Anda di halaman 1dari 41

KUMPULAN

NASEHAT DAN PELAJARAN

�Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah


akan pahamkan dirinya dalam urusan agama.�
(HR. Bukhari dan Muslim dari Mu'awiyah bin
Abi Sufyan radhiyallahu'anhu)

�Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu [agama]
maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.�
(HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu)

�Umat manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka


terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari
cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu, ia dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.�
(Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah)

Daftar Isi

� Kebutuhan Umat Terhadap Dakwah Tauhid


� Ciri Orang Yang Beriman
� Bagaikan Debu Yang Beterbangan
� Hari Ini Engkau Dilupakan!
� Kalian Fakir dan Allah Maha Kaya
� Hakikat dan Buah Ilmu, Sebuah Rahasia Kejayaan
� Menghapus Dosa, Mengangkat Derajat
� Untaian Hikmah Imam Sufyan ats-Tsauri
� Kafirkah Berhukum Dengan Selain Hukum Allah
� Jangan Lupakan Tauhid
� Perkataan Ulama Tentang Ikhlas
� Menunaikan Kebutuhan Sesama Muslim
� Kepada-Mu Semata Kami Beribadah
� Karena Seekor Kucing
� Makna Kata Fitnah
� Memahami Ucapan Salaf Tentang Hakikat Iman
� Kematian Yang Kalian Berusaha Lari Darinya
� Mengapa Kita Harus Belajar Aqidah?
� Nasehat Imam Syafi'i
� Pengaruh Iman Terhadap Sifat Rahmat Allah Terhadap Perilaku Seorang Hamba
� Orang Yang Mendapatkan Syafa'at
� Pelajaran Berharga dari Perjalanan Hidup Imam Bukhari

Kebutuhan Umat Terhadap Dakwah Tauhid

Salah satu diantara keistimewaan para pengikut manhaj salaf adalah memiliki
semangat yang sangat besar dalam menyebarkan aqidah sahihah, memberikan pengajaran
dan nasehat bagi umat manusia, memberikan peringatan kepada mereka dari segala
bentuk bid'ah dan ajaran-ajaran baru, serta berupaya keras untuk membantah orang-
orang yang menyimpang dan kaum ahli bid'ah (lihat Khasha'ish al-Manhaj as-Salafi
oleh Prof. Dr. Abdul 'Aziz bin Abdullah al-Halil, hal. 13)

Setiap perilaku maksiat dan penyimpangan yang dilakukan seorang hamba, pasti akan
menghasilkan dampak buruk yang membahayakan, minimal kepada diri mereka para
pelakunya sendiri. Apalagi jika kemaksiatan dan penyimpangan itu merupakan sesuatu
yang paling dibenci oleh Allah, yakni mempersekutukan-Nya dengan segala sesuatu
yang diciptakan-Nya. Tentunya kemurkaan Allah melebihi kemurkaan yang disebabkan
kemaksiatan dan kezhaliman lain dari seorang manusia yang masih mungkin dimaklumi
dan diampuni-Nya (lihat Bahaya..!!! Tradisi Kemusyrikan Di Sekitar Kita karya H.
Willyuddin A.R. Dhani, S.Pd. Hal. 13 penerbit Abu Hanifah Publishing cet. I, 2007)

Tauhid adalah sebuah ungkapan yang tidak asing lagi bagi kaum muslimin. Pada
umumnya, kita sebagai kaum muslimin pasti menginginkan atau bahkan telah mengaku
sebagai orang yang bertauhid. Akan tetapi, pada kenyataannya bisa jadi masih banyak
di antara kita yang belum memahami hakikat dan kedudukan tauhid ini. Bahkan orang-
orang yang merasa dirinya telah bertauhid sekalipun, bisa jadi belum mengenal
seluk-beluk tauhid dengan jelas (lihat Mutiara Faidah Kitab Tauhid karya guru kami
al-Ustadz Abu 'Isa hafizhahullah, hal. 12 penerbit Pustaka Muslim cet. IV, 1430 H)

Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah memaparkan, bahwa manusia itu bermacam-
macam. Bisa jadi mereka adalah orang yang tidak mengerti tauhid -secara global
maupun terperinci- maka orang semacam ini jelas wajib untuk mempelajarinya. Atau
mereka adalah orang yang mengerti tauhid secara global tetapi tidak secara rinci
maka orang semacam ini wajib belajar rinciannya. Atau mereka adalah orang yang
telah mengetahui tauhid secara global dan terperinci maka mereka tetap butuh
senantiasa diingatkan tentang tauhid serta terus mempelajari dan tidak berhenti
darinya. Jangan berdalih dengan perkataan, "Saya 'kan sudah menyelesaikan Kitab
Tauhid." atau, "Saya sudah menuntaskan pembahasan masalah tauhid." atau, "Isu
seputar tauhid sudah habis, jadi kita pindah saja kepada isu yang lain." Tidak
demikian! Sebab, tauhid tidak bisa ditinggalkan menuju selainnya. Akan tetapi
tauhid harus senantiasa dibawa bersama yang lainnya. Kebutuhan kita terhadap tauhid
lebih besar daripada kebutuhan kita terhadap air dan udara (lihat dalam video
ceramah beliau al-I'tisham bi as-Sunnah, al-sunna.net)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, �Diantara perkara yang
mengherankan adalah kebanyakan para penulis dalam bidang ilmu tauhid dari kalangan
belakangan (muta'akhirin) lebih memfokuskan pembahasan mengenai tauhid rububiyah.
Seolah-olah mereka sedang berbicara dengan kaum yang mengingkari keberadaan Rabb
[Allah] -walaupun mungkin ada orang yang mengingkari Rabb [Sang Pencipta dan
Penguasa alam semesta]- akan tetapi bukankah betapa banyak umat Islam yang
terjerumus ke dalam syirik ibadah!!� (lihat al-Qaul al-Mufid 'ala Kitab at-Tauhid
[1/8])

Imam Ahli Hadits abad ini Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah
menjelaskan, �Nuh -'alaihis salam- telah menetap di tengah-tengah kaumnya selama
seribu tahun kurang lima puluh (baca: 950 tahun). Beliau mencurahkan waktunya dan
sebagian besar perhatiannya untuk berdakwah kepada tauhid. Meskipun demikian,
ternyata kaumnya justru berpaling dari ajakannya. Sebagaimana yang diterangkan
Allah 'azza wa jalla di dalam Muhkam at-Tanzil (baca: al-Qur'an) dalam firman-Nya
(yang artinya), �Dan mereka -kaum Nuh- berkata: Janganlah kalian tinggalkan
sesembahan-sesembahan kalian; jangan tinggalkan Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq, dan
Nasr.� (QS. Nuh: 23). Maka hal ini menunjukkan dengan sangat pasti dan jelas
bahwasanya perkara terpenting yang semestinya selalu diperhatikan oleh para da'i
yang mengajak kepada Islam yang benar adalah dakwah kepada tauhid. Itulah makna
yang terkandung dalam firman Allah tabaraka wa ta'ala (yang artinya), �Maka
ketahuilah, bahwa tiada sesembahan -yang benar- selain Allah.� (QS. Muhammad: 19).
Demikianlah yang dipraktekkan sendiri oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan
apa yang beliau ajarkan.� (lihat Ma'alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, oleh
Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali hafizhahullah, hal. 42)

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah menerangkan, bahwa kedudukan aqidah bagi


ilmu-ilmu maupun amal-amal yang lain laksana pondasi bagi sebuah bangunan. Laksana
pokok bagi sebatang pohon. Sebagaimana halnya sebuah bangunan tidak bisa berdiri
tanpa pondasi dan pohon tidak akan tegak tanpa pokok-pokoknya, maka demikian pula
amal dan ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan bermanfaat tanpa aqidah yang
lurus. Oleh sebab itu perhatian kepada masalah aqidah harus lebih diutamakan
daripada perhatian kepada masalah-masalah apapun; apakah itu kebutuhan makanan,
minuman, atau pakaian. Karena aqidah itulah yang akan memberikan kepada seorang
mukmin kehidupan yang sejati, yang dengannya jiwanya akan menjadi bersih, yang
dengannya amalnya menjadi benar, yang dengannya ketaatan bisa diterima, dan dengan
sebab itu pula derajatnya akan semakin meninggi di hadapan Allah 'azza wa jalla
(lihat mukadimah Tadzkiratul Mu'tasi Syarh Aqidah al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi,
hal. 8 cet. I, 1424 H)

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah juga menjelaskan, �Aqidah
tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah
dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan aqidah tauhid. Tauhid inilah yang
menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah.
Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah
suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan
bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan
aqidahnya.� (lihat Ia'nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/17] cet.
Mu'assasah ar-Risalah)

Salah satu alasan yang semakin memperjelas betapa pentingnya memprioritaskan dakwah
kepada manusia untuk beribadah kepada Allah (baca: dakwah tauhid) adalah karena
inilah tujuan utama dakwah, yaitu untuk mengentaskan manusia dari penghambaan
kepada selain Allah menuju penghambaan kepada Allah semata. Selain itu, tidaklah
ada kerusakan dalam urusan dunia yang dialami umat manusia melainkan sebab utamanya
adalah kerusakan yang mereka lakukan dalam hal ibadah mereka kepada Rabb jalla wa
'ala (lihat Qawa'id wa Dhawabith Fiqh ad-Da'wah 'inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyah,
hal. 249 oleh 'Abid bin Abdullah ats-Tsubaiti penerbit Dar Ibnul Jauzi cet I, 1428
H)

Ciri Orang Yang Beriman

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Orang-orang yang beriman itu adalah orang-
orang yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka. Apabila
dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka. Dan mereka
hanya bertawakal kepada Rabb mereka.� (QS. Al-Anfal: 2)

az-Zajaj mengatakan, �Maksudnya, apabila disebutkan tentang kebesaran dan


kekuasaan-Nya dan ancaman hukuman yang akan ditimpakan kepada orang-orang yang
durhaka kepada-Nya maka hati mereka pun merasa takut.� (lihat Zaadul Masir, hal.
540)

'Umair bin Habib radhiyallahu'anhu berkata, �Iman mengalami penambahan dan


pengurangan.� Ada yang bertanya, �Dengan apa penambahannya?� Beliau menjawab,
�Apabila kita mengingat Allah 'azza wa jalla dan memuji-Nya maka itulah
penambahannya. Apabila kita lupa dan lalai maka itulah pengurangannya.� (lihat
Tafsir al-Baghawi, hal. 511)

Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma berkata, �Orang-orang munafik itu tidak pernah


sedikit pun meresap dzikir kepada Allah ke dalam hatinya pada saat mereka melakukan
amal-amal yang diwajibkan-Nya. Mereka sama sekali tidak mengimani ayat-ayat Allah.
Mereka juga tidak bertawakal [kepada Allah]. Mereka tidak mengerjakan sholat
apabila dalam keadaan tidak bersama orang. Mereka pun tidak menunaikan zakat dari
harta-harta mereka. Oleh sebab itulah Allah mengabarkan bahwasanya mereka itu
memang bukan termasuk golongan orang-orang yang beriman.� (lihat Tafsir al-Qur'an
al-'Azhim [4/11])
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud dari ungkapan 'bergetarlah hati
mereka', kata beliau, �Yaitu mereka merasa takut kepada-Nya sehingga mereka pun
melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang oleh-
Nya.� (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [4/11])

Ketika menjelaskan makna dari 'apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka
bertambahlah imannya' Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,
�Di dalamnya terkandung dalil bahwasanya seringkali seorang lebih banyak
mendapatkan faidah karena bacaan [al-Qur'an] oleh orang lain daripada bacaan oleh
dirinya sendiri...� (lihat al-Qaul al-Mufid 'ala Kitab at-Tauhid [2/30])

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan, bahwa dari ayat di atas bisa
disimpulkan bahwa ciri-ciri orang beriman itu antara lain:
1. Merasa takut kepada-Nya ketika mengingat-Nya, yang dengan sebab itulah maka
dia akan melakukan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya
2. Bertambahnya keimanan mereka tatkala mendengar dibacakannya al-Qur'an
3. Menyerahkan segala urusan dan bersandar kepada Allah semata (lihat al-
Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 269)

Ayat di atas juga menunjukkan bahwa salah satu ciri utama orang beriman adalah
bertawakal kepada Allah saja. Hatinya tidak bergantung kepada selain-Nya. Karena
hanya Allah saja yang menguasai segala manfaat dan madharat. Dan tawakal inilah
yang menentukan kuat lemahnya iman seorang hamba. Semakin kuat tawakalnya, semakin
kuat pula imannya (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 101)

Bagaikan Debu Yang Beterbangan

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Dan Kami tampakkan apa yang dahulu telah
mereka amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.� (QS. Al-
Furqan: 23)

Tentang maksud �bagaikan debu yang beterbangan� Imam al-Baghawi rahimahullah


menjelaskan, �Artinya sia-sia, tidak mendapat pahala. Karena mereka tidak
melakukannya [ikhlas] karena Allah 'azza wa jalla.� (lihat Ma'alim at-Tanzil, hal.
924)

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, �Apa yang dahulu telah mereka amalkan�
yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna �Kami jadikan ia bagaikan
debu yang beterbangan� maka beliau menjelaskan, �Karena sesungguhnya amalan tidak
akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.� (lihat Zaa'dul Masir, hal. 1014)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, �Setiap amalan yang tidak ikhlas dan
tidak berada di atas ajaran syari'at yang diridhai [Allah] maka itu adalah
batil/sia-sia.� (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [6/103])

Syaikh as-Sa'di rahimahullah menjelaskan, �Sebab amalan yang diterima adalah amalan
yang dilakukan oleh orang yang beriman lagi ikhlas, yang membenarkan para rasul dan
mengikuti tuntunan mereka di dalam hal itu.� (lihat al-Majmu'ah al-Kamilah [5/472])

Di dalam ayat lain, Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Sungguh telah
diwahyukan kepadamu -Muhammad- dan juga kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu
berbuat syirik niscaya lenyaplah seluruh amalmu, dan pastilah kamu termasuk
golongan orang-orang yang merugi.� (QS. Az-Zumar: 65)

Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma berkata, �Ini adalah pendidikan dari Allah ta'ala
kepada Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam dan ancaman bagi selainnya, karena
Allah 'azza wa jallah telah menjaga beliau dari perbuatan syirik.� (lihat Zaadul
Masir, hal. 1235)
ar-Rabi' bin Anas rahimahullah berkata, �Tanda agama [amalan yang benar] adalah
ikhlas karena Allah, sedangkan tanda ilmu [yang sejati] adalah perasaan takut
kepada Allah.� (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah karya Ibnu Abi Dun-ya, hal. 33)

Diriwayatkan bahwa 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu berkata, �Amal yang salih
adalah amalan yang kamu tidak menginginkan pujian dari siapapun atasnya kecuali
dari Allah.� (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal. 35)

Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata, �Malaikat membawa naik amalan seorang
hamba dengan penuh gembira. Tatkala dia telah bertemu dengan Rabbnya, maka Allah
pun berkata: Masukkanlah amalan itu ke dalam Sijjin [catatan keburukan], karena
amalan tu tidak dipersembahkan untuk-Ku.� (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal. 45)

Ibnul Mubarak rahimahullah berkata, �Ada seseorang yang menceritakan kepadaku


mengenai Abus Salil. Bahwasanya suatu saat dia menyampaikan hadits atau sedang
membacakannya kemudian dia menangis, tiba-tiba dia pun mengubah dirinya menjadi
tertawa.� (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal. 64)

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, �Benar-benar ada dahulu seorang lelaki yang
memilih waktu tertentu untuk menyendiri, menunaikan sholat dan menasehati
keluarganya pada waktu itu, lalu dia berpesan: Jika ada orang yang mencariku,
katakanlah kepadanya bahwa 'dia sedang ada keperluan'.� (lihat al-Ikhlas wa an-
Niyyah, hal.65)

Mutharrif rahimahullah berkata, �Sesungguhnya sejelek-jelek alat untuk mencari


kesenangan dunia adalah amal akhirat.� (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 572)

Yusuf bin Asbath rahimahullah berkata, �Allah tidak menerima amalan yang di
dalamnya tercampuri riya' walaupun hanya sekecil biji tanaman.� (lihat Ta'thir al-
Anfas, hal. 572)

Abu Ishaq al-Fazari rahimahullah berkata, �Sesungguhnya diantara manusia ada orang
yang sangat menggandrungi pujian kepada dirinya, padahal di sisi Allah dia tidak
lebih berharga daripada sayap seekor nyamuk.� (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 573)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, �Barangsiapa yang mencintai orang lain bukan
karena Allah niscaya bahaya yang muncul dari teman-temannya jauh lebih besar
daripada bahaya yang timbul dari musuh-musuhnya.� (lihat Ta'thir al-Anfas, hal.
575)

al-Harits bin Qais an-Nakha'i rahimahullah berkata, �Jika kamu berniat untuk
melakukan suatu amal kebaikan janganlah ditunda-tunda. Apabila setan datang ketika
kamu sedang mengerjakan sholat lalu dia membisikkan, �Kamu sedang riya'.� maka
buatlah sholat itu semakin bertambah lama.� (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 576)

Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah berkata, �Bukanlah tangisan hakiki tangisan dengan
mata. Akan tetapi tangisan yang hakiki adalah tangisan hati.� (lihat Ta'thir al-
Anfas, hal. 579)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata: Dahulu ibuku berpesan kepadaku, �Wahai


anakku, janganlah kamu menuntut ilmu kecuali jika kamu berniat mengamalkannya.
Kalau tidak, maka ia akan menjadi bencana bagimu di hari kiamat.� (lihat Ta'thir
al-Anfas, hal. 579)

Ibnus Samak rahimahullah berkata, �Seandainya seorang yang riya' dengan ilmu dan
amalnya mengutarakan isi hatinya kepada manusia niscaya mereka akan marah kepadanya
dan mengatakan bahwa akalnya benar-benar dungu.� (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 580)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, �Riya' adalah mempersekutukan Allah dengan


makhluk. Adapun 'ujub adalah mempersekutukan Allah dengan diri sendiri.� (lihat
Ta'thir al-Anfas, hal. 583)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, �Ketahuilah, bahwasanya keikhlasan seringkali


terserang oleh penyakit ujub. Barangsiapa yang ujub dengan amalnya maka amalnya
terhapus. Begitu pula orang yang menyombongkan diri dengan amalnya maka amalnya pun
menjadi terhapus.� (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 584)

Setelah membaca ini semuanya, sudah selayaknya kita berdoa kepada Allah sebagaimana
doa yang dipanjatkan oleh salah seorang ulama salaf, �Ya Allah, ampunilah riya' dan
sum'ahku.� (lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 577)

Hari Ini Engkau Dilupakan!

Dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu'anhuma, Rasulullah


shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, �Pada hari kiamat didatangkan seorang
hamba. Kemudian dikatakan kepadanya: �Bukankah telah Aku berikan kepadamu
pendengaran, penglihatan, harta, dan anak? Aku tundukkan untukmu binatang ternak,
tanam-tanaman. Aku tinggalkan kamu dalam keadaan menjadi pemimpin dan mendapatkan
seperempat hasil rampasan perang. Apakah dulu kamu mengira akan bertemu dengan-Ku
pada hari ini?� Orang itu menjawab, �Tidak.� Allah pun berkata, �Kalau begitu pada
hari ini Aku pun melupakanmu.� (HR. Tirmidzi, beliau berkata: hadits sahih gharib,
lihat al-Ba'ts karya Ibnu Abi Dawud, hal. 36-37)

Faidah Hadits

Hadits ini mengingatkan kita tentang dahsyatnya hari kiamat. Betapa butuhnya
seorang hamba terhadap pertolongan Allah ketika itu. Akan tetapi pertolongan Allah
itu hanya akan diberikan kepada orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
yaitu orang-orang yang mengikuti Rasul dan mengamalkan ajarannya.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Barangsiapa yang berpaling dari peringatan-
Ku maka dia akan mendapatkan penghidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia
pada hari kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata: �Wahai Rabbku, mengapa Engkau
kumpulkan aku dalam keadaan buta padahal dulu aku bisa melihat?�. [Allah menjawab]
Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami tetapi kamu justru melupakannya.
Maka, pada hari ini kamu pun dilupakan.� (QS. Thaha: 124-126)

Imam al-Qurthubi menjelaskan makna 'peringatan-Ku' di dalam ayat di atas. Beliau


berkata, �Artinya [barangsiapa yang berpaling] dari agama-Ku, tidak membaca Kitab-
Ku, dan tidak mengamalkan isi ajarannya. Ada juga yang menafsirkan bahwa maksudnya
adalah keterangan-keterangan yang telah Aku turunkan. Namun, bisa juga ditafsirkan
bahwa yang dimaksud peringatan ini adalah [keberadaan] Rasul, karena peringatan itu
datang melalui perantara beliau.� (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [14/157])

Sebagian ulama berkata, �Tidaklah seorang pun yang berpaling dari peringatan
Rabbnya kecuali waktu yang dilaluinya semakin menambah gelap (buruk) keadaan
dirinya, mencerai-beraikan urusan rizkinya, dan membuatnya selalu mengalami
kesempitan di dalam hidupnya.� (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [14/157]). Adapun
maksud dari �Maka, pada hari ini kamu pun dilupakan� Imam al-Qurthubi berkata,
�Maksudnya adalah dibiarkan dalam keadaan tersiksa, yaitu di dalam neraka
Jahannam.� (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [14/158])

Di dalam ayat lain, Allah juga berfirman (yang artinya), �Dan dikatakan: Pada hari
ini Kami melupakan kalian sebagaimana halnya dahulu kalian melupakan pertemuan
dengan hari kalian ini, tempat tinggal untuk kalian adalah neraka, sama sekali
tidak ada bagi kalian seorang penolong.� (QS. Al-Jatsiyah: 34). Imam al-Qurthubi
menjelaskan, bahwa maksud dari 'kalian melupakan pertemuan dengan hari kalian ini'
adalah: 'kalian meninggalkan amal untuk akhirat' (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an
[19/173])

Kalian Fakir dan Allah Maha Kaya

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Wahai umat manusia! Kalian adalah fakir
kepada Allah. Adapun Allah, maka Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji.� (QS. Fathir: 15)

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menerangkan: �Kalian fakir kepada Allah� artinya
kalian membutuhkan kepada-Nya. �Adapun Allah, maka Dia Maha Kaya� artinya tidak
membutuhkan ibadah kalian. �lagi Maha Terpuji� yaitu senantiasa terpuji di hadapan
makhluk-Nya karena segala bentuk ihsan/kebaikan yang dicurahkan-Nya untuk mereka
(lihat Zaadul Masir, hal. 1160)

Imam Ibnu Qayyim rahimahullah menerangkan: Kebutuhan setiap hamba untuk beribadah
kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun (baca:
kebutuhan terhadap tauhid) adalah kebutuhan yang tidak bisa diserupakan dengan
sesuatu apapun. Walaupun hal itu bisa saja diserupakan dari sebagian sisi dengan
kebutuhan badan terhadap makanan, minuman, dan nafas (udara). Akan tetapi
sebenarnya antara kedua hal ini terdapat perbedaan yang sangat banyak. Karena
sesungguhnya jati diri seorang hamba tersimpan di dalam hati dan ruhnya. Sementara
tidak akan baik hal itu tanpa pertolongan dari [Allah] sesembahannya yang sejati;
yang tidak ada sesembahan yang benar kecuali Dia. Hatinya tidak akan pernah merasa
tenang kecuali dengan dzikir kepada-Nya. Tidak merasakan tentram kecuali dengan
mengenal dan mencintai-Nya.

Seorang hamba akan terus senantiasa berjuang, karena kelak dia akan berjumpa
dengan-Nya. Perjumpaan dengan-Nya adalah sesuatu yang sudah pasti. Tidak akan baik
dirinya kecuali dengan mengesakan Allah dalam hal kecintaan, ibadah, rasa takut,
dan harapan. Seandainya seorang hamba bisa merasakan kelezatan dan kesenangan
dengan bergantung kepada selain-Nya maka hal itu tidak akan terjadi secara terus-
menerus. Akan tetapi kesenangan itu akan berpindah dari suatu perkara kepada
perkara yang lain, dari seorang individu kepada individu yang lain. Sehingga dia
hanya akan bisa merasakan kenikmatan dengan satu individu dalam satu keadaan dan
dengan individu lain dalam keadaan yang lainnya. Dan kebanyakan perkara yang
memberikan kesenangan untuknya justru merupakan sebab utama berlabuhnya kepedihan
(kesusahan) dan bahaya yang akan menimpanya.

Adapun ilah/sesembahannya yang benar (yaitu Allah), maka dirinya pasti senantiasa
membutuhkan-Nya; dalam setiap waktu dan keadaan. Dimana pun dia berada, maka iman
kepada Allah, rasa cinta kepada-Nya, ibadah kepada-Nya, pengagungan, dan dzikir
kepada-Nya adalah konsumsi bagi hati, sumber kekuatan, jalan kebaikan dan penentu
kesehatan jiwanya... (lihat adh-Dhau' al-Munir 'ala at-Tafsir [5/96-97])

Beliau juga menegaskan, �Bahkan, ibadah kepada Allah, ma'rifat, tauhid, dan syukur
kepada-Nya itulah sumber kebahagiaan hati setiap insan. Itulah kelezatan tertinggi
bagi hati. Kenikmatan terindah yang hanya akan diraih oleh orang-orang yang memang
layak untuk mendapatkannya...� (lihat adh-Dhau' al-Munir 'ala at-Tafsir [5/97])

Benar sekali apa yang diucapkan oleh beliau -rahimahullah-; tauhid itulah kebutuhan
terbesar umat manusia. Kebutuhan yang jauh lebih penting untuk dipenuhi daripada
kebutuhan tubuh manusia terhadap makanan, minuman, dan udara. Namun, betapa sedikit
orang yang menyadarinya. Wallahul musta'aan.

Hakikat dan Buah Ilmu, Sebuah Rahasia Kejayaan

Dari 'Umar bin Khaththab radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa


sallam bersabda, �Sesungguhnya Allah akan mengangkat sebagian kaum dengan Kitab
ini, dan akan merendahkan sebagian kaum yang lain dengannya pula.� (HR. Muslim
dalam Kitab Sholat al-Musafirin [817])

Shofwan bin 'Asal al-Muradi berkata: Aku pernah datang menemui Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, maka aku berkata, �Wahai Rasulullah, aku datang
untuk menuntut ilmu.� Beliau pun menjawab, �Selamat datang, wahai penuntut ilmu.
Sesungguhnya penuntut ilmu diliputi oleh para malaikat dan mereka menaunginya
dengan sayap-sayap mereka. Kemudian sebagian mereka (malaikat, pent) menaiki
sebagian yang lain sampai ke langit dunia karena mencintai apa yang mereka
lakukan.� (lihat Akhlaq al-'Ulama, hal. 37)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam


bersabda, �Sebagian di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah diangkatnya ilmu,
kebodohan merajalela, khamr ditenggak, dan perzinaan merebak.� (HR. Bukhari dalam
Kitab al-'Ilm [80] dan Muslim dalam Kitab al-'Ilm [2671]). Yang dimaksud
terangkatnya ilmu bukanlah dicabutnya ilmu secara langsung dari dada-dada manusia.
Akan tetapi yang dimaksud adalah meninggalnya para ulama atau orang-orang yang
mengemban ilmu tersebut (lihat Fath al-Bari [1/237]).

Hal itu telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits
Abdullah bin Amr al-Ash radhiyallahu'anhuma, �Sesungguhnya Allah tidak akan
mencabut ilmu itu secara tiba-tiba -dari dada manusia- akan tetapi Allah mencabut
ilmu itu dengan cara mewafatkan para ulama. Sampai-sampai apabila tidak tersisa
lagi orang alim maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin dari kalangan
orang yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan
menyesatkan.� (HR. Bukhari dalam Kitab al-'Ilm [100] dan Muslim dalam Kitab al-'Ilm
[2673])

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, �... Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan
kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang
dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun
lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap
hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang
kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai.
Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang di sisi Allah, sehingga tidak ada
makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.� (lihat al-'Ilmu,
Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata, �Allah subhanahu menjadikan ilmu bagi
hati laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana tanah/bumi tidak akan hidup kecuali
dengan curahan air hujan, maka demikian pula tidak ada kehidupan bagi hati kecuali
dengan ilmu.� (lihat al-'Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 227).

Imam al-Auza'i rahimahullah berkata, �Ilmu yang sebenarnya adalah apa yang datang
dari para sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Ilmu apapun yang tidak
berada di atas jalan itu maka pada hakikatnya itu bukanlah ilmu.� (lihat Da'a'im
Minhaj an-Nubuwwah, hal. 390-391)

Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, �Ilmu tidak diukur semata-mata dengan
banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan tetapi ia adalah cahaya yang
ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba bisa memahami kebenaran.
Dengannya pula seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan.
Orang yang benar-benar berilmu akan bisa mengungkapkan ilmunya dengan kata-kata
yang ringkas dan tepat sasaran.� (lihat Qowa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama, hal.
39)

Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu berkata kepada para sahabatnya, �Sesungguhnya kalian


sekarang ini berada di masa para ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya
sedikit. Dan akan datang suatu masa setelah kalian dimana tukang ceramahnya banyak
namun ulamanya amat sedikit.� (lihat Qowa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama, hal. 40)

Syaikh as-Sa'di rahimahullah menjelaskan, bahwa ahli ilmu yang sejati adalah orang-
orang yang ilmunya telah sampai ke dalam hatinya, oleh sebab itu mereka bisa
memahami berbagai perumpamaan yang diberikan oleh Allah di dalam ayat-ayat-Nya
(lihat Qowa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama, hal. 50).

Imam Ibnul A'rabi rahimahullah berkata, �Seorang yang berilmu tidak dikatakan
sebagai alim robbani sampai dia menjadi orang yang -benar-benar- berilmu,
mengajarkan ilmunya, dan juga mengamalkannya.� (lihat Fath al-Bari [1/197])

Lebih daripada itu, ahli ilmu yang sejati adalah yang selalu merasa takut kepada
Allah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Sesungguhnya yang benar-benar merasa
takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.�
(QS. Fathir: 28). Karena ilmu dan rasa takutnya kepada Allah, maka para ulama
menjadi orang-orang yang paling jauh dari hawa nafsu dan paling mendekati kebenaran
sehingga pendapat mereka layak diperhitungkan dalam kacamata syari'at Islam (lihat
Qowa'id fi at-Ta'amul ma'al 'Ulama, hal. 52).

Masruq berkata, �Sekadar dengan kualitas ilmu yang dimiliki seseorang maka sekadar
itulah rasa takutnya kepada Allah. Dan sekadar dengan tingkat kebodohannya maka
sekadar itulah hilang rasa takutnya kepada Allah.� (lihat Syarh Shahih al-Bukhari
karya Ibnu Baththal, 1/136)

Sa'id bin Jubair rahimahullah berkata, �Sesungguhnya rasa takut yang sejati itu
adalah kamu takut kepada Allah sehingga menghalangi dirimu dari berbuat maksiat.
Itulah rasa takut. Adapun dzikir adalah sikap taat kepada Allah. Siapa pun yang
taat kepada Allah maka dia telah berdzikir kepada-Nya. Barangsiapa yang tidak taat
kepada-Nya maka dia bukanlah orang yang -benar-benar- berdzikir kepada-Nya,
meskipun dia banyak membaca tasbih dan tilawah al-Qur'an.� (lihat Sittu Durar min
Ushul Ahli al-Atsar, hal. 31)

Ibnu Wahb menceritakan, suatu saat Abud Darda' radhiyallahu'anhu berkata: Aku tidak
takut apabila kelak ditanyakan kepadaku, �Hai Uwaimir, apa yang sudah kamu ilmui?�.
Namun, aku khawatir jika ditanyakan kepadaku, �Apa yang sudah kamu amalkan dari
ilmu yang sudah kamu ketahui?�. Karena Allah tidak memberikan ilmu kepada seseorang
selama dia hidup di dunia melainkan pasti menanyainya pada hari kiamat (lihat
Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)

Ibnu Baththal berkata, �Barangsiapa yang mempelajari hadits demi memalingkan wajah-
wajah manusia kepada dirinya maka kelak di akherat Allah akan memalingkan wajahnya
menuju neraka.� (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)

Waki' bin al-Jarrah rahimahullah berkata, �Barangsiapa menimba ilmu hadits


sebagaimana datangnya (apa adanya, pen) maka dia adalah pembela Sunnah. Dan
barangsiapa yang menimba ilmu hadits untuk memperkuat pendapatnya semata maka dia
adalah pembela bid'ah.� (lihat Mukadimah Tahqiq Kitab az-Zuhd karya Imam Waki',
hal. 69)

Hisyam ad-Dastuwa'i rahimahullah berkata, �Demi Allah, aku tidak mampu untuk
berkata bahwa suatu hari aku pernah berangkat untuk menuntut hadits dalam keadaan
ikhlas karena mengharap wajah Allah 'azza wa jalla.� (lihat Ta'thirul Anfas, hal.
254)

Sa'ad bin Ibrahim rahimahullah pernah ditanya; Siapakah yang paling fakih (paham
agama, pent) di antara ulama di Madinah? Maka beliau menjawab, �Yaitu orang yang
paling bertakwa di antara mereka.� (lihat Ta'liqat Risalah Lathifah, hal. 44).

Ibnus Samak rahimahullah berkata, �Wahai saudaraku. Betapa banyak orang yang
menyuruh orang lain untuk ingat kepada Allah sementara dia sendiri melupakan Allah.
Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain takut kepada Allah akan tetapi dia
sendiri lancang kepada Allah. Betapa banyak orang yang mengajak ke jalan Allah
sementara dia sendiri justru meninggalkan Allah. Dan betapa banyak orang yang
membaca Kitab Allah sementara dirinya tidak terikat sama sekali dengan ayat-ayat
Allah. Wassalam.� (lihat Ta'thirul Anfas, hal. 570)

Sufyan bin 'Uyainah rahimahullah mengatakan, �Barangsiapa yang rusak di antara ahli
ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa
yang rusak di antara ahli ilmu kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan
orang Yahudi.� Ibnul Qoyyim mengatakan, �Hal itu dikarenakan orang Nasrani
beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi mereka
justru berpaling darinya.� (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)

Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata, �... Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa
amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan
jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga
tidak akan mencela orang-orang munafik.� (lihat al-Fawa'id, hal. 34)

Sufyan rahimahullah pernah ditanya, �Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah
beramal?�. Beliau menjawab, �Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka
jangan tinggalkan menuntut ilmu dengan dalih untuk fokus beramal, dan jangan
tinggalkan amal dengan dalih untuk fokus menuntut ilmu.� (lihat Tsamrat al-'Ilmi
al-'Amal, hal. 44-45)

Abu Abdillah ar-Rudzabari rahimahullah berkata, �Barangsiapa yang berangkat menimba


ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan
bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka
mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.� (lihat
al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa'iq, hal. 71)

Yusuf bin al-Husain menceritakan: Aku bertanya kepada Dzun Nun tatkala perpisahanku
dengannya, �Kepada siapakah aku duduk/berteman dan belajar?�. Beliau menjawab,
�Hendaknya kamu duduk bersama orang yang dengan melihatnya akan mengingatkan dirimu
kepada Allah. Kamu memiliki rasa segan kepadanya di dalam hatimu. Orang yang
pembicaraannya bisa menambah ilmumu. Orang yang tingkah lakunya membuatmu semakin
zuhud kepada dunia. Bahkan, kamu pun tidak mau bermaksiat kepada Allah selama kamu
sedang berada di sisinya. Dia memberikan nasehat kepadamu dengan perbuatannya, dan
tidak menasehatimu dengan ucapannya semata.� (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd
wa ar-Raqaa'iq, hal. 71-72)

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr menceritakan: Suatu saat aku mengunjungi salah seorang
bapak tua yang rajin beribadah di suatu masjid tempat dia biasa mengerjakan sholat.
Beliau adalah orang yang sangat rajin beribadah. Ketika itu dia sedang duduk di
masjid -menunggu tibanya waktu sholat setelah sholat sebelumnya- maka akupun
mengucapkan salam kepadanya dan berbincang-bincang dengannya. Aku berkata
kepadanya, �Masya Allah, di daerah kalian ini banyak terdapat para penuntut ilmu.�
Dia berkata, �Daerah kami ini!�. Kukatakan, �Iya benar, di daerah kalian ini masya
Allah banyak penuntut ilmu.� Dia berkata, �Daerah kami ini!�. Dia mengulangi
perkataannya kepadaku dengan nada mengingkari. �Daerah kami ini?!�. Kukatakan,
�Iya, benar.� Maka dia berkata, �Wahai puteraku! Orang yang tidak menjaga sholat
berjama'ah tidak layak disebut sebagai seorang penuntut ilmu.� (lihat Tsamrat
al-'Ilmi al-'Amal, hal. 36-37)

Bertakwalah, Wahai Para Penimba Ilmu!

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian
bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan menjadikan untuk kalian furqan,
menghapuskan dosa-dosa kalian dan mengampuninya untuk kalian. Allah lah pemilik
keutamaan yang sangat besar.� (QS. Al-Anfal: 29)

Tatkala seorang hamba menunaikan ketakwaan kepada Rabb-nya maka itu merupakan tanda
kebahagiaan dan alamat kemenangan baginya. Allah telah menyiapkan balasan yang
melimpah berupa kebaikan di dunia dan di akhirat bagi orang yang bertakwa. Dalam
ayat di atas, Allah menyebutkan bahwa orang yang bertakwa kepada Allah akan memetik
empat keutamaan:
1. Furqan; yaitu berupa ilmu dan hidayah yang dengannya ia bisa membedakan
antara petunjuk dengan kesesatan, antara kebenaran dengan kebatilan, antara halal
dengan haram, antara golongan orang yang berbahagia dengan golongan orang yang
celaka
2. Dihapuskannya dosa
3. Pengampunan atas dosa. Kedua istilah ini sama maksudnya jika disebutkan dalam
keadaan terpisah dari yang satunya. Adapun jika disebutkan secara beriringan, maka
yang dimaksud dengan penghapusan dosa adalah untuk dosa-dosa kecil sedangkan yang
dimaksud dengan pengampunan dosa ialah untuk dosa-dosa besar
4. Pahala dan ganjaran yang melimpah ruah bagi orang-orang yang bertakwa kepada-
Nya dan lebih mengutamakan keridhoan-Nya di atas hawa nafsu mereka (lihat Taisir
al-Karim ar-Rahman, hal. 319 cet. Ar-Risalah)

Ciri orang yang bertakwa itu adalah orang-orang yang menghiasi dirinya dengan
aqidah sahihah dan amal salih; baik amal batin maupun amal lahiriyah. Sebagaimana
telah ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya), �Yaitu orang-orang
yang beriman terhadap perkara gaib, mendirikan sholat, dan menyisihkan infak dari
sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan orang-orang yang beriman
terhadap apa yang diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang diwahyukan -kepada
nabi-nabi- sebelummu. Dan terhadap akhirat mereka pun meyakininya.� (QS. Al-
Baqarah: 3-4)

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa ciri utama orang yang bertakwa adalah
mengimani perkara yang gaib. Hakikat iman itu sendiri adalah membenarkan secara
pasti terhadap segala yang diberitakan oleh para rasul, yang di dalam pembenaran
itu telah terkandung ketundukan anggota badan terhadap ajaran mereka. Memang, yang
menjadi ukuran utama keimanan bukanlah keyakinan terhadap perkara yang terjangkau
oleh indera. Sebab hal itu tidaklah membedakan antara orang yang muslim dengan yang
kafir. Sesungguhnya yang menjadi karakter ketakwaan yang paling utama adalah iman
terhadap perkara gaib; sesuatu yang tidak bisa kita lihat secara langsung dan tidak
kita saksikan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 40 cet. Ar-Risalah)

Wallahu a'lam. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala alihi wa sallam.


