Anda di halaman 1dari 10

HUKUM ASURANSI DALAM ISLAM

28 Juni 2011 pukul 19:23

‫بِس ِْم هللاِ الرَّحْ َم ِن ال َّر ِحي ِْم‬

Asuransi adalah perjanjian jaminan dari pihak pemberi jaminan (yaitu perusahaan asuransi)
untuk memberi sejumlah harta atau upah secara rutin atau ganti barang yang lain, kepada
pihak yang diberi jaminan (yaitu nasabah asuransi), pada waktu terjadi musibah atau
kepastian bahaya, yang dijelaskan dengan perjanjian, hal itu sebagai ganti angsuran atau
pembayaran yang diberikan oleh nasabah kepada perusahaan.

Dari penjelasan ini nyata bahwa di dalam perjanjian asuransi itu ada unsur:

1. Bentuk dan jumlah jaminan yang akan diberikan pihak perusahaan asuransi;

2. Bahaya atau musibah yang terjadi;

3. Angsuran atau pembayaran yang dibayar oleh nasabah.

SEJARAH ASURANSI

Asuransi pertama kali muncul dalam bentuk asuransi perjalanan di lautan yang muncul


pada abad 14 Masehi. Namun asuransi ini memiliki akar sejarah semenjak sebelum Masehi.
Yaitu bahwa seseorang meminjamkan sejumlah harta riba untuk kapal yang akan berlayar,
jika kapal itu hancur, maka pinjaman itu hilang. Jika kapal selamat, maka pinjaman itu
dikembalikan dengan riba (tambahan) yang disepakati. Kapal itu digadaikan sementara
sebagai jaminan pengembalian hutang dan ribanya.

Demikianlah asal muasal perusahaan asuransi merupakan perjanjian yang bersifat riba,
berdasarkan unsur perjudian dan menghadang bahaya. Dan asuransi tetap seperti ini
sebagaimana muncul pertama kali.

Kemudian muncul asuransi di daratan di kalangan bangsa Inggris pada abad 17 Masehi.
Bentuk asuransi yang pertama kali muncul adalah asuransi kebakaran. Hal ini muncul setelah
kejadian kebakaran hebat di kota London pada tahun 1666 Masehi. Lebih dari 13 ribu rumah
dan sekitar 100 gereja menjadi korban kebakaran. Kemudian asuransi kebakaran ini
menyebar di banyak negara di luar Inggris pada abad 18 Masehi, khususnya di  Jerman,
Perancis, dan Amerika Serikat. Kemudian asuransi semakin menyebar dan bertambah jenis-
jenisnya, khususnya pada abad 20 Masehi.

JENIS-JENIS ASURANSI 

 
Dilihat dari bentuk dan tujuannya, asuransi ada dua jenis:

1) At-Ta’miin at-Tijaariy.

Asuransi yang bertujuan mencari keuntungan, atau asuransi yang dijadikan usaha,
asuransi yang memiliki angsuran yang pasti. Angsuran ini otomatis menjadi milik
perusahaan asuransi sebagai ganti dari pembayaran yang dia tanggung jika terjadi
musibah -atau apa yang disepakati. Jika jumlah pembayaran dari perusahaan lebih
besar dari uang angsuran, maka itu ditanggung oleh perusahaan, dan merupakan
kerugiannya. Jika tidak terjadi musibah, maka angsuran itu menjadi milik perusahaan
tanpa ganti apapun. Dan ini merupakan keuntungannya. Inilah asuransi yang
dibacarakan di sini. Dan ini terlarang karena bersifat spekulasi yang merugikan salah
satu fihak.

2) At-Ta’miin at-Ta’aawuniy.

Atau juga disebut at-Ta’miin at-Tabaaduliy atau at-Ta’miin al-Islamiy. Yaitu asuransi


gotong-royong atau asuransi yang sesuai dengan agama Islam. Ini tidak bertujuan
mencari keuntungan, namun hanyalah bentuk tolong menolong di dalam menanggung
kesusahan. Contohnya: sekelompok orang bersama-sama mengumpulkan uang, dengan
uang ini mereka membantu orang yang terkena musibah. Perusahaan asuransi islam
ini, tidak otomatis memiliki uang angsuran dari nasabah. Demikian juga uang yang
dibayarkan ketika terjadi musibah bukan milik perusahaan, namun milik bersama.
Perusahaan ini hanyalah menyimpan, mengembangkan, dan memberikan bantuan.

