Anda di halaman 1dari 16

PENANGANAN DAN REHABILITASI KESEHATAN JIWA

KEPERAWATAN BENCANA

(Disusun untuk memenuhi tugas Keperawatan Bencana dengan dosen Ns.


Wantiyah, S.Kep., M.Kep)

Disusun oleh
Risma Eka Putri Arlyani K. 182310101102
Andhika Satriya 182310101112
Vina Vitrian 182310101124
Aditya Kusuma Wardana 182310101134
Maulidya yuniar rahmawati 182310101145

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2021
PENANGANAN DAN REHABILITASI KESEHATAN JIWA

A. Intervensi Psikososial Orang Yang Terkena Bencana

Terjadinya bencana dapat menimbulkan gangguan baik ringan maupun berat.


Tidak hanya material dan fisik saja, namun juga gangguan psikologis bagi korban
bencana. Oleh karena itu selain dukungan material maka perlu juga adanya
dukungan psikologis bagi koban bencana dalam bentuk intervensi psikososial.
Intervensi psikososial adalah bentuk tindakan yang tujuannya untuk meningkatkan
dan memulihkan gangguan psikologis pada korban bencana.
Penanganan bencana dibagi menjadi 4 tahap. Tahap pertama adalah tanggap
darurat yang dilakukan setelah bencana terjadi sampai 14-21 hari pasca bencana.
Tahap kedua adalah tahap pasca tanggapdarurat yang merupakan fase pemulihan
awal untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikososial, dan infrastruktur semi
permanen. Tahap ketiga adalah tahap pemulihan akhir yang merupakan lanjutan
dari pemulihan awal. Dan tahap keempat adalah tahap rekonstruksi-rehabilitasi
yang mana dilakukan setelah lebih dari 4 bulan pasca bencana.
Pada tahapan 2 , setelah semua kebutuhan fisik terpenuhi dan luka luka fisik
telah mendapatkan penanganan pertama, maka para relawan akan mulai
memberikan intervensi psikososial. Intervensi yang paling utama adalah PFA atau
psychological first aid. Prinsip utama PFA adalah melihat, mendengar, link, dan
assessment. Relawan melihat dan mendengarkan curahan perasaan dan kesedihan
korban tanpa memberikan judgement. Kemudian link/ menghubungkan dengan
sumber daya sesuai kebutuhan korban, misal mengeluh karena kelaparan maka
dihubungkan ke posko bantuan makanan. Dan yang terakhir adalah assessment
yaitu berupa pemberian terapi ekspresif seperti menggambar; bermain; dan
bernyanyi bagi anak anak, ataupun terapi konsultasi dan pemberian motovasi bagi
orang dewasa agar mereka dapat segera pulih ke kehidupan secara normal.

B. Reaksi Psikologis Masyarakat Yang Terkena Bencana

Umumnya reaksi yang muncul pada korban bencana adalah akibat dari luapan
emosi yang dirasakan korban, misalnya kehilangan pekerjaan dan sumper
makanan; ataupun kehilangan saudara dan tetangganya akibat bencana.
Reaksi yang biasanya muncul pada korban bencana:
1. Reaksi fisiologis: hilang nafsu makan, sakit kepala, diare, nyeri dada, mimpi
buruk, sulit tidur, hiperaktif, lelah, atau mungkin peningkatan konsumsi
alcohol dan obat obatan.
2. Reaksi spiritual: apat berupa rasa marah terhadap tuhan, menyalahkan tuhan,
hingga hilang rasa percaya terhadap tuhan.
3. Reaksi psikoogis: mudah marah, menyalahkan diri sendiri, menyalahkan
orang lain, isolasi/menarik diri, khawatir berlebih tentang terjadinya bencana
berulang, sulit berkonsentrasi, merasa tidak berdaya, apatis/ mati rasa,
kesedihan, masalah ingatan, dan penolakan terhadap bencana yang terjadi.
Pada umumnya fase kehilangan yang muncul pada korban bencana adalah
fase denial, sehingga mereka akan marah dan menyangkal atas apa yang terjadi.
Oleh karena itu perlu adanya bantuan PFA untuk membantu para korban menuju
fase acceptance lebih cepat

C. Defisini Gangguan Jiwa

Menurut American Psychiatric Association (Videbeek, 2008) Gangguan


jiwa merupakan sebuah pola psikologis atau perilaku yang penting secara klinis
yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya stress atau disabilitas
(kerusakan pada satu atau lebih area yang penting).

Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa

Menurut Hawari (2001) tanda gejala pada orang yang memiliki


gangguan jiwa adalah:

 Perasan khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri dan


mudah tersinggung
 Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut
 Takut sendirian, takut pada keramaian, dan banyak orang
 Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan
 Gangguan konsentrasi dan daya ingat
 Keluhan-keluhan somatik seperti rasa sakit pada otot dan tulang,
pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas,
gangguan pencernaan, gangguan perkemihan dan sakit kepala.

Cara Penangananya

 Terapi Kognitif
Merupakan psikoterapi yang bertujuan untuk mengubah pola pikir dan
respons pasien,
 Obat Obatan
Beberapa macam obat yang dapat dikonsumsi sesuai resep dokter ialah
fluoxetine ( antidepresan), aripiprazole (antipsikotik), alprazolam (pereda
cemas), dan lithium (mood stabilizer)

D. Definisi Depresi

Merupakan sebuah penyakit yang ditandai dengan rasa sedih yang


berkepanjangan dan kehilangan minat terhadap kegiatan-kegiatan yang biasanya
kita lakukan dengan senang hati. Tanda berikutnya adalah berhenti menjalankan
kegiatan yang biasa dilakukan sehari-hari setidaknya selama dua minggu

Tanda dan Gejala Depresi

Menurut NIMH USA, tanda gejala untuk orang yang memiliki depresi,
diantaranya adalah:

 Rasa sedih yang terus-menerus


 Rasa putus asa dan pesimis
 Rasa bersalah, tidak berharga dan tidak berdaya
 Kehilangan minat
 Energi lemah, menjadi lamban
 Sulit tidur (insomnia) atau tidur berlebihan (hipersomnia)
 Sulit makan atau rakus makan (menjadi kurus atau kegemukan)
 Tidak tenang dan gampang tersinggung
 Berpikir ingin mati atau bunuh diri
Cara Penanganan

 Melakukan psikoterapi, untuk membantu mengatasi masalah akibat


depresi
 Memberikan obat antidepresan, untuk mengatasi depresi pasien
 Memberikan terapi kejut listrik, untuk mengubah kinerja otak pasien
 Menjalani perawatan di rumah sakit jika mengalami depresi
yang parah