Walhamdulillahi Rabbil 'alamin.

Menghapus Dosa, Mengangkat Derajat

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah


shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, �Barangsiapa yang bersuci di rumahnya
kemudian dia berjalan menuju salah satu rumah Allah (masjid) untuk menunaikan salah
satu kewajiban yang ditetapkan Allah (sholat) maka langkah-langkahnya; salah
satunya menghapuskan dosa, sedangkan langkah yang lain mengangkat derajat.� (HR.
Muslim di Kitab al-Masajid wa Mawadhi' ash-Sholah [666])

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu,


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, �Bagaimana pendapat kalian
seandainya ada sebuah sungai di depan pintu rumah kalian yang dia mandi darinya
setiap hari lima kali, apakah masih tersisa kotoran yang melekat pada tubuhnya?�
Para Sahabat menjawab, �Tidak tersisa kotorannya sedikit pun.� Lalu Nabi bersabda,
�Demikian itulah perumpamaan sholat lima waktu yang dengan sebab itu Allah berkenan
mengampuni dosa-dosa.� (HR. Bukhari di Kitab Mawaqit ash-Sholah [528] dan Muslim di
Kitab al-Masajid wa Mawadhi' ash-Sholah [667])

Faidah Hadits

Hadits pertama menunjukkan kepada kita keutamaan bersuci di rumah lalu berjalan
menuju masjid untuk menunaikan sholat wajib berjama'ah; yaitu menjadi sebab
terhapusnya dosa dan terangkatnya derajat. Hadits berikutnya juga menunjukkan
kepada kita bahwa sholat lima waktu merupakan sebab terhapusnya dosa seorang hamba.

Dosa-dosa yang terhapus dengan sebab amal-amal di atas adalah dosa-dosa kecil,
sebagaimana yang dipahami oleh para ulama. Ibnu Hajar berkata, �...al-Qurthubi
berkata: Zahir hadits ini menunjukkan bahwa sholat lima waktu secara mandiri
menjadi sebab terhapusnya segala dosa, tetapi ini adalah sesuatu yang
musykil/janggal. Namun, Muslim telah meriwayatkan sebelumnya hadits al-'Ala' dari
Abu Hurairah secara marfu', �Sholat lima waktu adalah kaffarah/penebus atas dosa-
dosa yang terjadi diantara sholat-sholat tersebut selama dosa-dosa besar dijauhi.�
Berdasarkan dalil yang membatasi ini maka dalil lain yang bersifat tidak terikat
dikembalikan kepadanya.� (lihat Fath al-Bari [2/15])

Kebaikan Menghapus Kejelekan

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu akan


menghilangkan kejelekan-kejelekan.� (QS. Hud: 114)

Imam Ibnul Jauzi membawakan dua penafsiran ulama salaf tentang makna al-hasanat
(kebaikan) yang dimaksud dalam ayat di atas:
1. Maksudnya adalah sholat lima waktu. Ini adalah penafsiran Ibnu Mas'ud, Ibnu
'Abbas, Ibnul Musayyab, Masruq, Mujahid, al-Qarzhi, adh-Dhahhak, Muqatil bin
Sulaiman, dan Muqatil bin Hayan.
2. Maksudnya adalah ucapan 'Subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaha illallah,
wallahu akbar'. Manshur meriwayatkan tafsiran ini dari Mujahid. Imam Ibnul Jauzi
sendiri lebih menguatkan penafsiran pertama. Adapun maksud as-sayyi'at (kejelekan)
di sini adalah dosa-dosa kecil sebagaimana penjelasan para ulama ahli tafsir (lihat
Zaadul Masir, hal. 675-676)

Untaian Hikmah Imam Sufyan ats-Tsauri

Tsabit bin Muhammad berkata: Aku mendengar Sufyan ats-Tsauri berkata, �Jika kamu
mampu untuk tidak menggaruk kepala kecuali apabila dilandasi dengan atsar/riwayat
maka lakukanlah.�

Beliau adalah Sufyan bin Sa'id bin Masruq ats-Tsauri. Imam Yahya bin Ma'in
mengatakan bahwa Sufyan ats-Tsauri dilahirkan pada tahun 97 H. Beliau mulai menimba
ilmu sejak kecil. Yazid bin Harun berkata, �Orang-orang telah mengambil ilmu dari
Sufyan ats-Tsauri pada saat beliau berumur 30 tahun.�

Dikatakan bahwa beliau bertemu dengan 130 orang tabi'in dan berguru/mengambil
riwayat dari 600 orang lebih. Adapun ulama yang mengambil riwayat dari beliau
diantaranya Ibnu Juraij, al-Auza'i, Abu Hanifah, Ibnul Mubarak, Waki', Abdurrahman
bin Mahdi, dan lain-lain.

Berikut ini sebagian diantara nasehat dan pelajaran yang bisa kita petik dari
ucapan dan kisah perjalanan hidup beliau. Semoga bermanfaat.

Beliau berkata, �Pada awalnya, aku menuntut ilmu dalam keadaan belum memiliki niat,
kemudian Allah pun memberikan rizki kepadaku niat tersebut.�

Apa yang beliau ucapkan senada dengan perkataan Imam ad-Daruquthni. Imam ad-
Daruquthni berkata, �Kami dahulu menimba ilmu bukan karena Allah, namun ia enggan
kecuali harus dituntut karena Allah.� (lihat Ma'alim fi Thariq Thalab al-'Ilmi)

Sufyan bin 'Uyainah berkata tentang Sufyan ats-Tsauri, �Adalah Sufyan ats-Tsauri
sosok ulama yang ilmu seolah-olah senantiasa terpampang di hadapannya, sehingga dia
bisa mengambil apa pun yang dia kehendaki dan meninggalkan apa yang tidak dia
kehendaki.�

Abdurrahman bin Mahdi berkata, �Tidaklah aku melihat seorang ahli hadits yang lebih
kuat hafalannya daripada Sufyan ats-Tsauri.�

Sufyan ats-Tsauri pernah ditanya, �Dengan apa kamu bisa mengenal Rabbmu?�. Maka
beliau menjawab, �Dengan tekad yang memudar dan cita-cita yang gagal tercapai.�

Abu Nu'aim berkata: Aku mendengar Sufyan mengatakan, �Iman itu bisa bertambah dan
bisa berkurang.�

Ibnul Mubarak berkata: Aku mendengar Sufyan ats-Tsauri berkata, �Barangsiapa yang
meyakini Qul huwallahu ahad adalah makhluk, maka dia telah kafir kepada Allah.�

Sufyan ats-Tsauri berkata, �Barangsiapa yang mengatakan bahwa 'Ali -bin Abi Thalib-
lebih berhak memegang kekuasaan (khalifah setelah nabi, pent) daripada Abu Bakar
dan 'Umar maka dia telah menyalahkan Abu Bakar dan 'Umar bahkan segenap kaum
Muhajirin dan Anshar. Aku pun tidak tahu apakah ada amalnya yang terangkat ke
langit ataukah tidak.�

Sufyan ats-Tsauri juga berpesan, �Hendaklah kalian saling berpesan kepada Ahlus
Sunnah dengan kebaikan, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang asing.�

Tsabit bin Muhammad berkata: Aku mendengar Sufyan ats-Tsauri berkata, �Jika kamu
mampu untuk tidak menggaruk kepala kecuali apabila dilandasi dengan atsar/riwayat
maka lakukanlah.�

Waki' berkata: Aku mendengar Sufyan mengatakan, �Tidaklah aku mengetahui suatu
amalan yang lebih utama daripada menuntut ilmu; yaitu bagi orang yang lurus
niatnya.�

Sufyan juga mengatakan, �Sesungguhnya ilmu itu dimuliakan di atas selainnya karena
dia menjadi sarana untuk bertakwa.�

Beliau juga mengatakan, �Tidak ada suatu amalan yang lebih utama daripada menimba
hadits, yaitu apabila lurus niatnya.�

Beliau juga mengatakan, �Tahapan awal menimba ilmu adalah diam. Yang kedua adalah
mendengarkan dan menghafalkannya. Yang ketiga adalah mengamalkannya. Yang keempat
yaitu menyebarkan dan mengajarkannya.�

Sufyan juga berkata, �Sudah semestinya seorang ayah untuk memaksa anaknya menimba
ilmu dan belajar hadits, karena kelak dia harus mempertanggungjawabkan hal itu.�

Sufyan berkata, �Para malaikat adalah penjaga langit, sedangkan as-habul hadits
adalah penjaga bumi.�

Beliau berkata, �Seandainya as-habul hadits tidak mendatangiku niscaya akulah yang
akan mendatangi rumah-rumah mereka.�

Sufyan ats-Tsauri berkata, �Barangsiapa yang pelit dengan ilmunya pasti akan
tertimpa tiga bentuk musibah; bisa jadi dia lupa terhadapnya, atau dia mati dalam
keadaan ilmunya tidak bermanfaat bagi orang lain, atau hilang buku-bukunya.�
Sufyan ats-Tsauri berkata, �Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi umat
manusia daripada hadits.�

Beliau juga berkata, �Fitnah/cobaan yang ditimbulkan oleh hadits lebih dahsyat
daripada fitnah akibat emas dan perak.�

Sufyan berkata, �Sungguh kenikmatan Allah atas diriku akibat perkara dunia yang aku
dipalingkan darinya itu lebih utama daripada kenikmatan yang ada pada apa-apa yang
diberikan Allah kepadaku.�

Beliau juga berkata, �Kalian bisa mempercayaiku menjaga Baitul Mal, tetapi jangan
mempercayakan kepadaku untuk menjaga budak perempuan berkulit hitam.�

Khalaf bin Tamim berkata: Aku melihat Sufyan ats-Tsauri di Mekah dan pada saat itu
banyak sekali penimba ilmu hadits yang berkumpul untuk belajar kepadanya. Maka dia
berkata, �Innaa lillahi wa innaa ilaihi raji'uun. Aku khawatir Allah telah menyia-
nyiakan umat ini; sampai-sampai umat manusia membutuhkan orang seperti diriku.�

'Ali bin Tsabit berkata, �Aku sama sekali tidak pernah melihat Sufyan berada di
bagian depan majelis. Akan tetapi dia sering duduk di pinggir tembok seraya memeluk
kedua lututnya.�

Ahmad bin Hanbal berkata: Dahulu apabila dilaporkan kepada Sufyan ats-Tsauri bahwa
ada yang bermimpi melihat beliau -dalam keadaan mendapatkan kemuliaan- maka beliau
berkata, �Aku lebih mengenali diriku daripada para pemilik mimpi itu.�

Abu Usamah menceritakan: Orang yang senantiasa memperhatikan keadaan Sufyan niscaya
dia akan melihat seolah-olah Sufyan sedang berada di atas kapal yang dia khawatir
kapal itu akan tenggelam. Betapa seringnya kami mendengar belliau berkata, �Ya
Allah, selamatkanlah, selamatkanlah.�

Qobishoh berkata tentang Sufyan, �Tidaklah aku melihat orang yang lebih banyak
mengingat kematian daripada beliau.�

Abu Nu'aim berkata, �Adalah Sufyan apabila telah mengingat kematian, maka orang-
orang pun tidak bisa belajar darinya selama berhari-hari.�

Muzahim bin Zufar berkata, �Suatu saat Sufyan mengimami kami sholat maghrib.
Tatkala beliau sampai pada ayat Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, maka beliau pun
menangis, kemudian beliau mengulangi bacaannya dari Alhamdulillah, dst.�

al-Firyabi berkata, �Suatu ketika Sufyan sedang sholat, lalu dia berpaling kepada
seorang pemuda. Kemudian beliau berkata kepadanya, �Jika kamu tidak sholat sekarang
-di dunia- lantas kapan lagi?�.�

Sufyan juga mengatakan, �Aku terhalang dari sholat malam selama lima bulan gara-
gara sebuah dosa yang pernah aku lakukan.�

Ibnu Rahawaih berkata: Aku mendengar Abdurrahman bin Mahdi menyebut nama Sufyan,
Syu'bah, Malik dan Ibnul Mubarak. Lalu beliau berkata, �Orang yang paling berilmu
diantara mereka adalah Sufyan.�

Yahya bin Ma'in berkata, �Sufyan ats-Tsauri adalah amirul mukminin fil hadits.�

Abu 'Ashim berkata: Aku pernah bertanya kepada Sufyan, �Siapakah manusia yang
sejati?� Beliau menjawab, �Para ulama.� Aku berkata, �Siapakah raja yang
sebenarnya?� Beliau menjawab, �Orang-orang yang zuhud.� Aku berkata, �Siapakah
orang-orang yang rendah?�. Beliau menjawab, �Orang yang tidak peduli dengan apa pun
yang dia ucapkan dan tidak peduli dengan kritikan orang kepada dirinya.�

Abdurrahman bin Mahdi berkata: Sufyan mengatakan, �Tidak boleh taat kepada kedua
orang tua dalam perkara-perkara syubhat.�

Sufyan juga mengatakan, �Barangsiapa yang kelaparan lalu tidak mau meminta -kepada
orang- sampai akhirnya mati, maka dia masuk neraka.�

Sumber: Manaqib al-Imam al-A'zham, karya Imam adz-Dzahabi yang merupakan ringkasan
karya Imam Ibnul Jauzi rahimahumallah. Penerbit Dar ash-Shahabah, Thantha.

Kafirkah Berhukum Dengan Selain Hukum Allah?

Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah. Amma
ba'du.

Bagi seorang muslim, Allah adalah ahkamul hakimin alias sebaik-baik pemberi
ketetapan hukum. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Bukankah Allah adalah
sebaik-baik pemberi ketetapan hukum?� (QS. At-Tiin: 8)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, �Bukankah Dia (Allah) Dzat
yang paling bijaksana dalam menetapkan hukum, yang tidak pernah berbuat aniaya dan
tidak menzalimi siapapun...� (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [8/435] cet. Dar
Thaibah)

Oleh sebab itu ciri orang yang beriman adalah yang patuh kepada ketetapan (baca:
hukum) Allah dan Rasul-Nya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Tidaklah pantas
bagi seorang lelaki yang beriman, demikian pula perempuan yang beriman, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka
pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan
Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.� (QS. Al-
Ahzab: 36)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, �Ayat ini bersifat umum
mencakup segala permasalahan. Yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan
hukum atas suatu perkara, maka tidak boleh bagi seorang pun untuk menyelisihinya
dan tidak ada lagi alternatif lain bagi siapapun dalam hal ini, tidak ada lagi
pendapat atau ucapan -yang benar- selain itu.� (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim
[6/423] cet. Dar Thaibah)

Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), �Demi Rabbmu, sekali-kali mereka
tidaklah beriman, sampai mereka menjadikanmu -Muhammad- sebagai hakim/pemutus
perkara dalam segala permasalahan yang diperselisihkan diantara mereka, kemudian
mereka tidak mendapati rasa sempit di dalam diri mereka, dan mereka pun pasrah
dengan sepenuhnya.� (QS. An-Nisaa': 65)

Tunduk kepada hukum Allah, ridha dengan syari'at-Nya, dan kembali kepada al-Kitab
dan as-Sunnah ketika terjadi perselisihan merupakan konsekuensi keimanan dan
penghambaan kepada Allah subhanahu wa ta'ala (lihat at-Tauhid li ash-Shaff ats-
Tsalits al-'Ali, hal. 37)

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, �Demikianlah, memang sudah seharusnya
seorang hamba menerima hukum Allah, sama saja apakah hal itu menguntungkan dirinya
atau merugikannya, sama saja apakah hal itu sesuai dengan hawa nafsunya ataukah
tidak.� (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I'tiqad, hal. 103 cet. Dar Ibnu Khuzaimah)

Ridha terhadap hukum Allah merupakan bagian dari sikap ridha terhadap rububiyah
Allah dan ridha Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya. Dari
al-'Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, �Akan merasakan manisnya iman; orang yang ridha Allah sebagai
Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.� (HR. Muslim no. 34)

Imam Nawawi rahimahullah menafsirkan hadits di atas, �Arti hadits ini, bahwasanya
dia tidak mau mencari (berharap) kepada selain Allah ta'ala, tidak mau berusaha
kecuali di atas jalan Islam, dan tidak mau menempuh kecuali apa-apa yang sesuai
dengan syari'at Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.� (lihat Syarh Muslim [2/86]
cet. Dar Ibnul Haitsam)

Hukum Allah adalah hukum yang tegak di atas keadilan. Allah ta'ala berfirman (yang
artinya), �Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari? Dan siapakah yang lebih baik
hukumnya daripada [hukum] Allah bagi orang-orang yang yakin.� (QS. Al-Ma'idah: 50)

Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma menafsirkan, �Siapakah yang lebih adil [hukumnya]?!