Selain itu ada jenis asuransi yang lain, yaitu:

3) At-Ta’miin al-Ijtima’iy (jaminan keamanan sosial).

Hal ini juga tidak mencari keuntungan, dan bukan asuransi khusus pada seseorang
yang khawatir musibah tertentu. Tetapi ini bertujuan untuk membantu orang banyak,
yang kemungkinan bisa berjumlah jutaan orang. Seperti yang dilakukan oleh negara-
negara terhadap para pegawainya, yang dikenal dengan istilah peraturan pensiun.
Yaitu dengan cara memotong gaji bulanan dengan prosentase tertentu, dan ketika telah
sampai masa pensiun, uang tersebut diberikannya dalam bentuk gaji pensiun bulanan,
atau uang pesangon yang diberikan sekaligus untuk membantu kehidupannya. Bahkan
jenis ini sebenarnya tidaklah termasuk asuransi. Hal ini tidak mengapa, asalnya tidak
disimpan di bank yang menjalankan riba.

MACAM-MACAM ASURANSI TIJARI

At-Ta’miin at-Tijaariy, asuransi yang bertujuan mencari keuntungan sangat banyak macanya,
antara lain:
1) Asuransi Kecelakaan.

Asuransi jenis ini dilakukan pada harta-harta yang dimiliki, seperti asuransi pencurian,
asuransi kebakaran, dan semacamnya. Juga dilakukan pada pertanggungan jawab nasabah,
seperti asuransi kecelakaan kendaraan, asuransi kecelakaan kerja, dan semacamnya.

2) Asuransi Pribadi.

Yaitu asuransi dari bahaya-bahaya yang berhubungan dengan manusia itu sendiri, di sisi
kehidupannya, kesehatannya, atau keselamatannya. Hal ini meliputi asuransi jiwa dan
asuransi dari musibah-musibah yang menimpa badan.

Asuransi jiwa yaitu perjanjian yang mengharuskan perusahaan asuransi memberikan


sejumlah uang kepada nasabah atau kepada orang ke tiga, sebagai ganti angsuran-angsuran
yang diberikan, ketika matinya nasabah, atau tetap hidupnya nasabah sampai umur tertentu.  

Hal ini ada beberapa macam:

1. Asuransi untuk keadaan kematian. 

 Yaitu diberikan sejumlah uang pada saat kematian nasabah. Ini ada 3 macam:

a) Asuransi selama hidup. Yaitu perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada


orang yang diansuransikan pada saat kematian orang yang membayar asuransi (nasabah). Jika
asuransi untuk jangka tertentu, seperti 20 tahun misalnya, dan nasabah itu mati sebelum lewat
20 tahun, maka angsurannya gugur, dan orang yang diasuransikan berhak mendapatkan
jumlah uang asuransi secara penuh. Ini berarti kerugian bagi perusahaan. Dan jika nasabah itu
masih hidup lewat 20 tahun, maka angsurannya berhenti, tetapi uang asuransi tidaklah
diberikan kepada orang yang diansuransikan kecuali setelah kematian nasabah.

b)    Asuransi selama waktu tertentu. Yaitu nasabah membayar angsuran asuransi, dan


perusahaan akan membayar sejumlah uang asuransi untuk orang yang diansuransikan jika
nasabah mati di dalam jarak waktu asuransi. Jika nasabah masih hidup melewati jarak waktu
asuransi, maka ansuran yang telah dia bayar hilang, dan perusahaan mengambil uang tersebut
dengan tanpa imbalan apa-apa. Asuransi jenis ini sangat jelas unsur perjudiannya.

c)     Asuransi selama hidupnya orang yang diasuransikan.

Yaitu perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada orang yang diansuransikan,
jika dia tetap hidup setelah kematian orang yang membayar asuransi (nasabah). Tetapi jika
orang yang diansuransikan mati sebelum orang yang membayar asuransi (nasabah), maka
asuransi berhenti, dan harta yang telah disetorkan oleh nasabah itu hilang. Asuransi jenis ini
juga sangat jelas unsur perjudiannya.