E. Gangguan Cemas
Bentuk kerugian yang secara non fisik seperti trauma terhadap peristiwa
yang pernah dialami merupakan salah satu dampak psikologis yang sering ditemui
pada masyarakat korban bencana alam adalah post traumatic stress disorder
(PTSD). PTSD merupakan suatu sindrom yang dialami oleh seseorang yang
mengalami kejadian traumatis. Kondisi demikian akan menimbulkan dampak
psikologis berupa gangguan perilaku mulai dari cemas yang berlebihan mudah
tersinggung tidak bisa tidur tegang dan berbagai reaksi lainnya. Kecemasan
merupakan suatu respon terhadap stres bencana yang mengancam jiwa.
Berlangsung secara terus-menerus yang dapat disebabkan adanya faktor potensi
stressor psikososial seperti peristiwa traumatis atau keadaan yang mengganggu
kehidupan individu mengganggu kehidupan sosialnya dan bisa menjadi patologis
yang nantinya mengarah pada gangguan jiwa. Oleh karena itu perlu sekali adanya
penanganan yang tepat untuk korban bencana yang mengalami kecemasan.
Upaya untuk menangani kecemasan antara lain:
A. Terapi suportif adalah suatu bagian dari psikoterapi yang digunakan
pada komunitas berbasis psikiatrik. Terapi suportif kelompok adalah
kumpulan dua orang atau lebih yang memiliki masalah yang sama
mengekspresikan pengalaman bersama tentang masalah yang dialami
yang bertujuan untuk mendukung dan memperkuat potensi yang
dimiliki anggota kelompok meningkatkan kepercayaan diri dan
berbagi pengalaman terhadap masalah yang dihadapi sehingga dapat
membantu anggota kelompok mengatasi masalah yang berhubungan
stres dalam hidup yang berfokus pada disfungsi pikiran perasaan dan
perilaku. Terapi suportif kelompok merupakan suatu metode yang
efektif untuk berbagai gangguan kejiwaan dan kondisi medis termasuk
skizofrenia, gangguan bipolar, depresi, ptsd, gangguan kepribadian,
penyalahgunaan zat, dan kecemasan.
B. Mendiskusikan peristiwa yang menyebabkan kecepatan pada klien kan
belajar satu cara mengatasi kecemasan tersebut. Metode penanganan
kecemasan ini bertujuan agar klien bisa mengungkapkan perasaan apa
yang menyebabkan klien merasakan kecemasan. Sebagai perawat kita
bisa menanyakan kepada klien tentang peristiwa yang klien telah alami
sehingga klien merasa cemas kemudian menanyakan bagaimana
fikiran klien dengan adanya peristiwa tersebut, menanyakan
bagaimana kondisi fisik klien setelah peristiwa tersebut, menanyakan
kehidupan beribadah klien setelah peristiwa terjadi, dan menanyakan
kepada klien apakah ada perubahan hubungan dengan orang lain
setelah peristiwa tersebut. Dengan hal ini perawat akan mendapat
informasi bagaimana status emosional dan perasaan yang sedang
dialami oleh klien serta membantu klien mengungkapkan isi perasaan
sehingga hasil evaluasi yang ingin dicapai adalah untuk mengurangi
kecemasan yang dialami oleh klien.
C. Melatih klien untuk mengatasi kecemasan dengan melakukan latihan
fisik. Dengan metode melakukan latihan fisik untuk klien diharapkan
latihan fisik atau melakukan sesuatu yang disukai klien bisa menjadi
aktivitas pengalihan yang bisa membuat kecemasan klien berkurang.
Latihan fisik ini juga bisa mengatasi kondisi ketidaknyamanan akibat
trauma yang klien telah alami. Latihan fisik membuat tubuh
memproduksi zat-zat yang berguna meningkatkan semangat hidup
sehingga rasa kecemasan akibat trauma akan berkurang. Latihan fisik
yang bisa dialami oleh klien seperti senam, lari pagi, dan juga aktivitas
lain seperti di kehidupan sehari-hari yaitu memasak kemudian mencuci
ataupun bekerja.
D. Terapi eksposur virtual reality. Terapi exposure virtual reality adalah
alat berbasis komputer yang digunakan dalam memberikan terapi
exposure dengan memberikan paparan yang sistematis terhadap situasi
yang ditakuti namun dalam lingkungan yang aman. Teknologi ini
memungkinkan menghasilkan analog dunia nyata dengan menciptakan
dunia buatan komputer yang sangat mirip dengan dunia nyata. Hal ini
diharapkan dapat menjadi treatment yang efektif bagi pasien dengan
gangguan kecemasan.
E. Tapas akupresur. Metode tapas akupresur dapat membantu dalam
menyembuhkan trauma luka batin, membantu proses penyembuhan
infeksi, alergi dan mengatasi emosi negatif. Dalam lapas akupresur
teknik terdapat penekanan pada titik akupresur yang dapat melepasmu
transmitter yang menimbulkan rasa senang dan dopamin yang
memberikan rasa tenang sehingga dapat menurunkan tingkat
kecemasan.