� selain daripada hukum Allah. Adapun maksud �Bagi orang-orang yang yakin� adalah
�orang-orang yang meyakini [kebenaran] al-Qur'an.� (lihat Zaadul Masir, hal. 390)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menerangkan, bahwa yang dimaksud hukum
jahiliyah adalah segala ketetapan hukum yang bertentangan dengan syari'at. Ia
disebut hukum jahiliyah disebabkan hukum tersebut dibangun di atas kebodohan dan
kesesatan (lihat al-Qaul al-Mufid 'ala Kitab at-Tauhid [2/82])

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Dan apabila kalian memutuskan hukum
diantara manusia hendaklah kalian memberikan keputusan hukum dengan adil.� (QS. An-
Nisaa': 58)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Janganlah kebencian kalian terhadap suatu
kaum menyeret kalian sehingga berbuat tidak adil. Berbuat adillah! Sesungguhnya hal
itu (keadilan) lebih dekat kepada ketakwaan.� (QS. Al-Ma'idah: 8)

Imam al-Baghawi menafsirkan, �Yaitu berbuat adillah, baik kepada teman kalian
maupun kepada musuh kalian.� (lihat Ma'alim at-Tanzil, hal. 364)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Dan jika kamu memutuskan hukum maka
berikanlah keputusan hukum diantara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang menegakkan keadilan.� (QS. Al-Ma'idah: 42)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk


berbuat adil dan ihsan (kebaikan), memberikan santunan kepada sanak kerabat,
melarang dari perkara yang keji dan munkar serta melanggar hak orang lain.� (QS.
An-Nahl: 90)

Abu Sulaiman berkata, �Adil dalam bahasa arab artinya adalah bersikap
inshof/objektif. Sedangkan sikap inshof yang paling agung adalah pengakuan terhadap
Sang Pemberi nikmat (al-Mun'im) atas segala nikmat yang dicurahkan-Nya (yaitu
dengan bertauhid, pent).� (lihat Zaadul Masir, hal. 791)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Sungguh Kami telah mengutus para utusan
Kami dengan keterangan-keterangan yang jelas dan Kami turunkan bersama mereka al-
Kitab dan neraca agar umat manusia menegakkan keadilan.� (QS. Al-Hadid: 25)

Ibnul Qoyyim berkata, �Allah subhanahu mengabarkan bahwasanya Dia telah mengutus
rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya supaya umat manusia menegakkan
timbangan (al-Qisth) yaitu keadilan. Diantara bentuk keadilan yang paling agung
adalah tauhid. Ia adalah pokok keadilan dan pilar penegaknya. Adapun syirik adalah
kezaliman yang sangat besar. Sehingga, syirik merupakan tindak kezaliman yang
paling zalim, dan tauhid merupakan bentuk keadilan yang paling adil.� (lihat ad-
Daa' wa ad-Dawaa', hal. 145)
Beliau juga berkata, �Sesungguhnya orang musyrik adalah orang yang paling bodoh
tentang Allah. Tatkala dia menjadikan makhluk sebagai sesembahan tandingan bagi-
Nya. Itu merupakan puncak kebodohan terhadap-Nya, sebagaimana hal itu merupakan
puncak kezaliman dirinya. Sebenarnya orang musyrik tidaklah menzalimi Rabbnya.
Karena sesungguhnya yang dia zalimi adalah dirinya sendiri.� (lihat ad-Daa' wa ad-
Dawaa', hal. 145)

Allah ta'ala berfirman tentang isi wasiat Luqman kepada putranya (yang artinya),
�Wahai anakku, janganlah kamu berbuat syirik. Sesungguhnya syirik itu adalah
kezaliman yang sangat besar.� (QS. Luqman: 13)

Demikian pula, orang yang berpaling dari hukum Allah kepada hukum jahiliyah adalah
orang yang telah melakukan kezaliman dan terjerumus dalam kesesatan, bahkan hal itu
bisa menjatuhkan dirinya ke dalam kekafiran.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Siapakah yang lebih sesat daripada orang
yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak
akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang berbuat zalim itu.� (QS. Al-
Qashash: 50)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa
yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kekafiran.� (QS. Al-Ma'idah: 44)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa
yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kezaliman.� (QS. Al-Ma'idah: 45)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa
yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kefasikan.� (QS. Al-Ma'idah: 47)

Imam Ibnul Jauzi berkata, �Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang
diturunkan Allah karena menentang hukum itu dalam keadaan dia mengetahui bahwa
Allah telah menurunkannya sebagaimana halnya keadaan kaum Yahudi, maka dia adalah
kafir. Adapun barangsiapa yang tidak berhukum dengannya karena kecondongan hawa
nafsunya tanpa ada sikap penentangan -terhadap hukum Allah, pent- maka dia adalah
orang yang zalim lagi fasik.� (lihat Zaadul Masir, hal. 386)

Abu 'Ali berkata, �Sesungguhnya orang yang mencari selain hukum Allah karena dia
tidak ridha dengan hukum Allah itu maka dia adalah kafir. Inilah keadaan kaum
Yahudi.� (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [7/494])

Thawus menjelaskan maksud �Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah
turunkan maka mereka itulah para pelaku kekafiran.� Beliau berkata, �Hal itu
bukanlah kekafiran yang -secara otomatis- menyebabkan keluar dari agama.� (lihat
Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [3/120] cet. Dar Thaibah)

Thawus juga meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas tentang makna ayat di atas. Ibnu 'Abbas
radhiyallahu'anhuma berkata, �Itu bukan kekafiran sebagaimana yang mereka sangka.�
(HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak) (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [3/120] cet.
Dar Thaibah)

Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dari Thawus dari Ibnu 'Abbas mengenai maksud
ayat di atas. Ibnu 'Abbas berkata, �Hal itu adalah penyebab kekafiran. Ia bukanlah
kekafiran seperti halnya orang yang kafir kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.� (lihat al-Qaul al-Ma'mun, hal. 17)

Dalam riwayat yang lain, Ibnu 'Abbas mengatakan, �Barangsiapa yang tidak berhukum
dengan hukum yang diturunkan Allah maka dia telah melakukan perbuatan yang
menyerupai perbuatan orang kafir.� (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [7/497])
Ibnu Mas'ud dan al-Hasan menafsirkan, �Ayat itu berlaku umum bagi siapapun yang
tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, baik dari kalangan umat Islam,
Yahudi, dan orang-orang kafir. Artinya, apabila dia meyakini dan menghalalkan
perbuatannya itu. Adapun orang yang melakukannya sementara dia berkeyakinan dirinya
melakukan perbuatan yang haram, maka dia tergolong orang muslim yang berbuat
fasik...� (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [7/497])

Imam al-Qurthubi berkata, �Apabila orang tersebut berhukum dengannya -yaitu bukan
dengan hukum yang diturunkan Allah- karena dorongan hawa nafsu atau kemaksiatan,
maka itu adalah dosa yang masih bisa mendapatkan ampunan berdasarkan kaidah Ahlus
Sunnah yang menetapkan [terbukanya] ampunan bagi para pelaku dosa besar.� (lihat
al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [7/498-499])

al-Qusyairi berkata, �Adapun madzhab Khawarij adalah barangsiapa yang melakukan


tindak suap atau berhukum bukan dengan hukum Allah maka orang itu adalah kafir.
Pendapat ini disandarkan orang kepada al-Hasan dan as-Suddi (lihat al-Jami' li
Ahkam al-Qur'an [7/499]). Namun penyandaran ini telah terbantahkan dengan nukilan
di atas.

Ibnul Qoyyim berkata, �Sesungguhnya berhukum dengan selain hukum yang diturunkan
Allah mencakup dua jenis kekafiran; ashghar dan akbar, tergantung keadaan orang
yang mengambil keputusan hukum. Apabila dia meyakini bahwa dia wajib menerapkan
hukum Allah atas kejadian ini namun dia berpaling darinya karena maksiat dan di
saat yang sama dia mengakui bahwa dirinya layak untuk menerima hukuman maka ini
adalah kufur ashghar. Namun, apabila dia meyakini bahwa hal itu tidak wajib, atau
dia bebas [untuk mengikutinya atau tidak, pent], sementara dia yakin bahwa itu
adalah hukum Allah; maka ini adalah kufur akbar. Adapun apabila dia tidak tahu atau
tersalah, maka orang ini terhitung sebagai pelaku kekeliruan -yang tidak disengaja-
sehingga baginya berlaku hukum orang yang tak sengaja berbuat kesalahan.� (lihat
adh-Dhau' al-Munir 'ala at-Tafsir [2/400])

Syaikh Ibnu 'Utsaimin menyimpulkan, bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum
Allah dikatakan kafir pada 3 keadaan: [1] Apabila dia meyakini bolehnya berhukum
dengan selain hukum Allah. Karena segala hukum yang bertentangan dengan hukum Allah
adalah hukum jahiliyah. Keadaan orang ini seperti keadaan orang yang menghalalkan
zina dan khamr. [2] Apabila dia meyakini bahwa hukum selain Allah sejajar dengan
hukum Allah. [3] Apabila dia meyakini hukum selain Allah lebih baik daripada hukum
Allah(lihat al-Qaul al-Mufid 'ala Kitab at-Tauhid [2/69] cet. Maktabah al-'Ilmu)

Syaikh Shalih bin Sa'ad as-Suhaimi menambahkan, �Barangsiapa yang berkeyakinan


bahwa hukum Allah sudah tidak cocok untuk diterapkan pada masa kini sehingga kita
hanya wajib menerapkan undang-undang rekayasa [manusia] dengan dalih hukum Allah
habis masa berlakunya, telah lewat, dan sirna (tidak cocok, pent). Maka ini
kekafirannya lebih parah daripada yang lainnya...� (lihat Transkrip Syarh Tsalatsat
al-Ushul, hal. 66)

Sebagian ulama berpendapat bahwa mengganti hukum syari'at dengan undang-undang


buatan manusia yang diberlakukan secara umum sehingga hukum selain Islam yang lebih
dominan adalah kufur akbar yang dapat mengeluarkan dari agama (lihat Syarh
Tsalatsat al-Ushul oleh Abdullah bin Sa'ad Aba Husain hal. 297-301, lihat juga
Fitnatu at-Takfir, hal. 98)

Meskipun demikian, tidaklah setiap orang yang mengganti hukum syari'at dengan
undang-undang buatan manusia dapat dengan serta-merta dikafirkan begitu saja.
Syaikh Ibnu 'Utsaimin berkata, �Ketika kami katakan bahwa pelakunya adalah kafir,
maka yang kami maksud adalah perbuatannya itu mengantarkan dirinya kepada
kekafiran. Namun, bisa jadi orang yang menetapkan aturan tersebut mendapat udzur
(sehingga tidak bisa dikafirkan, pent). Semisal dia terkecoh dengan pernyataan,
�Hal ini tidak bertentangan dengan Islam.� �Hal ini termasuk maslahat mursalah.�
�Masalah ini diserahkan Islam kepada manusia [terserah bagaimana mereka
mengaturnya, pent].� (lihat al-Qaul al-Mufid [2/69])

Sungguh tepat ucapan Syaikh Ibnu 'Utsaimin! Bukankah pada jaman sekarang ini tidak
sedikit kalangan 'intelektual muslim' di negeri kita atau di negeri-negeri lain
yang telah tertipu dan terpesona oleh pertunjukan demokrasi? Beredarlah 'keyakinan'
bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Berkembanglah bibit-bibit
kekafiran dan kemunafikan yang berjubah keadilan dan perdamaian. Allahul musta'an.

Perlu ditambahkan pula, bahwa para ulama masa kini yang memfatwakan bahwa tasyri'
aam (penetapan aturan yang diberlakukan secara umum) dengan hukum selain Islam
adalah kekafiran [akbar] tidaklah menjadikan masalah ini sebagai suatu perkara yang
telah disepakati dan tidak boleh ada perselisihan padanya; sebagaimana diklaim oleh
sebagian orang. Para ulama yang menganut pendapat itu tidak menghukumi pihak lain
yang menyelisihi pendapat mereka sebagai Murji'ah dan semacamnya. Akan tetapi
mereka menetapkan hukum dalam hal ini dengan pemahaman bahwa hal itu termasuk
masalah kekafiran yang diperselisihkan, sebagaimana halnya hukum orang yang
meninggalkan sholat dan zakat (lihat Haqiqat al-Khawarij oleh Faishal bin Qazar al-
Jasim, hal. 67)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin kembali menasehati kita, �Bahkan,


seandainya ada seseorang yang memiliki keyakinan antara dirinya dengan Rabbnya,
bahwa diantara penguasa tersebut (pemerintah muslim) ada orang yang benar-benar
kafir keluar dari agama lantas apa faidah menampakkan sikap itu dan
menyebarluaskannya kecuali justru membangkitkan kekacauan?� (lihat Fitnatu at-
Takfir, hal. 35)

Syaikh Abdul 'Aziz bin Baz menjelaskan, �Bukanlah termasuk manhaj salaf membeberkan
aib-aib pemerintah dan menyebut-nyebut hal itu di atas mimbar. Karena hal itu akan
mengantarkan kepada kekacauan [di tengah masyarakat] sehingga tidak ada lagi sikap
mendengar dan taat dalam perkara yang ma'ruf, dan menjerumuskan kepada pembicaraan
yang membahayakan serta tidak bermanfaat. Akan tetapi cara yang harus diikuti
menurut salaf adalah dengan menasehatinya secara langsung antara dirinya dengan
penguasa tersebut. Atau mengirim surat kepadanya. Atau berhubungan dengannya
melalui para ulama yang memiliki hubungan dengannya, sehingga dia bisa diarahkan
menuju kebaikan.� (lihat Da'aa'im Minhaj Nubuwwah, hal. 271)

Hendaklah kita mengambil ibrah/pelajaran dari kejadian yang menimpa Imam Ahmad bin
Hanbal yang dengan jelas dan tegas mengeluarkan pernyataan tentang kafirnya orang
yang berkeyakinan al-Qur'an adalah makhluk (keyakinan Jahmiyah). Meskipun demikian,
kita dapati beliau dan para ulama yang lain tidak mengkafirkan pemerintah dan para
dedengkot Jahmiyah yang menyerukan kekafiran itu. Mereka tidak memberontak kepada
penguasa dan tidak pula memprovokasi rakyat untuk memberontak kepada penguasa yang
memaksa umat -bahkan sampai menyiksa, memenjara, dan membunuh para ulama- agar
meyakini al-Qur'an adalah makhluk!! (lihat Da'aa'im Minhaj Nubuwwah, hal. 263)

Beliau berkata kepada ulama dan hakim yang menganut paham Jahmiyah ketika itu,
�Adapun aku, seandainya aku mengucapkan seperti apa yang kalian ucapkan niscaya aku
sudah kafir. Meskipun demikian, aku tidak mengkafirkan kalian. Karena dalam
pandanganku, kalian ini adalah orang-orang yang bodoh (tidak tahu).� (lihat Fitnatu
at-Takfir, hal. 63)

Ketika mendengar ada sebagian orang yang hendak melakukan pemberontakan kepada
penguasa pada waktu itu, Imam Ahmad mengatakan, �Subhanallah! Subhanallah!
Pertumpahan darah! Pertumpahan darah! Aku tidak sepakat dengannya dan aku tidak
memerintahkan hal itu. Bersabar di atas keadaan kita sekarang ini lebih baik
daripada terjerumus ke dalam fitnah. Karena terjadinya fitnah [pemberontakan] akan
membuat darah tertumpah di mana-mana, harta-harta dirampas, dan kehormatan diinjak-
injak...� (lihat Da'aa'im Minhaj Nubuwwah, hal. 264)
Pemberontakan tidak hanya dengan senjata, bahkan ia bermula dari ucapan lisan.
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, �Memberontak kepada para pemimpin
terjadi dalam bentuk mengangkat senjata, dan ini adalah bentuk pemberontakan yang
paling parah. Selain itu, pemberontakan juga terjadi dengan ucapan; yaitu dengan
mencaci dan mencemooh mereka, mendiskreditkan mereka dalam berbagai pertemuan, dan
mengkritik mereka melalui mimbar-mimbar. Hal ini akan menyulut keresahan masyarakat
dan menggiring mereka menuju pemberontakan terhadap penguasa. Hal itu jelas
merendahkan kedudukan pemerintah di mata rakyat. Ini artinya, pemberontakan juga
bisa terjadi dalam bentuk ucapan/provokasi.� (lihat Da'aa'im Minhaj Nubuwwah, hal.
272)

Di masa seorang pemimpin yang kejam dan bengis al-Hajjaj berkuasa, Hasan al-Bashri
memberikan nasehat kepada kaum muslimin, �Wahai umat manusia! Demi Allah, tidaklah
al-Hajjaj dijadikan Allah berkuasa atas kalian kecuali sebagai bentuk hukuman [atas
dosa-dosa kita]. Maka janganlah kalian menghadapi [ketetapan] Allah ini dengan
pedang (memberontak). Akan tetapi wajib atas kalian untuk menghadapinya dengan
sikap tenang dan penuh ketundukan.� (lihat Da'aa'im Minhaj Nubuwwah, hal. 275)

Hasan al-Bashri juga mengatakan, �Demi Allah! Tidaklah tegak urusan agama ini
kecuali dengan adanya pemerintah, walaupun mereka berbuat aniaya dan bertindak
zalim. Demi Allah! Apa-apa yang Allah perbaiki dengan sebab keberadaan mereka itu
jauh lebih banyak daripada apa-apa yang mereka rusak.� (lihat Da'aa'im Minhaj
Nubuwwah, hal. 279)

Oleh sebab itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, �Bersabar dalam menghadapi
ketidakadilan penguasa adalah salah satu prinsip pokok yang dianut oleh Ahlus
Sunnah wal Jama'ah.� (lihat Da'aa'im Minhaj Nubuwwah, hal. 280)

Demikianlah, sekelumit catatan dan nasehat sederhana yang bisa kami sajikan. Semoga
Allah memberikan taufik kepada kita menuju kebaikan dunia dan akhirat.

Jangan Lupakan Tauhid

Masalah tauhid adalah masalah yang sangat penting. Ia merupakan asas tegaknya
agama. Muatan utama ayat-ayat al-Qur'an dan misi pokok dakwah seluruh para nabi dan
rasul.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat
seorang rasul yang mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.� (QS. An-Nahl:
36)

Sebuah materi dakwah yang tidak akan lekang oleh zaman dan terus dibutuhkan oleh
siapa saja; orang miskin maupun orang kaya, orang tua maupun anak muda, penduduk
kota maupun penduduk desa, pejabat maupun rakyat jelata.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Dan ingatlah ketika Luqman memberikan
nasehat kepada anaknya: Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat besar.� (QS. Luqman: 13)

Dari 'Itban bin Malik radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam


bersabda, �Sesungguhnya Allah mengharamkan api neraka kepada orang yang mengucapkan
laa ilaha illallah dengan ikhlas karena ingin mencari wajah Allah.� (HR. Bukhari
dalam Kitab ash-Sholah [425] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [33])

Dalam suatu kesempatan ceramah, Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah -salah
seorang murid Syaikh al-Albani rahimahullah- menasehatkan kepada kita untuk selalu
memperhatikan masalah tauhid dan tidak menyepelekannya.
Beliau berkata:

Masalah paling besar yang diperhatikan ulama salaf apa? Bukan amalan anggota badan,
akan tetapi [amalan] hati dan ikhlas dalam beramal...

Oleh sebab itu, Yusuf bin al-Husain -salah seorang salaf- berkata, �Sesuatu yang
paling sulit di dunia ini adalah ikhlas...Betapa sering aku berusaha menyingkirkan
riya' dari dalam hatiku, tetapi seolah-olah ia muncul kembali di dalamnya dengan
warna yang berbeda.�

Demikianlah, ia mempermainkan hati, terkadang ia berpaling ke kanan atau ke kiri.


Sehingga sulit menggapai keikhlasan.

Sahl bin Abdullah berkata, �Tidak ada sesuatu yang lebih berat bagi jiwa (nafsu)
daripada ikhlas. Sebab di dalamnya hawa nafsu tidak mendapat jatah sedikitpun.�
Senang dipuji, suka disanjung... Hawa nafsu memang menyimpan banyak keinginan
(ambisi)...

Oleh sebab itu, Imam Ahmad rahimahullah berkata, "Syarat -memurnikan- niat itu
sangatlah berat." Semoga Allah merahmati beliau.

Sufyan ats-Tsauri berkata, "Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih susah
daripada niatku... Karena ia sering berbolak-balik."