 
2. Asuransi untuk keadaan tetap hidup.

Yaitu tetap hidupnya nasabah, ini kebalikan dari bentuk 1. a. Yaitu nasabah asuransi
membayar sejumlah uang tertentu kepada perusahaan asuransi, dan perusahaan juga akan
membayar sejumlah uang tertentu juga -yang lebih banyak- pada waktu yang ditentukan, jika
nasabah itu tetap hidup sampai waktu tersebut. Tetapi jika nasabah mati sebelum waktu yang
ditetapkan, maka asuransi berhenti, dan harta yang telah disetorkan oleh nasabah itu hilang.
Dan ahli warisnya tidak dapat memanfaatkannya. Asuransi jenis ini juga sangat jelas unsur
perjudiannya.

3. Asuransi Kombinasi.

Yaitu penggabungan dua jenis asuransi di atas. Perusahaan asuransi menjamin pembayaran
sejumlah uang asuransi kepada orang yang diasuransikan, jika nasabah mati pada selang
waktu tertentu, atau membayarkan kepada nasabah jika dia masih hidup setelah selesainya
waktu asuransi. Oleh karena itu angsuran angsuransi jenis ini lebih besar dari dua jenis
sebelumnya.

Asuransi dari musibah-musibah yang menimpa badan.

Yaitu perusahaan asuransi menjamin pembayaran sejumlah uang asuransi kepada orang yang
diasuransikan, jika nasabah tertimpa musibah yang berkaitan dengan badannya, selama masa
asuransi. Atau diberikan kepada orang tertentu, jika nasabah yang mengikuti asuransi itu
mati. Asuransi kesehatan termasuk jenis ini, dan terkadang asuransi kesehatan mencakup
seluruh jenis penyakit, atau penyakit tubuh yang tertentu, atau tindakan operasi penyakit, 
atau sebagian penyakit. Dan dokumen transaksi asuransi menentukan jenis bahaya yang
diasuransikan dan itu yang mendapatkan jaminan asuransi dari perusahaan

HUKUM ASURANSI

Asuransi tijari (yang merupakan usaha untuk mencari keuntungan) dengan semua
jenisnya hukumnya haram,

karena:

1.  Perjanjian asuransi merupakan perjanjian penggantian harta yang mengandung ketidak


pastian dan memuat bahaya yang sangat banyak.

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:

‫صا ِة َوع َْن بَي ِْع ْال َغ َر ِر‬


َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن بَي ِْع ْال َح‬
َ ِ ‫نَهَى َرسُو ُل هَّللا‬

“Rasulullah  Shallallahu’alaihi Wasallam melarang jual beli dengan kerikil dan jual beli
gharar.”(HR. Muslim, no. 1513)
Jual beli dengan kerikil,  seperti seorang penjual mengatakan ”Aku menjual kain yang
terkena kerikil yang aku lemparkan”. Atau ”Aku menjual tanah ini mulai sini sampai  jarak
kerikil yang aku lemparkan”. Atau semacamnya yang tidak ada kejelasan.

Sedang jual beli gharar yaitu jual beli yang mengandung ketidak jelasan, tipu-daya, dan tidak
mampu menyerahkan barang, seperti menjual ikan di dalam kolam, menjual burung yang
terbang di udara, dan semacamnya. (Lihat Syarh Muslim karya Imam Nawawi)

2.       Asuransi termasuk jenis perjudian. Karena padanya terdapat bahaya kerugian di dalam
pertukaran harta, kerugian dengan tanpa berbuat kejahatan atau penyebabnya, dan
keuntungan dengan tanpa imbalan atau dengan imbalan yang tidak sepadan. Karena nasabah
asuransi terkadang baru menyetor sekali angsuran, lalu terjadi kecelakaan, sehingga
perusahaan asuransi menderita kerugian sejumlah uang asuransi. Atau tidak terjadi
kecelakaan, sehingga perusahaan asuransi mendapatkan keuntungan angsuran-angsuran
asuransi dengan tanpa imbalan. Dengan demikian asuransi masuk di dalam larangan
perjudian di dalam firman Allah:

َ‫ان فَاجْ تَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬


ِ َ‫األزال ُم ِرجْ سٌ ِم ْن َع َم ِل ال َّش ْيط‬ َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِنَّ َما ْال َخ ْم ُر َو ْال َم ْي ِس ُر َواأل ْن‬
ْ ‫صابُ َو‬

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban


untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Al-Maidah/5:
90)

