingat pelanggaran terhadap etika berbicara akan berakibat buruk. Jika etika
komunikasi kelompok lain tidak diketahui. Gunakan etika yang universal, yang intinya
menghormati ketika orang lain berbicara.
Kesembilan saran untuk mengefektifkan komunikasi antare budaya tersebut, barangkali tidak
dapat dilakukan bersama-sama dalam satu kesempatan komunikasi, tetapi paling tidak dalam
situasi komunikasi tertentu di wilayah yang rawan konflik karena perbedaan nilai dan
kepercayaan, dapat dipakai sebagai pedoman untuk meminimalisir berbagai perbedaan.
Kesimpulan
Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut
menentukan tujuan hidup yang berbeda, juga menentukan cara berkomunikasi kita yang sangat
dipengaruhi oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada masing-masing budaya. Sehingga
sebenarnya dalam setiap kegiatan komunikasi kita dengan orang lain selalu mengandung potensi
komunikasi lintas budaya atau antar budaya, karena kita akan selalu berada pada “budaya” yang
berbeda dengan orang lain, seberapa pun kecilnya perbedaan itu.
Perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya dapat menimbulkan resiko yang fatal, setidaknya akan
menimbulkan komunikasi yang tidak ocial, timbul perasaan tidak nyaman atau timbul
kesalahpahaman. Akibat dari kesalahpahaman-kesalahpahaman itu banyak kita temui dalam
berbagai kejadian yang mengandung etnosentrisme dewasa ini dalam wujud konflik-konflik yang
berujung pada kerusuhan atau pertentangan antar etnis. Sebagai salah satu jalan keluar untuk
meminimalisir kesalahpahaman-kesalahpahaman akibat perbedaan budaya adalah dengan
mengerti atau paling tidak mengetahui bahasa dan perilaku budaya orang lain, mengetahui
prinsip-prinsip komunikasi lintas budaya dan mempraktekkannya dalam berkomunikasi dengan
orang lain.
Teori-teori Komunikasi Lintas Budaya merupakan teori-teori yang secara khusus
menggeneralisasi konsep komunikasi diantara komunikator dengan komunikan yang berbeda
kebudayaan, dan yang membahas pengaruh kebudayaan terhadap kegiatan komunikasi.
Alo Liliweri, (2001) mengatakan bahwa paling tidak ada tiga sumber yang oci digunakan untuk
menggeneralisasi teori komunikasi lintas budaya, yakni:
Teori-teori komunikasi antar budaya yang dibangun akibat perluasan teori komunikasi yang
secara khusus dirancang untuk menjelaskan komunikasi intra/antar budaya.
Teori-teori baru yang dibentuk dari hasil-hasil penelitian khusus dalam bidang komunikasi antar
budaya.
Teori-teori komunikasi antar budaya yang diperoleh dari hasil generalisasi teori ilmu lain,
termasuk proses ocial yang bersifat isomorfis.