Oleh sebab itu semestinya bagi saudara-saudara kami, saya menasehati diri saya
sendiri dan juga mereka untuk terus melazimi tauhid, bersemangat di dalamnya, dan
terus-menerus berdoa kepada Allah agar mereka tetap istiqomah di atasnya.

Hendaknya mereka memohon kepada Allah jalla wa 'ala supaya Allah membantu mereka
untuk bisa teguh di atas tauhid, dan memberikan taufik kepada mereka untuk itu...

Masalah ini bukan masalah sepele, saudara-saudara sekalian...

Beliau juga menjelaskan:

Manusia, bisa jadi mereka adalah orang yang tidak mengerti tauhid -secara global
maupun terperinci- maka orang semacam ini jelas wajib untuk mempelajarinya...

Atau bisa jadi mereka adalah orang yang mengerti tauhid secara global tapi tidak
secara rinci... maka orang semacam ini wajib belajar rinciannya...

Atau bisa jadi mereka adalah orang yang telah mengetahui tauhid secara global dan
terperinci... maka mereka pun tetap butuh untuk senantiasa diingatkan tentang
tauhid...serta terus mempelajarinya dan tidak berhenti darinya...

Jangan berdalih dengan perkataan, "Saya 'kan sudah menyelesaikan Kitab Tauhid."
atau mengatakan, "Saya sudah menuntaskan pembahasan masalah tauhid." atau berkata,
"Isu seputar tauhid sudah habis. Sehingga kita pindah saja kepada isu yang lain."

Tidak demikian...

Sebab, tauhid tidaklah ditinggalkan menuju selainnya...tetapi tauhid harus


senantiasa dibawa beserta yang lainnya. Kebutuhan kita terhadap tauhid lebih besar
daripada kebutuhan kita terhadap air dan udara...

Beliau juga menegaskan:

Jadi, tauhid adalah misi dakwah seluruh rasul dan nabi. Ini adalah manhaj dakwah
yang tidak berubah.. Dan kita pun tidak boleh merubahnya, dengan alasan apapun.
Semisal, kita katakan, "Demi menyesuaikan dengan tuntutan zaman, dsb." yang dengan
alasan semacam itu kita merubah titik tolak dakwah dan mengganti manhaj dakwah.

Atau mengatakan bahwa semestinya sekarang dakwah kita mulai dengan masalah akhlak,
atau sebaiknya kita mulai dengan masalah ini atau itu... Tidaklah demikian.
Tidaklah kita memulai dakwah kecuali dengan apa yang dimulai oleh para rasul...

Inilah dakwah para rasul dan para nabi yang semestinya kita -semua- menunaikan
tugas [dakwah] ini dengan baik; yang seharusnya kita tetap hidup di atasnya dan
mati di atasnya pula. Baarakallahu fiikum.

Sumber: Video al-I'tisham bi as-Sunnah, al-sunna.net

Perkataan Ulama Tentang Ikhlas

Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma berkata, �Sesungguhnya seseorang akan mendapatkan


anugerah -balasan dari Allah- sebatas apa yang dia niatkan.� (lihat Adab al-'Alim
wa al-Muta'allim, hal. 7 oleh Imam an-Nawawi)

Sahl bin Abdullah at-Tasturi rahimahullah mengatakan, �Orang-orang yang cerdas


memandang tentang hakikat ikhlas ternyata mereka tidak menemukan kesimpulan kecuali
hal ini; yaitu hendaklah gerakan dan diam yang dilakukan, yang tersembunyi maupun
yang tampak, semuanya dipersembahkan untuk Allah ta'ala semata. Tidak dicampuri apa
pun; apakah itu kepentingan pribadi, hawa nafsu, maupun perkara dunia.� (lihat Adab
al-'Alim wa al-Muta'allim, hal. 7-8)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, �Tidaklah aku mengobati suatu penyakit


yang lebih sulit daripada masalah niatku. Karena ia sering berbolak-balik.� (lihat
Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, hal. 8)

Abul Qasim al-Qusyairi rahimahullah menjelaskan, �Ikhlas adalah menunggalkan al-Haq


(Allah) dalam hal niat melakukan ketaatan, yaitu dia berniat dengan ketaatannya
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ta'ala. Bukan karena ambisi-ambisi lain,
semisal mencari kedudukan di hadapan manusia, mengejar pujian orang-orang, gandrung
terhadap sanjungan, atau tujuan apapun selain mendekatkan diri kepada Allah
ta'ala.� (lihat Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, hal. 8)

Abu Ya'qub as-Susi rahimahullah mengatakan, �Apabila orang-orang telah berani


mempersaksikan keikhlasan telah melekat pada dirinya maka sesungguhnya keikhlasan
mereka itu masih butuh pada keikhlasan.� (lihat Adab al-'Alim wa al-Muta'allim,
hal. 8)

Abu 'Utsman rahimahullah mengatakan, �Ikhlas adalah melupakan pandangan orang


dengan senantiasa memperhatikan bagaimana pandangan (penilaian) al-Khaliq.� (lihat
Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, hal. 8)

al-Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah mengatakan, �Meninggalkan amal karena manusia


adalah riya' sedangkan beramal untuk dipersembahkan kepada manusia merupakan
kemusyrikan. Adapun ikhlas itu adalah tatkala Allah menyelamatkan dirimu dari
keduanya.� (lihat Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, hal. 8)

Yusuf bin al-Husain rahimahullah berkata, �Sesuatu yang paling sulit di dunia ini
adalah ikhlas.� (lihat Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, hal. 8)

Muhammad bin Wasi' rahimahullah berkata, �Sungguh aku telah bertemu dengan orang-
orang, yang mana seorang lelaki di antara mereka kepalanya berada satu bantal
dengan kepala istrinya dan basahlah apa yang berada di bawah pipinya karena
tangisannya akan tetapi istrinya tidak menyadari hal itu. Dan sungguh aku telah
bertemu dengan orang-orang yang salah seorang di antara mereka berdiri di shaf
[sholat] hingga air matanya mengaliri pipinya sedangkan orang di sampingnya tidak
mengetahui.� (lihat Ta'thirul Anfas, hal. 249)

Kerendahan Hati Para Ulama

Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah -seorang tabi'in- mengatakan, �Aku telah berjumpa
dengan tiga puluh orang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka semua
merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan. Tidak ada seorang pun di antara mereka
yang mengatakan bahwa imannya sebagaimana iman Jibril dan Mika'il.� (HR. Bukhari
secara mu'allaq dan dimaushulkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah di dalam Tarikh-nya,
lihat Fath al-Bari [1/136-137])

Ayyub as-Sakhtiyani rahimahullah berkata, �Apabila disebutkan tentang orang-orang


salih maka aku merasa diriku teramat jauh dari kedudukan mereka.� (lihat Muhasabat
an-Nafs wa al-Izra' 'alaiha, hal. 76 oleh Imam Ibnu Abid Dun-ya)

Yunus bin 'Ubaid rahimahullah berkata, �Sungguh aku pernah menghitung-hitung


seratus sifat kebaikan dan aku merasa bahwa pada diriku tidak ada satu pun
darinya.� (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra' 'alaiha, hal. 80)

Muhammad bin Wasi' rahimahullah mengatakan, �Kalau seandainya dosa-dosa itu


mengeluarkan bau busuk niscaya tidak ada seorang pun yang sanggup untuk duduk
bersamaku.� (lihat Muhasabat an-Nafs wa al-Izra' 'alaiha, hal. 82)

Hisyam ad-Dastuwa'i rahimahullah berkata, �Demi Allah, aku tidak mampu untuk
berkata bahwa suatu hari aku pernah berangkat untuk menuntut hadits dalam keadaan
ikhlas karena mengharap wajah Allah 'azza wa jalla.� (lihat Ta'thirul Anfas, hal.
254)

Nasehat Para Ulama

Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah berkata, �Dahulu dikatakan: Bahwa seorang hamba
akan senantiasa berada dalam kebaikan, selama jika dia berkata maka dia berkata
karena Allah, dan apabila dia beramal maka dia pun beramal karena Allah.� (lihat
Ta'thir al-Anfas min Hadits al-Ikhlas, hal. 592)

Seorang lelaki berkata kepada Muhammad bin Nadhr rahimahullah, �Dimanakah aku bisa
beribadah kepada Allah?� Maka beliau menjawab, �Perbaikilah hatimu, dan
beribadahlah kepada-Nya di mana pun kamu berada.� (lihat Ta'thir al-Anfas, hal.
594)

Abu Turab rahimahullah mengatakan, �Apabila seorang hamba bersikap tulus/jujur


dalam amalannya niscaya dia akan bisa merasakan kelezatan amal itu sebelum
melakukannya. Dan apabila seorang hamba ikhlas dalam beramal, niscaya dia akan
merasakan kelezatan amal itu di saat sedang melakukannya.� (lihat Ta'thir al-Anfas,
hal. 594)

Sufyan bin Uyainah berkata: Abu Hazim rahimahullah berkata, �Sembunyikanlah


kebaikan-kebaikanmu lebih daripada kesungguhanmu dalam menyembunyikan kejelekan-
kejelekanmu.� (lihat Ta'thirul Anfas, hal. 231).

Ibnul Qoyyim menjelaskan, ada dua buah pertanyaan yang semestinya diajukan kepada
diri kita sebelum mengerjakan suatu amalan. Yaitu: Untuk siapa? dan Bagaimana?
Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan. Pertanyaan kedua adalah
pertanyaan tentang kesetiaan terhadap tuntunan Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sebab amal tidak akan diterima jika tidak memenuhi kedua-duanya (lihat Ighatsat al-
Lahfan, hal. 113).

Menunaikan Kebutuhan Sesama Muslim

Imam al-Hasan bin Sufyan an-Nasawi (wafat 303 H) meriwayatkan dengan sanadnya dari
Ibnu 'Umar radhiyallahu'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, �Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain. Tidak boleh menzaliminya
dan tidak boleh mencacinya. Barangsiapa yang menunaikan kebutuhan saudaranya maka
Allah senantiasa memperhatikan kebutuhan dirinya. Barangsiapa yang memberikan jalan
keluar bagi kesusahan seorang muslim [di dunia] niscaya Allah akan memberikan jalan
keluar baginya dari kesusahan pada hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi [aib]
seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.� (lihat Kitab al-
Arba'in, hal. 48. Bab Dorongan Menunaikan Kebutuhan Sesama Muslim)

Kandungan Hadits

Hadits yang agung ini berisi ajaran Islam yang sangat luhur. Di dalamnya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada umatnya untuk menjaga hubungan
baik dengan sesama muslim. Karena sesama muslim adalah saudara. Sehingga tidak
boleh melakukan perkara-perkara yang merusak ukhuwah diantara mereka, apakah dengan
berbuat aniaya, mengejek, dan lain sebagainya.

Selain itu, hadits ini juga mengajarkan kepada kita untuk memiliki kepekaan sosial
dan kepedulian terhadap sesama muslim. Apabila mereka memiliki kebutuhan hendaklah
kita juga memikirkannya. Demikian pula seandainya mereka tertimpa kesusahan maka
semestinya seorang muslim yang berkemampuan untuk meringankan beban saudaranya.
Sebagaimana dia senang apabila mendapatkan kemudahan, hendaknya dia pun senang
apabila saudaranya mendapatkan kemudahan dalam urusannya.

Selain itu, hadits yang agung ini mengajarkan kepada kita untuk berusaha menutupi
aib sesama muslim yang kita ketahui baik secara sengaja ataupun tidak sengaja.
Sebab membeberkan aib sesama muslim adalah tindakan yang mencemarkan nama baiknya.
Sebagaimana dirinya tidak suka jika aib-aibnya diketahui orang lain, maka sudah
selayaknya dia menjaga aib saudaranya sesama muslim.

Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa Islam tidak hanya mengatur masalah-masalah
yang berkaitan dengan ubudiyah/ritual atau hubungan vertikal antara hamba dengan
Allah. Bahkan, Islam juga mengatur hubungan horizontal antara sesama manusia.
Sebagaimana kita wajib mengikuti aturan Allah dalam masalah ritual, maka wajib pula
bagi kita untuk mematuhi aturan-Nya dalam masalah sosial. Oleh sebab itu para ulama
mengatakan, bahwa yang dimaksud orang salih adalah yang menunaikan hak Allah (baca:
tauhid) dengan baik dan menunaikan hak-hak sesama dengan baik pula.

Demikianlah, betapa Islam sangat memperhatikan kemaslahatan hidup umat manusia di


atas muka bumi ini. Sehingga segala perkara yang bisa merusak kebahagiaan hidup
mereka pun dibendung sedemikian rupa. Dan janganlah dikira bahwa Islam hanya
menghargai sesama muslim saja, bahkan orang kafir sekalipun memiliki hak yang tidak
boleh dilanggar dan tidak boleh dizalimi. Islam mengajarkan keadilan dan mengajak
manusia kepada keselamatan dunia dan akhirat. Hanya di bawah naungan Islam lah
kehidupan dunia ini menjadi tentram dan berkeadilan. Allahul musta'aan.

Kepada Mu Semata Kami Beribadah

Saudara-saudara seakidah yang dirahmati Allah. Setiap hari dalam sholat kita
mengikrarkan bahwa kita beribadah hanya kepada-Nya dan memohon pertolongan hanya
kepada-Nya. Ini merupakan perkara yang sangat penting untuk kita pahami.

Ibadah adalah tujuan penciptaan jin dan manusia. Allah ta'ala berfirman (yang
artinya), �Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku.� (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Allah memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya. Allah ta'ala berfirman (yang
artinya), �Wahai umat manusia! Sembahlah Rabb kalian; yaitu yang telah menciptakan
kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.� (QS. Al-
Baqarah: 21)

Allah memerintahkan kita beribadah kepada-Nya dan meninggalkan segala sesembahan


selain-Nya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Sembahlah Allah dan janganlah
kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.� (QS. An-Nisaa': 36)

Barangsiapa yang beribadah kepada Allah namun juga beribadah kepada selain Allah,
maka Allah tidak akan menerima amal-amal mereka. Allah ta'ala berfirman (yang
artinya), �Sungguh, jika kamu berbuat syirik pastilah lenyap seluruh amalmu dan
kamu pasti termasuk golongan orang-orang yang merugi.� (QS. Az-Zumar: 65)

Bahkan, orang yang mempersekutukan Allah tidak akan diampuni apabila dia meninggal
dalam keadaan belum bertaubat dari kesyirikannya tersebut. Allah ta'ala berfirman
(yang artinya), �Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya
dan Dia akan mengampuni dosa apa saja yang di bawah dosa itu bagi siapa yang Dia
kehendaki.� (QS. An-Nisaa': 48)

Oleh sebab itu segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), �Tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya
memurnikan ibadah kepada Allah semata dan menjalankan agama yang lurus.� (QS. Al-
Bayyinah: 5)

Barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka Allah haramkan surga atasnya dan tempat
tinggalnya adalah neraka. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Sesungguhnya
barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka Allah haramkan surga atasnya dan tempat
tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang pun
pemberi pertolongan.� (QS. Al-Ma'idah: 72)

Perbuatan mempersekutukan Allah adalah sebuah kejahatan dan kezaliman yang sangat
besar. Allah ta'ala berfirman menceritakan nasehat Luqman kepada anaknya (yang
artinya), �Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah! Sesungguhnya syirik
adalah kezaliman yang sangat besar.� (QS. Luqman: 13)

Syirik adalah sebab yang menghalangi seorang hamba mendapatkan keamanan dan
hidayah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang yang mendapatkan
keamanan dan mereka itulah orang yang mendapatkan hidayah.� (QS. Al-An'am: 82)

Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu, beliau menceritakan bahwa tatkala turun ayat
tersebut para sahabat pun bertanya kepada Nabi, �Wahai Rasulullah! Siapakah
diantara kami ini yang tidak menzalimi dirinya sendiri (baca: berbuat maksiat)?�.
Maka Nabi menjawab, �Bukan seperti yang kalian ucapkan. �Tidak mencampuri keimanan
mereka dengan kezaliman� yaitu dengan kesyirikan. Tidakkah kalian pernah mendengar
ucapan Luqman kepada anaknya, �Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah!
Sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat besar.� (QS. Luqman: 13)?� (HR.
Bukhari dan Muslim)

Oleh sebab itu wajib bagi setiap hamba untuk mempersembahkan ibadahnya kepada Allah
saja, apakah itu sholat, sembelihan, doa, isti'anah, istighotsah, dan lain
sebagainya. Tidak boleh menujukan ibadah kepada selain Allah, apakah itu malaikat,
nabi, wali, matahari, pohon, batu, dan lain sebagainya. Semua ibadah adalah hak
Allah, tidak berhak mendapatkan ibadah kecuali Dia.
Janganlah kita seperti orang-orang musyrik yang menujukan ibadahnya kepada selain
Allah di samping ibadah mereka kepada Allah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
�Apabila mereka sedang naik di atas kapal -dan terancam badai, pent- maka mereka
pun berdoa kepada Allah dengan ikhlas, tetapi ketika Allah selamatkan mereka ke
daratan tiba-tiba mereka pun kembali berbuat syirik.� (QS. al-'Ankabut: 65)

Janganlah kita seperti orang-orang musyrik yang mencintai sesembahan mereka


sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
�Diantara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu-sekutu, mereka
mencintainya sebagaimana cintanya kepada Allah. Adapun orang-orang beriman lebih
dalam cintanya kepada Allah.� (QS. Al-Baqarah: 165)

Tauhid inilah yang menjadi bekal terbaik kita untuk menghadap Allah. Allah ta'ala
berfirman (yang artinya), �Maka barangsiapa yang berharap perjumpaan dengan
Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam
beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.� (QS. Al-Kahfi: 110)

Oleh sebab itu Allah memerintahkan kita untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya dan
tidak mati kecuali dalam keadaan sebagai seorang muslim; yaitu di atas tauhid.
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah
kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah kalian mati
kecuali dalam keadaan beragama Islam.� (QS. Ali 'Imran: 102)

Dari 'Itban bin Malik radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam


bersabda, �Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan laa
ilaha illallah dengan ikhlas mengharapkan wajah Allah.� (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Jabir bin 'Abdillah radhiyallahu'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa


sallam bersabda, �Barangsiapa bertemu Allah dalam keadaan tidak mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu apapun pasti masuk surga. Dan barangsiapa yang bertemu Allah dalam
keadaan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun pasti masuk neraka.� (HR. Muslim)

Inilah tugas kita sepanjang hayat di kandung badan. Beribadah kepada Allah semata
dan meninggalkan segala sesembahan selain-Nya. Inilah kunci kebahagiaan yang
sesungguhnya.