3.       Perjanjian asuransi mengandung riba. Karena keuntungan yang didapati oleh
perusahaan adalah tanpa imbalan, sedangkan keuntungan nasabah merupakan tambahan dari
harta pokoknya yang tidak ada imbalannya. Dan larangan riba sangat keras di dalam Islam.
Allah berfirman:

wَ ِ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َو َذرُوا َما بَقِ َي ِمنَ ال ِّربَا إِ ْن ُك ْنتُ ْم ُم ْؤ ِمن‬
‫ين‬

ْ ُ‫َظلِ ُمونَ َوال ت‬


َ‫ظلَ ُمون‬ ٍ ْ‫فَإ ِ ْن لَ ْم تَ ْف َعلُوا فَأْ َذنُوا بِ َحر‬
ْ ‫ب ِمنَ هَّللا ِ َو َرسُولِ ِه َوإِ ْن تُ ْبتُ ْم فَلَ ُك ْم ُر ُءوسُ أَ ْم َوالِ ُك ْم ال ت‬

“Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-
Baqarah/2: 278-279)

4.       Asuransi merupakan perlombaan yang hukumnya haram, karena mengandung ketidak
jelasan, bahaya kerugian, dan perjudian. Dan syari’at Islam tidak memperbolehkan
perlombaan yang pemenangnya mengambil harta kecuali yang padanya terdapat pembelaan
dan kemenangan terhadap Islam untuk meninggikan Islam dengan hujjah atau dengan senjata.
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam telah membatasi perlombaan yang pemenangnya
mengambil upah dengan tiga macam:
‫ق إِاَّل فِي ُخفٍّ أَوْ فِي َحافِ ٍر أَوْ نَصْ ٍل‬
َ َ‫اَل َسب‬

“Tidak boleh mengambil hadiah harta perlombaan kecuali pada onta, kuda, atau anak
panah”.(HR. Abu Dawud, no. 2574;  Tirmidzi, no. 1700)

Yaitu tidak boleh mengambil harta dengan perlombaan kecuali pada salah satu dari tiga
perkara di atas. Karena ketiganya -dan yang semaknanya- termasuk persiapan peperangan
dan kekuatan berjihad memerangi musuh. Dan memberikan hadiah padanya merupakan
dorongan kepada jihad. (Lihat Tuhfatul Ahawadzi)

5.       Perjanjian asuransi, di dalamnya mengandung pengambilan harta orang lain dengan
tanpa imbalan, ini merupakan kebatilan. Allah Ta’ala berfirman:

ْ
ٍ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ال تَأ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل إِال أَ ْن تَ ُكونَ تِ َجا َرةً ع َْن تَ َر‬
‫اض ِم ْن ُك ْم‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu”. (QS. An-Nisa’/4: 29).

6.       Perjanjian asuransi mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Syari’at. Karena
perusahaan asuransi tidak membuat kecelakaan dan tidak melakukan perkara yang
menyebabkan kecelakaan, namun ia wajib membayar klaim. Hal itu karena perjanjian dengan
nasabah untuk menjamin bahaya jika terjadi dengan imbalan setoran angsuran nasabah.

Berdasarkan keterangan ini, maka banyak sekali fatwa para ulama yang mengharamkan
asuransi tijari dengan segala jenisnya.

Dari penjelasan ini nampak bahwa asuransi yang banyak beredar, yang dilakukan sebagai
usaha untuk meraih keuntungan termasuk perkara yang dilarang di dalam Syari’at. Adapun
asuransi yang dibolehkan adalah At-Ta’miin at Ta’aawuniy (asuransi gotong royong)
sebagaimana di atas. Wallahu a’lam.

Sumber: www.UstadzKholid.com

Disusun oleh Ustadz Muslim Atsari

[Makalah ini diringkas dari kitab Mausuu'ah Al-Qadhaayaa Al-Fiqhiyyah Al-Mu'aashirah


Wal Iqtishaad Al-Islami, karya Syaikh Prof. Dr. Ali Ahmad As-Saaluus, ustadz fiqh dan
ushuul di kuliyah Syari'at Univ. Qathar, hlm; 363-395, penerbit: Dar Ats-Tsaqafah Qathar;
dan beberapa tambahan dari rujukan lain]
Hukum Asuransi
 30 April 2012, 11:00 am
 asuransi, ghoror, judi

Seakan-akan masa depan seseorang selalu suram. Akan terjadi kecelakaan, rumah tidak aman
dan bisa saja terbakar atau terjadi pencurian, perusahaan pun tidak bisa dijamin berjalan
terus, pendidikan anak bisa jadi tiba-tiba membutuhkan biaya besar di tahun-tahun
mendatang. Itulah gambaran yang digembosi pihak asuransi. Yang digambarkan adalah masa
depan yang selalu suram. Tidak ada rasa tawakkal dan tidak percaya akan janji Allah yang
akan selalu memberi pertolongan dan kemudahan. Kenapa asuransi yang selalu dijadikan
solusi untuk masa depan? Ulasan sederhana kali ini akan mengulas mengenai asuransi dan
bagaimanakah seharusnya kita bersikap.