F. Gangguan Stres Pasca Trauma


A. Metode pendekatan arsitektur perilaku. Dampak yang ditimbulkan
akibat bencana alam sangat kompleks salah satunya yaitu mengenai
dampak psikis. Dampak psikis yang sering ditemui pada masyarakat
korban bencana alam adalah stres pasca trauma atau ptsd. Psikis atau
psikologi erat kaitannya dengan perilaku sehingga pendekatan
arsitektur perilaku cocok untuk mengatasi PTSD. Pendekatan
arsitektur perilaku yakni menekan pada hubungan dialektika antara
ruang dan manusia atau masyarakat yang memanfaatkan atau yang
menghuni ruangan tersebut. Pendekatan ini menekankan pada perlunya
memahami perilaku dan kebutuhan masyarakat yang menghuni di
suatu daerah tertentu dalam memanfaatkan ruang. Sedangkan konsep
yang diangkat adalah konsep hilink informan yaitu lingkungan fisik
suatu desain arsitektur yang dapat mempercepat pemulihan pengguna
atau pasien secara fisik. Dengan pendekatan dan konsep ini diharapkan
mampu mengatasi dampak psikis yang dialami oleh para korban
bencana alam.
B. Play terapi. Peristiwa-peristiwa bencana alam di belahan dunia
manapun tidak saja menimbulkan korban jiwa tetapi duka yang
mendalam serta ketakutan yang mendalam. Para korban merasa berada
pada kondisi yang sangat tidak tenang merasa sangat takut,
kegelisahan yang tidak berkesudahan dan menjadi mudah mengalami
panik. Kondisi tersebut merupakan gangguan pasca trauma atau ptsd.
Berbeda dengan orang dewasa anak-anak berada dalam kondisi sangat
rentan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh peristiwa yang
menimbulkan trauma. Anak-anak dengan ptsd kemungkinan
menunjukkan ke ibu kebingungan atau agitasi. Kondisi ini membawa
penderitaan yang berkepanjangan apabila tidak diberikan penanganan
yang tepat. Diperlukan rancangan intervensi khusus bagi anak yang
mengalami ptsd yakni teknik play therapy intervensi ini adalah salah
satu cara yang dapat digunakan dalam memahami dunia anak-anak
melalui permainan sehingga bila digunakan pada situasi dan kondisi
yang tepat dapat bermakna sebagai kegiatan fisik sekaligus sebagai
terapi.
C. Melati klien mengatasi stres dengan cara sosial. Melati klien mengatasi
stres dengan cara sosial adalah cara untuk mengatasi rasa tidak nyaman
akibat stres dari trauma dengan saling berbagi dengan teman-teman
sesama yang mengalami trauma.
D. Membantu klien mengidentifikasi dan membuat hubungan dengan
sistem pendukung yang ada. Perawat dapat memberikan bantuan
kepada klien untuk membuat sistem pendukung yang ada untuk
mengatasi stres yang dialami oleh klien akibat trauma. Perawat terlebih
dahulu dapat menanyakan fasilitas kesehatan terdekat di tempat klien,
tempat berkumpul seperti pengajian. Dengan ditemukannya sistem
pendukung yang ada untuk klien diharapkan klien dapat mengatasi
stres akibat trauma yang dialami dengan mengikuti suatu kegiatan
interaksi sosial seperti pengajian untuk saling menguatkan antar
sesama.
E. Melatih pasien menggunakan terapi obat sesuai dengan program (jika
direkomendasikan menggunakan obat)

G. Gangguan Campuran Ansietas dan Depresi

Definisi
Gangguan campuran ansietas dan depresi merupakan gejala-gejala
ansietas ataupun dan depresi, yang mana masing-masing tidak
menujjukan rangkaian gejala yang cukup berat untuk menegaakan
diagnosos tersendiri. Untuk gejala ansietas terdapat gejala otomatik, dapat
ditemukan walaupun harus tidak terus menerus, disampaing rasa cemas
ataupun kekhawatiran berlebihan (Dwika et al., 2017).