Karena Seekor Kucing

Dari Ibnu 'Umar radhiyallahu'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam


bersabda, �Seorang perempuan disiksa gara-gara seekor kucing. Dia mengurung kucing
itu sampai mati. Karena itulah dia masuk neraka. Perempuan itu tidak memberi makan
dan minum kepadanya -tatkala dia kurung-. Dan dia pun tidak melepaskannya supaya
bisa memakan serangga atau binatang tanah.� (HR. Bukhari dan Muslim)

Faidah Hadits

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, hadits yang mulia ini menunjukkan kepada kita
betapa Islam sangat menjunjung tinggi kasih sayang. Tidak hanya kepada sesama
manusia, bahkan kepada seekor binatang sekalipun. Akibat tidak menaruh kasih sayang
kepada seekor kucing, perempuan tersebut harus merasakan pedihnya siksa neraka.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, �Hadits ini menunjukkan diharamkannya membunuh


kucing dan diharamkan mengurungnya tanpa diberi makanan dan minuman. Adapun
dimasukkannya dia ke dalam neraka adalah karena perbuatan itu. Zahir hadits
menunjukkan bahwa perempuan tersebut beragama Islam, meskipun demikian dia masuk
neraka gara-gara menyiksa seekor kucing.� (lihat Syarh Muslim [7/347])

Beliau juga menegaskan, �Maksiat ini bukanlah dosa kecil, bahkan dia bisa berubah
menjadi dosa besar apabila dilakukan secara terus-menerus.� (lihat Syarh Muslim
[7/348])

Dari Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash radhiyallahu'anhuma, Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, �Sayangilah [sesama] niscaya kalian pun akan disayangi. Berikanlah
ampun/maaf maka niscaya kalian pun akan diampuni oleh Allah...� (HR. Bukhari dalam
al-Adab al-Mufrad)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam


bersabda, �Tidaklah dicabut rasa kasih sayang kecuali dari orang yang celaka.� (HR.
Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad)

Dari Jarir radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


�Barangsiapa yang tidak menyayangi manusia maka Allah 'azza wa jalla tidak akan
menyayanginya.� (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad)

Imam Ibnu Baththal rahimahullah berkata mengomentari hadits ini, �Di dalamnya
terkandung dorongan untuk menaruh kasih sayang kepada segenap makhluk, tercakup di
dalamnya orang beriman dan orang kafir, serta binatang yang dimilikinya maupun
binatang yang bukan miliknya.� (lihat Syarh Shahih al-Adab al-Mufrad [1/490])

Sebagian tabi'in mengatakan, �Barangsiapa yang banyak dosanya hendaklah dia suka
memberikan minum. Apabila dosa-dosa orang yang memberikan minum kepada seekor
anjing bisa terampuni, maka bagaimana menurut kalian mengenai orang yang memberikan
minum kepada seorang beriman lagi bertauhid sehingga hal itu membuatnya tetap
bertahan hidup!� (lihat Syarh Shahih al-Adab al-Mufrad [1/500])

Semoga Allah menanamkan jiwa kasih sayang ke dalam diri kita.

Makna Kata Fitnah

Kata fitnah di dalam al-Qur'an memiliki banyak makna, diantaranya:

Fitnah dengan makna syirik. Seperti dalam firman Allah (yang artinya), �Dan
perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah.� (QS. al-Baqarah: 193). Demikian
pula dalam ayat (yang artinya), �Fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan.� (QS.
al-Baqarah: 217)

Fitnah dengan makna kekafiran. Seperti dalam firman Allah (yang artinya), �Adapun
orang-orang yang di dalam hatinya terdapat penyimpangan, maka mereka mengikuti
ayat-ayat mutasyabih itu demi mencari fitnah.� (QS. Ali 'Imran: 7)

Fitnah dengan makna ujian dan cobaan. Misalnya dalam ayat (yang artinya), �Sungguh
Kami telah memfitnah orang-orang sebelum mereka.� (QS. al-'Ankabut: 3).

Fitnah dengan makna siksaan. Seperti dalam ayat (yang artinya), �Rasakanlah fitnah
untuk kalian.� (QS. Adz-Dzariyat: 14). Dan juga ayat (yang artinya), �Apabila dia
diganggu di jalan Allah, maka dia menganggap fitnah manusia seperti azab dari
Allah.� (QS. al-'Ankabut: 10)

Fitnah dengan makna dosa. Misalnya dalam ayat (yang artinya), �Ketahuilah,
sesungguhnya di dalam fitnah itulah mereka terjatuh.� (QS. at-Taubah: 49). Demikian
pula firman Allah (yang artinya), �Hendaklah merasa takut orang-orang yang
menyelisihi perintahnya bahwa mereka akan tertimpa fitnah.� (QS. an-Nur: 63)

Fitnah dengan makna pembunuhan. Seperti dalam ayat (yang artinya), �Jika kalian
khawatir orang-orang kafir itu akan memfitnah kalian.� (QS. an-Nisaa': 101)

Fitnah dengan makna kesesatan dan kebingungan. Seperti dalam ayat (yang artinya),
�Dan barangsiapa yang Allah kehendaki ia terfitnah.� (QS. al-Ma'idah: 41)
Fitnah dengan makna sesuatu yang menyebabkan lalai. Seperti dalam firman Allah
(yang artinya), �Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian adalah fitnah.� (QS. at-
Taghabun: 15)

Sumber: Mauqif al-Muslim minal Fitan fi Dhau'il Kitab was Sunnah, hal. 45-50

Memahami Ucapan Salaf Tentang Hakikat Iman

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan maksud beberapa ungkapan yang
diriwayatkan dari para ulama salaf tentang makna iman.

Pertama: Sebagian salaf mengatakan bahwa iman adalah ucapan dan amalan. Maka yang
mereka maksud dengan ucapan itu adalah ucapan hati dan ucapan lisan. Sedangkan yang
mereka maksud dengan amalan adalah amal hati dan amal anggota badan.

Kedua: Sebagian salaf mengatakan bahwa iman adalah ucapan, amalan dan keyakinan.
Maka yang mereka maksud dengan ucapan adalah ucapan lisan -sebagaimana yang banyak
dipahami orang- oleh sebab itu keyakinan disebutkan secara khusus. Sehingga dapat
kita simpulkan bahwa yang mereka maksud dengan amalan adalah amalan hati dan amal
anggota badan.

Ketiga: Sebagian salaf mengatakan bahwa iman adalah ucapan, amalan, dan niat. Maka
yang mereka maksudkan dengan ucapan adalah ucapan hati (keyakinan) dan ucapan
lisan. Adapun maksud dari amalan terkadang hanya dipahami oleh banyak orang sebagai
amalan lahiriyah. Oleh sebab itu mereka menambahkan niat pada pengertian iman.

Keempat: Sebagian salaf menambahkan pada pengertian iman selain apa yang sudah
disebutkan di atas dengan kata-kata 'ittiba' kepada sunnah'. Karena perkara-perkara
tersebut -ucapan, amalan, keyakinan, dan niat- tidaklah menjadi suatu hal yang
dicintai Allah kecuali dengan mengikuti/ittiba' kepada Sunnah.

Perlu diperhatikan pula, bahwa yang mereka maksudkan dengan ucapan dan amalan
bukanlah semua ucapan dan amalan manusia, akan tetapi yang mereka maksud adalah
ucapan dan amalan yang disyari'atkan. Lantas mengapa para salaf memakai ungkapan-
ungkapan semacam itu? Jawabnya adalah dalam rangka membantah sekte Murji'ah yang
hanya menjadikan iman sebagai ucapan. Oleh sebab itu Ahlus Sunnah menegaskan, bahwa
iman itu ucapan dan amalan.

Adapun para ulama yang membagi hakikat iman menjadi empat, maka maksud mereka
adalah seperti jawaban Sahl bin Abdullah at-Tasturi rahimahullah ketika ditanya
tentang iman. Beliau mengatakan bahwa iman itu adalah, �Ucapan, amalan, niat
(ikhlas), dan sunnah. Karena iman apabila hanya berupa ucapan tanpa amalan adalah
kekafiran. Apabila ia hanya berupa ucapan dan amalan tanpa niat (ikhlas) maka itu
adalah kemunafikan. Apabila ia berupa ucapan, amalan, dan niat (ikhlas) namun tidak
disertai dengan Sunnah, maka itu adalah bid'ah.�

Sumber: al-Muntakhab min Kutub Syaikhil Islam Ibni Taimiyah hal. 39 karya Syaikh
'Alawi bin Abdul Qadir as-Saqqaf hafizhahullah. Penerbit: Darul Hijrah lin Nasyr
wat Tauzi' cet. 1419 H

Kematian Yang Kalian Berusaha Lari Darinya


Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata, �Beruntunglah orang yang senantiasa
mengingat waktu datangnya kematian. Tidaklah seorang hamba memperbanyak mengingat
kematian kecuali akan tampak buahnya di dalam amal perbuatannya.�

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Katakanlah; Sesungguhnya kematian yang


kalian senantiasa berusaha lari darinya, maka dia pasti menemui kalian. Kemudian
kalian akan dikembalikan kepada Dzat yang mengetahui perkara gaib dan perkara yang
tampak, lalu Allah akan memberitakan kepada kalian apa-apa yang kalian kerjakan.�
(QS. Al-Jumu'ah: 8)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Setiap jiwa pasti merasakan kematian.� (QS.
Ali 'Imran: 185)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �[Allah] Yang menciptakan kematian dan
kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya. Dan
Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.� (QS. Al-Mulk: 2)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Dan sembahlah Rabb-mu sampai datang
kematian.� (QS' al-Hijr: 99)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Dan janganlah sekali-kali kalian mati
kecuali dalam keadaan beragama Islam.� (QS. Ali 'Imran: 102)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Hai orang-orang yang beriman bertakwalah
kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah dipersiapkan
olehnya untuk hari esok...� (QS. Al-Hasyr: 18)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Berbekallah kalian, sesungguhnya sebaik-


baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kalian kepada-Ku wahai orang-orang yang
berakal.� (QS. Al-Baqarah: 198)

Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu berkata, �Tidak ada waktu bagi seorang mukmin untuk
bersantai-santai kecuali ketika dia sudah berjumpa dengan Allah.�

Suatu ketika ada yang berkata kepada Hasan al-Bashri rahimahullah, �Wahai Abu
Sa'id, apa yang harus kami perbuat? Kami berteman dengan orang-orang yang
senantiasa menakut-nakuti kami sampai-sampai hati kami hendak melayang.� Maka
beliau menjawab, �Demi Allah! Sesungguhnya jika kamu berteman dengan orang-orang
yang senantiasa menakut-nakuti dirimu hingga mengantarkan dirimu kepada keamanan,
maka itu lebih baik daripada kamu bergaul dengan teman-teman yang senantiasa
menanamkan rasa aman hingga menyeretmu kepada situasi yang menakutkan.�

Seorang penyair mengatakan:

Wahai anak Adam, engkau terlahir dari ibumu seraya melempar tangisan
Sedangkan orang-orang di sekelilingmu tertawa gembira

Maka, beramallah untuk menyambut suatu hari tatkala mereka melempar tangisan
Yaitu hari kematianmu, ketika itu engkaulah yang tertawa gembira

Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata, �Beruntunglah orang yang senantiasa


mengingat waktu datangnya kematian. Tidaklah seorang hamba memperbanyak mengingat
kematian kecuali akan tampak buahnya di dalam amal perbuatannya.�

Syaikh Abdul Malik al-Qasim berkata, �Betapa seringnya, di sepanjang hari yang kita
lalui kita membawa [jenazah] orang-orang yang kita cintai dan teman-teman menuju
tempat tinggal tersebut [alam kubur]. Akan tetapi seolah-olah kematian itu tidak
mengetuk kecuali pintu mereka, dan tidak menggoncangkan kecuali tempat tidur
mereka. Adapun kita; seolah-olah kita tak terjamah sedikit pun olehnya!!�
'Amar bin Yasir radhiyallahu'anhu berkata, �Cukuplah kematian sebagai pemberi
nasehat dan pelajaran. Cukuplah keyakinan sebagai kekayaan. Dan cukuplah ibadah
sebagai kegiatan yang menyibukkan.�

al-Harits bin Idris berkata: Aku pernah berkata kepada Dawud ath-Tha'i, �Berikanlah
nasehat untukku.� Maka dia menjawab, �Tentara kematian senantiasa menunggu
kedatanganmu.�

Abud Darda' radhiyallahu'anhu berkata, �Barangsiapa yang banyak mengingat kematian


niscaya akan menjadi sedikit kegembiraannya dan sedikit kedengkiannya.�

Abud Darda' radhiyallahu'anhu berkata, �Aku senang dengan kemiskinan, karena hal
itu semakin membuatku merendah kepada Rabbku. Aku senang dengan kematian, karena
kerinduanku kepada Rabbku. Dan aku menyukai sakit, karena hal itu akan menghapuskan
dosa-dosaku.�

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, �Tidaklah aku melihat sebuah perkara yang
meyakinkan yang lebih mirip dengan perkara yang meragukan daripada keyakinan
manusia terhadap kematian sementara mereka lalai darinya. Dan tidaklah aku melihat
sebuah kejujuran yang lebih mirip dengan kedustaan daripada ucapan mereka, 'Kami
mencari surga' padahal mereka tidak mampu menggapainya dan tidak serius dalam
mencarinya.�

Salah seorang yang bijak menasehati saudaranya, �Wahai saudaraku, waspadalah engkau
dari kematian di negeri [dunia] ini sebelum engkau berpindah ke suatu negeri yang
engkau mengangan-angankan kematian akan tetapi engkau tidak akan menemukannya.�

Ibnu Abdi Rabbihi berkata kepada Mak-hul, �Apakah engkau mencintai surga?� Mak-hul
menjawab, �Siapa yang tidak cinta dengan surga.� Lalu Ibnu Abdi Rabbihi pun
berkata, �Kalau begitu, cintailah kematian; karena engkau tidak akan bisa melihat
surga kecuali setelah mengalami kematian.�

Sumber: Aina Nahnu min Ha'ula'i, Jilid 1. Karya Abdul Malik al-Qasim

Mengapa Kita Harus Belajar Aqidah?

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, aqidah merupakan ilmu terpenting yang harus
diketahui oleh setiap muslim. Mengapa demikian? Karena aqidah merupakan pondasi
tegaknya amal ibadah dan syarat diterimanya amalan.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Maka barangsiapa yang menghendaki


perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak
mempersekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Rabbnya.� (QS. Al-Kahfi: 110)

Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), �Sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan
nabi-nabi sebelummu: Jika kamu berbuat syirik niscaya lenyaplah seluruh amalmu, dan
kamu pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.� (QS. Az-Zumar: 65)

Ibadah kepada Allah tidak akan diterima jika tidak dilandasi dengan tauhid. Oleh
sebab itu Allah berfirman mengenai amal-amal orang musyrik dalam firman-Nya (yang
artinya), �Dan Kami tampakkan segala amal yang dahulu mereka kerjakan, lalu Kami
jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.� (QS. Al-Furqan: 23)

Oleh karenanya, wajib bagi setiap muslim untuk memahami tauhid berdasarkan al-
Qur'an dan as-Sunnah sebagaimana yang telah dipahami oleh para Sahabat
radhiyallahu'anhum. Memahami ilmu aqidah adalah kunci keselamatan seorang hamba di
dunia dan di akhirat. Inilah kunci utama untuk membebaskan diri dari kerugian.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar
berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling
menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.� (QS.
al-'Ashr: 1-3)

Keimanan yang benar adalah keimanan yang tidak dicampuri dengan syirik dan
kekafiran. Itulah sebab pokok untuk meraih keamanan dan petunjuk dari Allah. Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), �Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri
keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan
keamanan, dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.� (QS. Al-An'am:
82)

Syirik adalah sebuah kezaliman, bahkan ia merupakan kezaliman yang paling besar.
Allah ta'ala mengisahkan nasihat Luqman kepada putranya (yang artinya), �Wahai
anakku! Janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik itu adalah
kezaliman yang sangat besar.� (QS. Luqman: 13)

Karena hanya Allah yang menciptakan dan memelihara kita, maka sudah semestinya kita
hanya beribadah kepada-Nya dan berlepas diri dari segala sesembahan selain-Nya.
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Wahai umat manusia! Sembahlah Rabb kalian;
yaitu yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan
kalian bertakwa.� (QS. Al-Baqarah: 21)

Aqidah inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah fiqih akbar. Imam Ibnu
Abil 'Izz al-Hanafi mengatakan, bahwa kebutuhan hamba kepada ilmu ini adalah di
atas kebutuhan mereka terhadap perkara-perkara yang lain (lihat Syarh ath-
Thahawiyah, hal. 69)

Oleh sebab itu pula, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala mengutus
Mu'adz bin Jabal radhiyallahu'anhu untuk berdakwah di negeri Yaman, maka beliau
berpesan, �Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah supaya
mereka mentauhidkan Allah.� (HR. Bukhari dan Muslim, lafal Bukhari)

Hal ini tentu saja menunjukkan betapa pentingnya ilmu tauhid dan betapa besar
kebutuhan umat manusia terhadapnya. Sehingga, tidaklah mengherankan jika seluruh
dakwah para rasul tegak di atas misi yang sama. Allah ta'ala berfirman (yang
artinya), �Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul -yang
berseru- : Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut itu.� (QS. An-Nahl: 36)

Dari sinilah, kita dapat menyimpulkan bahwa berbagai seruan yang mengatasnamakan
kebangkitan Islam atau melanjutkan kembali kehidupan Islam akan tetapi tidak
dibarengi dengan tarbiyah tauhid dengan benar adalah omong kosong belaka! Bukankah
tidak jarang kita dengar sayup-sayup ucapan mereka, �Dakwah tauhid memecah-belah
umat� [?!] �Dakwah tauhid mencerai-beraikan barisan� [?!] �Dakwah tauhid sudah
ketinggalan jaman� [?!] �Dakwah tauhid membuat orang lari� [?!] �Dakwah tauhid
tidak digemari orang� [?!]

Maha suci Allah dari apa yang mereka ucapkan! Akankah kita katakan dakwah para
rasul ini dakwah yang memecah-belah umat, mencerai-beraikan barisan mereka, sudah
ketinggalan jaman, membuat orang lari, dan -lebih parah lagi jika dikatakan bahwa
dakwah tauhid mesti disingkirkan gara-gara- tidak digemari orang?! Allahul
musta'an.

Bagaimana mungkin kita bisa sepakat membuat orang untuk bersama-sama memerangi riba
dan zina sementara kita lalai dari mengajak mereka untuk memberantas syirik dan
pemujaan berhala?! Ataukah kita telah menganggap berhala masa kini sudah tiada?
Karena manusia sudah berpindah ke masa kecanggihan teknologi sehingga jauh dari
klenik dan ritual-ritual kemusyrikan? Benarkah demikian?!

Bagaimana mungkin kita bersemangat tatkala menghasung umat untuk mencabut riba
sampai akar-akarnya namun di saat yang sama pemurnian aqidah seolah menjadi agenda
dan tema pembahasan yang terlupa?! Padahal, Allah telah berfirman tentang besarnya
dosa yang satu ini dalam ayat-Nya (yang artinya), �Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan Dia akan mengampuni dosa lain yang berada di
bawah tingkatan itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.� (QS. An-Nisaa': 48)

Dan lebih ajaib lagi jika kita mengangankan tegaknya sebuah daulah Islam di atas
negeri yang syirik dan bid'ah merajalela bak jamur di musim hujan bahkan seolah
telah mendarah daging dalam hidup dan kehidupan mereka?!

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata: Sungguh membuatku kagum


ucapan salah seorang penggerak ishlah/perbaikan pada masa kini. Beliau mengatakan:
�Tegakkanlah daulah/pemerintahan Islam di dalam hati kalian, niscaya ia akan tegak
di atas bumi kalian.� (lihat Ma'alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, hal. 24)

Sungguh benar firman Allah ta'ala (yang artinya), �Sesungguhnya Allah tidak akan
merubah nasib suatu kaum sampai mereka mau merubah apa-apa yang ada pada diri
mereka sendiri.� (QS. Ar-Ra'd: 11). Kepada Allah semata kita memohon taufik dan
bimbingan.