Mengenal Asuransi

Asuransi adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada tindakan, sistem, atau bisnis
dimana perlindungan finansial (atau ganti rugi secara finansial) untuk jiwa, properti,
kesehatan dan lain sebagainya mendapatkan penggantian dari kejadian-kejadian yang tidak
dapat diduga yang dapat terjadi seperti kematian, kehilangan, kerusakan atau sakit, di mana
melibatkan pembayaran premi secara teratur dalam jangka waktu tertentu sebagai ganti polis
yang menjamin perlindungan tersebut. (Wikipedia)

Berbagai Alasan Terlarangnya Asuransi

Berbagai jenis asuransi asalnya haram baik asuransi jiwa, asuransi barang, asuransi dagang,
asuransi mobil, dan asuransi kecelakaan. Secara ringkas, asuransi menjadi bermasalah karena
di dalamnya terdapat riba, qimar (unsur judi), dan ghoror (ketidak jelasan atau spekulasi
tinggi).

Berikut adalah rincian mengapa asuransi menjadi terlarang:

1. Akad yang terjadi dalam asuransi adalah akad untuk mencari keuntungan (mu’awadhot).
Jika kita tinjau lebih mendalam, akad asuransi sendiri mengandung ghoror (unsur ketidak
jelasan). Ketidak jelasan pertama dari kapan waktu nasahab akan menerima timbal balik
berupa klaim. Tidak setiap orang yang menjadi nasabah bisa mendapatkan klaim. Ketika ia
mendapatkan accident atau resiko, baru ia bisa meminta klaim. Padahal accident di sini
bersifat tak tentu, tidak ada yang bisa mengetahuinya. Boleh jadi seseorang mendapatkan
accident setiap tahunnya, boleh jadi selama bertahun-tahun ia tidak mendapatkan accident.
Ini sisi ghoror pada waktu.

Sisi ghoror lainnya adalah dari sisi besaran klaim sebagai timbal balik yang akan diperoleh.
Tidak diketahui pula besaran klaim tersebut. Padahal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah melarang jual beli yang mengandung ghoror atau spekulasi tinggi sebagaimana dalam
hadits dari Abu Hurairah, ia berkata,

‫صا ِة َوع َْن بَي ِْع ْال َغ َر ِر‬


َ ‫ ع َْن بَي ِْع ْال َح‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫نَهَى َرسُو ُل هَّللا‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan
kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror (mengandung unsur ketidak
jelasan)” (HR. Muslim no. 1513).

2. Dari sisi lain, asuransi mengandung qimar atau unsur judi. Bisa saja nasabah tidak
mendapatkan accident atau bisa pula terjadi sekali, dan seterusnya. Di sini berarti ada
spekulasi yang besar. Pihak pemberi asuransi bisa jadi untung karena tidak mengeluarkan
ganti rugi apa-apa. Suatu waktu pihak asuransi bisa rugi besar karena banyak yang
mendapatkan musibah atau accident. Dari sisi nasabah sendiri, ia bisa jadi tidak mendapatkan
klaim apa-apa karena tidak pernah sekali pun mengalami accident atau mendapatkan resiko.
Bahkan ada nasabah yang baru membayar premi beberapa kali, namun ia berhak
mendapatkan klaimnya secara utuh, atau sebaliknya. Inilah judi yang mengandung spekulasi
tinggi. Padahal Allah jelas-jelas telah melarang judi berdasarkan keumuman ayat,

َ‫صابُ َواأْل َ ْزاَل ُم ِرجْ سٌ ِم ْن َع َم ِل ال َّش ْيطَا ِن فَاجْ تَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬
َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آَ َمنُوا إِنَّ َما ْال َخ ْم ُر َو ْال َم ْي ِس ُر َواأْل َ ْن‬

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maysir (berjudi),


(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS.
Al Maidah: 90). Di antara bentuk maysir adalah judi.