Tanda dan Gejala

Berdasarkan PPDGJ III untuk mendiagnosis pasien dengan gangguan


campuran ansietas dan depresi, dapat terleihat tanda gejala sesuai dengan
pedemoan diagnostic (Dwika et al., 2017), yaitu :
a. Terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi, dimana masing-
masing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat
untuk menegakkan diagnosis tersendiri. Untuk anxietas, beberapa
gejala otonomik, harus ditemukan walaupun hasus tidak terus
menerus, disamping rasa cemas atau kekhawatiran berlebihan.
b. Bila ditemukan anxietas berat disertai depresi yang lebih ringan,
maka harus dipertimbangkan kategori gangguan anxietas lainnya
atau gangguan anxietas fobik.
c. Bila ditemukan sindrom depresi dan anxietas yang cukup berat
untuk menegakkan diagnosis maka kedua diagnosis tersebut harus
dikemukakan, dan diagnosis gangguan campuran tidak dapat
digunakan. Jika karena sesuatu hal hanya dapat dikemukakan satu
diagnosis maka gangguan depresif harus diutamakan.
d. Bila gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan stress kehidupan
yang jelas maka harus digunakan kategori gangguan penyesuaian
Penangganan

Penanganan serta terapi yang dapat dilakukan pada pasien dengan


gangguan campuran ansietas dan depresi (Dwika et al., 2017), yaitu :
a) Psikofarmaka :
 Fluoxetin 1 x 10 mg selama 6 hari dan selanjutnya akan dinaikkan
bertahap sesuai kondisi pasien.
 Alprazolam 2 x 0,25 mg selama 6 hari dan selanjutnya dosis akan
diatur (tappering off) sesuai kondisi pasien.
b) Psikoterapi
 Psikoterapi suportif bertujuan untuk memperkuat mekanisme
defens (pertahanan) pasien terhadap stres. Perlu diadakannya terapi
untuk meningkatkan kemampuan pengendalian diri dan
memberikan motivasi hidup.
 Psikoterapi reedukatif bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan
keluarga untuk mendukung kesembuhan pasien dengan mengawasi
pasien untuk minum obat teratur.
 Psikoterapi rekonstruktif bertujuan membangun kembali
kepercayaan diri pasien, menjelaskan kepada pasien bahwa pasien
memiliki semangat hidup dan keinginan kuat untu melihat anak
pasien bahagia. Menolak semua pikiran negatif.
c) Edukasi
Menyarankan kepada keluarga untuk selalu memberikan dukungan
kepada pasien, jangan membatasi aktivitas positif yang disukai pasien,
ajak pasien bergembira, kurangi hal-hal yang dapat meningkatkan
stresor. Berdiskusi terhadap pentingnya pasien untuk minum obat
teratur dan kontrol lagi.

H. Gangguan Penyesuaian

Definisi
Gangguan penyesuaian adalah suatu bentuk reaksi maladaptif jangka
pendek terhadap stressor yang diidentifikasi muncul selama tiga bulan dari
munculnya stressor tersebut. Gangguan ini merupakan respon patologis
terhadap apa yang oleh orang awam sebut sebagai kekurangberuntungan
atau menurut para psikiater disebut sebagai stressor psikososial (Haeold.
Kaplan, 2010 dalam (Savitri, 2017) .
Tanda dan Gejala
Gangguan Penyesuaian memiliki tanda dan gejala (Depkes RI, 2007),
yaitu :
a. Depresi
b. Menangis
c. Putus asa
d. Kecemasan yang bermanifestasi dengan palpitasi dan hiperventilasi
e. Gangguan menantang seperti: merusak, mengendari ugal-ugalan,
berkelahi (hak orang dilanggar atau acuh tak acuh)
f. Gangguan pada pekerjaan (gangguan pada bidang akademik yang
dimanifestasikan pada kesulitan dalam fungsi pekerjaan atau sekolah)
Menarik diri, manifestasi dengan perilaku menarik diri dari
lingkungan sosial , ini tidak khusus pada semua orang
Penangganan
Psikoterapi tetap merupakan pengobatan pilihan untuk gangguan
penyesuaian. Terapi kelompok dapat sangat bermanfat bagi pasien yang
memiliki stress. Psikoterapi individu menawarkan kesempatan bagi pasien
untuk mengeksplorasi makna stressor nya sehingga trauma sebelumnya
dapat bekerja melalui. Setelah terapi berhasil, pasien kadang-kadang
muncul dari gangguan penyesuaian lebih kuat dari pada periode
premorbid, meskipun tidak ada patologi terbukti selama periode itu.
Karena stressor dapat digambarkan dengan jelas pada gangguan
penyesuaian, sering diyakini bahwa psikoterapi tidak diindikasikan dan
bahwa gangguan ini akan sembuh secara spontan (Savitri, 2017).
Terapi farmakologi untuk gangguan penyesuaian (Depkes RI, 2007),
yaitu :
 Bila gejala ansietas berat, gunakan obat ansiolitik untuk beberapa hari
pertama
 Alprazolam 0,5 – 1 mg dapat diberika tiga kali sehari
I. Gangguan Somatoform