Nasehat Imam Syafi'i

ar-Rabi' mengatakan: Aku mendengar Syafi'i mengatakan, �Apabila kalian mendapati di


dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, maka ikutilah hal itu dan tinggalkan pendapatku.� (lihat Tarajim
al-A'immah al-Kibar, hal. 55)

ar-Rabi' berkata: Aku mendengar beliau -Imam Syafi'i- mengatakan, �Langit manakah
yang akan menaungiku. Bumi manakah yang akan menjadi tempat berpijak bagiku. Jika
aku meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian aku
tidak berpendapat sebagaimana kandungan hadits tersebut.� (lihat Tarajim al-A'immah
al-Kibar, hal. 56)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidaklah
beriman, hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus perkara
atas segala perselisihan yang terjadi diantara mereka, kemudian mereka tidak
mendapati kesempitan di dalam hati mereka, dan mereka pasrah kepadanya secara
sepenuhnya.� (QS. An-Nisaa': 65)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Tidaklah pantas bagi seorang beriman,
lelaki atau perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara
lantas masih ada bagi mereka pilihan lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang
durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang
amat nyata.� (QS. Al-Ahzab: 36)

al-Buwaithi berkata: Aku mendengar Syafi'i mengatakan, �Hendaklah kalian berpegang


kepada para ulama hadits, sesungguhnya mereka adalah manusia yang paling banyak
kebenarannya.� (lihat Tarajim al-A'immah al-Kibar, hal. 63)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, �Akan senantiasa ada sekelompok


orang diantara umatku ini yang menang -di atas kebenaran- tidaklah membahayakan
mereka orang yang menelantarkan mereka hingga tegak hari kiamat.� (Muttafaq 'alaih)

Para imam; Imam Abdullah bin al-Mubarak (wafat 181 H), Yazid bin Harun (wafat 206
H), Ali bin al-Madini (wafat 234 H), Ahmad bin Hanbal (wafat 241), dan Imam Bukhari
(wafat 256 H) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan 'kelompok' di dalam hadits
tersebut adalah as-habul hadits (pengikut hadits). Imam Ahmad bin Hanbal berkata,
�Seandainya mereka bukan as-habul hadits maka aku tidak tahu lagi siapakah mereka
itu?� (lihat Nasha'ih Manhajiyah Li Thalib 'Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 18)

Wallahu a'lam. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala alihi wa sallam.


Walhamdulillahi Rabbil 'alamin.

Pengaruh Iman Terhadap Sifat Rahmat Allah Di Dalam Perilaku Seorang Hamba

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, mengimani sifat-sifat Allah adalah kewajiban
kita sebagai seorang muslim. Salah satu sifat Allah yang wajib untuk kita yakini
adalah sifat rahmat/kasih sayang. Allah ta'ala memiliki sifat rahmat. Sifat ini
telah ditetapkan di dalam al-Kitab maupun as-Sunnah.

Misalnya, Allah ta'ala berfirman dalam surat al-Fatihah (yang artinya), �Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang.� Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), �Dan
adalah Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.� (QS. An-Nisaa': 96)

Di dalam as-Sunnah, misalnya dalam hadits yang diriwayatkan oleh 'Umar bin al-
Khaththab radhiyallahu'anhu, beliau menceritakan bahwa suatu ketika ada serombongan
tawanan perang yang dihadapkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Di
tengah-tengah mereka ada seorang ibu yang kebingungan mencari bayinya. Setiap kali
menemukan seorang bayi maka dia pun mendekap dan menyusuinya. Maka, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat, �Apakah menurut kalian
perempuan ini tega untuk melemparkan bayinya ke dalam kobaran api?�. Para sahabat
menjawab, �Tidak, demi Allah! Padahal dia sanggup untuk tidak melemparkannya.� Lalu
Nabi bersabda, �Sungguh Allah lebih penyayang daripada ibu ini kepada anaknya.�
(HR. Bukhari dan Muslim)

Namun, perlu dicermati bahwa rahmat Allah itu terbagi menjadi dua; rahmat yang umum
dan rahmat yang khusus. Rahmat yang umum diperoleh siapa pun, orang beriman maupun
orang kafir, orang yang taat maupun yang maksiat. Yang dimaksud adalah rahmat di
dunia semata. Sebagaimana firman Allah yang menceritakan ucapan para malaikat (yang
artinya), �Wahai Rabb kami, maha luas rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu.�
(QS. Ghafir: 7)

Adapun rahmat yang khusus adalah yang diperuntukkan bagi orang yang beriman dan
bertakwa. Hal ini diperoleh tidak hanya di dunia, bahkan juga di akhirat. Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), �Dan rahmat-Ku maha luas mecakup segala sesuatu.
Akan tetapi akan Aku tetapkan hanya untuk orang-orang yang bertakwa, yang
menunaikan zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.� (QS. Al-
A'raaf: 156)

Rahmat Allah yang bersifat umum dapat kita saksikan bukti-buktinya berupa segala
macam nikmat dunia yang dirasakan oleh manusia. Air, udara, cahaya, matahari,
makanan dan minuman, pakaian, tempat tinggal, dan lain sebagainya. Semua orang bisa
mendapatkannya tanpa membeda-bedakan agama dan keyakinan mereka.

Adapun rahmat Allah yang bersifat khusus dapat kita lihat di dunia dengan nikmat
hidayah yang Allah berikan kepada umat manusia dan diyakini oleh kaum muslimin
yaitu dengan turunnya al-Qur'an, diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-
kitab. Inilah rahmat yang khusus dan menjamin kebahagiaan yang sesungguhnya.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap
umat seorang rasul yang mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut. Maka
diantara mereka ada yang Allah berikan hidayah dan ada yang tetap padanya
kesesatan.� (QS. An-Nahl: 36)
Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), �Alif lam lim. Inilah Kitab (al-
Qur'an). Tidak ada keraguan sama sekali di dalamnya. Petunjuk bagi orang-orang yang
bertakwa; yaitu orang-orang yang mengimani yang gaib dan mendirikan sholat, serta
memberikan infak dari sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan orang-
orang yang mengimani apa yang diturunkan kepadamu dan apa-apa yang diturunkan
sebelummu, dan mereka meyakini hari akhirat. Mereka itulah yang berada di atas
petunjuk dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.� (QS. Al-
Baqarah: 1-5)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku
maka dia tidak akan sesat dan tidak akan binasa.� (QS. Thaha: 123)

Keimanan terhadap sifat rahmat Allah ini memiliki banyak dampak positif dan
pengaruh kuat terhadap jiwa dan perilaku seorang hamba. Diantaranya adalah:

Pertama: Menumbuhkan kecintaan kepada Allah. Dimana Allah telah menganugerahkan


berbagai macam nikmat kepada hamba-hamba-Nya. Termasuk di dalam cakupan nikmat ini
adalah apa yang disyari'atkan oleh-Nya. Misalnya, Allah ta'ala berfirman (yang
artinya), �Hanya saja Allah mengharamkan kepada kalian bangkai, darah, daging babi,
dan binatang yang disembelih untuk selain Allah. Barangsiapa yang terpaksa, tanpa
melampaui batas dan tidak berlebihan [sehingga memakannya] maka tidak ada dosa
atasnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.� (QS. Al-Baqarah:
173)

Maka, apabila seseorang tidak mendapatkan makanan pada keadaan dia sangat lapar dan
hampir mati kecuali bangkai, maka ketika itu diperbolehkan baginya untuk memakan
bangkai. Tidak ada dosa atasnya. Maka keringanan ini adalah bukti kasih sayang
Allah kepada hamba-hamba-Nya. Oleh sebab itu hal ini akan menumbuhkan rasa cinta
pada diri seorang hamba kepada Rabbnya.

Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), �Dan janganlah kalian membunuh diri-
diri kalian. Sesungguhnya Allah adalah sangat penyayang kepada kalian.� (QS. An-
Nisaa': 29)

Oleh sebab itu segala perkara yang menjerumuskan manusia kepada kebinasaan dilarang
oleh Allah. Perbuatan bunuh diri dengan segala macam bentuk dan sebabnya. Hal ini
menunjukkan besarnya kasih sayang Allah kepada seorang hamba. Dan tentu saja hal
itu akan membuahkan rasa cinta di dalam hati seorang hamba kepada Rabbnya.

Kedua: Iman kepada rahmat Allah akan membukakan pintu roja'/harapan terhadap
ampunan dan kasih sayang-Nya. Sehingga seorang hamba akan terbebas dari sikap putus
asa terhadap rahmat Allah. Dan dengan keyakinan semacam ini seorang hamba akan mau
bertaubat sebesar apapun dosa yang pernah dilakukannya.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Maka barangsiapa yang bertaubat setelah
kezaliman yang dilakukannya dan melakukan perbaikan, maka Allah akan menerima
taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.� (QS. Al-Ma'idah:
39)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang


melampaui batas terhadap dirinya; Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni segala bentuk dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.� (QS. Az-Zumar: 53)

Ketiga: Iman kepada rahmat Allah akan membuahkan pengaruh pada diri seorang hamba
untuk menempuh sebab-sebab yang mengantarkan dirinya untuk menggapai rahmat-Nya
yang sesungguhnya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), �Sesungguhnya rahmat
Allah itu dekat dengan orang-orang yang berbuat ihsan.� (QS. Al-A'raaf: 56)
Sementara makna dari berbuat ihsan tidak hanya terbatas berbuat baik kepada
makhluk, bahkan termasuk makna ihsan yang tertinggi adalah ihsan dalam beribadah
kepada Allah. Sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
dalam hadits Jibril yang sangat masyhur, �[Ihsan] adalah kamu beribadah kepada
Allah seolah-olah melihat-Nya. Dan apabila kamu tidak sanggup beribadah seolah
melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia Melihat dirimu.� (HR. Muslim dari 'Umar bin
Khaththab radhiyallahu'anhu)

Maka siapa saja yang ingin menggapai rahmat Allah hendaklah dia berbuat ihsan dalam
beribadah, yaitu dengan mentauhidkan-Nya dan menjauhi syirik, ikhlas dan tidak
riya', memurnikan ibadah untuk Allah semata, bukan untuk mencari kesenangan dunia
atau popularitas di kalangan manusia. Selain itu, hendaklah dia juga bergaul dengan
manusia dengan akhlak yang utama. Inilah sebab untuk meraih rahmat dan ridha-Nya.

Dengan merenungkan manfaat dan pengaruh yang timbul dengan beriman terhadap sifat
rahmat Allah inilah, kita bisa menyadari betapa dalam hikmah yang terkandung di
dalam ayat ar-Rahmanir Rahim yang senantiasa kita baca di dalam sholat kita, yaitu
yang tercantum dalam surat al-Fatihah; surat yang paling agung di dalam Kitab-Nya.

Sebab, dengan mengimani sifat rahmat Allah itulah seorang hamba akan mencintai
Allah di atas kecintaannya kepada apa pun juga. Dengan mengimani sifat rahmat Allah
pula seorang hamba akan terdorong untuk keluar dari kegelapan dosa menuju luasnya
ampunan Allah dan rahmat-Nya. Karena keimanan kepada sifat rahmat Allah ini juga,
seorang hamba akan berjuang untuk menggapai kedekatan dan kemuliaan di sisi-Nya.

Wallaahu ta'ala a'lam bish shawaab. Wa shallallaahu 'ala Nabiyyir rahmah, wa 'ala
aalihi wa man tabi'ahum bi ihsanin ila yaumil qiyaamah. Walhamdulillaahilladzii laa
ilaaha illa huwa, wahdahu laa syariika lah. Laa na'budu illa iyyah. Wa laa haula wa
laa quwwata illa billaah.

Referensi: Atsar al-Iman bi Shifatillahi fi Sulukil 'Abdi cet. 1433 H karya Syaikh
Ahmad bin Muhammad an-Najjar, hal. 13-20

Orang Yang Mendapatkan Syafa'at

Dari Ibnu Darah -bekas budak yang dimerdekakan oleh 'Utsman bin 'Affan- dia
berkata: Abu Hurairah radhiyallahu'anhu berkata, �Aku adalah orang yang paling
mengetahui tentang syafa'at Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari
kiamat.� Orang-orang pun berpaling kepada beliau. Mereka berkata, �Beritahukanlah
kepada kami, semoga Allah merahmatimu.� Abu Hurairah berkata: Yaitu beliau berdoa,
�Ya Allah, ampunilah setiap muslim yang beriman kepada-Mu dan tidak
mempersekutukan-Mu dengan sesuatu apapun.� (HR. Ahmad, sanadnya dinilai hasan,
lihat al-Ba'ts karya Ibnu Abi Dawud, hal. 49)

Faidah Hadits

Hadits yang agung ini menunjukkan kepada kita bahwa hakikat syafa'at adalah doa.
Salah satunya adalah doa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Allah supaya
mengampuni dosa-dosa setiap orang yang bertauhid. Dan yang dimaksud di sini adalah
para pelaku dosa besar dari kalangan ahli tauhid. Mereka yang dihukum di neraka
kemudian dimasukkan ke surga. Sebagaimana semakin jelas dengan hadits-hadits
berikut.

Dari Abu Musa al-Asy'ari radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa


sallam bersabda, �Aku diberikan pilihan -oleh Allah- antara syafa'at atau setengah
umatku dimasukkan ke dalam surga. Maka aku pun memilih syafa'at, karena ia lebih
luas [manfaatnya] dan lebih mencukupi. Apakah menurut kalian ia diperuntukkan bagi
orang-orang yang bertakwa dan sempurna imannya? Tidak, akan tetapi ia diberikan
kepada orang-orang yang berdosa, pemilik kesalahan-kesalahan, orang yang
bergelimang dengan dosa.� (HR. Ibnu Majah, dinilai sahih sanadnya oleh al-Bushiri,
lihat al-Ba'ts karya Ibnu Abi Dawud, hal. 46)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam


bersabda, �Suatu kaum yang masuk ke dalam neraka Jahannam kemudian mereka
dikeluarkan darinya, maka mereka pun masuk ke dalam surga. Mereka dikenal di surga
dengan sebutan khusus untuk mereka. Mereka disebut dengan al-Jahanamiyun.� (HR.
Ibnu Abi 'Ashim, dinilai sahih oleh al-Albani, lihat al-Ba'ts karya Ibnu Abi Dawud,
hal. 51-52)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, �Terdapat riwayat-riwayat yang secara keseluruhan


mencapai derajat mutawatir yang menetapkan kebenaran syafa'at di akhirat bagi para
pelaku dosa diantara kaum beriman. Telah sepakat salaf dan kholaf serta para ulama
sesudahnya dari kalangan Ahlus Sunnah atas hal itu. Akan tetapi Khawarij dan
sebagian Mu'tazilah tidak mempercayai hal itu [syafa'at]. Mereka berpegang dengan
madzhab mereka bahwa para pelaku dosa [besar] kekal di dalam neraka.� (lihat Syarh
Muslim [2/311])

Dengan demikian, bisa kita simpulkan bahwa hadits-hadits di atas adalah


hujjah/dalil yang sangat kuat untuk membantah pemahaman sekte Khawarij dan
Mu'tazilah yang menolak keberadaan syafa'at bagi pelaku dosa besar di kalangan ahli
tauhid. Sebagaimana sudah dimaklumi, bahwa Khawarij dan Mu'tazilah menyatakan
pelaku dosa besar di akhirat kekal di neraka, walaupun mereka berbeda pandangan
dalam hal hukum dunia. Khawarij mengkafirkan, sedangkan Mu'tazilah menyatakan
'manzilah baina manzilatain' (berada diantara dua kedudukan) alias tidak beriman
tapi juga tidak kafir. Padahal, dalil al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma' telah
menetapkan adanya syafa'at bagi pelaku dosa besar diantara ahli tauhid (lihat
Ta'liq Risalah Qawa'id Arba' oleh Syaikh 'Ubaid al-Jabiri, hal. 13)

Pelajaran Berharga Dari Perjalanan Hidup Imam Bukhari

Nama Imam Bukhari bukanlah nama yang asing bagi kita. Seorang ulama ahli hadits
yang mendapat julukan Amirul Mukminin fil Hadits. Para ulama pun menyatakan bahwa
kitabnya Shahih Bukhari adalah kitab yang paling sahih setelah al-Qur'an. Kemudian,
setelah itu diikuti oleh kitab muridnya, yaitu kitab Shahih karya Imam Muslim.
Semoga Allah merahmati mereka berdua.

Meskipun demikian, itu bukan berarti perjalanan hidup Sang Imam mulus begitu saja.
Ada saja terpaan fitnah yang melanda beliau, bersama dengan kemuliaan dan kebesaran
yang beliau miliki. Tatkala fitnah tentang aqidah/keyakinan bahwa al-Qur'an makhluk
telah disalahalamatkan kepada beliau oleh sebagian orang yang tidak bertanggung
jawab. Padahal, keyakinan al-Qur'an makhluk merupakan keyakinan sekte sesat yang
amat terkenal di masa itu, yaitu Jahmiyah!

Pengantar Sebelum Menyimak Kisah Beliau

al-Qur'an adalah kalam/ucapan Allah. Ini sudah jelas. Akan tetapi, bolehkah kita
katakan bahwa pelafalan al-Qur'an itu makhluk, atau bukan makhluk, atau harus diam
dalam persoalan ini?!

Jawaban yang lebih tepat, memberikan hukum umum dalam permasalahan ini, yaitu
dengan serta merta menolak atau menerima pernyataan 'pelafalan al-Qur'an adalah
makhluk' adalah tidak tepat. Sebab hal ini harus dirinci terlebih dahulu. Jika yang
dimaksud dengan pelafalan itu adalah perbuatan (fi'il) mengucapkannya yang hal itu
termasuk perbuatan hamba maka jelas ini adalah makhluk. Karena hamba beserta
perbuatannya adalah makhluk. Namun, apabila yang dimaksud dengan pelafalan itu
adalah ucapan yang dilafalkan (maf'ul) maka itu adalah kalam/ucapan Allah dan bukan
makhluk. Karena kalam Allah merupakan salah satu sifat-Nya, sedangkan sifat-Nya
bukan makhluk.

Perincian semacam ini telah diisyaratkan oleh Imam Ahmad. Imam Ahmad mengatakan,
�Barangsiapa yang berpendapat bahwa lafalku dalam membaca al-Qur'an adalah makhluk
dan yang dia maksud dengannya adalah al-Qur'an maka dia adalah penganut paham
Jahmiyah.� Perkataan Imam Ahmad 'dan yang dia maksud adalah al-Qur'an' menunjukkan
bahwa apabila yang dia maksudkan bukanlah al-Qur'an akan tetapi perbuatan
melafalkan yang ini merupakan perbuatan manusia, maka orang yang mengucapkannya
tidak bisa dicap sebagai penganut paham Jahmiyah.

(Diambil dari Fathu Rabbil Bariyyah hal. 70 cet. Dar Ibnul Jauzi).