3. Asuransi mengandung unsur riba fadhel (riba perniagaan karena adanya sesuatu yang
berlebih) dan riba nasi’ah (riba karena penundaan) secara bersamaan. Bila perusahaan
asuransi membayar ke nasabahnya atau ke ahli warisnya uang klaim yang disepakati, dalam
jumlah lebih besar dari nominal premi yang ia terima, maka itu adalah riba fadhel. Adapun
bila perusahaan membayar klaim sebesar premi  yang ia terima namun ada penundaan, maka
itu adalah riba nasi’ah (penundaan). Dalam hal ini nasabah seolah-olah memberi pinjaman
pada pihak asuransi. Tidak diragukan kedua riba tersebut haram menurut dalil dan ijma’
(kesepakatan ulama).

4. Asuransi termasuk bentuk judi dengan taruhan yang terlarang. Judi kita ketahui
terdapat taruhan, maka ini sama halnya dengan premi yang ditanam. Premi di sini sama
dengan taruhan dalam judi. Namun yang mendapatkan klaim atau timbal balik tidak setiap
orang, ada yang mendapatkan, ada yang tidak sama sekali. Bentuk seperti ini diharamkan
karena bentuk judi yang terdapat taruhan hanya dibolehkan pada tiga permainan sebagaimana
disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ق إِالَّ فِى نَصْ ٍل أَوْ ُخفٍّ أَوْ َحافِ ٍر‬


َ َ‫الَ َسب‬

“Tidak ada taruhan dalam lomba kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan unta, dan
pacuan kuda” (HR. Tirmidzi no. 1700, An Nasai no. 3585, Abu Daud no. 2574, Ibnu Majah
no. 2878. Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani). Para ulama memisalkan tiga permainan di
atas dengan segala hal yang menolong dalam perjuangan Islam, seperti lomba untuk
menghafal Al Qur’an dan lomba menghafal hadits. Sedangkan asuransi tidak termasuk dalam
hal ini.

5. Di dalam asuransi terdapat bentuk memakan harta orang lain dengan jalan yang batil.
Pihak asuransi mengambil harta namun tidak selalu memberikan timbal  balik. Padahal dalam
akad mu’awadhot (yang ada syarat mendapatkan keuntungan) harus ada timbal balik. Jika
tidak, maka termasuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala,
‫اض ِم ْن ُك ْم‬ َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آَ َمنُوا اَل تَأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل إِاَّل أَ ْن تَ ُكونَ تِ َج‬
ٍ ‫ارةً ع َْن تَ َر‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku saling ridho di antara kamu”
(QS. An Nisa’: 29). Tentu setiap orang tidak ridho jika telah memberikan uang, namun tidak
mendapatkan timbal balik atau keuntungan.

6. Di dalam asuransi ada bentuk pemaksaan tanpa ada sebab yang syar’i. Seakan-akan
nasabah itu memaksa accident itu terjadi. Lalu nasabah mengklaim pada pihak asuransi untuk
memberikan ganti rugi padahal penyebab accident bukan dari mereka. Pemaksaan seperti ini
jelas haramnya.

[Dikembangkan dari penjelasan Majlis Majma Fikhi di Makkah Al Mukarromah, KSA]

“Masa Depan Selalu Suram” Ganti dengan “Tawakkal”

Dalam rangka promosi, yang ditanam di benak kita oleh pihak asuransi adalah masa depan
yang selalu suram. “Engkau bisa saja mendapatkan kecelakaan”, “Pendidikan anak bisa saja
membengkak dan kita tidak ada persiapan”, “Kita bisa saja butuh pengobatan yang tiba-tiba
dengan biaya yang besar”. Itu slogan-slogan demi menarik kita untuk menjadi nasabah di
perusahaan asuransi. Tidak ada ajaran bertawakkal dengan benar. Padahal tawakkal adalah
jalan keluar sebenarnya dari segala kesulitan dan kekhawatiran masa depan yang suram.
Karena Allah Ta’ala sendiri yang menjanjikan,

ُ‫ْث اَل يَحْ تَ ِسبُ َو َم ْن يَت ََو َّكلْ َعلَى هَّللا ِ فَهُ َو َح ْسبُه‬
ُ ‫) َويَرْ ُز ْقهُ ِم ْن َحي‬2( ‫ق هَّللا َ يَجْ َعلْ لَهُ َم ْخ َرجًا‬
ِ َّ‫َو َم ْن يَت‬

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar,
dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS. Ath
Tholaq: 2-3).