Definisi
Gangguan somatoform merupakan individu yang mengeluhkan gejala-
gejala gangguan fisik yang terkadang berlebihan, tetapi pada dasarnya
tidak ditemukan gangguan fisiologis. Somatoform juga dapat diartikan
sebagai gangguan-gangguan neurotik yang memiliki ciri khas yaitu
emosionalitas
yang ekstrem dan berubah menjadi simtom-simtom fisik.Gejala-gejala
yang dirasakan antara lain pegal, mual, pusing, nyeri otot, dan gemetar.
Penanganan yang dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Terapi Pain Disorder
Secara umum bertujuan untuk mengubah fokus perhatian tentang
ssesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri,
tetapi
mengajari penderita bagaimana caranya menghadapi stres,
mendorong
mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan meningkatkan kontrol
diri.
2. Terapi Hypochondriasis
Terapi dapat dilakukan melalui pendekatan cognitive-behavioral dan
terbukti efektif dalam mengurangi. Penderita hypochondriasis akan
memperlihatkan biasnya kognitif dalam melihat ancaman saat
berhubungan dengan isu kesehatan.
3. Terapi Somatization Disorder
Para ahli kognitif dan behavioral meyakini bahwa tingginya
tingkat kecemasan yang diasosiakan dengan somatization
disorder dipicu oleh situasi khusus. Dalam pendekatan yang lebih
umum hendaknya tidak meremehkan validitas keluhan fisik.

J. Psikotik Akut
Definisi
Psikotik akut merupakan perubahan kondisi psikologis secara mendadak
dalam kurun waktu 1 hari hingga kurang dari 1 bulan dan tidak
disebabkan oleh kondisi medis umum. Gejala yang muncul beraneka
ragam dan berubah cepat seperti waham, halusinasi, dan gejala emosi
yang bervariasi dan berubah-ubah dari hari ke hari atau jam ke jam.
Penanganan yang dapat dilakukan antara lain:
1. Farmakoterapi
Pengobatan dengan neuroplatika dipertimbangkan apakah perlu
diberikan terapi lanjutan atau tidak. Lalu tambahan benzodiazepine
seperti lorazepam dianjurkan selama 2-3 minggu dan tidak dianjurkan
pemakaian jangka lama.
2. Psikoterapi
Psikoterapi individual, keluarga dan kelompok mungkin
diperlukan.
Topik utama dalam terapi yaitu tentang diskusi tentang stressor,
episode psikotik, dan perkembangan strategi untuk mengatasinya.
Setiap strategi pengobatan yang didasarkan pada peningkatakn
keterampilan menyelesaikan masalah dan memperkuat struktur ego
melalui psikoterapi dapat digunakan sebagai cara yang efektif.

.
DAFTAR PUSTAKA

Alfi Sani Maskana Putri, S. (2020). Pengaruh Terapi Suportif Kelompok Terhadap


Kecemasan Pada Klien Pasca Tanah Longsor Di Kecamatan Poncol
Magetan (Doctoral Dissertation, Universitas Kusuma Husada Surakarta).
American Psychiatric Association (2018). Warning Signs of Mental Ilness.

Depkes, R. (2007). Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana.