Fitnah Yang Menimpa Sang Imam

Pada tahun 205 H, Imam Bukhari datang ke Naisabur. Beliau menetap di sana selama
beberapa waktu dan terus beraktifitas mengajarkan hadits. Muhammad bin Yahya adz-
Dzuhli -tokoh ulama di kota itu dan juga salah satu guru Imam Bukhari- mengatakan
kepada murid-muridnya, �Pergilah kalian kepada lelaki salih dan berilmu ini, supaya
kalian bisa mendengar ilmu darinya.� Setelah itu, orang-orang pun berduyun-duyun
mendatangi majelis Imam Bukhari untuk mendengar hadits darinya. Sampai, suatu
ketika muncul 'masalah' di majelis Muhammad bin Yahya, dimana orang-orang yang
semula mendengar hadits di majelisnya berpindah ke majelisnya Imam Bukhari.

Sebenarnya, sejak awal, Imam adz-Dzuhli tidak menghendaki terjadinya masalah antara
dirinya dengan Imam Bukhari, semoga Allah merahmati mereka berdua. Beliau pernah
berpesan kepada murid-muridnya, �Janganlah kalian tanyakan kepadanya mengenai
masalah al-Kalam (keyakinan tentang al-Qur'an kalamullah, pent). Karena seandainya
dia memberikan jawaban yang berbeda dengan apa yang kita anut pastilah akan terjadi
masalah antara kami dengan beliau, yang hal itu tentu akan mengakibatkan setiap
Nashibi (pencela ahli bait), Rafidhi (syi'ah), Jahmi, dan penganut Murji'ah di
Khurasan ini menjadi mengolok-olok kita semua.�

Ahmad bin 'Adi menuturkan kisah dari guru-gurunya, bahwa kehadiran Imam Bukhari di
kota itu membuat sebagian guru yang ada di masa itu merasa hasad/dengki terhadap
beliau. Mereka menuduh Bukhari berpendapat bahwa al-Qur'an yang dilafalkan adalah
makhluk. Suatu ketika muncullah orang yang menanyakan kepada beliau mengenai
masalah melafalkan al-Qur'an. Orang itu berkata, �Wahai Abu Abdillah, apa
pandanganmu mengenai melafalkan al-Qur'an; apakah ia makhluk atau bukan makhluk?�.
Setelah mendengar pertanyaan itu, Bukhari berpaling dan tidak mau menjawab sampai
tiga kali pertanyaan. Orang itu pun memaksa, dan pada akhirnya Bukhari menjawab,
�al-Qur'an adalah Kalam Allah, bukan makhluk. Sementara perbuatan hamba adalah
makhluk. Dan menguji seseorang dengan pertanyaan semacam ini adalah bid'ah.� Yang
menjadi sumber masalah adalah tatkala orang itu secara gegabah menyimpulkan, �Kalau
begitu, dia -Imam Bukhari- berpendapat bahwa al-Qur'an yang aku lafalkan adalah
makhluk.� Dalam riwayat lain, Bukhari menjawab, �Perbuatan kita adalah makhluk.
Sedangkan lafal kita termasuk perbuatan kita.� Hal itu menimbulkan berbagai
persepsi di antara hadirin. Ada yang mengatakan, �Kalau begitu al-Qur'an yang saya
lafalkan adalah makhluk.� Sebagian yang lain membantah, �Beliau tidak mengatakan
demikian.� Akhirnya, timbullah kesimpang-siuran dan kesalahpahaman di antara para
hadirin.

Tatkala kabar yang tidak jelas ini sampai ke telinga adz-Dzuhli, beliau pun
berkata, �al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Barangsiapa yang menganggap
bahwa al-Qur'an yang saya lafalkan adalah makhluk -padahal Imam Bukhari tidak
menyatakan demikian, pent- maka dia adalah mubtadi'/ahli bid'ah. Tidak boleh
bermajelis kepadanya, tidak boleh berbicara dengannya. Barangsiapa setelah ini
pergi kepada Muhammad bin Isma'il -yaitu Imam Bukhari- maka curigailah dia. Karena
tidaklah ikut menghadiri majelisnya kecuali orang yang sepaham dengannya.�

Semenjak munculnya ketegangan di antara adz-Dzuhli dan Bukhari ini maka orang-orang
pun bubar meninggalkan majelis Imam Bukhari kecuali Muslim bin Hajjaj -Imam
Muslim- dan Ahmad bin Salamah. Saking kerasnya permasalahan ini sampai-sampai Imam
adz-Dzuhli menyatakan, �Ketahuilah, barangsiapa yang ikut berpandangan tentang
lafal -sebagaimana Bukhari, pent- maka tidak halal hadir dalam majelis kami.�
Mendengar hal itu, Imam Muslim mengambil selendangnya dan meletakkannya di atas
imamah/penutup kepala yang dikenakannya, lalu beliau berdiri di hadapan orang
banyak meninggalkan beliau dan dikirimkannya semua catatan riwayat yang ditulisnya
dari Imam adz-Dzuhli di atas punggung seekor onta. Ada sebuah pelajaran berharga
dari Imam Muslim dalam menyikapi persengketaan yang terjadi diantara kedua imam
ini. al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, �Muslim telah bersikap adil tatkala
dia tidak menuturkan hadits di dalam kitabnya -Shahih Muslim-, tidak dari yang ini
-Bukhari- maupun yang itu -adz-Dzuhli-.�

Pada akhirnya, Imam Bukhari pun memutuskan untuk meninggalkan Naisabur demi menjaga
keutuhan umat dan menjauhkan diri dari gejolak fitnah. Beliau menyerahkan segala
urusannya kepada Allah. Allah lah Yang Maha mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya.
Sebab beliau tidaklah menyimpan ambisi kedudukan maupun kepemimpinan sama sekali.
Imam Bukhari berlepas diri dari tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang
hasad kepadanya. Suatu saat, Muhammad bin Nashr al-Marruzi menceritakan: Aku
mendengar dia -Bukhari- mengatakan, �Barangsiapa yang mendakwakan aku berpandangan
bahwa al-Qur'an yang aku lafalkan adalah makhluk, sesungguhnya dia adalah pendusta.
Sesungguhnya aku tidak berpendapat seperti itu.�

Abu Amr Ahmad bin Nashr berusaha menelusuri permasalahan ini kepada Imam Bukhari.
Dia berkata, �Wahai Abu Abdillah, di sana ada orang-orang yang membawa berita
tentang dirimu bahwasanya kamu berpendapat al-Qur'an yang aku lafalkan adalah
makhluk.� Maka Imam Bukhari menjawab, �Wahai Abu Amr, hafalkanlah ucapanku ini;
Siapa pun diantara penduduk Naisabur dan negeri-negeri yang lain yang mendakwakan
bahwa aku berpendapat al-Qur'an yang aku lafalkan adalah makhluk maka dia adalah
pendusta. Sesungguhnya aku tidak pernah mengatakan hal itu. Yang aku katakan adalah
perbuatan hamba adalah makhluk.�

(Kisah ini disusun ulang dari Hadyu as-Sari Muqaddimah Fath al-Bari, hal. 658-659)

Abdullah anak Imam Ahmad berkata: Aku pernah bertanya kepada ayahku rahimahullah.
Aku berkata, �Apa pendapatmu mengenai orang yang mengatakan bahwa tilawah adalah
makhluk dan lafal kita dengan al-Qur'an adalah makhluk, sedangkan al-Qur'an adalah
kalamullah dan bukan makhluk? Apa pendapatmu tentang sikap menjauhi orang seperti
ini? Apakah dia layak disebut sebagai ahli bid'ah?�. Beliau menjawab, �Orang
semacam ini semestinya dijauhi. Itu adalah ucapan ahli bid'ah. Dan itu merupakan
perkataan kaum Jahmiyah.� (lihat as-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, no. 178).
Abdullah juga mengatakan, �Aku mendengar ayahku rahimahullah berkata: Barangsiapa
yang mengatakan bahwa lafalku dengan al-Qur'an adalah makhluk maka dia adalah
penganut Jahmiyah.� (lihat as-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, no. 180)

Ketika membahas tentang biografi sekilas Imam Bukhari di dalam kitabnya Jarh wa
Ta'dil Abdurrahman bin Abi Hatim rahimahullah berkata, �Ayahku -Abu Hatim- dan Abu
Zur'ah mendengar hadits darinya. Kemudian mereka berdua meninggalkan haditsnya,
yaitu ketika Muhammad bin Yahya an-Naisaburi mengirimkan surat kepada mereka berdua
yang menceritakan bahwasanya di daerah mereka -Naisabur- dia menampakkan pemahaman
bahwa lafalnya dengan al-Qur'an adalah makhluk.� (lihat al-Jarh wa at-Ta'dil
VII/191).

Imam adz-Dzahabi rahimahullah telah membantah perkataan ini dalam kitabnya Siyar
A'lam an-Nubala'. Beliau berkata, �Apabila mereka berdua meninggalkan haditsnya,
ataupun tidak meninggalkannya, maka Bukhari tetap saja seorang yang
tsiqah/terpercaya, kredibel, dan riwayatnya dijadikan hujjah di seluruh penjuru
dunia.� (lihat Dhawabith al-Jarh wa at-Ta'dil 'inda al-Hafizh adz-Dzahabi II/633
karya Abu Abdirrahman Muhammad ats-Tsani)

Hal ini menunjukkan bahwa jarh/celaan dari sebagian ulama yang ditujukan kepada
Imam Bukhari tidak bisa diterima. Imam Ahmad rahimahullah berkata, �Setiap orang
yang telah terbukti kuat keadilan/kredibilitasnya maka tidak boleh diterima
tajrih/celaan kepada dirinya dari siapa pun hingga perkara itu diterangkan
kepadanya sampai pada suatu keadaan yang tidak ada lagi kemungkinan yang lain
kecuali memang harus menjatuhkan jarh/celaan kepadanya.� (lihat Dhawabith al-Jarh
wa at-Ta'dil 'inda al-Hafizh adz-Dzahabi II/634)

Pelajaran Yang Bisa Dipetik

Kisah di atas mengandung banyak pelajaran berharga bagi kita kaum muslimin,
terlebih lagi bagi para penimba ilmu dan para da'i. Pelajaran terpenting dari kisah
ini adalah pentingnya setiap muslim maupun muslimah untuk mempelajari aqidah Islam
dengan sebaik-baiknya agar terhindar dari berbagai penyimpangan pemahaman dan
kesesatan. Karena aqidah inilah yang menjadi landasan agama kita. Hendaknya setiap
muslim memahami hakikat keimanan dan tauhid yang menjadi intisari aqidah Islam.
Jangan sampai seorang muslim -apalagi penimba ilmu atau bahkan da'i- meremehkan
masalah aqidah ini. Masalah aqidah adalah masalah yang sangat penting dan mendasar.

Selain itu, kisah di atas juga memberikan pelajaran kepada kita untuk menjadi
seorang penimba ilmu dan da'i yang ikhlas berjuang di jalan Allah. Bukan menjadi
orang yang memburu popularitas atau beramal karena ingin mendapatkan pujian dan
sanjungan manusia. Hendaklah kita menjadi orang yang berusaha untuk senantiasa
mencari ridha Allah, bukan mengejar ridha manusia. Orang arab mengatakan, �Ridha
manusia adalah cita-cita yang tak akan pernah tercapai.� Sebagaimana dikatakan oleh
sebagian salaf bahwa ikhlas itu adalah melupakan pandangan manusia dengan
senantiasa melihat kepada penilaian al-Khaliq, yaitu Allah.

Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita untuk berhati-hati dalam menerima dan
menyampaikan berita. Karena bisa jadi berita yang kita terima tidak benar atau
tidak sempurna sehingga akan menimbulkan kesalahpahaman bagi orang yang
mendengarnya. Apalagi jika berita itu terkait dengan orang yang memiliki kedudukan
di masyarakat, baik dari kalangan ulama ataupun penguasa. Kewajiban kita sebagai
sesama muslim adalah menjaga kehormatan dan harga diri saudara kita, apalagi mereka
adalah orang yang memiliki kedudukan dan keutamaan di mata publik.

Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita -terutama para da'i dan tokoh
masyarakat- untuk menjaga lisan dan cermat dalam berkata-kata. Terlebih lagi jika
kita berada di depan orang banyak, karena penggunaan kata-kata yang kurang tepat
atau menimbulkan kerancuan bisa menimbulkan suasana yang kurang harmonis,
kekacauan, dan bahkan permusuhan yang tidak pada tempatnya.

Kisah ini juga memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita, bahwasanya
terkadang permasalahan atau perselisihan yang timbul diantara sesama guru atau da'i
itu timbul dan semakin bertambah parah akibat ulah sebagian murid-murid mereka yang
suka membuat masalah. Oleh sebab itu seorang guru harus objektif dan berhati-hati
dalam menerima berita dari muridnya. Demikian pula, seorang murid juga tidak boleh
sembarangan dalam menafsirkan perkataan gurunya tanpa meminta kejelasan terhadap
ungkapan yang diduga bisa memicu permasalahan. Apalagi di dalam situasi fitnah
(kekacauan), hendaknya seorang murid fokus kepada tugasnya yaitu belajar dan tidak
disibukkan dengan qila wa qola (kabar burung) dan pembicaraan yang kurang
bermanfaat baginya.

Kisah ini juga memberikan pelajaran bagi kita, bahwasanya pembicaraan jarh wa
ta'dil (kritikan dan pujian terhadap pribadi atau kelompok) bukanlah perkara
sepele. Jarh wa ta'dil tidak seperti kacang goreng yang bisa dibeli dengan harga
murah oleh siapa saja. Jarh wa ta'dil adalah ilmu yang sangat mulia. Ilmu yang
membutuhkan pemahaman yang mendalam, ketelitian, dan kehati-hatian. Tidak semua
orang boleh berbicara tentangnya dengan seenaknya, bahkan tidak setiap ulama ahli
dan mapan di bidang ini. Jarh wa ta'dil juga memiliki kaidah dan batasan-batasan
yang harus diperhatikan. Memang, memperingatkan dari kemungkaran adalah suatu
kebaikan yang sangat besar. Akan tetapi mengingkari kemungkaran pun ada kaidahnya,
tidak boleh secara serampangan.

Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada para penimba ilmu dan para da'i untuk
membersihkan hati mereka dari sifat hasad atau dengki. Karena banyak permasalahan
yang terjadi diantara mereka diantara penyebabnya adalah karena sifat yang tercela
ini. Oleh sebab itu ada suatu ungkapan yang populer di kalangan para ulama Jarh wa
Ta'dil : Kalamul aqraan yuthwa wa laa yurwa, artinya: �Kritikan antara orang-orang
yang sejajar kedudukannya cukup dilipat -tidak diperhatikan- dan tidak
diriwayatkan.� Karena terkadang kritikan yang muncul diantara sesama mereka adalah
karena faktor hasad. Kita berlindung kepada Allah dari sifat yang demikian itu.

Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk bersikap


husnuzhan/berprasangka baik kepada saudara kita. Karena perasaan su'uzhan/buruk
sangka yang tidak dilandasi dengan fakta-fakta yang kuat adalah termasuk perbuatan
dosa. Selain itu, kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk tidak suka
mencari-cari kesalahan orang lain. Memang meluruskan kesalahan orang lain adalah
termasuk nasehat, akan tetapi hendaknya kita tidak mencari-cari kesalahannya. Dan
yang tidak kalah pentingnya adalah semestinya kita lebih sibuk untuk memperbaiki
kesalahan-kesalahan diri kita sendiri, yang bisa jadi kesalahan kita itu tidak
kecil dan tidak sedikit. Allahul musta'aan.

Kisah ini juga menunjukkan kepada kita, bahwasanya seorang da'i harus siap
menghadapi berbagai rintangan dan cobaan di tengah-tengah perjalanan dakwahnya.
Seorang da'i harus senantiasa sabar dan tawakal kepada Allah dalam menyikapi
berbagai masalah yang dijumpainya. Begitu pula seorang penimba ilmu. Bahkan, setiap
orang yang beriman pasti mendapatkan ujian dari Allah yang menuntut mereka untuk
bersabar tatkala mendapatkan musibah dan bersyukur tatkala mendapatkan kenikmatan.

Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita mengenai kebesaran hati dan
kelapangan dada para ulama rabbani dalam menyikapi fitnah yang menimpa mereka serta
menempuh sikap yang bijak demi menjaga keutuhan umat. Mereka menyadari bahwasanya
tugas mereka sebagai ulama adalah mendakwahkan ilmu dan membimbing umat menuju
kebaikan. Mereka sama sekali tidak menyimpan ambisi-ambisi politik atau mengejar
target-target duniawi. Ulama sejati tidak takut celaan para pencela dan tidak
khawatir apabila ditinggalkan jama'ah, selama dia tegak di atas kebenaran.

Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita tentang besarnya bahaya kebid'ahan;
yaitu ajaran-ajaran baru yang tidak ada tuntunannya di dalam agama Islam. Bid'ah
ini tidak hanya berkutat dalam masalah amalan, tetapi ia juga terjadi dalam masalah
aqidah atau keyakinan. Bahkan, diantara keyakinan yang bid'ah itu ada yang bisa
menyebabkan kafir bagi orang yang meyakininya. Oleh sebab itu para ulama salaf
sangat keras dalam mengingkari para pelaku kebid'ahan. Sebagian diantara mereka
mengatakan, �Bid'ah itu lebih dicintai Iblis daripada maksiat. Karena pelaku
maksiat masih mungkin untuk bertaubat, sedangkan bid'ah hampir tidak mungkin
pelakunya bertaubat.� Sebab pelaku kebid'ahan menganggap dirinya tidak melakukan
kesalahan. Berbeda dengan pelaku maksiat yang masih mengakui bahwa dirinya memang
telah berbuat maksiat.

Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk bersikap teguh dalam membela
kebenaran dan memerangi kebatilan walaupun harus menyelisihi banyak orang, bahkan
meskipun mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kedudukan di dalam pandangan
kita. Sesungguhnya kebenaran itu diukur dengan al-Kitab dan as-Sunnah, bukan dengan
si fulan atau 'allan.

Sebagian ulama salaf berpesan, �Hendaknya kamu mengikuti jalan kebenaran. Janganlah
kamu merasa sedih karena sedikitnya orang yang menempuhnya. Dan jauhilah jalan-
jalan kebatilan. Dan janganlah kamu merasa gentar karena banyaknya orang yang
binasa.�

Dan yang terakhir, kisah ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa perselisihan
yang terjadi diantara sebagian ulama -dalam sebagian permasalahan- adalah realita
yang tidak bisa kita pungkiri. Sebagai penuntut ilmu kita dituntut untuk bersikap
bijak dan menempatkan diri sebagaimana mestinya.

Ulama adalah pewaris para Nabi. Kita harus memuliakan dan menghormati mereka dengan
tidak berlebih-lebihan di dalamnya. Di sisi lain, kita juga harus ingat bahwa ulama
bukanlah Nabi yang semua ucapannya harus diikuti. Meskipun demikian, kita tidak
boleh meremehkan, melecehkan, atau bahkan menjelek-jelekkan mereka. Apabila
kebenaran yang mereka sampaikan -yaitu berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah- maka
wajib untuk diikuti. Namun, apabila sebaliknya maka tidak kita ikuti dengan tetap
bersangka baik dan memberikan udzur/toleransi terhadap mereka.

***

Rabbana taqabbal minnaa, innaka antas sami'ul 'aliim


wa tub 'alainaa, innaka anttat tawwaabur rahiim

Sumber e-book:
http://terjemahkitabsalaf.wordpress.com/

Membumikan Dakwah Ahlus Sunnah

Facebook: Terjemah Kitab Salaf


Email: tholib1981@gmail.com

Boleh disebarluaskan!

Anda mungkin juga menyukai