Tawakkal adalah dengan menyandarkan hati kepada Allah Ta’ala. Namun bukan cukup itu
saja, dalam tawakkal juga seseorang mengambil sebab atau melakukan usaha. Tentu saja,
sebab yang diambil adalah usaha yang disetujui oleh syari’at. Dan asuransi sudah diterangkan
adalah sebab yang haram, tidak boleh seorang muslim menempuh jalan tersebut. Untuk
membiayai anak sekolah, bisa dengan menabung. Untuk pengobatan yang mendadak tidak
selamanya dengan solusi asuransi kesehatan. Dengan menjaga diri agar selalu fit, juga
persiapan keuangan untuk menjaga kondisi kecelakaan tak tentu, itu bisa sebagai solusi dan
preventif yang halal. Begitu pula dalam hal kecelakaan pada kendaraan, kita mesti berhati-
hati dalam mengemudi dan hindari kebut-kebutan, itu kuncinya.

Yang kami saksikan sendiri betapa banyak kecelakaan terjadi di Saudi Arabia dikarenakan
banyak yang sudah mengansuransikan kendaraannya. Jadi, dengan alasan “kan, ada
asuransi”, itu jadi di antara sebab di mana mereka asal-asalan dalam berkendaraan. Jika
mobil rusak, sudah ada ganti ruginya. Oleh karenanya, sebab kecelakaan meningkat bisa jadi
pula karena janji manis dari asuransi.

Ingatlah setiap rizki tidak mungkin akan luput dari kita jika memang itu sudah Allah
takdirkan. Kenapa selalu terbenak dalam pikiran dengan masa depan yang suram? Dari Jabir
bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ َ‫ب فَإ ِ َّن نَ ْفسًا لَ ْن تَ ُموتَ َحتَّى تَ ْستَوْ فِ َى ِر ْزقَهَا َوإِ ْن أَ ْبطَأ َ َع ْنهَا فَاتَّقُوا هَّللا َ َوأَجْ ِملُوا فِى الطَّل‬
‫ب‬ ِ َ‫أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا هَّللا َ َوأَجْ ِملُوا فِى الطَّل‬
‫خذوا َما َح َّل َو َدعُوا َما َح ُر َم‬ُ ُ

“Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik
dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia
benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka
bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah
jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram” (HR. Ibnu Majah no.
2144, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani).

Penutup

Dari penjelasan di atas tentu saja kita dapat menyimpulkan haramnya asuransi, apa pun
jenisnya jika terdapat penyimpangan-penyimpangan di atas meskipun mengatasnamakan
“asuransi syari’ah” sekali pun. Yang kita lihat adalah hakekatnya dan bukan sekedar nama
dan slogan. Seorang muslim jangan tertipu dengan embel syar’i belaka. Betapa banyak orang
memakai slogan “syar’i”, namun nyatanya hanya sekedar bualan.

Nasehat kami, seorang muslim tidak perlu mengajukan premi untuk tujuan asuransi tersebut.
Klaim yang diperoleh pun jelas tidak halal dan tidak boleh dimanfaatkan. Kecuali jika dalam
keadaan terpaksa mendapatkannya dan sudah terikat dalam kontrak kerja, maka hanya boleh
memanfaatkan sebesar premi yang disetorkan semacam dalam asuransi kesehatan dan tidak
boleh lebih dari itu. Jika seorang muslim sudah terlanjur terjerumus, berusahalah
meninggalkannya, perbanyaklah istighfar dan taubat serta perbanyak amalan kebaikan. Jika
uang yang ditanam bisa ditarik, itu pun lebih ahsan (baik).

Catatan: Asuransi yang kami bahas di atas adalah asuransi yang bermasalah karena terdapat
pelanggaran-pelanggaran sebagaimana yang telah disebutkan. Ada asuransi yang disebut
dengan asuransi ta’awuni yang di dalamnya hanyalah tabarru’at (akad tolong menolong)
dan asuransi seperti ini tidaklah bermasalah. Barangkali perlu ada bahasan khusus untuk
mengulas lebih jauh mengenai asuransi tersebut. Semoga Allah mudahkan dan memberikan
kelonggaran waktu untuk membahasnya.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Referensi: Akhthou Sya-i’ah fil Buyu’, Sa’id ‘Abdul ‘Azhim, terbitan Darul Iman.

Anda mungkin juga menyukai