In Depatemen Kesehatan Republik Indonesia (1st ed., Vol. 148).
Dwika, D. A., Rokhmani, C. F., Kedokteran, F., Lampung, U., Ilmu, B., Jiwa, K., &
Lampung, U. (2017). Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi pada Wanita
Usia 54 Tahun Mixed Disorders of Anxiety and Depression on A 54 Years Old
Woman. Medula, 7, 75–78.
Feriyansyah, C. (2018). Pengaruh Tapas Acuppresure Technique Terhadap Penurunan
Tingkat Kecemasan Pada Korban Pasca Bencana Banjir Di Kabupaten Bandung.
IPS HIMPSI. 2021. Psikologi Bencana.
http://berita.ikatanpsikologisosial.org/index.php/psikologi-bencana/ [Diakses pada 29
September 2021]
In W. T., dkk. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fifth
Edition.  Os, Schizophrenia Spectrum and Other Psychotic Disorders (pp. 94-96).
Washington: American Psychiatric Publishing.

Malahayati, Y. L., & Badriyah, K. (2019, April). Efektifitas Terapi Eksposur Virtual
Realiti Sebagai Pereda Kecemasan Pada Korban Bencana: Tinjauan Sistematis.
In Prosiding Seminar Nasional Multidisiplin Ilmu (Vol. 1, No. 1).
Mayo Clinic (2019). Diseases & Conditions. Mental Ilness.

National Institute of health (NIH), USA (2013) Common Genetic Factors Found in 5
Mental Disorders,

Nawangsih, E. (2014). Play Therapy Untuk Anak-Anak Korban Bencana Alam Yang
Mengalami Trauma (Post Traumatic Stress Disorder/Ptsd). Psympathic: Jurnal
Ilmiah Psikologi, 1(2), 164-178.
NewsUAD.2019.Dukungan Psikososial bagi Korban Bencana.
https://news.uad.ac.id/dukungan-psikososial-bagi-korban-bencana/ [Diakses pada 29
September 2021]
Nurcahyani, F., Ikhtiarini, E. (2016). Pengaruh Terapi Suportif Kelompok Terhadap
Kecemasan Pada Klien Pasca Bencana Banjir Bandang Di Perumahan Relokasi
Desa Suci Kecamatan Panti Kabupaten Jember. E-Jurnal Pustaka Kesehatan, Vol.
4 No. 2
Pertiwi, S. D., & Nuffida, N. E. (2017). Penanganan Post Traumatic Stress Disorder
(Ptsd) Pada Korban Bencana Lumpur Sidoarjo Dengan Pendekatan Arsitektur
Perilaku. Jurnal Sains Dan Seni Its, 6(2), G279-G283.
Putra, D. R. Dan Sri, K. 2020. Sistem Pendukung Keputusan Untuk Diagnosis Banding
Gangguan Somatoform Berbasis PPDGJ III. Jurnal Fasilkom. 10 (2): 113-121.

Savitri, M. I. (2017). Profil Umum Jenis Stresor dan Gangguan Penyesuaian Pada
Mahasiswa Tahun Pertama Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana. In Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana (pp. 3–73).
Samah, N. 2019. Hubungan Antara Gangguan Psikotik Akut Dengan
Insomnia Pada Pasien Baru Di Poli Rawat Jalan Rsj Dr.
Radjiman Wediodiningrat Lawang, Kabupaten Malang
Periode Januari - Februari 2019. KTI. Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang.

Sampurno, R. A. K. 2012. Efektivitas Terapi Kognitif –Perilaku(Cognitive


Behavior Therapy) Untuk Meningkatkan Pikiran
Rasional Pasien Somatoform Di Poli Jiwa
Rumah Sakit Saiful Anwar Malang. Skripsi. Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim

WHO (2020). Mental Health. Depression.

Yuwanto, Listyo. 2015. Reaksi-reaksi Individu yang Mengalami Bencana.


https://ubaya.ac.id/2018/content/articles_detail/156/Reaksi-reaksi-Individu-yang-
Mengalami-Bencana.html [Diakses pada 29 September 2021]
http://www.nih.gov/researchmatters/march2013/03182013mental.htm [Diakses pada 29
September 2021]

http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/stroke/apa-itu-depresi [Diakses pada 29


September 2020, Jam 09.09 WIB]

Anda mungkin juga menyukai